Bab 2
Pernah suatu ketika aku
tidak bisa melihat apa-apa dari pohon, menunggu tanpa bergerak hingga binatang buruanku
lewat, lalu aku ketiduran dan jatuh dari ketinggian tiga meter, dan mendarat
dengan punggungku. Benturan itu seakan membuat semua udara tersembur keluar
dari paru-paruku, dan aku hanya bisa terbaring di tanah berusaha keras untuk
bisa menarik napas, untuk bisa melakukan apa saja.
Itulah yang kurasakan
sekarang, berusaha mengingat bagaimana cara bernapas, tidak sanggup bicara,
terpana tak kuasa bergerak ketika nama yang disebutkan memantul-mantul dalam
tengkorakku. Seorang anak lelaki dari Seam memegangi lenganku, rasanya aku
mungkin nyaris terjatuh dan dia menahanku.
Pasti ada kesalahan.
Ini tak mungkin terjadi. Kertas bertuliskan nama Prim hanya ada satu di antara
ribuan Kemungkinan namanya terpilih teramat sangat kecil sehingga aku bahkan
tidak menguatirkannya. Bukankah aku sudah melakukan segalanya? Aku yang
mengambil tessera, dan melarangnya melakukan itu? Selembar nama. Selembar nama
di antara ribuan. Probabilitas pemilihan ini sangat menguntungkan baginya. Tapi
itu sudah tidak penting lagi.
Nun jauh di sana, aku
bisa mendengar kerumunan massa bergumam tak bersemangat sebagaimana yang selalu
mereka lakukan saat yang terpilih adalah anak berusia dua belas tahun karena
tak seorang pun menganggap ini adil. Kemudian aku melihat Prim, wajahnya pias,
kedua telapak tangannya terkepal keras di samping tubuhnya, jalannya kaku,
dengan langkah-langkah kecil menuju panggung, melewatiku, kemudian aku melihat
bagian belakang blusnya lagi-lagi keluar dan menggantung di atas roknya. Hal
kecil inilah, blus yang tak dimasukkan sehingga tampak seperti ekor bebek, yang
membuatku kembali ke kenyataan.
"Prim"
Pekikan tertahan keluar dari mulutku, dan otot-ototku mulai bergerak lagi. "Prim"
Aku tidak perlu
mendesak kerumunan. Anak-anak lain segera membuka jalan dan membiarkanku
langsung berjalan menuju panggung. Aku tiba disamping Prim tepat ketika dia
hendak menaiki tangga. Dengan sekali dorong, aku mendesak Prim ke belakang
tubuhku.
"Aku mengajukan
diri" pekikku. "Aku mengajukan diri sebagai peserta"
Ada sedikit kekacauan
di panggung. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada yang mengajukan diri jadi
peserta di Distrik 12 dan protokolnya agak berkarat. Peraturannya adalah
setelah nama peserta ditarik dari bola, anak lelaki lain, jika anak lelaki yang
baru dibacakan, atau anak perempuan lain, jika nama anak perempuan yang baru
dibacakan, bisa maju dan menggantikan tempat anak yang disebutkan namanya. Di
beberapa distrik yang menganggap memenangkan pemilihan ini adalah kehormatan
besar, dan orang-orang bernafsu untuk mengorbankan diri, adanya orang yang
sukarela mengajukan diri jadi peserta malah menjadi masalah rumit. Tapi di
Distrik 12, dimana kata peserta kurang lebih sinonim dengan kata mayat, orang
yang mengajukan diri bisa dibilang mahkluk langka.
"Bagus
sekali" kata Effie Trinket. "Tapi menurutku ada masalah kecil antara memperkenalkan
pemenang terpilih dan menanyakan apakah ada yang mau jadi sukarela jadi
peserta, dan jika ada yang mau sukarela jadi peserta kemudian kita, hmm..."
Suaranya perlahan-lahan menghilang, bingung harus bicara apa lagi.
"Apa masalahnya?"
tanya sang wali kota.
Dia memandangku dengan
ekspresi sedih di wajahnya. Sebenarnya dia tidak mengenalku, tapi samar-samar
dia tahu siapa aku. Akulah anak perempuan yang membawakannya stroberi. Anak perempuan
yang kadang-kadang diajak ngobrol oleh putrinya. Anak perempuan yang berdiri
berdempetan dengan ibu dan adik perempuannya lima tahun lalu. Dan sebagai anak
tertua, anak perempuan itu menerima medali tanda keberanian dari sang wali
kota. Medali atas nama ayahnya, yang tewas menguap di tambang. Apakah wali kota
mengingat semua itu?
"Apa
masalahnya?" ulang sang wali kota dengan suara serak. "Biarkan saja
dia maju."
Prim menjerit histeris
di belakangku. Kedua lengannya yang kurus memelukku tak mau lepas.
"Jangan, Katniss. Jangan. Kau tidak boleh pergi"
"Prim, lepaskan
aku," bentakku kasar, karena hal ini membuatku gusar dan aku tidak mau
menangis. Nanti malam saat mereka menayangkan ulang acara pemilihan, semua
orang akan mengingat tangisanku, dan aku akan di cap sebagai sasaran mudah.
Orang lemah. Aku tak mau memberi mereka kepuasan itu. "Lepaskan"
Aku bisa merasa ada
orang yang menarik Prim dari punggungku. Aku menoleh dan melihat Gale menarik
Prim hingga kakinya terangkat dari tanah sambil meronta-ronta dalam pelukan
Gale.
"Naik sana,
Catnip," katanya, dengan suara yang berusaha ditagannya agar tetap tegar,
kemudian dia membopong Prim ke ibuku.
Kukuatkan diriku dan
kunaiki tangga menuju panggung. Aku menelan ludah dengan susah payah.
"Katniss Everdeen." kataku.
"Aku berani
taruhan tadi adik perempuanmu. Kau tidak mau dia jadi jagoan ya? Ayo, semuanya
Berikan tepuk tangan yang meriah untuk peserta terbaru kita" seru Effie
Trinket.
Penduduk Distrik 12
memang patut dipuji, karena tak ada seorang pun bertepuk tangan. Bahkan
orang-orang yang memegang kertas taruhan pun tidak ada yang bertepuk tangan,
padahal mereka biasanya paling tidak pedulian. Mungkin karena mereka mengenalku
dari Hob, atau mengenal ayahku atau pernah bertemu dengan Prim, yang selalu
disukai semua orang. Jadi bukannya menerima tepuk tangan, aku berdiri tak
bergerak di panggung sementara mereka menunjukkan penolakan terberani yang bisa
mereka lakukan. Diam. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak setuju. Mereka tidak
memaafkan. Semua ini salah.
Kemudian terjadi
sesuatu yang tak terduga. Paling tidak aku tidak menduganya karena aku tidak
menganggap Distrik 12 sebagai tempat yang peduli padaku. Tapi terjadi perubahan
sejak aku menggatikan posisi Prim, dan sekarang aku tampaknya menjadi seseorang
yang berharga. Mulanya hanya satu orang, kemudian ada yang lain, lalu hampir
semua orang yang ada di kerukunan menyentuhkan tiga jemari tengah kanan kiri ke
bibir mereka kemudian mengulurkan jemari mereka ke arahku.
Gerakan ini adalah
gerakan lama dan jarang di gunakan di distril kami, kadangkadang dilakukan oleh
beberapa orang di pemakaman. Gerakan ini artinya terimakasih, penghormatan,
salam selamat tinggal pada orang yang kau kasihi. Sekarang aku benar-benar
tidak bisa menahan tangis, tapi untungnya Haymitch memilih saat ini untuk
terhuyung-huyung melintasi panggung dan memberikan selamat padaku.
"Lihat dia. Lihat
yang satu ini" teriaknya, satu lengannya memeluk bahuku. Untuk pemabuk
lusuh, pegangannya ternyata kuat. "Aku menyukainya"
Napasnya bau minuman
keras dan entah kapan terakhir kalinya dia mandi.
"Banyak... "
Sejenak dia tidak bisa memikirkan kata apa yang hendak diucapkannya. "Nyali"
katanya dengan penuh kemenangan. "Lebih dari kalian"
Haymitch melepasku dan
menuju bagian depan panggung.
"Lebih dari
kalian" teriaknya, menunjuk langsung ke arah kamera. Apakah ucapannya
ditujukan untuk penonton atau saking mabuknya dia sesungguhnya mengejek
Capitol? Aku tak pernah tahu apa maksudnya karena ketika Haymitch membuka mulut
untuk melanjutkan, dia ambruk di panggung dan langsung tak sadarkan diri.
Pria itu menjijikan,
tapi aku bersyukur. Karena kamera mereka tertuju padanya, aku jadi punya waktu
berdeham kecil mengeluarkan rasa sesak di tenggorokanku dan menenangkan diriku
kembali. Kulipat tanganku ke belakang dan tatapanku tertuju ke kejauhan, masih
bisa kulihat perbukitan yang kudaki bersama Gale pagi tadi.
Sesaat, aku mendambakan
sesuatu... gagasan bahwa kami meninggalkan distrik... hidup mandiri di hutan...
tapi aku benar dengan memilih untuk tidak melarikan diri. Karena siapa lagi
yang mau sukarela menggantikan Prim?
Haymitch dibawa pergi
dengan usungan, dan Effie Trinket berusaha melanjutkan acara. "Hari yang
seru" ocehnya sambil berusaha meluruskan rambut palsunya, yang terlalu
miring ke kanan."
Tapi masih ada yang
lebih seru lagi. Waktunya memilih peserta laki-laki. Wanita itu jelas masih
berusaha memperbaiki keadaan rambutnya, dengan satu tangan di kepala dia
berjalan menuju bola yang berisi nama anak laki-laki dan mencomot kertas
pertama yang disentuhnya. Dia bergegas kembali ke podium, dan aku bahkan tidak
sempat berharpa semoga Gale anan ketika dia membacakan nama di kertas.
"Peeta Mellark"
Peeta Mellark.
Oh tidak, pikirku.
Jangan dia. Karena aku mengenali namanya, meskipun aku tak pernah bicara
langsung dengan pemilik nama itu. Peeta Mellark. Ternyata, keberuntungan tak di
pihakku hari ini.
Kuperhatikan dia saat
berjalan menuju panggung. Tinggi tubuhnya sedang, sedikit gempal, rambutnya
pirang abu yang jatuh bergelombang di dahinya. Keterkejutan yang dirasakan
Peeta atas kejadian ini tertera di wajahnya, aku bisa melihat perjuangannya
untuk memperlihatkan wajah tanpa emosi, tapi mata birunya menunjukkan
kewaspadaan yang sering kulihat di mata mangsa buruan. Namun dia tetap naik ke
panggung dengan langkah mantap dan mengambil tempat yang disediakan untuknya.
Effie Trinket bertanya
apakah ada yang mau sukarela menggantilan Peeta, tak ada serorang pun yang
muncul. Aku tahu dia punya dua kakak laki-laki. Aku pernah melihatnya di toko
roti, tapi salah satu kakaknya mungkin terlalu tua untuk sukarela
menggantikannya dan satu lagi tidak mau melakukannya. Bagi kebanyakan orang
rasa bakti terhadap keluarga ada batasnya pada hari pemungutan. Apa yang
kulakukan adalah perbuatan radikal.
Wali kota mulai
membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang panjang dan membosankan sebagaimana
yang selalu di lakukannya setiap tahun-bacaan ini adalah keharusan-tapi tidak
sepatah kata pun masuk ke telingaku.
Kenapa dia? Pikirku.
Lalu aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada masalah. Aku tidak
bersahabat dengan Peeta Mellark. Bahkan kami tidak hidup bertetangga. Kami
tidak saling bicara. Satu-satunya hubungan nyata antara kami terjadi beberapa
tahun lalu. Dia mungkin sudah melupakannya. Tapi aku tidak lupa dan aku tahu
akan takkan pernah melupakannya...
Kejadiannya berlangsung
pada masa terburuk. Ayahku tewas dalam kecelakaan di tambang tiga bulan
sebelumnya pada bulan Januari dalam musim dingin terparah yang bisa diingat
semua orang. Perasaanku yang mati rasa atas kematian ayahku sudah berlalu, dan
rasa sakit itu mendadak menyerangku entah dari mana, dalam kepedihan yang
berlipat ganda, dan mengguncang tubuhku dengan isakan. Dimana kau? Jeritku
dalam hati. Ke mana kau pergi? Tentu saja tak pernah ada jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanku.
Distrik memberi kami
sedikit uang sebagai jasa kematian ayahku, cukup untuk sebagai biaya hidup
selama satu bulan masa dukacita, dan setelah itu ibuku diharapkan sudah
memperoleh pekerjaan. Namun ternyata dia tidak melakukannya. Ibuku tidak
melakukan apa-apa selain duduk bersandar di kursi, atau lebih sering lagi,
berbaring di tempat tidur meringkuk di bawah selimut, matanya tertuju pada titik
di kejauhan. Sesekali ibuku bergerak, terbangun seolah karena ada urusan penting,
namun kemudian jatuh lagi dalam diamnya. Permohonan Prim yang bertubi-tubi
tampaknya tidak berpengaruh padanya.
Aku ketakutan setengah
mati. Sekarang aku bisa berpikir bahwa ibuku mungkin terkunci dalam semacam
dunia kesedihan yang kelam, tapi pada saat itu, yang kutahu adalah aku tidak
hanya kehilangan ayahku, tapi juga ibuku. Pada usia sebelas tahun, dan Prim
baru berusia tujuh tahun, aku mengambil peran sebagai kepala keluarga. Tidak
ada pilihan lain. Aku membeli makanan di pasar dan memasaknya sesanggup yang
bisa aku lakukan dan berusaha menjaga diriku dan Prim agar berpenampilan layak.
Karena jika ketahuan bahwa ibuku tidak bisa merawat kami lagi, distrik akan
mengambil kami dari ibuku dan menempatkan aku dan Prim di rumah komunitas.
Di sekolah, aku melihat
anak-anak yang tinggal di rumah itu. Aku melihat kesedihan, tangan yang marah
menyisakan bekas di wajah mereka, ketidakberdayaan yang membuat mereka lemah
lunglai. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi pada Prim. Prim yang manis dan
mungil, yang ikut menangis saat aku menangis bahkan sebelum dia tahu alasanku
menangis, yang menyikat dan mengepang rambut ibuku sebelum kami berangkat ke
sekolah, yang setiap malam masih memoles cermin yang digunakan ayahku untuk
bercukur karena ayahku tidak suka melihat lapisan debu batu bara yang menempel
di segala penjuru Seam. Rumah komunitas akan menghancurkan Prim seperti
serangga yang remuk. Jadi aku menyimpan rahasia kesulitan hidup kami
rapat-rapat.
Tapi kami kehabisan
uang dan perlahan-lahan kami kelaparan hingga nyaris mati. Tidak ada cara lain
untuk menjelaskannya. Aku terus-menerus mengatakan pada diriku sendiri agar aku
bisa bertahan sampai bulan Mei, hanya sampai tanggal 8 Mei, saat umurku tepat
dua belas tahun dan aku bisa mendaftar untuk tessera lalu memperoleh gandum dan
minyak yang berharga itu agar kami bisa makan. Akan tetapi aku masih harus
melewati beberapa minggu lagi. Pada saat itu kami mungkin sudah mati.
Kelaparan bukanlah
kejadian yang biasa di Distrik 12. Siapa yang tak pernah melihat korban-korban
kelaparan? Orang-orang tua yang tidak bisa bekerja. Anak-anak dari keluarga
yang memiliki terlalu banyak mulut untuk diberi makan. Mereka yang terluka di
tambang. Berusaha mengais-ngais di jalanan. Dan suatu hari kau akan menemukan
mereka sedang duduk tak bergerak bersandar pada dinding atau berbaring di
padang rumput, kau mendengar tangisan dari rumah, dan Penjaga Perdamaian di
panggil untuk mengambil jenazah itu. Kelaparan tak pernah jadi penyebab
kematian secara resmi. Selalu ada penyebab lain seperti flu, terlalu lama
berada di udara terbuka, atau pneumonia. Tapi penyebab bohongan itu tidak bisa
menipu siapapun.
Pada sore hari
pertemuan pertamaku dengan Peeta Mellark, hujan deras sedingin es menghantam
bumi dengan bengis. Aku sedang berada di kota, berusaha menukar pakaian bayi
milik Prim yang sudah tipis kainnya di pasar umum, tapi tidak ada seorang pun
yang mau. Walaupun aku pernah ke Hob beberapa kali bersama ayahku, aku terlalu
takut untuk pergi menjelajah ke tempat yang kasar dan keras itu seorang diri.
Hujan sudah menembus hingga ke balik jaket berburu ayahku, dan membuatku
menggigil kedinginan hingga ke tulang. Selama tiga hari, kami hanya minum air
yang dididihkan dengan daun-daun mint kering yang kutemukan di belakang lemari
dapur.
Pada saat pasar tutup,
aku gemetar begitu hebat sehingga menjatuhkan buntalan pakaian bayi itu ke
genangan lumpur. Aku tidak memungutnya karena takut aku bakal jatuh terjungkal
dan tak bakalan sanggup lagi bangkit berdiri. Selain itu, tak ada seorang pun
yang menginginkan pakaian tersebut.
Aku tidak bisa pulang.
Karena di rumah ada ibuku yang matanya tidak menunjukkan tanda kehidupan dan
adik perempuanku, dengan pipinya yang cekung dan bibir pecah-pecah. Aku tidak
bisa melangkah masuk ke dalam ruangan dengan api berasap tebal dari
ranting-ranting lembap yang berhasil kupungut dari tepi hutan setelah kami
kehabisan batu bara, dan tanganku sudah kosong kehabisan harapan.
Aku berjalan
terhuyung-huyung di jalanan becek di belakang toko-toko yang melayani
orang-orang terkaya di kota. Para pedagang biasanya tinggal di bagian atas
tempat usaha mereka. Aku ingat pokok-pokok tanah di kebun mereka belum ditanami
untuk musim semi, ada satu atau dua ekor kambing di kurungan, seekor anjing
yang basah kuyup terikat di tiang, duduk membungkuk dalam keadaan kotor.
Segala bentuk pencurian
dilarang di Distrik 12. Pencuri bisa dihukum mati. Tapi terlintas di pikiranku
mungkin ada sisa-sisa makanan di tong sampah, dan mengais tong sampah bukan
perbuatan terlarang. Mungkin sisa tulang hasil sampah tukang daging atau
sayuran busuk di tong sampah penjual barang pokok, sisa-sisa yang tak mau
dimakan oleh siapa pun kecuali keluargaku yang sudah putus asa untuk makan apa
saja. Sialnya, tong-tong sampah itu baru saja di kosongkan.
Ketika melewati toko
roti, aroma roti segar memenuhi udara sampai-sampai aku merasa pusing.
Panggangan roti berada di belakang dan kilau keemasan mengintip dari pintu
dapur yang terbuka. Aku mengangkat penutup tong sampah tukang roti dan melihat
isinya kosong melompong.
Tiba-tiba aku mendengar
orang berteriak kepadaku dan aku melihat istri tukang roti, menyuruhku pergi
dari sana atau dia akan menghubungi Penjaga Perdamaian dan betapa menjijikkan
baginya melihat anak nakal dari Seam mengorek-ngorek tempat sampahnya.
Kata-kata yang diucapkannya tidak enak didengar dan aku tidak bisa membela
diri.
Ketika aku menutup tong
sampah dan mundur dengan hati-hati, aku memperhatikannya, seorang anak
laki-laki beramput pirang mengintip dari belakang punggung ibunya. Aku pernah
melihatnya di sekolah. Dia seangkatan denganku, tapi aku tidak tahu siapa
namanya. Dia biasa bermain bersama anak-anak dari kota, jadi bagaimana aku bisa
mengenalnya? Ibunya masuk lagi ke toko roti sambil menggerutu, tapi anak lelaki
itu pasti memperhatikanku ketika aku berjalan ke belakang kurungan babi milik
mereka dan bersandar di bawah pohon apel yang sudah tua.
Kesadaran bahwa aku
tidak punya apa-apa untuk di bawa pulang akhirnya menghantamku. Kedua lututku
goyah dan aku merosot dari sandaranku di batang pohon hingga jatuh ke akarnya.
Aku tak sanggup lagi. Aku terlalu sakit, lemah, dan letih, oh, betapa letihnya
aku. Biar saja mereka menghubungi Penjaga Perdamaian dan membawa kamu ke rumh komunitas,
pikirku. Atau lebih baik lagi, biarkan aku mati di sini di bawah siraman hujan.
Terdengar suara
berkelontangan di dalam toko roti dan aku mendengar wanita itu berteriak lagi
diiringi suara pukulan, dan samar-samar aku penasaran dengan peristiwa yang
sedang berlangsung. Kudengar langkah kaki menginjak lumpur ke arahku dan
kupikir, Dia datang. Wanita itu datang untuk mengusirku dengan kayu. Tapi bukan
wanita itu yang datang. Ternyata anak lelakinya. Dia membawa dua roti berukuran
besar yang pasti jatuh ke dalam api karena kulitnya hangus kehitaman.
Ibunya berteriak,
"Beri makan babi sana, dasar anak tolol. Sekalian saja. Tak ada orang yang
mau membeli roti hangus"
Anak lelaki itu mulai
mencungkil bongkahan roti di tangannya dan melemparkannya ke antara jeruji
kurungan kemudian bel pintu toko roti berdentang dan sang ibu menghilang masuk
ke toko untuk melayani pembeli. Tak sekalipun anak lelaki itu melirik ke
arahku, tapi aku memperhatikannya lekat-lekat. Karena roti di tangannya, karena
tanda berwarna merah di pipinya. Dengan apa wanita itu memukul anaknya?
Orangtua kami tak pernah memukul. Aku bahkan tak bisa membayangkannya. Anak
lelaki itu menoleh sekali ke toko roti seakan memastikan bahwa situasi sudah
aman, kemudian sembari memperhatikan babi di kurungan dia melemparkan roti ke
arahku. Diikuti roti kedua dengan cepat, lalu dia berjalan lambat ke toko roti,
dan menutup pintu dapur rapat-rapat di belakangnya.
Aku tidak percaya
memandangi dua roti besar yang di lemparnya. Roti-roti ini bagus, sempurna
sebenarnya, kecuali bagian yang hangus. Apakah dia sengaja membuangnya untukku?
Pasti begitu. Karena roti ini sekarang ada di dekat kakiku. Sebelum ada orang
yang menyaksikan kejadian ini aku buru-buru menyelipkan dua roti ini ke balik
kausku, membungkus tubuhku rapat-rapat dengan jaket berburu ayahku, dan
bergegas menjauh pergi. Panasnya roti ini membakar kulitku, tapi aku memeganginya
makin erat, berpegangan padanya seperti menggantungkan nyawaku.
Pada saat aku tiba di
rumah, entah bagaimana roti-roti itu sudah mendingin, tapi bagian dalamnya
masih hangat. Saat aku menaruh roti itu di meja, tangan Prim sudah terulur
untuk menyobek sepotong besar roti itu, tapi aku menyuruhnya duduk dulu,
memaksa ibuku untuk bergabung di meja makan dan menuangkan teh hangat. Kukorek
lalu kubuang bagian hangus dan kupotong roti itu. Kami makan satu roti besar
itu sepotong demi sepotong. Roti yang lezat mengenyangkan, di dalamnya ada
kismis dan kacang.
Aku mengeringkan
pakaianku di dekat api, naik ke ranjang dan tidur nyenyak tanpa mimpi. Baru
keesokan paginya terlintas dalam pikiranku bahwa anak lelaki itu mungkin
sengaja menghanguskan roti-roti itu ke dalam api, walaupun tahu dia bakal
dihukum, lalu memberikannya padaku. Tapi aku mengenyahkan pikiran ini. Pasti
roti itu hangus tanpa sengaja. Buat apa dia melakukannya? Dia bahkan tidak mengenalku.
Namun, melemparkan roti-roti itu kepadaku adalah kebaikan tak terkira yang bisa
membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa membuatnya dipukul jika
ketahuan. Aku tidak bisa menjelaskan alasan perbuatannya.
Kami makan beberapa
potong roti untuk sarapan lalu berangkat ke sekolah. Seolah-olah musim semi
tiba dalam semalam. Udara hangat yang manis. Awanawan empuk. Disekolah, aku
melewati anak lelaki itu di lorong, pipinya bengkak dan matanya memar
kehitaman. Dia bersama teman-temannya dan tampak tidak mengenaliku. Tapi saat
aku menjemput Prim dan berjalan pulang pada siang itu, kulihat dia memandangiku
dari seberang lapangan sekolah. Hanya sedetik mata kami bertemu, kemudian dia
memalingkan wajahnya. Aku menunduk, malu, dan saat itulah aku melihatnya. Bunga
dandelion pertama tahun itu. Bunyi peringatan berdentang dalam benakku. Aku
teringat pada waktu yang kuhabiskan di hutan bersama ayahku dan aku tahu
bagaimana kami akan bertahan hidup.
Hingga hari ini, aku
takkan pernah bisa menghilangkan hubungan antara lelaki ini, Peeta Mellark, dan
roti yang memberiku harapan, serta dandelion yang mengingatkanku bahwa aku
belum sampai ajal. Beberapa kali, aku menoleh di lorong sekolah dan mendapati
tatapannya sedang tertuju padaku, tapi kemudian buru-buru dialihkannya. Aku
merasa seperti berutang seperti itu. Mungkin jika aku sempat berterima kasih
padanya, aku tidak akan merasa sebingung sekarang. Aku pernah berniat
mengucapkan terima kasih padanya satu-dua kali, tapi tak pernah ada kesempatan
untuk itu. Dan sekarang kesempatan itu takkan pernah ada lagi.
Karena kami akan
dilempar di arena pertarungan untuk bertarung sampai mati. Bagaimana aku bisa
bilang terima kasih dalam situasi semacam itu? Entah ya, tapi terima kasihku
bakal tampak tidak tulus jika aku mengatakannya sembari hendak menggorok
lehernya.
Wali kota akhirnya
selesai juga membacakan Perjanjian Pengkhianatan dan mengisyaratkan aku dan
Peeta agar berjabat tangan. Jabatan tangannya mantap dan hangat seperti
roti-roti yang diberikannya padaku. Peeta memandang mataku lekat-lekat dan
meremas tanganku, kupikir maksud remasan itu adalah untuk menentramkan hatiku.
Atau mungkin juga tangannya kedutan karena tegang. Kamu kembali berdiri
menghadap kerumunan massa ketika lagu kebangsaan Panem dinyanyikan.
Ya sudahlah, pikirku.
Ada dua puluh empat orang nanti. Kemungkinan ada orang lain yang lebih dulu
membunuhnya. Akan tetapi, belakangan ini segala bentuk hitungan kemungkinan
tidak bisa diandalkan lagi.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 2"
Posting Komentar