Bab 6
Pusat latihan memiliki
sebuah menara yang dirancang khusus untuk para peserta dan tim mereka. Tempat
ini akan jadi rumah kami hingga pertarungan sesungguhnya dimulai. Setiap
distrik ditempatkan disatu lantai sendiri. Kau hanya perlu masuk ke elevator
dan menekan angka asal distrikmu. Mudah untuk diingat.
Di Distrik 12, aku
pernah dua kali naik elevator di Gedung Pengadilan. Sekali untuk menerima
medali atas kematian ayahku dan kemarin untuk menyampaikan salam perpisahan
terakhir dengan teman-teman dan keluargaku. Tapi elevator di sana gelap dan
berderit dengan gerakan selamban siput dan baunya seperti susu basi.
Dinding-dinding elevator ini terbuat dari kristal, jadi kau bisa melihat
orangorang di lantai dasar makin lama makin kecil ketika elevator membawamu
makin tinggi. Rasanya menyenangkan dan aku tergoda untuk bertanya pada Effie
apakah kami bisa naik elevator sekali lagi, tapi itu bakal terdengar
kekanak-kanakan.
Ternyata, tugas Effie
Trinket tidak berakhir di stasiun kereta api. Dia dan Haymitch akan mengawasi
kami hingga di arena. Di satu sisi, keberadaannya menguntungkan karena paling
tidak Effie bisa diandalkan untuk membawa kami keliling ke tempat-tempat
seharusnya kami berada tepat waktu karena kami belum bertemu Haymitch lagi
sejak dia bilang bersedia membantu kami di kereta api. Mungkin dia sedang teler
hingga pingsan entah di mana. Sebaliknya, Effie Trinket, tampak riang gembira.
Kami adalah tim pertama yang pernah diawasinya yang membuat kegemparan pada
upacara pembukaan. Effie tidak hanya memuji kostum kami tapi juga tingkah laku
kami. Dan kami juga mendengar, Effie kenal semua orang penting di Capitol dan
sudah bicara tentang kami sepanjang hari, berusaha memperoleh sponsor untuk
kami.
"Tapi semuanya
sangat misterius," ujar Effie, matanya setengah menyipit. "Karena, tentu
saja, kau tahu Haymitch tidak mau memberitahuku apa saja strategi kalian. Tapi
aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang bisa kukerjakan. Bagaimana
Katniss mengorbankan diri demi adik perempuannya. Bagaimanakalian berdua
berhasil melawan kegiatan barbar dari distrik kalian."
Barbar? Ironis saat
mendengar kata itu terucap dari wanita yang membantu menyiapkan kami untuk
kegiatan pembantaian massal. Dan atas apa dia menilai keberhasilan kami?
Berdasarkan sopan santun di meja makan?
"Pada dasarnya
semua orang memiliki keengganan tertentu karena kalian berasal dari distrik
batu bara. Tapi untungnya aku pintar, kubilang pada mereka, 'Hm, batu bara yang
diberi cukup tekanan akan berubah jadi mutiara'." Mata Effie berbinar begitu
cerah memandang kami sehingga kami tidak punya pilihan lain selain menanggapi
kepintarannya dengan penuh semangat, meskipun kami tahu dia salah besar.
Batu bara tidak bisa
berubah jadi mutiara. Mutiara berasal dari kerang. Mungkin maksud Effie batu
bara berubah jadi berlian, tapi itu juga tidak benar. Kudengar ada semacam
mesin di Distrik 1 yang bisa mengubah batu granit menjadi berlian. Tapi Distrik
12 tidak menambang batu granit. Itu bagian dari tugas Distrik 13 sebelum mereka
dihancurkan. Aku penasaran apakah orang-orang yang mendengarnya memuji-muji
kamu atau bahkan peduli tentang hal itu.
"Sayangnya, aku
tidak bisa membuat perjanjian kontrak dengan sponsor untuk kalian. Hanya
Haymitch yang bisa melakukannya," kata Effie muram. "Tapi jangan
kuatir, kalau perlu aku akan menodongkan pistol padanya agar dia mau datang ke
meja perjanjian."
Meskipun memiliki
kekurangan sana-sini, Effie Trinket jelas memiliki keteguhan yang harus
kukagumi.
Ruang bagian tempat
tinggalku lebih luas daripada rumah kami di Distrik. Ruangruang di sini
terlihat mewah, seperti di gerbong kereta api, juga memiliki sejumlah peralatan
otomatis yang tak bakal sempat kupencet tombolnya satu per satu. Pancuran air
di kamar mandinya saja memiliki panel dengan lebih dari seratus pilihan yang
bisa kaupilih untuk mengatur temperatur, tekanan air, sabun, sampo, wewangian,
minyak mandi, dan spons yang bisa memijat. Saat berdiri di atas keset kaki,
pemanas menyemburkan udara yang mengeringkan tubuh.
Aku tidak perlu bersusah
payah melepaskan ikatan kepang di rambutku yang basah, aku hanya perlu menaruh
tanganku di atas kotak yang mengalirkan arus ke kulit kepalaku, yang akan
melepaskan ikatan rambutku, menyisirnya, dan mengeringkannya dalam waktu
sekejap. Rambutku langsung tergerai lembut di punggungku. Aku memprogram lemari
agar menyiapkan pakaian sesuai seleraku. Atas perintahku, jendela bisa menyorot
jauh dan dekat bagian-bagian kota tertentu. Aku hanya perlu membisikkan jenis
makanan yang kuinginkan dari daftar menu raksasa ke corong bicara, dalam waktu
kurang dari semenit makanan itu muncul di hadapanku, panas dan mengepulkan
asap. Aku berjalanan di sekeliling kamar, makan hati angsa dan roti susu sampai
kudengar ketukan di pintu. Effie memanggilku untuk makan malam.
Baguslah. Aku
kelaparan.
Peeta, Cinna, dan
Portia sedang berdiri di balkon, yang memperlihatkan pemandangan Capitol ketika
aku memasuki ruang makan. Aku senang melihat para penata gaya kami, terlebih
lagi ketika mendengar Haymitch akan bergabung bersama kami. Makan malam yang
dipimpin oleh Effie dan Haymitch pasti bakal berakhir dengan kekacauan. Selain
itu, makan malam sebenarnya bukanlah tentang makanan, tapi tentang perencanaan
strategi, dan Cinna serta Portia telah membuktikan betapa berharganya mereka
bagi kami.
Seorang lelaki muda
yang mengenakan tunik putih bicara menawarkan anggur di gelas tinggi pada kami.
Aku hampir menolaknya, tapi aku tak pernah minum anggur, kecuali buatan ibuku
yang digunakannya untuk menyembuhkan batuk, dan mungkin aku takkan pernah punya
kesempatan untuk mencobanya lagi. Aku menyesapnya sedikit, cairan itu terasa
kering dan diam-diam aku berpikir bahwa rasanya akan lebih baik jika ditambah
beberapa sendok madu.
Haymitch muncul tepat
ketika makan malam akan disajikan. Kelihatannya dia memiliki penata gaya
sendiri karena dia tampak bersih dan terawat, dan tidak pernah kulihat dia
sesadar sekarang. Dia tidak menolak tawaran anggur, tapi ketika dia mulai
menyantap sup, aku baru sadar inilah pertama kalinya kulihat dia makan. Mungkin
dia bisa menguasai diri cukup lama untuk bisa membantu kami.
Cinna dan Portia
tampaknya memiliki pengaruh untuk membuat Haymitch dan Effie jadi beradab. Paling
tidak mereka saling bicara dengan sopan. Bahkan mereka pun memuji suguhan
pembukaan dari penata gaya kami. Sementara mereka berbasa-basi, aku memusatkan
perhatian pada makananku. Sup jamur, sayuran hijau pahit dengan tomat seukuran
kacang polong, daging sapi panggang yang dipotong setipis kertas, mi dalam saus
hijau, keju yang meleleh di lidah disajikan dengan anggur biru manis. Para
pelayan, semuanya lelaki muda yang berpakaian tunik putih seperti yang dipakai
oleh pelayan yang memberi kami anggur, bergerak tanpa bicara dari dan ke meja,
memastikan piring dan gelas kami tetap penuh.
Setelah menghabiskan
setengah gelas anggur, kepalaku mulai terasa berkabut, jadi aku ganti minumanku
dengan air. Aku tidak menyukai perasaan ini dan aku berharap kabut ini segera
lenyap. Aku tidak mengerti bagaiamana Haymitch bisa tahan melewati hari-harinya
seperti ini.
Aku berusaha memusatkan
perhatian pada percakapan, yang sudah beralih ke topik tanya-jawab kostum, saat
seorang gadis menata kue yang kelihatan cantik di atas meja dan dengan cekatan
menyalakan kue itu. Kue tersebut terbakar kemudian api mengerjap di ujung-ujung
kue selama beberapa saat hingga api itu padam. Sejenak aku merasa ragu.
"Apa yang
membuatnya terbakar? Apakah alkohol?" aku bertanya, sambil mendongak
memandang gadis itu. "Aku tidak mau men-Oh. Aku kenal kau"
Aku tidak ingat nama
atau tempat ketika aku melihat wajah gadis ini. Tapi aku yakin pernah
melihatnya. Rambut merah gelap, garis wajah yang memesona, kulit seputih
porselen. Ketika aku mengucapkannya, aku merasakan kegelisahan dan rasa
bersalah dalam ulu hatiku. Meskipun aku tidak ingat, aku tahu ada kenangan buruk
yang berkaitan dengan gadis itu. Ekspresi ngeri yang terlintas di wajahnya hanya
membuatku jadi tambah bingung dan tidak nyaman. Gadis itu menyangkalnya dengan
menggeleng cepat dan bergegas menjauh dari meja.
Ketika aku menoleh,
empat orang dewasa sedang mengawasiku seperti elang mengintai mangsa.
"Jangan konyol,
Katniss. Bagaimana mungkin kau bisa kenal Avox semacam itu?" sergah Effie.
"Membayangkannya saja tak mungkin."
"Avox itu
apa?" tanyaku dengan bodohnya.
"Orang yang
melakukan kejahatan. Mereka memotong lidahnya sehingga dia tidak bisa
bicara," kata Haymitch. "Dia mungkin pengkhianat atau semacam itulah.
Tidak mungkin kau mengenalnya."
"Bahkan kalau
mengenalnya, kau tak boleh bicara dengannya kecuali memberi perintah,"
kata Effie. "Tentu saja kau tidak benar-benar mengenalnya."
Tapi aku kenal dia.
Setelah Haymitch menyebut soal pengkhianat, aku ingat di mana aku kenal dia. Aku
merasakan kecaman yang begitu besar sehingga aku tak pernah bisa mengakuinya.
"Ya, kurasa tidak.
Aku cuma-" Aku tegagap, dan anggur yang kuminum tidak membantu sama
sekali.
Peeta menjentikkan
jarinya. "Delly Cartwright."
Itu dia. Kupikir
wajahnya juga tidak asing. Lalu aku sadar dia mirip sekali dengan Delly. Delly
Cartwright adalah gadis berwajah pucat, agak gemuk dengan rambut kuning yang
kemiripannya dengan gadis pelayan kami ibarat membandingkan kumbang dengan
kupu-kupu. Delly juga bisa disebut manusia paling ramah di seantero planet-dia
tersenyum tanpa henti pada semua orang di sekolah, bahkan padaku. Aku tak
pernah melihat gadis berambut merah itu tersenyum. Tapi aku langsung menyambar
petunjuk Peeta dengan penuh syukur.
"Tentu saja, aku
terpikir tentang dia. Pasti gara-gara rambutnya," kataku.
"Matanya juga
mirip," imbuh Peeta.
Suasana di meja makan
pun jadi lebih santai.
"Oh, sudahlah.
Cuma karena mirip," kata Cinna. "Dan, ya, kue ini mengandung minuman
keras, tapi semua alkohol sudah terbakar. Aku sengaja memesannya sebagai
penghormatan terhadap penampilanmu yang berapi-api."
Kami makan kue dan
pindah ke ruang duduk untuk menonton tayangan ulang upacara pembukaan yang
sedang disiarkan. Beberapa pasangan lain memperlihatkan kesan yang baik, tapi
tak ada satu pun dari mereka yang bisa dibandingkan dengan kami. Bahkan pihak
kami sendiri terpukau hingga mulut mereka ternganga "Ahhh" saat
mereka menampilkan kami yang keluar dari Pusat Tata Ulang.
"Siapa yang
menyuruh berpegangan tangan?" tanya Haymitch.
"Cinna,"
sahut Portia.
"Sentuhan sempurna
untuk pembangkang," ujar Haymitch. "Bagus sekali."
Pembangkang? Selama
sesaat aku memikirkan kata itu. Tapi ketika aku mengingat pasangan-pasangan
lain, berdiri tegang terpisah, tak pernah menyentuh atau mengakui keberadaan
yang lain, seakan rekan peserta mereka tak ada, seakan pertarungan telah
dimulai, aku mengerti maksud Haymitch. Menampilkan diri kami bukan sebagai
musuh tapi sebagai sahabat telah membuat kami tampak berbeda seperti halnya
kostum kami yang membakar.
"Besok pagi adalah
sesi latihan pertama. Temui aku untuk sarapan dan akan kuberitahu kalian
bagaimana kuingin kalian memainkannya," kata Haymitch pada aku dan Peeta.
"Sekarang pergilah tidur sementara kami orang dewasa di sini mau bicara."
Aku dan Peeta berjalan
berdua menyusuri koridor menuju kamar kami. Ketika kami sampai ke depan pintu
kamarku, Peeta bersandar di kusen pintu, bukan bermaksud menghalangi masuk tapi
berkeras agar aku memperhatikannya. "Hm, Delly Cartwright. Bayangkan jika
kita bisa bertemu kembarannya di sini."
Peeta meminta
penjelasan, dan aku tergoda untuk menjelaskannya. Kami berdua sama-sama tahu
bahwa dia melindungiku. Jadi sekarang aku berutang lagi padanya. Kalau aku
menceritakan yang sebenarnya tentang gadis itu, bisa jadi aku melunasi utangku
padanya. Lagi pula apa sih ruginya? Bahkan kalau dia menceritakan ceritaku pada
orang lain, aku juga tidak bakal kenapa-napa.
Kejadiannya hanya
sesuatu yang kusaksikan. Dan Peeta berbohong tentang Delly Cartwright bersama
denganku. Aku sadar bahwa aku ingin bicara dengan seseorang tentang gadis itu.
Seseorang yang bisa membantuku memecahkan kisah tentang gadis itu. Gale jadi
pilihan pertamaku, tapi aku tak bakal bisa bertemu Gale lagi. Aku berusaha
berpikir apakah memberitahu Peeta mungkin bakal memberinya keuntungan atas
diriku, tapi aku tidak bisa melihat kemungkinan itu. Mungkin berbagi rahasia
akan membuatnya percaya bahwa aku menganggapnya sebagai teman.
Selain itu,
membayangkan gadis tadi dengan lidah buntung membuatku ngeri. Dia mengingatkanku
tentang alasan keberadaanku di sini. Bukan untuk menjadi model kostum mewah dan
makan makanan lezat. Tapi untuk mati dalam kematian penuh darah sementara
penonton mengelu-elukan pembunuhanku.
Cerita atau tidak ya?
Otakku masih lamban akibat anggur. Aku menunduk memandangi koridor kosong
seakan keputusannya terletak di sana.
Peeta menangkap
keraguanku. "Kau pernah ke atap?" Aku menggeleng. "Cinna menunjukkannya
padaku. Kau bisa melihat seluruh kota dari atas sana. Tapi anginnya agak keras lho."
Otakku menerjemahkan
ajakannya sebagai, "Tak ada seorangpun yang bisa menguping percakapan
kita". Kami merasa selalu dakam pengawasan di tempat ini. "Bisa kita
ke atas sekarang?"
"Bisa saja,
ayo," ajak Peeta. Aku mengikutinya menaiki tangga menuju atap. Ada ruangan
kecil berbentuk kubah dengan pintu menuju keluar. Ketika kami melangkah menuju
udara malam yang dingin dan berangin, aku terkesiap melihat pemandangan di
hadapanku. Capitol berkilau berkelip-kelip seperti lapangan yang penuh cahaya
kunang-kunang. Listrik di Distrik 12 kadang menyala kadang tidak, biasanya kami
punya listrik selama beberapa jam sehari. Sering kali kami menghabiskan malam
hari dengan cahaya lilin. Listrik hanya bisa diandalkan saat mereka menyiarkan
Hunger Games atau ada pesan penting dari pemerintah di televisi yang wajib di
tonton. Tapi di sini tak ada kekurangan listrik. Tak pernah kekurangan.
Aku dan Peeta berjalan
menuju pegangan pembantas di ujung atap. Aku melihat langsung ke bawah ke arah
jalanan di samping gedung, yang penuh dengan orang. Kau bisa mendengar suara
mobil mereka, kadang-kadang terdengar teriakan, dan suara logam beradu yang
aneh. Di Distrik 12, kami pasti sedang berpikir untuk tidur sekarang.
"Aku bertanya pada
Cinna kenapa mereka membiarkan kita naik ke sini. Apakah mereka tidak kuatir
ada peserta yang mungkin saja memutuskan untuk meloncat dari gedung?" kata
Peeta.
"Dia bilang
apa?" tanyaku.
"Kau tidak bisa
lompat," ujar Peeta. Dia mengibaskan tangannya ke ruang yang tampaknya di
isi udara kosong. Ada sengatan tajam dan Peeta langsung menarik tangannya.
"Ada semacam medan listrik yang melemparmu kembali ke atap."
"Selalu memikirkan
keselamatan kita," kataku. Meskipun Cinna suda menunjukkan atap ini pada
Peeta, aku bertanya-tanya apakah kami boleh di atap berdua pada jam selarut
ini. Aku tak pernah melihat peserta berada di atap Pusat Latihan sebelumnya.
Tapi tidak berarti kami tidak sedang di rekam sekarang.
"Menurutmu mereka
sedang mengawasi kita?"
"Mungkin,"
Peeta mengaku. "Ayo kita lihat tamannya."
Di sisi lain kubah,
mereka membangun taman dengan deretan bunga dan pohonpohon dalam pot. Dari
dahan-dahannya tergantung ratusan genta angin, yang menjadi sumber suara suatu
logam beradu yang kudengar tadi. Di sini di taman ini, pada malam berangin,
bunyi yang ditimbulkan genta angin cukup meredam suara dua orang yang berusaha
untuk tidak terdengar. Peeta memandangiku penuh harap.
Aku pura-pura melihat
bunga yang bermekaran. "Suatu hari kami sedang berburu di dalam hutan.
Bersembunyi, menunggu buruan," aku berbisik.
"Kau dan
ayahmu?" Peeta balas berbisik.
"Bukan, dengan
temanku Gale. Mendadak semua burung berhenti bernyanyi seketika. Kecuali satu.
Seakan burung itu menyanyikan peringatan. Lalu saat itulah kami melihatnya. Aku
yakin dia gadis yang sama. Ada anak lelaki bersamanya. Pakaian mereka
compang-camping. Ada lingkaran hitam di bawah mata mereka tanda kurang tidur.
Mereka lari terbirit-birit seakan nyawa mereka tergantung pada kemampuan lari
mereka," kataku.
Sejenak aku terdiam,
mengingat bagaimana perasaanku ketika melihat pasangan aneh yang jelas-jelas
tidak berasal dari Distrik 12 melarikan diri melalui hutan, hingga membuat kami
tak mampu bergerak. Lama setelah itu, kami bertanya-tanya apakah kami bisa
membantu mereka. Menyembunyikan mereka. Kalau saja kami bergerak cepat. Ya, aku
dan Gale terkejut, tapi kami berdua pemburu. Kami tahu seperti apa binatang
yang berusaha bertahan hidup. Kami tahu pasangan itu dalam masalah saat kami
melihatnya. Tapi kami hanya menonton.
"Pesawat ringan
itu muncul entah dari mana," aku menjutkan ceritaku pada Peeta. "Maksudku,
tadinya langit kosong kemudian mendadak pesawat itu ada di sana. Pesawat itu
tidak menimbulkan suara, tapi mereka melihatnya. Ada jaring yang meluncur jatuh
pada gadis itu dan mengangkatnya ke atas, cepat sekali, seperti diangkat dengan
elevator. Mereka menembakkan semacam tombak ke anak lelaki itu. Tombak itu
terkait pada kabel dan mereka juga menariknya ke atas. Tapi aku yakin anak itu
sudah tewas. Kami mendengar gadis itu menjerit sekali. Kurasa dia menjeritkan
nama lelaki itu. Lalu pesawat itu hilang. Lenyap tak berbekas. Kemudian
burung-burung mulai bernyanyi lagi, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."
"Apakah mereka
melihatmu?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu.
Kami berada di bawah bebatuan," sahutku.
Tapi aku tahu. Ada
jeda, setelah burung berhenti bernyanyi, tapi sebelum pesawat itu muncul, gadis
itu melihat kami. Matanya memandang mataku lekat-lekat lalu dia berteriak minta
tolong. Tapi aku dan Gale tidak bergerak membantunya.
"Kau
gemetar," kata Peeta.
Embusan angin dan kisah
yang kuceritakan mengenyahkan kehangatan dari tubuhku. Gadis itu menjerit.
Apakah itu jeritan terakhirnya? Peeta melepaskan jaketnya dan menyampirkannya
ke bahuku. Tadinya aku hendak mundur selangkah, tapi kemudian aku
membiarkannya, sesaat memutuskan untuk menerima jaket dan kebaikannya itu. Itu
yang dilakukan sahabat, kan?
"Mereka berasal
dari sini?" tanya Peeta, lalu tangannya mengancingkan jaket di sekitar
leherku.
Aku mengangguk.
Tampilan anak lelaki dan gadis itu kelihatan seperti orang Capitol.
"Menurutmu mereka
hendak ke mana?" tanya Peeta.
"Aku tidak
tahu," jawabku.
Distrik 12 bisa
dibilang sebagai akhir perjalanan. Di luar sana hanya ada alam liar. Kalau kau
tidak menghitung reruntuhan Distrik 13 yang masih mengepulkan asap akibat bom
beracun. Kadang-kadang mereka menampilkannya di televisi hanya untuk
mengingatkan kami. "Atau kenapa mereka hendak pergi dari sini."
Haymitch menyebut kaum
Avox sebagai pengkhianat. Penkhianatan terhadap apa? Kemungkinannya hanya
tehadap Capitol. Tapi mereka memiliki segalanya di sini. Tidak ada alasan untuk
memberontak.
"Aku mau pergi
dari sini," tiba-tiba Peeta bersuara. Kemudian dia menoleh gelisah ke
sekeliling. Suaranya cukup keras mengalahkan suara genta angin. Dia tertawa.
"Aku mau saja pulang
sekarang kalau mereka mengizinkan. Tapi kau harus mengakui, makanan di sini
lezat tak ada bandingannya."
Dia melindungiku lagi.
Bila hanya mendengar perkataan Peeta, seolah-olah katakata itu berasal dari
peserta yang ketakutan, bukan seseorang yang memikirkan kebaikan Capitol yang
tak perlu dipertanyakan.
"Sudah mulai
dingin. Sebaiknya kita masuk," katanya. Di dalam kubah suasananya terang
dan hangat. Nada bicara Peeta terdengar santai. "Temanmu, Gale. Dia yang menarik
adikmu pada hari pemungutan?"
"Ya. Kau kenal
dia?" aku bertanya.
"Tidak juga. Aku
sering mendengar gadis-gadis membicarakannya. Kupikir dia sepupumu atau apalah.
Kalian tampak akrab," katanya.
"Tidak, kami tidak
punya hubungan," jawabku.
Peeta mengangguk,
sikapnya tak bisa kubaca. "Apakah dia datang untuk mengucapkan selamat
tinggal padamu?"
"Ya. " Aku
mengamatinya dengan saksama. "Ayahmu juga datang. Dia membawakanku
kue."
Peeta mengangkat alis
seakan ini berita baru untuknya. Tapi setelah mengamatinya berbohong dengan
lancar, aku tidak terlalu memikirkan reaksi ini. "Sungguh? Ayahku
menyukaimu dan adikmu. Kurasa diam-diam dia berharap punya anak perempuan,
bukannya rumah yang penuh anak laki-laki."
Memikirkan bahwa aku
mungkin saja dibicarakan secara sambil lalu, di meja makan, di dekat pemanggang
roti, dan di dalam rumah Peeta membuatku kaget. Pasti obrolan itu muncul ketika
ibunya tidak ada di ruangan.
"Ayahku kenal
ibumu ketika mereka masih kecil," kata Peeta.
Kejutan lagi. Tapi
mungkin saja benar.
"Oh, ya. Ibuku di
besarkan di kota," kataku. Rasanya tidak sopan mengatakan bahwa ibuku
tidak pernah bercerita tentang tukang roti kecuali memuji roti buatannya. Kami
sudah tiba di depan pintuku. Aku mengembalikan jaketnya. "Sampai ketemu besok
pagi."
"Sampai
ketemu," katanya, dan Peeta berjalan menjauh menyusuri lorong.
Ketika aku membuka
pintu, gadis berambut merah itu sedang memungut pakaian dan sepatu botku di
tempat aku melemparkannya di lantai sebelum aku mandi. Aku ingin meminta maaf
karena mungkin saja aku membuatnya dalam masalah tadi. Tapi aku ingat bahwa aku
tidak boleh bicara dengannya kecuali hanya untuk memberikan perintah.
"Oh, maaf,"
kataku. "Seharusnya aku mengembalikan itu ke Cinna. Maafkan aku. Bisa
kaubawakan padanya?"
Gadis itu menghindari
tatapanku, mengangguk sedikit, dan berjalan menuju pintu. Aku bersiap-siap
untuk mengatakan padanya bahwa aku minta maaf atas kejadian di meja makan tadi.
Tapi aku tahu permintaan maafku jauh lebih dalam lagi. Aku malu karena tak
berusaha membantunya di hutan. Aku membiarkan Capitol membunuh anak lelaki itu
dan memutilasi lidahnya tanpa sedikit pun berniat menolongnya.
Seolah-olah aku sedang
menonton Hunger Games. Kulepaskan sepatuku dan naik ke bawah selimut tanpa
berganti pakaian. Gemetarku belum hilang. Mungkin gadis itu tidak ingat padaku.
Tapi aku yakin dia mengenalku. Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang
menjadi harapan terakhirmu.
Kutarik selimut hingga
menutupi kepalaku seakan selimut ini bisa melindungiku dari gadis berambut
merah yang tak bisa bicara. Tapi, aku bisa merasakan matanya memandangiku,
menembus dinding, pintu, dan selimut. Aku bertanya-tanya apakah dia bakal
senang menontonku mati.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 6"
Posting Komentar