THE HUNGER GAMES
(Buku pertama trilogi The Hunger Games)
PARA
PESERTA
Bab 1
Saat aku terbangun,
bagian ranjang sebelahku ternyata dingin. Jemariku terulur, mencari kehangatan
Prim tapi hanya menemukan kain kanvas kasar yang menutupi kasur. Dia pasti
mengalami mimpi buruk dan naik ke ranjang ibu kami. Tentu saja, dia pasti mimpi
buruk.
Hari ini hari
pemungutan. Aku bertumpu pada sikuku. Ada cukup cahaya di kamar tidur sehingga
aku bisa melihat mereka. Adik perempuanku, Prim, bergelung menyamping,
menyelusup menempel pada tubuh ibuku, pipi mereka bersentuhan. Dalam tidurnya,
ibuku tampak lebih muda, masih kelihatan capek tapi tidak tampak kelelahan
setengah mati. Wajah Prim sesegar tetesan hujan, semanis bunga primrose,
seperti namanya. Ibuku dulu juga sangat cantik. Begitulah yang mereka ceritakan.
Duduk di lutut Prim,
menjaganya, adalah kucing paling jelek di dunia. Hidungnya pesek, setengah dari
satu telinganya hilang, warna matanya seperti ketela busuk. Prim menamainya
Buttercup, berkeras menyatakan bahwa warna bulunya yang berwarna kuning lumpur
mirip seperti warna bunga yang cerah.
Kucing itu membenciku.
Atau paling tidak dia tidak percaya padaku. Meskipun sudah bertahun-tahun
berlalu, kurasa dia masih ingat bagaimana aku berusaha menenggelamkannya di
dalam ember ketika Prim membawa pulang. Kucing kudisan, dengan perut penuh
cacing dan digerogoti kutu.
Hal terakhir yang kubutuhkan
adalah mahkluk lain yang harus kuberi makan. Tapi Prim memohon dengan amat
sangat, bahkan sampai menangis, sehingga aku harus mengizinkan kucing itu
tinggal. Hasilnya ternyata lumayan. Ibuku berhasil menyingkirkan kuman dari
tubuhnya dan kucing itu pandai menangkap tikus. Bahkan kadang-kadang bisa
menangkap tikus-tikus besar. Kadang-kadang sehabis berburu, kuberikan isi perut
binatang buruanku Buttercup. Dia sudah tidak lagi mendesis marah setiap kali
melihatku. Isi perut binatang. Tidak ada desisan. Inilah hubungan termesra yang
bisa kami jalani.
Aku mengayunkan kedua
kakiku turun dari ranjang dan memakai sepatu bot berburuku. Sepatu itu berbahan
kulit lentur yang sudah tercetak dengan kakiku. Kupakai celana panjang, kemeja,
dan kuselipkan kepang rambut panjangku yang berwarna gelap kedalam topi, lalu
kuambil tas berburuku. Di atas meja, di bawah mangkuk kayu, untuk melindunginya
dari tikus dan kucing kelaparan, tersembunyi sepotong kecil keju kambing yang
terbungkus daun basil. Hadiah Prim untukku pada hari pemungutan. Kusimpan keju
itu dengan hati-hati ke dalam sakuku ketika aku menyelinap keluar.
Bagian wilayah kami di
Distrik 12 ini dijuluki Seam, pada jam sepagi ini biasanya disesaki para
penambang batu bara yang sedang menuju tempat kerja memulai shift pagi. Pria
dan wanita dengan bahu-bahu bungkuk, buku-buku tangan yang bengkak, sudah lama
berhenti berusaha mencungkil sisa-sisa lapisan arang batu bara yang terselip di
antara kuku mereka yang patah, atau di garis-garis wajah mereka yang cekung.
Tapi hari ini
jalan-jalan yang hitam karena sisa arang tampak kosong. Daun-daun jendela di
rumah-rumah kelabu kecil tampak kosong. Daun-daun jendela di rumahrumah kelabu
kecil tampak tertutup. Pemungutan berlangsung jam dua siang. Lebih baik tidur
saja lagi. Seandainya kau masih bisa tidur.
Rumah kami nyaris
berada di ujung Seam. Aku hanya perlu melewati beberapa pagar untuk tiba
dilapangan tak terurus yang disebut Padang Rumput. Memisahkan Padang Rumput
dari hutan, dan yang melingkungi seluruh Distrik 12, adalah rangkaian pagar
besi tinggi dan puncaknya dipasangi kawat berduri. Secara teori, seharusnya
pagar itu dialiri arus listrik selama 24 jam sehari untuk menghalau binatang-binatang
pemangsa yang hidup dihutan -kawanan anjing liar, macan kumbang yang berburu
sendirian, dan beruang- yang dulu mengancam jalananjalanan kota kami. Tapi
sejak kami bisa dibilang cukup beruntung jika mendapat listrik selama dua atau
tiga jam pada malam hari, pagar ini biasanya jadi aman untuk dipegang. Meskipun
begitu, aku selalu menunggu sejenak seraya mendengarkan apakah ada dengungan
yang berarti pagar ini dialiri listrik.
Sekarang, pagar ini
setenang batu. Kukempiskan perutku dan kusorongkan tubuhku ke bawah bagian
pagar yang longgar sekitar setengah meter. Celah itu sudah ada selama
bertahun-tahun, namun tertutup dibawah sesemakan. Masih ada beberapa bagian
longgar di pagar ini, tapi celah yang satu ini paling dekat dengan rumah
sehingga aku hampir selalu masuk ke hutan lewat bagian ini.
Ketika aku berada di
antara pepohonan, aku langsung mengambil busur dan anakanak panah dari batang
kayu yang berongga. Entah dialiri listrik atau tidak, pagar itu berhasil
menjaga binatang pemakan daging agar tetap berada diluar Distrik 12. Di dalam
hutan, mereka berkeliaran bebas, dan masih ada pula tambahan kekuatiran lain
seperti ular-ular berbisa, anjing-anjing gila, dan tak ada jejak yang bisa
diikuti. Tapi ada juga makanan jika kau tahu bagaimana menemukannya.
Ayahku tahu dan dia
mengajariku sebagian caranya sebelum dia meledak berkeping-keping dalam ledakan
tambang. Bahkan jasadnya nyaris tak tersisa untuk bisa dikuburkan. Umurku
sebelas waktu itu. Lima tahun kemudian, aku masih terbangun sambil berteriak
pada ayahku agar lari dari tambang. Walaupun melanggar batas dan memasuki hutan
dianggap perbuatan ilegal dan berburu tanpa izin bisa dihukum berat, tapi
banyak orang berani mengambil risiko itu jika mereka memiliki senjata. Tapi
kebanyakan orang tidak punya cukup nyali untuk keluar hanya bermodalkan pisau.
Panahku adalah benda
langka, dibuat oleh ayahku bersama sejumlah benda lain yang kusembunyikan
dengan baik di hutan, kubungkus dengan hati-hati dengan pembungkus tahan air.
Ayahku bisa mendapat uang banyak jika dia mau menjualnya, tapi jika pihak yang berwenang
mengetahuinya dia bisa dieksekusi di depan umum karena menghasut pemberontakan.
Sebagian besar Penjaga
Perdamaian menutup mata pada segilintir kami yang berburu karena mereka juga
lapar daging sama seperti semua orang. Sesungguhnya, mereka pelanggan-pelanggan
terbaik kami. Tapi gagasan bahwa ada orang yang mungkin saja bisa
mempersenjatai Seam selamanya takkan pernah diperbolehkan.
Pada musim gugur,
beberapa orang yang memiliki jiwa pemberani menyelinap ke hutan untuk memanen
apel. Tapi masih dalam jarak pandang bisa melihat Padang Rumput. Selalu cukup
dekat untuk bisa berlari melesat dalam lindungan keamanan Distrik 12 jika
timbul masalah.
"Distrik Dua
Belas. Di sana kau bisa mati kelaparan dalam keadaan aman," gumamku.
Kemudian aku menoleh
cepat kebelakang. Bahkan disini, ditengah antah berantah, kau merasa kuatir ada
orang yang bisa mendengarmu. Ketika umurku masih muda, aku membuat ibuku
benar-benar ketakutan dengan kata-kata yang kuocehkan tentang Distrik 12,
tentang orang-orang yang menguasai kami, Panem, dari kota nun jauh di sana
bernama Capitol. Pada akhirnya aku paham bahwa ocehan semacam itu hanya akan
membuat kami semakin dalam tertimpa masalah.
Jadi aku menggigit
lidahku lalu menampilkan wajah cuek dan tak pedulian sehingga tak seorang pun
bisa mendengar pikiranku. Melakukan pekerjaanku dengan tenang disekolah. Hanya
bicara basa-basi sedikit demi kesopanan di pasar umum. Mendiskusikan sedikit
lebih banyak tentang hal di luar perdagangan di Hob, yaitu pasar gelap tempatku
banyak menghasilkan uang. Bahkan di rumah, di tempat yang tidak terlalu
menyenangkan buatku, aku menghindari obrolan tentang topik-topik yang rumit,
seperti pemungutan, atau kekurangan makanan, atau Hunger Games. Prim mungkin
saja mengulangi katakata yang kuucapkan dan bagaimana nasib kami jika itu terjadi?
Di dalam hutan sudah
menunggu satu-satunya orang yang bisa membuatku menjadi diriku sendiri. Gale.
Aku bisa merasakan otot-otot wajahku mulai santai, langkahku semakin cepat
ketika aku mendaki perbukitan menuju birai batu, tempat pertemuan kami yang
dari sana memperlihatkan pemandangan di bawah bukit. Semak-semak berry yang
tebal melindunginya dari mata-mata orang-orang yang tidak di inginkan.
Melihatnya berdiri menunggu di sana membuatku tersenyum. Gale bilang aku tak
pernah tersenyum kecuali saat aku berada di hutan.
"Hei,
Catnip," panggil Gale.
Nama asliku Katniss,
tapi ketika pertama kali aku menyebutkan namaku padanya, suaraku tidak lebih
keras daripada bisikan. Jadi dia pikir aku bilang namaku Catnip. Kemudian ada
lynx-kucing liar besar ukuran sedang-yang sinting dan mulai mengikutiku selama
di hutan menunggu sisa buruanku, maka nama Catnip resmi jadi nama julukanku.
Aku akhirnya terpaksa membunuh lynx itu karena dia menakuti buruanku. Aku
nyaris menyesalinya karena binatang itu teman yang lumayan. Tapi aku memperoleh
harga yang memadai atas kulit bulunya.
"Lihat apa yang
kupanah." Gale mengangkat sebongkah roti dengan panah di tengahnya, dan
aku tertawa. Itu roti sungguhan buatan tukang roti, bukan roti tawar bantat dan
keras yang kami buat dari gandum hasil ransum kami.
Kuambil roti itu, kutarik
lepas panahnya, dan kutempelkan hidungku pada bagian roti yang berlubang,
kuhirup aroma yang membuat mulutku dibanjiri liur. Roti enak seperti ini untuk
acara khusus.
"Mm, masih
hangat," kataku. Gale pasti sudah ada di toko roti subuh dini hari untuk
membarternya. "Apa yang kautukar untuk mendapatkannya?"
"Hanya seekor
tupai. Kurasa lelaki tua itu agak sentimental pagi ini," kata Gale. "Bahkan
mengucapkan semoga beruntung padaku."
"Yah, kita semua
merasa nyaris habis keberuntungan hari ini, ya kan?" kataku, bahkan tanpa
perlu repot untuk memutar bola mataku. "Prim menyisakan keju untuk
kita."
Aku mengeluarkan
kejuku.
Wajah Gale langsung
cerah melihat hadiah dari Prim "Terima kasih, Prim. Kita akan pesta sungguhan."
Mendadak aksen Gale
berubah jadi aksen ala Capitol ketika dia meniru Effie Trinket, wanita heboh
penuh semangat yang datang setahun sekali untuk membacakan nama-nama saat
pemungutan "Aku hampir lupa Selamat Hunger Games"
Gale memetik beberapa
buah blackberry dari semak-semak di sekitar kami, "Dan semoga
keburuntungan-" Dia melempar sebutir berry dalam lemparan melengkung yang
sangat tinggi kearahku.
Kutangkap buah itu
dengan mulutku dan kuremukkan kulit buah yang tipis itu dengan gigiku. Rasa pahit-manis
yang tajam meledak di lidahku. "-selalu berpihak padamu"
Kuselesaikan kalimatnya
dengan semangat yang sama. Kami harus bisa bercanda tentang hal ini karena
pilihan lain selain bercanda adalah merasa ketakutan setengah mati. Selain itu,
aksen Capitol sangat penuh kepura-puraan, sehingga nyaris setiap kata yang
diucapkan terdengar lucu.
Aku memperhatikan Gale
mengeluarkan pisaunya dan memotong roti. Dia bisa saja menjadi kakak lelakiku.
Rambutnya hitam lurus dengan kulit putih kuning pucat, kami bahkan sama-sama
memiliki warna mata kelabu. Tapi kami bukan bersaudara, paling tidak bukan
bertalian darah. Kebanyakan keluarga yang bekerja di tambang mirip satu sama
lain seperti ini. Itulah sebabnya mengapa ibuku dan Prim, dengan rambut mereka
yang berwarna pirang dan bermata biru, selalu tampak salah tempat. Karena
sesungguhnya mereka memang salah tempat.
Orangtua ibuku
merupakan kelas pedagang kecil yang melayani pejabat, Penjaga Perdamaian, dan
kadang-kadang pelanggan dari Seam. Mereka memiliki toko obatobatan di wilayah
yang lebih bagus dari Distrik 12. Karena nyaris tak seorangpun sanggup membayar
dokter, ahli obat-obatan ini menjadi dokter kami.
Ayahku mengenal ibuku
karena dalam perburuannya kadang-kadang dia menemukan tumbuh-tumbuhan obat dan
dia menjualnya di toko ibuku agar bisa diramu jadi obat. Ibuku pasti sangat
mencintai ayahku hingga rela meninggalkan rumahnya untuk tinggal di Seam.
Aku berusaha mengingat
semua itu ketika aku hanya bisa melihat wanita yang duduk diam, kosong, dan tak
terjangkau, sementara anak-anaknya kelaparan hingga tinggal tulang berbalut
kulit. Aku berusaha memaafkannya demi ayahku. Tapi sejujurnya, aku bukan tipe
orang yang pemaaf.
Gale mengoleskan keju
kambing yang halus di atas potongan-potongan roti, dengan hati-hati menaruh
daun basil di atas setiap roti sementara aku mengobrakabrik sesemakan untuk
mencari buah berry. Kami duduk santai di celah di antara bebatuan. Dari tempat
ini, kami tidak kelihatan tapi bisa mendapat sudut pandang yang jelas ke arah
lembah, penuh dengan kehidupan musim panas, ikan berwarnawarni di bawah sinar
matahari. Hari tampak cemerlang, dengan langit biru dan embusan angin
sepoi-sepoi. Makanannya lezat, dengan keju yang meresap ke dalam roti yang
hangat dan buah-buah berry yang meletup didalam mulut kami.
Segalanya akan sempurna
jika ini benar-benar liburan, jika sepanjang hari libur ini berarti menjelajahi
pegunungan bersama Gale, berburu untuk makan malam. Tapi kami harus berdiri di
alun-alun pada jam dua siang menantikan nama-nama yang akan disebutkan.
"Kau tahu, kita
bisa melakukannya," kata Gale pelan.
"Apa?"
tanyaku
"Meninggalkan
distrik. Lari. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa berhasil," sahut
Gale.
Aku tidak tahu harus
menjawab apa. Gagasan ini terlalu sinting.
"Jika saja kita
tidak punya begitu banyak anak," imbuh Gale cepat.
Tentu saja, mereka
bukan anak-anak kandung kami. Tapi bisa kami anggap seperti itu. Dua adik
lelaki dan satu adik perempuan Gale. Prim. Dan sekalian juga tambahkan ibu-ibu
kami, karena bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup tanpa kami? Siapa
yang bisa mengisi perut mereka yang selalu minta tambah? Meskipun kamu berburu
setiap hari, masih saja ada malam-malam ketika hasil buruan kami harus ditukar
dengan minyak, tali sepatu, atau kain wol, masih ada malam-malam ketika kami
tidur dengan perut berkeruyuk.
"Aku tidak
kepingin punya anak," kataku.
"Aku mungkin saja
kepingin. Jika aku tidak tinggal di sini," ujar Gale.
"Tapi kau tinggal
disini," tukasku kesal.
"Lupakan
saja," sahutnya.
Rasanya seluruh
percakapan ini terdengar salah. Pergi? Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan
Prim, yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang tanpa keraguan sedikitpun
kucintai setengah mati? Dan Gale berbakti pada keluarganya. Kami tidak bisa
pergi, jadi kenapa repot-repot membicarakannya? Bahkan jika kami bisa pergi...
bahkan jika kami pergi... dari mana asal omongan tentang kepingin punya anak
ini? Antara aku dan Gale tak pernah ada hibungan romantis.
Saat kami pertama kali
bertemu, aku hanyalah anak kurus berusia dua belas tahun, dan walaupun Gale
hanya dua tahun lebih tua daripadaku, dia sudah tampak seperti lelaki dewasa.
Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa berteman, untuk berhenti saling menawar
atas setiap pertukaran dan mulai saling membantu. Lagi pula, kalau dia kepingin
punya anak, Gale tidak akan kesulitan mencari istri. Dia tampan, cukup kuat
untuk bekerja di tambang, dan bisa berburu. Kau bisa melihat bagaimana
gadis-gadis bergosip tentang Gale ketika melihatnya berjalan di sekolah dan
betapa mereka menginginkannya. Hal itu membuatku cemburu tapi bukan dengan
alasan yang dipikirkan orang-orang. Pasangan berburu yang baik sukar ditemukan.
"Apa yang ingin
kau lakukan?" tanyaku. Kami bisa berburu menangkap ikan, atau mengumpulkan
makanan.
"Ayo kita
menangkap ikan di danau. Kita tinggalkan galah kita dan mengumpulkan makanan di
hutan. Mencari sesuatu yang enak untuk nanti malam," kata Gale.
Malam ini. Setelah hari
pemungutan, semua orang seharusnya merayakan hari ini. Dan banyak orang yang
memang melakukannya, karena lega anak mereka lolos dari maut selama setahun
lagi. Tapi paling tidak ada dua keluarga yang akan menutup daun jendela mereka,
mengunci pintu, dan berusaha mencari tahu bagaimana mereka bisa melewati
minggu-minggu menyakitkan yang akan datang.
Hasil kami lumayan
bagus. Binatang pemangsa mengabaikan kami pada hari ketika mangsa yang lebih
mudah dan lebih nikmat berlimpah. Menjelang siang, kami berhasil mengumpulkan
selusin ikan, sekantong sayuran hijau, dan yang terbaik di antara segalanya,
segalon stroberi. Aku menemukan sebidang tanah beberapa tahun lalu, tapi Gale
yang punya ide untuk mengikat mata jala di sekelilingnya untuk menjaga binatang
agar tidak masuk.
Dalam perjalanan
pulang, kami mampir di Hob, pasar gelap yang terdapat di gudang terbengkalai yang
dulu jadi tempat penyimpanan batu bara. Ketika mereka menemukan sistem yang
lebih efisien untuk mengangkut batu bara langsung dari tambang ke kereta api,
gudang itu perlahan-lahan menjadi Hob. Sebagian besar toko tutup pada hari
pemungutan, tapi pasar gelap masihlah sibuk.
Dengan mudah kami
menukar enam ekor ikan dengan roti lezat, dan dua ekor lainnya dengan garam.
Greasy Sae, wanita tua bertubuh kurus yang menyediakan sup panas dalam ceret besar
dan menjualnya dalam mangkuk-mangkuk, mau menerima setengah sayuran hijau kami
dan menukarnya dengan bongkahan-bongkahan lilin. Di tempat lain kami mungkin
bisa melakukan pertukaran dengan lebih baik, tapi kami berusaha untuk menjaga
hubungan baik dengan Greasy Sae. Dia satu-satunya orang yang bisa diharapkan untuk
membeli anjing liar. Kami tidak melukainya secara sengaja, tapi kalau kau
diserang dan kau membunuh satu atau dua ekor anjing, daging tetaplah daging.
"Kalau sudah di
dalam sup, aku menamainya daging sapi," kata Greasy Sae sambil mengedipkan
mata. Tak ada seorang pun di Seam yang jijik makan daging paha anjing liar,
tapi para Penjaga Perdamaian yang datang ke Hob punya uang lebih untuk memilih makanan
lain.
Ketika urusan kami
dipasar telah selesai, kami berjalan menuju pintu belakang rumah Wali Kota untuk
menjual setengah buah stroberi kami, karena kami tahu dia menggemarinya dan
sanggup membayar harga yang kami minta.
Putri Wali Kota, Madge,
membuka pintu untuk kami. Dia berada di angkatan yang sama denganku di sekolah.
Dengan menjadi putri Wali Kota, orang-orang pasti mengira dia bakalan sombong,
tapi dia ternyata menyenangkan. Dia penyendiri dan tidak suka ikut campur
urusan orang. Seperti aku.
Karena tak satupun dari
kami benar-benar memiliki kelompok teman, tampaknya kami jadi sering
bersama-sama di sekolah. Makan siang, duduk berdampingan di ruang pertemuan,
berpasangan untuk kegiatan olahraga. Kami jarang bicara, dan itu cocok buat
kami.
Hari ini seragam
sekolahnya yang membosankan sudah diganti dengan gaun putih mahal, dan rambut
pirangnya di gelung ke atas dengan pita pink. Pakaian hari pemungutan.
"Gaun yang
cantik," kata Gale.
Madge melotot
memandangnya, berusaha mencari tahu apakah pujian tadi tulus atau Gale hanya
menyindir. Gaun itu memang cantik, tapi dia takkan memakainya pada hari biasa.
Madge mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat kemudian tersenyum. "Yah,
jika aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku ingin kelihatan cantik,
kan?"
Sekarang giliran Gale
yang kebingungan. Apakah Madge serius dengan perkataannya? Atau Madge hanya
menggodanya. Kurasa gadis itu hanya mengejek.
"Kau takkan pergi
ke Capitol," kata Gale tenang. Matanya tertuju pada pin bundar kecil yang
menghiasi gaun Madge. Emas sungguhan. Perhiasan yang terukir indah. Benda itu
bisa membeli roti untuk sebuah keluarga selama berbulan-bulan.
"Kau memasukkan
berapa nama? Lima? Aku memasukkan enam nama saat umurku baru dua belas."
"Itu bukan
salahnya," kataku.
"Ya, itu bukan
salah siapa pun. Karena memang aturannya begitu," tukas Gale.
Wajah Madge tampak
gusar. Dia menaruh uang untuk membayar stoberi ke tanganku. "Semoga
beruntung, Katniss."
"Kau juga,"
kataku, lalu menutup pintu.
Kami berjalan menuju
Seam tanpa bicara. Aku tidak suka Gale menusuk Madge seperti tadi, tapi dia
benar. Sistem pemungutan ini tidak adil, karena orang miskin mendapat
kemungkinan terburuk dari pemungutan ini. Namamu disertakan dalam pemilihan
pada saat kau berulang tahun kedua belas. Pada tahun itu, namamu dimasukkan
satu kali. Pada umur tiga belas, namamu dimasukkan dua kali. Dan begitu
seterusnya sampai umurmu delapan belas, tahun terakhir kau bisa ikut pemungutan,
saat namamu tujuh kali masuk ke undian. Itulah yang terjadi pada semua warga di
dua belas distrik dalam seantero negara Panem.
Tapi ada udang dibalik
batu. Misalkan kau miskin dan kelaparan seperti kami, kau bisa memasukkan
namamu lebih banyak untuk ditukar dengan tessera. Setiap tessera bisa ditukar
dengan persediaan setahun gandum dan minyak untuk satu orang. Kau juga bisa
melakukan ini untuk anggota keluargamu yang lain. Jadi pada usia dua belas
tahun, namaku dimasukkan empat kali. Satu, karena memang diharuskan, dan tiga
nama lagi untuk tessera untuk gandum dan minyak bagiku, Prim, dan ibuku.
Sesungguhnya, setiap tahun aku harus melakukan hal ini. Dan setiap tahun nama
yang dimasukkan bersifat kumulatif. Jadi kali ini, pada usia enam belas tahun,
namaku dimasukkan dua puluh kali dalam pemungutan. Gale, yang berusia delapan
belas dan membantu atau bisa dibilang seorang diri menafkahi keluarganya yang
terdiri atas lima orang selama tujuh tahun, tahun ini akan memasukkan namanya
42 kali.
Yah, jadi bisa
dimaklumi kenapa orang seperti Madge, yang tak pernah membutuhkan tessera, bisa
membuat Gale naik darah. Kemungkinan nama Madge terambil dalam pemungutan
sangat kecil dibanding dengan kami yang tinggal di Seam. Bukannya tidak
mungkin, tapi kecil sekali. Walaupun peraturan tersebut diterapkan oleh
Capitol, bukannya oleh distrik masing-masing dan jelas bukan oleh keluarga
Madge, sulit rasanya untuk tidak kesal pada mereka yang tidak perlu mendaftar
untuk tessera.
Gale tahu kemarahannya
pada Madge salah alamat. Pernah dulu, jauh di dalam hutan, aku mendengarnya
mengoceh tentang tessera sebagai cara lain untuk menimbulkan penderitaan di
distrik kami. Suatu cara untuk menanamkan kebencian antara para pekerja yang
kelaparan di Seam dengan mereka yang tiap malam bisa makan dan pada akhirnya
membuat kami takkan bisa saling percaya.
"Memecah belah
kita adalah demi keuntungan Capitol," katanya hanya kepadaku, itu pun
setelah memastikan tak ada telinga lain yang mendengarkan.
Jika saja hari ini
bukan hari pemungutan. Jika saja gadis dengan pin emas dan tidak perlu
mendaftar untuk tessera tidak perlu mengatakan apa yang kuyakini sebagai komentar
tanpa maksut jahat.
Saat kami berjalan, aku
menoleh memandang wajah Gale yang tampak masih membara dengan kejengkelan di
balik ekspresinya yang tegar. Kemarahannya tampak tak ada gunanya bagiku,
meskipun aku tak pernah mengatakannya. Bukannya aku tak sependapat dengannya.
Aku setuju dengannya. Tapi apa gunanya berteriak tentang Capitol di tengah
hutan. Itu takkan mengubah apa pun. Itu juga tidak membuat keadaan jadi adil.
Itu tidak membuat perut kami kenyang. Nyatanya, teriakan itu membuat takut
buruan kami. Tapi kubiarkan saja dia berteriak. Lebih baik dia berteriak di
hutan dari pada di distrik.
Aku dan Gale membagi
hasil buruan kami, sisa dua ekor ikan, beberapa potong roti bagus, sayuran,
seperempat bagian stroberi, garam, parafin, dan sedikit uang kami bagi dua.
"Sampai bertemu di
alun-alun," kataku
"Pakai baju yang
cantik," sahut Gale datar.
®LoveReads
Di rumah, aku melihat
ibuku dam adikku sudah siap berangkat. Ibuku mengenakan gaun indah bekas
peninggalan masa ketika dia bekerja di toko obat. Prim mengenakan pakaian hari
pemungutan yang pertama, rok dan blus berkerut-kerut. Pakaian itu agak terlalu
besar untuknya, tapi ibuku membuatnya pas dengan peniti. Meski begitu, bagian
belakang blus Prim masih tampak longgar.
Seember air hangat
sudah disiapkan untukku. Aku menyeka debu dan keringat sehabis dari hutan,
bahkan sempat mencuci rambut. Yang membuatku terkejut, ibuku sudah mengeluarkan
salah satu gaun indahnya untukku. Gaun biru yang halus lengkap dengan sepatu
yang serasi.
"Ibu yakin?"
aku bertanya. Aku berusaha melewati keingiman untuk menolak tawaran bantuan
dari ibuku. Sesaat, aku merasa sangat marah, aku tidak membiarkan ibuku
melakukan apapun untukku. Dan gaun ini merupakan benda istimewa.
Pakaian-pakaian ibuku dari masa lalu sangat berharga untuknya.
"Tentu saja. Ayo
kita gelung rambutmu juga," kata ibuku.
Kubiarkan ibuku
mengeringkan rambutku dengan handuk, mengepangnya, lalu menggelungnya ke atas.
Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri saat memandang bayanganku di cermin
retak yang disandarkan di dinding.
"Kau tampak
cantik," ujar Prim dengan suara berbisik.
"Dan sama sekali
tidak mirip diriku," jawabku. Kupeluk Prim, karena kutahu beberapa jam
berikutnya akan sangat sulit dan berat. Hari pemungutan pertamanya. Dia bisa
dibilang aman, karena namanya hanya dimasukkan satu kali. Aku tidak mengizinkannya
menukar tessera. Tapi Prim menguatirkanku. Dan membayangkan kejadian terburuk
yang mungkin saja terjadi. Aku melindungi Prim dengan segala cara yang bisa
kulakukan, tapi aku tak berdaya melawan pemungutan. Kemarahan yang selalu
kurasakan saat Prim menderita membuncah dalam dadaku dan sebentar lagi akan
tampak di wajahku.
Kuperhatikan bahwa
bagian belakang blusnya keluar dari roknya dan kutahan diriku agar tetap
tenang. "Masukkan ekormu, bebek kecil," kataku, seraya meluruskan
blusnya ke dalam rok.
Prim tergelak dan berkata
pelan, "Kwek."
"Kwek sendiri
sana," sahutku sambil tertawa kecil. Jenis tawa yang hanya bisa dihasilkan
Prim pada diriku.
"Ayo kita
makan," kataku dan kucium puncak kepalanya dengan cepat.
Ikan dan sayuran sudah
direbus, tapi itu disimpan untuk makan malam. Kami memutuskan untuk menyimpan
stroberi dan roti tukang roti untuk makanan malam nanti, supaya makan malam
jadi istimewa. Kami minum susu Lady, kambing milik Prim, dan makan roti kasar
yang dibuat dari gandum tessera, meskipun tak satupun dari kami masih punya
nafsu makan.
Pada pukul satu, kami
menuju alun-alun. Kehadiran kami di sini wajib hukumnya kecuali kau dalam
keadaan sekarat. Nanti malam, para petugas akan datang memeriksa apakah kau
hadir atau tidak. Jika tidak, kau akan dipenjara. Sungguh sayang mereka
mengadakan pemungutan di alun-alun-satu dari sedikit tempat di distrik 12 yang
bisa jadi tempat menyenangkan. Alun-alun dikelilingi banyak toko, dan pada hari
pasar, terutama saat cuaca cerah, suasananya terasa seperti liburan.
Tapi hari ini, walaupun
banyak umbul-umbul cerah yang digantung di gedung-gedung, ada nuansa suram di
udara. Kru-kru kamera yang nangkring di atap-atap seperti elang menambah efek
suram yang ada. Orang-orang mendaftar dan masuk tanpa bicara. Hari pemungutan
juga kesempatan yang baik bagi Capitol untuk mengetahui jumlah penduduk.
Pemudapemudi berusia dua belas hingga delaban belas tahun digiring menuju area
yang sudah dibatasi berdasarkan usia, mereka yang paling tua berada di depan, sementara
yang muda, seperti Prim, berbaris di belakang. Anggota-anggota keluarga
berkerumun di dekat garis batas, berpegangan tangan dengan orang-orang disebelah
mereka. Tapi ada juga orang-orang yang tidak memiliki orang yang mereka cintai
dalam undian pemungutan itu, atau mereka yang tidak lagi peduli, yang berada di
antara kerumunan, bertaruh pada nama dua anak yang akan diambil dalam
pemungutan.
Kemungkinan selalu
lebih besar pada mereka yang usianya lebih tua, tidak peduli mereka warga Seam
atau pedagang, apakah mereka luluh dan menangis. Banyak orang yang menolak
berurusan dengan pemeras tapi mereka juga harus hati-hati dan waspada.
Orang-orang ini biasanya juga informan, dan siapa yang tak pernah melanggar
hukum tinggal di tempat ini? Aku bisa ditebak setiap hari karena berburu, tapi nafsu
makan mereka berusaha melindungiku. Tidak semua orang bisa mendapat perlakuan
yang sama.
Aku dan Gale sependapat
bahwa jika kami harus memilih antara mati kelaparan dan mati karena peluru di
kepala, peluru akan jadi kematian yang jauh lebih cepat. Tempat ini jadi seolah
makin sempit, semakin banyak orang yang datang membuatnya sesak. Alun-alun ini
lumayan luas, tapi tidak cukup untuk menampung sekitar delapan ribuan warga
Distrik 12. Orang-orang yang datang belakangan diarahkan menuju jalan-jalan di
dekat alun-alun, di sana mereka bisa menonton peristiwa yang berlangsung di
layar-layar televisi karena acara ini disiarkan secara langsung oleh negara.
Aku berdiri di antara
gerombolan remaja berusia enam belas tahun dari Seam. Kami saling mengangguk
cepat lalu memusatkan perhatian kami pada panggung non-permanen yang dibangun
di depan gedung pengadilan. Di sana ada tiga kursi, podium, dan bola kaca
ukuran besar, satu bola untuk nama lelaki dan satu lagi untuk anak perempuan.
Ku perhatikan baik-baik kertas-kertas nama dalam bola anak perempuan. Dua puluh
diantaranya bertuliskan nama Katniss Everdeen dengan tulisan tangan yang indah.
Dua dari tiga kursi itu
diisi oleh ayah Madge, Wali Kota Undersee-yang bertubuh jangkung dan mulai
botak, dan Effie Trinket, pengiring Distrik 12, dikirim langsung dari Capitol
lengkap dengan seringainya yang putih menakutkan, rambut berwarna merah jambu,
dan pakaian berwarna hijau cerah. Mereka bergumam pada satu sama lain kemudian
memandang kursi kosong yang tersisa dengan pandangan cemas.
Ketika jam kota
menunjukkan tepat pukul dua, sang wali kota melangkah ke podium dan mulai
membaca. Kisah yang sama setiap tahunnya. Dia menceritakan sejarah Panem,
negara yang muncul dari sisa-sisa tempat yang dulunya bernama Amerika Utara.
Dia mengurutkan daftar malapetaka, kekeringan, badai, kebakaran, perang brutal
demi memperebutkan sedikit makanan yang tersisa. Hasilnya adalah Panem, Capitol
yang bersinar dikelilingi tiga belas distrik, yang membawa perdamaian dan
kemakmuran pada warga negaranya. Kemudian tiba Masa Kegelapan, gejolak
kebangkitan perlawanan distrik terhadap Capitol. Dua belas distrik dikalahkan,
dan distrik ketiga belas dimusnahkan. Perjanjian Pengkhianatan memberi kami
undang-undang baru untuk menjamin perdamaian, dan sebagai pengingat setiap
tahunnya agar Masa Kegelapan itu tak terulang lagi, Capitol memberi kami Hunger
Games.
Peraturan Hunger Games
sebenarnya sederhana. Sebagai hukuman atas perlawanan kami, masing-masing
distrik harus menyediakan satu anak lelaki dan satu anak perempuan, yang
dinamakan sebagai para peserta, untuk berpatisipasi. Dua puluh empat peserta
akan dipersenjatai di arena luar yang luas, yang berupa padang pasir tandus
yang panas menyengat hingga tanah pembuangan yang dingin membeku. Selama
beberapa minggu, mereka harus bersaing dalam pertarungan sampai mati. Peserta
terakhir yang masih hidup adalah pemenangnya.
Mengambil anak-anak
dari distrik kami, memaksa mereka untuk saling membunuh sementara kami
menontonnya- ini adalah cara Capitol untuk mengingatkan kami betapa
sesungguhnya kami berada di bawah belas kasihan mereka. Betapa kecil kemungkinan
kami bisa selamat jika timbul pemberontakan lain. Apapun kata-kata yang mereka
gunakan pesan yang mereka sampaikan jelas.
"Lihat bagaimana
kami mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kau
lakukan untuk menghalanginya. Kalau kau sampai berani mengangkat satu jari
saja, kami akan menghancurkan semuanya. Sebagaimana yang kami lakukan di
Distrik Tiga Belas."
Untuk membuatnya lebih memalukan
dan menyiksa, Capitol memaksa kami memperlakukan Hunger Games sebagai perayaan,
peristiwa olahraga yang membuat satu distrik berkompetisi dengan distrik
lainnya. Peserta terakhir yang hidup akan menikmati hidup enak saat pulang
nanti, dan distrik mereka akan dilimpahi berbagai hadiah, yang kebanyakan
berupa makanan. Sepanjang tahun, Capitol akan menunjukkan bagaimana distrik
yang jadi pemenang menerima hadiah gandum, minyak, bahkan makanan lezat seperti
gula sementara distrikdistrik lain harus berjuang agar tidak mati kelaparan.
"Waktunya untuk
penyesalan dan berterimakasih," kata Wali Kota dengan nada mendayu.
Kemudian dia membacakan
daftar pemenang tahun sebelumnya dari Distrik 12. Dalam 74 tahun, distrik kami
hanya pernah dua kali menang. Hanya tinggal satu yang masih hidup. Haymitch
Abernathy, lelaki gendut setengah baya, yang pada saat ini sedang mengoceh
tidak jelas, terhuyung-huyung naik ke panggung, dan jatuh terduduk di kursi
ketiga. Dia mabuk. Teler berat. Kerumunan orang menyambutnya dengan tepuk
tangan, tapi dia kebingungan dan berusaha memeluk Effie Trinket erat-erat,
sementara wanita itu berusaha mengenyahkannya.
Effie Trinket yang
selalu cerah ceria menjejakkan kaki ke podium dan menyampaikan salamnya yang
terkenal, "Selamat mengikuti Hunger Games. Semoga keberuntungan
menyertaimu selalu" Rambutnya yang berwarna merah jambu pasti cuma wig
karena ikalnya agak berubah letak sejak dia ditabrak Haymitch. Dia masih
berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di sini, meskipun semua
orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk bisa pindah ke
distrik lain dengan pemenang-pemenang yang layak tampil sebagai pemenang, bukan
pemabuk-pemabuk yang melecehkannya di depan sepenjuru negeri.
Di antara kerumunan
massa, aku melihat Gale memandangku dengan senyum samar. Sepanjang
berlangsungnya pemungutan, ada sedikit hiburan dalam pemungutan kali ini. Tapi
mendadak aku memikirkan Gale dan 42 namanya yang terdapat dalam bola kaca besar
itu dan betapa probabilitas tidak berpihak padanya, apalagi jika dibandingkan
dengan banyak anak lelaki lain. Mungkin dia juga memikirkan hal yang sama
tentang diriku karena wajahnya berubah muram dan dia memalingkan wajah.
"Tapi masih ada
ribuan kertas disana." Aku berharap bisa membisikkan kata-kata itu di
telinganya.
Waktunya menarik
undian. Effie Trinket mengucapkan kalimat yang selalu diucapkannya, "Anak
perempuan lebih dulu" dan berjalan menuju bola kaca yang berisi nama anak
perempuan. Dia mengulurkan tangan, mengaduk-aduk ke dalam bola kaca, dan menarik
selembar kertas. Kerumunan massa sama-sama menahan napas dan heningnya bisa
membuat kau mendengar suara peniti jatuh, dan aku merasa mual saat mati-matian
berharap semoga bukan namaku, bukan namaku, bukan namaku.
Effie Trinket kembali
ke podium, meluruskan kertas itu, dan membacakan nama yang tertera di sana
dengan lantang. Dan memang bukan namaku.
Tapi Primrose Everdeen.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 1"
Posting Komentar