Bab 8
Ketika berjalan menuju
elevator, kugantungkan busurku di bahu dan tempat anak panah di bahu satunya.
Aku melewati para Avox penjaga elevator yang ternganga dan menekan tombol dua
belas dengan tinjuku. Kedua pintu elevator menutup bersamaan dan aku melesat ke
atas. Aku berhasil kembali ke lantaiku sebelum air mata mengalir deras di
pipiku. Aku bisa mendengar orang-orang memanggilku dari ruang tamu, tapi aku
langsung melesat menuju koridor ke kamarku, mengunci pintunya, dan membanting
tubuhku ke kasur. Kemudian di sanalah aku mulai terisak-isak.
Aku sudah melakukannya
Aku pasti sudah menghancurkan segalanya sekarang. Seandainya tadi aku punya
setitik kesempatan, kesempatan itu lenyap sudah ketika aku mengirimkan anak
panah ke meja para juri Hunger Games. Apa yang akan mereka lakukan terhadapku
sekarang? Menangkapku? Mengeksekusiku? Memotong lidahku dan membuatku jadi kaum
Avox sehingga aku bisa melayani para peserta Hunger Games Panem di masa yang
akan datang? Apa yang kupikirkan tadi sampai aku nekat menembakkan panah ke para
juri? Tentu saja, secara teknis aku tidak memanah mereka, sasaran tembakku
adalah apel di mulut babi panggang sebab aku terlalu marah karena diabaikan.
Aku tidak bermaksud membunuh salah seorang dari mereka. Kalau itu niatku mereka
pasti sudah tewas Lagi pula apa bedanya? Aku juga tidak bakal memenangkan
Hunger Games nanti.
Aku tak peduli pada apa
yang bakal mereka lakukan terhadapku. Yang paling kutakutkan adalah apa yang
bisa mereka lakukan pada ibuku dan Prim, mungkin saja keluargaku bakal
menderita karena perbuatan nekatku yang tak pikir panjang. Apakah mereka akan
merampas harta milik ibuku dan Prim yang tak seberapa, atau memenjarakan ibuku
lalu menaruh Prim di panti asuhan, atau bahkan membunuh mereka? Mereka takkan
membunuh ibuku dan Prim, kan? Ah, kenapa tidak? Kenapa pula mereka harus peduli
pada nyawa keluargaku?
Seharusnya aku tetap
tinggal dan minta maaf. Atau tertawa seakan-akan yang kulakukan hanyalah
lelucon konyol. Mungkin dengan begitu hukumanku akan lebih ringan. Tapi aku
malahan berjalan keluar ruangan begitu saja dengan cara amat tidak sopan.
Haymitch dan Effie
menggedor-gedor pintuku. Aku berteriak mengusir mereka pergi dan pada akhirnya
mereka pun menyerah. Selama sekitar satu jam aku menangis habis-habisan.
Kemudian aku bergelung di ranjang, mengelus seprai sutra yang lembut, melihat
matahari terbenam di Capitol yang penuh warna buatan.
Awalnya, aku mengira
para penjaga akan datang menangkapku. Tapi seiring waktu berlalu, kemungkinan
itu tidak terjadi. Aku jadi tenang. Mereka masih membutuhkan anak perempuan
dari Distrik 12, kan? Kalau para juri Pertarungan ingin menghukumku, mereka
bisa melakukannya di depan umum. Tunggu sampai aku berada di arena dan umpankan
aku pada binatang buas yang kelaparan. Aku yakin mereka akan memastikan aku
tidak mendapat busur dan panah untuk bisa membela diri.
Namun sebelum itu,
mereka akan memberiku nilai sangat rendah, sehingga tak ada seorang pun yang
waras pikirannya yang mau menjadi sponsorku. Itulah yang akan terjadi malam
ini. Karena latihan tertutup bagi penonton, para juri Pertarungan mengumumkan
nilai bagi masing-masing pemain. Nilai ini memberikan perkiraan awal untuk
memasang taruhan yang berlangsung sepanjang Hunger Games.
Nilainya berkisar
antara satu sampai dua belas, angka satu artinya amat buruk sekali dan dua
belas berarti nilai tertinggi sempurna. Nilai menunjukkan kepiawaian yang
dimiliki peserta Hunger Games. Angka itu tidak menjamin peserta mana yang akan
menjadi pemenangnya. Angka itu hanya menjadi petunjuk atas potensi peserta yang
ditunjukkan dalam latihan. Sering kali, karena berbagai variabel dalam arena
pertarungan yang sesungguhnya, para peserta yang memperoleh nilai tinggi malah
jadi peserta yang lebih dulu tewas.
Dan beberapa tahun
lalu, anak lelaki yang memenangkan Pertarungan hanya memperoleh angka tiga.
Namun nilai ini bisa menolong atau merugikan masing-masing peserta dalam memperoleh
sponsor. Tadinya aku berharap bisa memperoleh nilai enam atau tujuh berkat
kemampuan memanahku, bahkan seandainya aku tidak menunjukkan kekuatan
terbaikku. Kini aku yakin aku akan mendapatkan nilai terendah dari dua puluh
empat peserta. Kalau tak ada yang mau menjadi sponsorku, kemungkinanku untuk
bisa bertahan hidup turun hingga nyaris nol.
Ketika Effie mengetuk
pintu memanggilku untuk makan malam, kuputuskan untuk mengikutinya. Nilai-nilai
itu akan di tampilkan di televisi malam ini. Lagi pula aku tak bakal bisa
menyembunyikan apa yang terjadi selamanya. Aku beranjak ke kamar mandi dan
mencuci muka, tapi wajahku masih merah dan sembap.
Semua orang sudah
menunggu di meja makan, bahkan Cinna dan Portia ada di sana. Tadinya aku
berharap para penata gayaku tidak ada di sana karena berbagai alasan, salah
satunya aku tidak menyukai pemikiran bahwa aku mengecewakan mereka. Seakan-akan
aku membuang kerja keras yang mereka lakukan dalam upacara begitu saja. Aku
menghindari tatapan semua orang ketika lidahku mencicipi sesendok sup ikan.
Rasa asin yang kurasakan mengingatkanku pada rasa air mata.
Orang-orang dewasa
mulai mengobrol ringan tentang ramalan cuaca, dan mataku bertemu dengan mata
Peeta. Dia mengangkat alis. Ternyata pertanyaannya di sana. Apa yang terjadi?
Aku hanya menggeleng pelan. Kemudian ketika para pelayan menyajikan hidangan
utama, kudengar Haymitch berkata, "Oke, cukup basabasimya, seburuk apakah
kau hari ini?"
Peeta menjawab lebih
dulu. "Aku tidak tahu apakah mereka memperhatikannya. Saat aku tiba, tak
ada seorang pun yang peduli melihatku. Mereka sedang asyik bernyanyi, lagunya
orang mabuk, kalau tidak salah. Jadi, aku melemparkan benda-benda berat sampai
mereka bilang aku boleh pergi."
Pernyataan Peeta
membuatku sedikit lebih baik. Memang Peeta tidak menyerang para juri, tapi
paling tidak Peeta juga merasa tersinggung.
"Dan kau,
bagaimana denganmu, Manis?" tanya Haymitch.
Entah bagaimana cara
Haymitch menyebutku manis membuatku panas lagi sehingga aku langsung bisa
bicara. "Aku menembakkan panah ke juri-juri Hunger Games."
Semua orang langsung
berhenti makan.
"Kau apa?"
Kengerian dalam suara Effie menegaskan kecurigaan-kecurigaanku yang terburuk.
"Aku menembakkan
panah ke mereka. Maksudku, tidak langsung kepada mereka. Cuma ke arah mereka.
Seperti kata Peeta, aku menembakkan panah dan mereka tidak peduli sehingga
aku... aku tidak berpikir lagi, jadi aku menembakkan panah ke apel hingga lepas
dari mulut babi panggang tolol itu" sahutku dengan sikap menantang.
"Lalu mereka
bilang apa?" tanya Cinna hati-hati.
"Tidak ada. Aku
tidak tahu. Aku berjalan keluar setelah itu," jawabku.
"Tanpa
disuruh?" tanya Effie terkesiap.
"Aku menyuruh diriku
sendiri," kataku. Aku ingat bagaimana aku berjanji pada Prim bahwa aku
akan berusaha keras untuk menang dan saat ini aku merasa ada satu ton batu bara
yang dijatuhkan di atas kepalaku.
"Well, semua sudah
terjadi," kata Haymitch. Kemudian dia mengolesi rotinya dengan mentega.
"Apakah mereka
akan menangkapku?" tanyaku.
"Kurasa tidak.
Akan sulit mencari pengganti dalam tahap ini," kata Haymitch. "Bagaimana
dengan keluargaku?" tanyaku. "Apakah mereka akan dihukum?"
"Kurasa tidak. Itu
tidak masuk akal. Begini ya, mereka harus mengungkapkan apa yang sebenarnya
terjadi di Pusat Latihan agar semua penduduk bisa merasakan manfaat hukuman
itu. Orang-orang pasti ingin tahu apa yang telah kaulakukan. Tapi mereka tidak
bisa mengetahuinya karena apa yang terjadi di sana itu rahasia, jadi semuanya
hanyalah usaha yang sia-sia," kata Haymitch. "Kemungkinan yang lebih
mungkin adalah mereka akan membuatmu setengah mati di arena nanti."
"Yah, tanpa itu
pun mereka sudah berjanji untuk membuat kami setengah mati di sana," kata
Peeta.
"Betul
sekali," kata Haymitch.
Dan aku menyadari
sesuatu yang tak mungkin telah terjadi. Semua orang di meja makan memujiku.
Haymitch mencomot potongan daging dengan jarinya, sehingga membuat Effie
mengernyit, lalu mencelupkan daging itu ke anggurnya. Haymitch menggigit
sepotong besar daging lalu tergelak. "Seperti apa wajah mereka saat itu?"
Aku bisa merasakan
sudut bibirku terangkat.
"Kaget. Ngeri. Eh,
sebagian tampak menggelikan." Aku tiba-tiba ingat. "Seorang lelaki
sampai jatuh terpeleset ke belakang dan menabrak mangkuk minuman."
Haymitch tertawa
terbahak-bahak dan kami semua tertawa kecuali Effie, meskipun dia tampak
menahan senyum. "Yah, mereka patut merasakannya. Sudah tugas mereka
memperhatikanmu. Hanya karena kau dari Distrik Dua Belas bukan berarti mereka
punya alasan untuk tidak peduli padamu."
Kemudian Effie
memandangi sekeliling meja seakan dia telah mengatakan sesuatu yang
keterlaluan. "Maaf, tapi menurutku begitu," kata Effie entah pada
siapa.
"Aku pasti dapat
angka jelek," kataku.
"Angka cuma
diperhatikan kalau nilainya sangat bagus, tak ada yang memperhatikan mereka
yang mendapat angka jelek atau menengah. Menurut mereka, kau bisa saja
menyembunyikan bakatmu agar sengaja memperoleh nilai rendah. Banyak yang
menggunakan strategi seperti itu," kata Portia.
"Kuharap itulah
yang dipikirkan orang saat aku memperoleh nilai empat yang mungkin
kuperoleh," kata Peeta. "Tidak ada yang menarik saat melihat
seseorang mengambil bola-bola berat lalu melemparkannya dalam jarak beberapa
meter. Satu bola hampir mendarat di kakiku."
Aku nyengir memandang
Peeta dan tersadar bahwa aku merasa amat lapar. Aku memotong daging di piring,
mencelupkannya di kentang tumbuk, dan mulai menyantap makanan. Tidak apa-apa.
Keluargaku aman. Dan jika mereka aman, tak ada masalah yang timbul akibat
perbuatanku.
®LoveReads
Setelah makan malam,
kami duduk di ruang tamu dan menonton pengumuman nilai di televisi. Awalnya
mereka menampilkan foto-foto peserta, lalu memperlihatkan nilai mereka di bawah
foto tersebut. Para Peserta Karier biasanya memperoleh nilai antara delapan
sampai sepuluh. Kebanyakan peserta lain memperoleh lima. Yang mengejutkan, Rue
memperoleh nilai tujuh. Aku tidak tahu apa yang ditunjukkannya pada para juri,
tapi dengan tubuhnya yang mungil dia pasti tampil mengesankan.
Seperti biasa, Distrik
12 tampil terakhir. Peeta mendapat nilai delapan, jadi paling tidak ada
beberapa juri yang memperhatikannya. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat
ketika melihat wajahku muncul di televisi, bersiap-siap menghadapi yang
terburuk. Mereka menampilkan angka sebelas di layar. Sebelas.
Effie Trinket memekik,
semua orang menepuk punggungku, memujiku, dan memberi selamat padaku. Tapi
semua ini terasa tidak nyata.
"Pasti ada
kesalahan. Bagaimana... bagaimana mungkin?" aku bertanya pada Haymitch.
"Kurasa mereka
suka sifat pemarahmu," katanya. "Ini kan acara pertunjukkan. Mereka
butuh pemain yang cepat panas."
"Katniss, gadis
yang terbakar," kata Cinna lalu memelukku. "Oh, tunggu sampai kau
melihat gaun untuk interview."
"Lebih banyak
api?" tanyaku.
"Semacam
itulah," katanya sok berahasia.
Aku dan Peeta saling
memberi selamat, sekali lagi ini jadi momen ketika kami merasa canggung. Kami
berdua berhasil dengan baik, tapi apa akibatnya terhadap kami berdua? Aku kabur
ke kamarku secepat mungkin dan menenggelamkan diri di bawah selimut. Tekanan
hari ini, terutama acara menangisnya telah menguras habis tenagaku. Aku
ketiduran, lolos dari hukuman, lega, dan angka sebelas masih berkerjap-kerjap
dalam benakku.
Pada dini hari, aku berbaring
sejenak di ranjang, memandangi matahari terbit pada pagi hari yang indah itu.
Hari ini Minggu. Hari libur di rumah. Aku bertanya-tanya apakah Gale sudah
berada di hutan sekarang. Biasanya kami menghabiskan hari Minggu dengan
mengumpulkan makanan untuk satu minggu. Kami bangun pagipagi benar, berburu dan
mengumpulkan makanan, kemudian melakukan barter di Hob. Kupikirkan apa yang
dilakukan Gale tanpa aku sekarang. Kami berdua bisa berburu sendiri-sendiri,
tapi kami lebih baik berpasangan. Terutama jika kami berusaha mencari buruan
yang lebih besar. Tapi kehadirannya juga penting untuk hal-hal kecil, adanya
partner berburu membuat beban jadi lebih ringan, bahkan bisa membuat kewajiban
berat menyediakan makanan untuk keluarga jadi menyenangkan.
Aku sudah berusaha
berburu sendirian selama enam bulan ketika bertemu Gale untuk pertama kalinya
di hutan. Hari itu juga hari Minggu di bulan Oktober, udara terasa sejuk dan
tajam menusuk dengan bau mahkluk-mahkluk mati. Pagi itu aku berlomba dengan
tupai-tupai dan pada siang hari yang lebih hangat aku menyeberangi kolam
dangkal mencabut katniss. Satu-satunya daging yang berhasil kudapat adalah
tupai yang bisa dibilang menyerahkan diri dengan berlari menginjak jari-jari
kakiku ketika dia mencari buah kenari, tapi binatang itu pasti masih bergerak
saat salju mengubur sumber makananku yang lain.
Aku menjelajahi hutan
lebih jauh daripada biasanya, dan aku bergegas pulang menenteng karung goni
ketika aku melihat bangkai kelinci. Kelinci itu tergantung dengan kawat tipis
sekitar tiga puluh sentimeter di atas kepalaku. Aku mengenali pola jerat yang
digunakannya, sama seperti yang digunakan ayahku. Ketika mangsa tertangkap,
binatang itu tertarik ke atas agar tidak disergap binatang lain yang juga
lapar. Sepanjang musim panas aku berusaha menggunakan jerat tapi tidak pernah
berhasil, jadi aku tidak bisa tidak tergoda untuk menaruh karungku untuk
memeriksa jerat itu. Jari-jariku baru saja memegang kawat di atas kelinci ketika
aku mendengar teriakan. "Itu berbahaya."
Aku melompat mundur
hampir semeter jauhnya ketika Gale muncul dari balik pohon. Dia pasti sudah
mengamatiku sejak tadi. Umur Gale baru empat belas tahun, tapi tingginya 180
sentimeter dan dimataku dia tampak seperti orang dewasa. Aku pernah melihatnya
dalam kesempatan lain. Dia juga kehilangan ayahnya dalam ledakan yang sama yang
menewaskan ayahku. Pada bulan Januari, aku berdiri sementara dia menerima
medali keberanian di Gedung Pengadilan, satu lagi anak sulung tanpa ayah. Aku
ingat bagaimana dua adik laki-lakinya menempel erat pada ibunya, wanita dengan
perut besar yang tidak lama lagi pasti akan melahirkan.
"Siapa kau?"
tanya Gale, menghampiriku dan melepaskan kelinci dari jeratnya. Dia masih punya
tiga jerat lagi yang menggantung di ikat pinggangnya.
"Katniss,"
jawabku, nyaris berupa bisikan.
"Hm, Catnip,
mencuri bisa dihukum mati, kau pernah dengar peraturan itu, kan?" katanya.
"Katniss,"
sahutku dengan suara lebih keras. "Aku tidak mencuri. Aku cuma mau lihat
jeratmu. Jeratku tidak pernah berhasil menangkap apa pun."
Dia mencibir
memandangku, tampak tidak yakin. "Jadi dari mana kau dapat tupai itu?"
"Aku
memanahnya." Kulepaskan busur dari punggungku. Aku masih menggunakan busur
dan panah versi kecil yang dibuatkan ayahku, tapi aku berlatih dengan busur dan
anak panah berukuran besar setiap ada kesempatan. Aku berharap pada musim semi
nanti aku bisa memanah buruan yang lebih besar.
Mata Gale tertuju pada
busur panahku. "Boleh kulihat?"
Kuserahkan busur itu
padanya. "Tapi ingat ya, mencuri bisa dihukum mati."
Itulah pertama kalinya
aku melihat Gale tersenyum. Senyum itu mengubahnya dari sosok menakutkan
menjadi seseorang yang kauharap bisa kaukenal. Tapi perlu waktu beberapa bulan
sebelum aku membalas senyumnya.
Saat itu kami bicara
tentang berburu. Kuberitahu Gale bahwa aku bisa memberinya busur dan anak panah
kalau dia punya sesuatu untuk ditukar. Bukan makanan. Aku ingin pengetahuan.
Suatu hari nanti aku ingin bisa memasang jerat yang bisa menangkap banyak
kelinci gemuk. Dia setuju untuk mengatur pertukaran semacam itu. Seiring musim
berlalu, dengan enggan kami mulai berbagi pengetahuan, senjata-senjata,
tempat-tempat rahasia yang kami anggap penuh dengan buahbuahan liar atau
kalkun. Gale mengajariku memasang jerat dan memancing. Kutunjukkan padanya
tumbuh-tumbuhan apa saja yang bisa dimakan dan pada akhirnya kuberikan padanya
salah satu busurku yang berharga.
Kemudian suatu hari,
tanpa perlu kami ucapkan, kami jadi tim. Kami saling membagi pekerjaan dan hasil
tangkapan, memastikan bahwa keluarga kami berdua mendapat cukup makanan. Gale
memberiku rasa aman yang tak kumiliki lagi sejak kematian ayahku. Ditemani Gale
mengisi kekosongan dan kesendirian selama jam-jam yang panjang di hutan. Aku
jadi pemburu yang baik ketika aku tidak harus menjaga agar tetap aman. Tapi
Gale juga tidak lagi sekedar teman berburu. Dia menjadi orang kepercayaanku
tentang hal-hal yang tidak bisa kuutarakan di dalam pagar.
Sebaliknya, dia juga
melakukan hal yang sama denganku. Berada di hutan bersama Gale... kadang-kadang
aku sungguh-sungguh merasa bahagia. Aku menyebut Gale sebagai temanku, tapi
selama setahun terakhir kata itu tampak terlalu encer untuk menggambarkan arti
Gale bagiku. Secercah kerinduan menembus dadaku. Seandainya dia ada di sini
sekarang Tapi tentu saja aku tidak mau dia ada di sini. Aku tidak mau dia
berada di arena di mana dia bisa tewas beberapa hari lagi. Aku hanya... aku
hanya kangen padanya. Aku benci merasa sendirian. Apakah dia juga kangen
padaku? Pastinya.
Aku teringat lagu angka
sebelas yang berkedip-kedip di bawah namaku tadi malam. Aku tahu apa yang akan
dikatakannya padaku. "Well, nilai itu masih bisa diperbaiki jadi lebih
baik." Lalu dia akan tersenyum dan aku balas tersenyum tanpa ragu
sekarang.
Aku tidak bisa tidak
membandingkan apa yang kumiliki bersama Gale dengan apa yang pura-pura
kulakukan bersama Peeta. Aku tak pernah mempertanyakan motif perbuatan Gale
sementara dengan Peeta aku selalu meragukan niatnya. Sesungguhnya ini memang
bukan perbandingan yang adil. Aku dan Gale ditempatkan bersama oleh kebutuhan
bertahan hidup. Sementara aku dan Peeta tahu bahwa keselamatan yang lain
berarri maut bagi diri sendiri. Bagaimana dua hal semacam itu bisa
dibandingkan?
Effie mengetuk pintu,
mengingatkanku hari ini masih ada "hari besaaaaar". Besok malam akan
ada wawancara kami yang ditayangkan di televisi. Kurasa semua anggota tim harus
melakukan persiapan besar untuk kami dalam acara itu. Aku bangun dan mandi
cepat, kali ini lebih hati-hati dengan tidak menekan sembarang tombol, setelah
itu aku menuju ruang makan. Peeta, Effie, dan Haymitch duduk berimpitan di
sekeliling meja dan berbicara berbisik-bisik.
Tingkah mereka tampak
janggal, tapi rasa lapar mengalahkan rasa ingin tahuku dan aku mengisi piringku
dengan makanan untuk sarapan sebelum bergabung dengan mereka. Sup daging hari
ini berisi potongan-potongan daging domba yang lembut dan buah plum kering. Pas
dimakan dengan nasi hangat. Aku sudah menyuapkan makanan hingga setengah ke
dalam mulutku hingga aku tersadar bahwa tak ada seorang pun yang bicara.
Kuminum jus jeruk dalam satu tegukan besar dan kuseka mulutku.
"Ada apa? Hari ini
kau akan mengajari kami untuk persiapan wawancara, kan?"
"Betul,"
jawab Haymitch.
"Kau tidak perlu
menunggu sampai aku selesai makan. Aku bisa mendengar dan makan pada saat bersamaan,"
kataku.
"Hm, begini, ada
sedikit perubahan rencana. Tentang pendekatan kita saat ini," kata
Haymitch.
"Maksudnya?"
tanyaku. Aku tidak terlalu paham dengan arti pendekatan saat ini. Strategi
terakhir yang kuingat adalah berusaha tampil biasa-biasa saja di depan peserta
lain.
Haymitch mengangkat
bahu. "Peeta sudah meminta untuk dilatih terpisah."
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 8"
Posting Komentar