Bab 5
BRETTTTT
Aku merapatkan gigi
ketika Venia, wanita dengan rambut biru cerah dan tato emas di atas alisnya,
menarik lembaran kain dari kakiku dan mencabut bulu yang menempel di sana.
"Maaf" katanya dengan suara melengking tolol khas logat Capitol.
"Kau banyak bulunya sih"
Kenapa orang-orang di
sini bicara dengan nada melengking tinggi seperti ini? Kenapa mulut mereka
nyaris tidak terbuka saat bicara? Kenapa mereka mengakhiri kalimat dengan nada
yang naik seakan-akan mereka mengajukan kalimat pertanyaan? Huruf vokal yang
aneh, kata-kata yang terpotong dan huruf s yang diiringi desisan... tidak heran
jika orang-orang tidak tahan untuk tidak menirukannya.
Venia memperlihatkan
wajah yang seharusnya menunjukkan rasa simpatinya. "Tapi kabar baiknya,
ini yang terakhir. Siap?"
Kupegang erat-erat
kedua ujung meja dekat tempatku duduk dan mengangguk. Sapuan terakhir langsung
mencabut bulu kakiku dalam sekali sentakan yang menyakitkan.
Aku sudah berada di
Pusat Tata Ulang selama lebih dari tiga jam tapi aku belum bertemu penata
gayaku. Jelas dia tidak minat menemuiku hingga Venia dan anggota tim persiapan
lain membereskan sejumlah masalah yang kelihatan jelas. Kegiatan persiapan ini
antara lain menggosok tubuhku dengan sabun berpasir yang tidak hanya mengangkat
kotoran tapi juga mengangkat tiga lapisan kulitku, membentuk kukuku dalam
bentuk yang seragam, dan yang terutama, mencabuti bulu-bulu dari tubuhku. Kedua
kaki, lengan, dada, ketiak, dan beberapa bagian dari alisku, membuatku seperti
ayam yang dibului, siap dipanggang. Aku tidak menyukainya. Kulitku rasanya
ngilu, nyeri, dan mudah terluka. Tapi aku memegang janjiku pada Haymitch, tak
ada keluhan sedikitpun keluar dari mulutku.
"Kau anak yang
oke," kata seorang lelaki bernama Flavius. Dia menggoyang-goyangkan rambut
ikalnya yang berwarna oranye dan memulaskan lipstik berwarna ungu ke bibirnya.
"Kami paling tidak tahan pada anak yang suka mengeluh. Minyaki dia"
Venia dan Octavia,
wanita bertubuh montok yang seluruh tubuhnya disepuh dengan warna hijau kacang
polong, menggosok tubuhku dengan losion yang mulanya terasa menyengat tapi kemudian
menyejukkan kulitku yang pedih. Kemudian mereka menarikku turun dari meja,
melepaskan jubah tipis yang kupakai dan kulepas berkali-kali. Aku berdiri
telanjang sementara mereka bertiga mengelilingiku, memegang penjepit untuk
mencabuti buluku yang tersisa. Aku tahu aku seharusnya malu, tapi rupa mereka
tidak mirip manusia membuatku tidak bisa merasa risi, seolah-olah aku berdiri
di depan tiga ekor burung eksentrik yang berwarna aneh dan sedang mematuk
makanan di dekat kakiku. Mereka bertiga mundur dan mengagumi hasil karya
mereka.
"Bagus sekali. Kau
hampir kelihatan seperti manusia sekarang" kata Flavius, lalu mereka pun
tertawa.
Kupaksakan bibirku
membentuk senyuman untuk menunjukkan aku berterima kasih pada mereka.
"Terima
kasih," ujarku dengan manis. "Kami tidak punya banyak alasan untuk tampil
cantik di Distrik Dua Belas."
Ucapanku langsung
mengambil hati mereka.
"Tentu saja tidak,
betapa malangnya dirimu" seru Octavia menepukkan tangan risau atas
kemalanganku.
"Tapi jangan
kuatir," kata Venia. "Pada saat Cinna selesai denganmu, kau pasti akan
tampak memesona"
"Kami janji. Kau
tahu, setelah kita membuang bulu dan kotoran dari tubuhmu, kau ternyata tidak
jelek" kata Flavius memberi semangat. "Ayo kita panggil Cinna"
Mereka melesat keluar
ruangan. Sulit bagiku untuk membenci tim persiapanku. Mereka semua idiot kelas
berat. Namun, dengan cara yang aneh, aku tahu mereka tulus membantuku. Kupandangi
dinding-dinding dan lantai berwarna putih dingin dan menahan dorongan hati
untuk mengambil jubahku. Tapi Cinna, penata gayaku, pasti akan menyuruhku
melepaskannya. Tanganku bergerak memegangi rambut, satu-satunya bagian yang
tidak disentuh tim persiapanku. Jemariku mengelus hasil kepangan ibuku yang
amat rapi. Ibuku. Kutinggalkan gaun biru milik ibuku dan sepatu di lantai
kamarku di dalam kereta api, tak pernah berpikir untuk mengambilnya, dan berusaha
memegang sesuatu yang mengingatkan aku pada ibuku, dan rumah. Kini aku berharap
aku mengambil gaun itu tadi.
Pintu terbuka dan
lelaki muda yang pastinya bernama Cinna itu masuk. Aku terpana melihat betapa
normalnya penampilan lelaki itu. Kebanyakan penata gaya yang diwawancara di
televisi biasanya tampil penuh warna, riasan, dan dipermak dengan operasi
sampai bentuknya mengerikan. Tapi rambut Cinna yang dipotong pendek cepak
tampak berwarna cokelat alami. Dia mengenakan kaus hitam sederhana dan celana
panjang. Satu-satunya tampilan yang ditambahkan tampaknya cuma eyeliner
berwarna emas metalik yang dipulas dengan halus. Warna itu menonjolkan titik
emas yang ada dalam mata hijaunya. Meskipun aku jijik dengan Capitol dan cara
mereka berpakaian, aku tidak bisa menganggap betapa menariknya lelaki ini.
"Halo, Katniss.
Aku Cinna, penata gayamu." kata Cinna berbicara dengan suara pelan, tanpa
aksen Capitol yang terdengar dibuat-buat.
"Halo,"
jawabku hati-hati.
"Beri aku waktu
sebentar, ya?" pintanya. Dia berjalanan mengelilingi tubuh telanjangku,
tidak menyentuhku, tapi menyerap pemandangan setiap jengkal tubuhku dengan
matanya. Aku menahan dorongan hati untuk menyilangkan tangan menutupi dada.
"Siapa yang menata rambutmu?"
"Ibuku,"
jawabku.
"Indah. Klasik
menurutku. Nyaris sempurna dengan raut wajahmu. Ibumu punya tangan yang
cermat," kata Cinna.
Kukira aku akan
didatangi seorang yang flamboyan, seseorang yang lebih tua yang mati-matian
berusaha kelihatan muda, seorang yang melihatku sebagai sepotong daging yang
siap disajikan. Cinna sama sekali di luar perkiraanku.
"Kau baru ya?
Rasanya aku tidak pernah melihatmu," kataku. Kebanyakan penata gaya tidak
asing lagi, mereka yang mendampingi peserta yang berbeda setiap tahun biasanya
itu-itu saja. Sepanjang ingatanku, malah ada yang selalu ada setiap tahun.
"Ya, ini tahun
pertamaku di acara ini," sahut Cinna.
"Jadi mereka
sengaja memberimu Distrik Dua Belas?" tanyaku. Orang baru biasanya
berakhir dengan kami, distrik yang paling tidak diinginkan.
"Aku meminta
Distrik Dua Belas," kata Cinna tanpa menjelaskan lebih lanjut. "Pakai
dulu jubahmu lalu kita ngobrol."
Sehabis memakai jubah,
kuikuti Cinna melewati pintu menuju ruang duduk. Dua sofa berwarna merah
berhadapan disela meja rendah. Tiga bagian dindingnya kosong, dinding keempat
sepenuhnya dari kaca, memberikan jendela pemandangan ke kota. Melihat cahaya di
luar sana pasti sekarang sudah tengah hari, meskipun matahari berselimutan
awan.
Cinna menyuruhku duduk
di salah satu sofa dan dia duduk di seberangku. Dia menekan tombol yang berada
di samping meja. Bagian atas meja itu terbuka dan dari bawah muncul meja kedua
yang menyajikan makan siang kami. Ayam dengan potongan-potongan jeruk yang
dimasak dengan saus krim ditaruh di atas roti tawar seputih mutiara, kacang
polong hijau dan bawang bombay, roti manis yang dibentuk seperti bunga dan
sebagai makanan penutup puding berwarna madu.
Aku berusaha
membayangkan menyusun makanan seperti ini untukku di kampung halaman. Ayam
terlalu mahal, tapi aku bisa menggantinya dengan kalkun liar. Aku harus menangkap
kalkun kedua untuk ditukar dengan jeruk. Susu kambing bisa menggantikan krim.
Kami bisa menanam kacang polong di kebun. Aku tinggal mengambil bawang bombay
yang tumbuh liar di hutan. Aku tidak mengenali gandum yang jadi bahan roti ini,
gandum jatah tessera biasanya hanya menghasilkan gumpalan roti berwarna cokelat
yang tidak menarik. Rasa manis yang enak ini berarti menukar sesuatu dengan tukang
roti, mungkin dua atau tiga ekor tupai untuk roti. Sementara untuk pudingnya,
aku tidak bisa menebak apa saja bahannya. Untuk bisa sekali makan seperti ini,
aku harus berburu dan mengumpulkan makanan selama berhari-hari, bahkan hasilnya
pun bakal jauh di bawah makanan versi Capitol ini.
Aku penasaran, seperti
apa rasanya hidup dalam dunia dengan makanan yang langsung muncul sekali kau
menekan tombol? Bagaimana aku menghasilkan waktu yang biasanya kuhabiskan
dengan menyisiri hutan mencari makanan untuk bertahan hidup jika makanan
semudah ini datangnya? Apa yang dilakukan para penduduk Capitol ini setiap
hari, selain menghiasi tubuh mereka dan menunggi kiriman peserta terbaru untuk
pertarungan dan mati demi hiburan? Aku mendongak dan melihat mata Cinna yang
awas sedang memandangiku.
"Pasti kau
menganggap kami orang-orang hina ya," kata lelaki itu.
Apakah Cinna melihat di
wajahku atau entah bagaiamana dia berhasil membaca pikiranku? Tapi dia benar.
Segalanya tentang tempat ini kuanggap hina.
"Tidak apa-apa,"
ujar Cinna. "Begini, Katniss, tentang kostum yang kau pakai untuk upacara
pembukaan. Partnerku, Portia, adalah penata gaya untuk rekan pesertamu, Peeta.
Dan kami berniat mendandani kalian dengan kostum yang saling melengkapi,"
kata Cinna. "Seperti yang kau ketahui, sudah jadi kebiasaan bahwa kostum
harus menunjukkan ciri khas distrik."
"Untuk upacara
pembukaan, kau diwajibkan memakai pakaian yang menunjukkan industri utama
distrikmu. Distrik 11, pertanian. Distrik 4, perikanan. Distrik 3, pabrik. Ini
berarti dari Distrik 12, aku dan Peeta akan memakai semacam pakaian penambang
batu bara."
Karena pakaian pekerja
penambang yang longgar tidak sedang jadi tren, peserta dari distrik kami
biasanya memakai pakaian minim dan topi lengkap dengan lampunya. Pernah,
peserta dari distrik kami telanjang bulat hanya ditutupi bedak hitam sebagai
lambang abu batubara. Kostum distrik kami selalu mengerikan dan tidak bisa
menenangkan hati para penonton. Kusiapkan diriku untuk menerima yang terburuk.
"Jadi aku akan
memakai pakaian penambang batubara?" bertanya, berharap semoga pakaiannya
masih sopan.
"Tidak juga.
Begini, aku dan Portia berpendapat bahwa kostum penambang itu terlalu sering
digunakan. Tak ada seorang pun akan mengingatmu dengan pakaian semacam itu. Dan
kami berdua beranggapan sudah tugas kami membuat peserta dari Distrik Dua Belas
sebagai peserta yang tak terlupakan," jelas Cinna.
Pasti aku akan
telanjang, pikirku.
"Jadi bagaimana
kami memusatkan perhatian pada pertambangan batubara, kami akan memusatkan perhatian
pada batubaranya," kata Cinna.
Telanjang dan tertutup
abu hitam, pikirku.
"Dan apa yang kita
lakukan terhadap batubara? Kita membakarnya," kata Cinna. "Kau tidak
takut pada api kan, Katniss?"
Dia melihat ekspresiku
dan menyeringai.
Beberapa jam kemudian,
aku mengenakan pakaian yang bisa dianggap paling sensasional atau paling
mematikan dalam upacara pembukaan. Aku mengenakan pakaian ketat terusan yang
menutup tubuhku mulai dari mata kaki sampai leher. Sepatu bot kulit berkilau
hingga ke lutut. Tapi mantel yang berkibar dengan warna oranye, kuning, dan
merah dan penutup kepala yang senada yang menjadi penentu pada kostum ini.
Cinna bermaksud membakarnya tepat sebelum kereta kuda kami meluncur ke jalanan.
"Tentu saja, bukan
api sungguhan, hanya api sintesis yang kupikirkan bersama Portia. Kau
benar-benar aman," kata Cinna.
Tapi aku tidak yakin
diriku tidak akan terpanggang sempurna pada saat kami tiba ke pusat kota. Wajahku
nyaris bersih tanpa riasan, hanya sedikut highlight di sana-sini. Rambutku
sudah disisir lalu dikepang dan dibiarkan jatuh di punggung seperti gayaku yang
biasa.
"Aku ingin
penonton mengenalimu ketika kau berada di arena," kata Cinna dengan pikiran
mengawang. "Katniss, gadis yang terbakar."
Terlintas dalam
pikiranku bahwa gaya Cinna yang tenang dan normal sebenarnya hanya topeng yang
menutupi jati dirinya sebagai orang sinting. Walaupun baru tadi pagi aku
melihat karakter asli Peeta, aku sesungguhnya lega ketika melihatnya muncul
dengan kostum yang sama denganku. Dia pasti tahu banyak hal tentang api, karena
bagaimanapun dia kan anak tukang roti. Penata gayanya, Portia, dan timnya
menemani Peeta, dan semua orang dipompa semangat berlebihan mengenai kegemparan
yang akan kami hasilkan. Kecuali Cinna. Dia tampak sedikit letih ketika
menerima ucapan selamat.
Kami dibawa ke lantai
bawah Pusat Tata Ulang, yang pada dasarnya adalah kandang raksasa. Upacara
pembukaan dimulai sebentar lagi. Pasangan peserta naik ke kereta yang ditarik
empat ekor kuda. Kuda kami sehitam batubara. Binatangbinatang ini sangat
terlatih, hingga tak perlu manusia untuk mengendalikannya. Cinna dan Portia
mengarahkan kami ke kereta kuda dan menempatkan posisi tubuh kami dengan
hati-hati, mengatur hiasan mantel kami, sebelum menjauh dan berdiskusi berdua.
"Bagaiamana menurutmu?"
Aku berbisik pada Peeta. "Soal api ini."
"Akan kurobek
mantelmu jika kaurobek mantelku," sahut Peeta dengan gigi terkatup.
"Oke,"
sahutku. Mungkin kami bisa melepaskan mantel secepat mungkin, kami bisa
menghindari luka bakar yang lebih burum. Tapi tetap saja buruk. Mereka akan tetap
melempar kami ke arena tanpa peduli pada kondisi kami. "Aku tahu kita berjanji
pada Haymitch bahwa kita akan melaksanakan apa yang mereka perintahkan, tapi
kurasa dia tidak mempertimbangkan sudut ini."
"Di mana Haymitch?
Bukankah dia seharusnya melindungi kita dari hal-hal semacam ini?" tanya
Peeta.
"Dengan begitu
banyak alkohol pada tubuhnya, mungkin tidak baik baginya untuk berada di dekat
api yang berkobar," jawabku.
Tiba-tiba kami berdua
tertawa. Kurasa kami berdua gelisah mengenai Hunger Games dan yang lebih
menakutkan, kami takut dijadikan obor manusia, sehingga kami berbuat aneh.
Musik pembuka dimulai.
Suaranya membahana, bisa didengar oleh semua orang seantero Capitol.
Pintu-pintu besar terbuka memperlihatkan jalanan yang penuh orang. Perjalanan
naik kereta kuda ini memakan waktu dua puluh menit dan berakhir di Bundaran
Kota, di sana mereka akan menyambut kami, memainkan lagu kebangsaan, dan
mengawal kami memasuki Pusat Latihan, yang akan menjadi rumah/penjara kami
sampai Hunger Games dimulai.
Peserta dari Distrik 1
keluar dari kereta kuda yang ditarik kuda-kuda seputih salju. Mereka tampak
begitu menawan, warna perak disemperotkan ke tubuh mereka, dan mereka
mengenakan tunik dengan perhiasan berkilau. Distrik 1 menghasilkan barang-barang
mewah untuk Capitol. Terdengar suara pekikan membahana menyambut mereka.
Distrik 1 selalu jadi favorit.
Distrik 2 mengikuti di
belakang mereka. Tidak lama kemudian, kami mendekati pintu dan aku melihat di
antara langit berawan dan matahari sore hari, cahaya mulai berubah kelabu.
Peserta dari Distrik 11
baru melangkah keluar ketika Cinna datang membawa obor menyala.
"Mari kita
laksanakan," katanya, dan sebelum kami sempat bereaksi dia sudah menyulut
mantel kami dengan api. Aku terkesiap, menunggu rasa panas menjalar, tapi yang
terasa hanya sensasi menggelitik yang samar. Cinna naik di depan kami dan
menyalakan penutup kepala kami.
Dia mendesah lega.
"Berhasil." Kemudian dengan lembut dia mengangkat daguku. "Ingat,
kepala diangkat tinggi. Senyum. Mereka akan menyukaimu"
Cinna melompat turun
dari kereta kuda dan punya gagasan terakhir. Dia meneriakkan sesuatu pada kami,
tapi musik menenggelamkan suaranya. Dia berteriak sekali lagi dan membuat
gerakan.
"Dia bilang
apa?" aku bertanya pada Peeta. Untuk pertama kalinya, aku memandang Peeta
dan menyadari bahwa di bawah api palsu yang berkobar, dia tampak memesona.
Pasti aku juga kelihatan memesona.
"Kurasa dia
menyuruh kita berpegangan tangan," sahut Peeta. Tangan kirinya meraih
tangan kananku, dan kami memandang Cinna minta penegasan. Lelaki itu mengangguk
dan mengacungkan jempolnya, dan itulah hal terakhir yang kami lihat sebelum
kami memasuki kota.
Penonton yang awalnya
terkejut melihat penampilan kami segera bersorak dan berteriak, mengelu-elukan.
"Distrik Dua Belas"
Semua kepala menoleh
memandang aku dan Peeta, perhatian terhadap tiga kereta kuda sebelumnya teralih
pada kami. Mulanya, aku tak sanggup bergerak, tapi kemudian aku melihat
penampilan kami di layar televisi raksasa dan aku terpana melihat betapa
menakjubkannya kami di layar itu. Salam cahaya senja yang makin kelam, kobaran
api itu menyinari wajah kami. Mantel kami berkibar seakan menginggalkan
jejak-jejak api. Cinna benar dengan ide riasan wajah kami tidak terlalu tebal,
kami terlihat lebih menarik tapi wajah kami masih bisa dikenali.
Ingat, kepala diangkat
tinggi. Senyum. Mereka akan menyukaimu. Kudengar suara Cinna bergaung dalam
kepalaku. Kuangkat daguku sedikit lebih tinggi, kutampilkan senyumku yang
paling menawan, dan kulambaikan tanganku yang bebas. Aku bersyukur ada Peeta
yang bisa kugenggam tangannya memberiku keseimbangan, dia begitu mantap,
seteguh batu karang. Aku jadi semakin percaya diri, bahkan berani meniupkan
ciuman kepada para penonton.
Penduduk Capitol makin
menggila, mereka melempari kami dengan bunga, meneriakkan nama kami, nama depan
kami, yang dengan susah payah mereka cari dalam panduan program acara. Musik
yang bertalu-talu, sorakan, dan pemujaan mengalir masuk ke dalam darahku, dan
aku tidak bisa menahan rasa girangku. Cinna telah memberiku keuntungan besar.
Tak ada seorang pun yang akan melupakanku. Baik wajahku, maupun namaku.
Katniss. Gadis yang terbakar.
Untuk pertama kalinya,
aku merasakan percikan harapan muncul dalam diriku. Pasti paling tidak ada satu
sponsor yang mau mendanaiku Dan dengan ekstra bantuan, makanan, senjata yang
tepat, aku bisa bertahan dalam Hunger Games.
Seseorang melemparkan
mawar merah kepadaku. Kutangkap bunga itu, kucium pelan, dan kulemparkan ciuman
kepada khalayak ramai ke arah pelempar bunga. Ratusan tangan terulur untuk
menangkap ciumanku, seakan ciumanku nyata bisa dipegang.
"Katniss
Katniss" kudengar namaku diserukan dari segala penjuru. Semua orang menginginkan
ciumanku.
Baru pada saat kami
tiba di Bundaran Kota, aku sadar bahwa aku sudah menghentikan peredaran darah
tangan Peeta. Saking eratnya aku menggenggam tangan itu. Aku menunduk memandang
jemari kami yang bertautan dan aku melonggarkan genggamanku, tapi Peeta tidak
mau melpaskannya.
"Jangan, jangan
lepaskan aku," kata Peeta. Kobaran api membuat matanya yang biru tampak
menyala. "Aku mohon. Aku bisa pingsan akibat semua ini."
"Oke,"
sahutku. Jadi aku tetap berpegangan padanya, tapi aku tetap merasa janggal dengan
cara Cinna menggabungkan kami bersama. Rasanya tidak adil menampilkan kami
sebagai tim lalu mengunci kami di dalam arena untuk saling membunuh.
Dua belas kereta kuda
mengelilingi Bundaran Kota. Di gedung-gedung yang mengelilingi Bundaran, semua
jendela dipenuhi oleh penduduk paling bergengsi di Capitol. Kuda-kuda berhenti
tepat di depan mansion milik Presiden Snow, dan kami semua berhenti berjalan.
Musik berakhir dengan letupan riang.
Presiden, yang bertubuh
kecil dan kurus dengan rambut seputih kertas, memberikan sambutan resmi dari
balkon di atas kepala kami. Biasanya wajahwajah para peserta tidak disorot
kamera selama Presiden berpidato. Tapi di layar kulihat kami mendapat sorotan
lebih banyak dari seharusnya. Malam yang semakin gelap, membuat penonton
semakin sulit melepaskan pandangan dari tubuh kami yang berkobar. Ketika lagu
kebangsaan dinyanyikan, kamera-kamera menyoroti wajah masing-masing peserta
secara cepat, tapi kamera terus merekam kereta kuda Distrik 12 ketika bergerak
memutari bundaran untuk terakhir kalinya sebelum menghilang ke Pusat Latihan.
Pintu baru menutup di
belakang ketika kami diserbu oleh tim persiapan, yang melontarkan pujian tidak
cerdas. Saat memandang ke sekeliling, aku melihat banyak peserta lain yang
menatap kesal kepada kami, dan itu menegaskan perkiraan kami, yaitu kami begitu
bersinar sehingga penampilan mereka jadi tidak berarti.
Cinna dan Portia ada di
sana, membantu kami turun dari kereta kuda, dengan hati-hati melepaskan mantel
dan penutup kepala kami yang berkobar. Portia memadamkan api dengan semacam
semprotan kaleng.
Aku sadar aku masih
berpegangan dengan Peeta dan kulepaskan jemariku dengan susah payah. Kami
memijat-mijat tangan kami masing-masing.
"Terima kasih mau
memegangiku. Aku agak gemetar tadi," kata Peeta.
"Tidak kelihatan
kok," kataku padanya. "Aku yakin tak ada yang tahu."
"Aku yakin
penonton hanya tahu dirimu. Kau harus lebih sering lagi memakai api," ujar
Peeta. "Cocok untukmu."
Kemudian Peeta
memperlihatkan senyum teramat manis yang diiringi kesan malu-malu sehingga
menimbulkan aliran rasa hangat dalam tubuhku.
Bel peringatan
berdentang dalam kepalaku. Jangan bodoh. Peeta menyusun rencana bagaimana
membunuhmu. Aku mengingatkan diriku sendiri. Dia membuatmu terpikat agar kau
jadi mangsa mudah. Semakin memikat dia, semakin mematikan pula dirinya.
Tapi bukan cuma Peeta
yang bisa memainkan permainan ini. Aku berjinjit mencium pipinya. Tepat di
bagian yang memar.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 5"
Posting Komentar