Bab 4
Selama beberapa saat,
aku dan Peeta memandangi pembimbing kami yang berusaha bangun dari cairan
lengket menjijikan yang menempel di perutnya. Bau muntah dan minuman keras yang
tengik nyaris membuat makan malamku naik ke kerongkongan.
Kami bertukar pandang.
Jelas Haymitch tidak bisa diandalkan, tapi Effie Trinket benar tentang satu
hal, setelah kami memasuki arena pertarungan hanya dia yang kami miliki. Seakan
ada persetujuan bersama yang tak terucap, aku dan Peeta masing-masing memegangi
lengan Haymitch dan membantunya berdiri.
"Aku kepeleset
ya?" tanya Haymitch. "Baunya nggak enak," Haymitch menyeka tangannya
ke hidung, mencoreng wajahnya dengan muntahan.
"Ayo ke
kamar," kata Peeta. "Kita bersihkan tubuhmu."
Kami setengah membopong
setengah menyeret Haymitch kembali ke gerbongnya. Karena kami tidak bisa
menaruhnya di atas seprai berbordir cantik, kami menariknya ke bathtub dan
menyalakan pancuran menyiraminya. Haymitch hampir tidak menyadarinya.
"Sudah, tinggalkan
saja," kata Peeta padaku. "Biar kuurus dia."
Aku bersyukur karena
aku enggan menelanjangi Haymitch, membasuh muntahan dari bulu dadanya, dan
membaringkannya di ranjang. Mungkin saja Peeta sedang berusaha menjadi
favoritnya saat Hunger Games dimulai. Tapi melihat keadaan Haymitch saat ini,
dia takkan punya ingatan tentang hal ini besok.
"Baiklah,"
sahutku. "Aku bisa memanggil orang dari Capitol untuk membantumu."
Ada beberapa orang dari
Capitol di kereta ini. Memasak untuk kami. Melayani kami. Mengawal kami.
Menjaga kami adalah tugas mereka.
"Tidak. Aku tidak
mau dibantu mereka," tukas Peeta.
Aku mengangguk dan
berjalan menuju kamarku sendiri. Aku mengerti bagaimana perasaan Peeta. Aku
sendiri tidak tahan melihat orang-orang dari Capitol. Tapi membuat mereka
mengurus Haymitch mungkin bisa jadi semacam balas dendam. Aku jadi memikirkan
alasan kenapa dia berkeras mengurus Haymitch seorang diri dan mendadak aku
berpikir, Itu karena dia memang baik. Perbuatan baik yang sama seperti ketika
dia memberiku roti.
Pemikiran itu membuatku
terenyak. Peeta Mellark yang jahat. Orang baik memliki cara untuk menyelinap
masuk dalam diriku dan membusuk di sana. Dan aku tidak bisa membiarkan Peeta
melakukan ini. Mengingat tempat seperti apa yang kami tuju. Jadi mulai sekarang
aku memutuskan untuk tidak terlalu sering berhubungan dengan anak tukang roti
ini.
Saat aku kembali ke
kamarku, kereta berhenti di peron untuk menambah bahan bakar. Buru-buru aku
membuka jendela dan melempar biskuit yang diberikan ayah Peeta keluar kereta,
langsung menutup jendela itu. Tidak ada lagi. Tidak ada lagi hubungan dengan
mereka. Sayangnya, kemasan biskuit jatuh menghantam tanah dan pecah terbuka
sehingga isinya tersebar membentuk rupa bunga dandelion. Aku hanya melihatnya
sesaat, karena kereta bergerak lagi, tapi sesaat itu sudah cukup. Cukup untuk mengingatkanku
pada dandelion lain yang kulihat dibelakang halaman sekolah beberapa tahun
lalu...
Aku baru saja
memalingkan wajahku dari wajah Peeta Mellark yang lebam ketika melihat
dandelion tersebut dan aku tahu harapanku belum musnah total. Kupetik bunga itu
dengan hati-hati dan bergegas pulang. Aku mengambil ember dan menarik tangan
Prim lalu berjalan menuju Padang Rumput dan ya, di sana penuh dengan
titik-titik rumpun berwarna keemasan. Setelah kami memanen bungabungaan itu,
mencari-cari di sekitar bagian dalam pagar sampai sejauh satu mil hingga ember
kami penuh dengan dedaunan, tangkai, dan bunga-bunga dandelion.
Malam itu, kami puas
melahap salad dandelion dan sisa roti dari toko roti.
"Apa lagi?"
Prim bertanya padaku. "Makanan apa lagi yang bisa kita temukan?"
"Segala macam
makanan." Aku berjanji padanya. "Aku hanya perlu mengingat apa saja
yang bisa dicari."
Ibuku memiliki buku
yang dibawanya dari toko obat. Halaman-halamannya terbuat dari perkamen tua dan
penuh dengan coretan-coretan tinta bergambar tumbuhtumbuhan. Tulisan tangan
yang ditulis dengan huruf balok menjelaskan nama tumbuhan itu, di mana
mencarinya, kapan tumbuhan itu berbunga, dan apa saja kegunaan medisnya. Tapi
ayahku menambahkan entri-entri lain dalam buku itu.
Tumbuhan-tumbuhan yang
bisa dimakan, bukan untuk pengobatan. Dandelion, pokeweed, bawang liar, cemara.
Aku dan Prim menghabiskan sisa makan malam itu dengan membaca isi buku tersebut
dengan tekun.
Keesokan harinya, kami
bolos sekolah. Selama beberapa saat aku hanya berkeliaran di sekitar ujung
Padang Rumput, tapi akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk
melewati bagian bawah pagar. Untuk pertama kalinya aku berada di sana
sendirian, tanpa senjata ayahku yang bisa jadi pelindung. Tapi aku bisa
mengambil busur kecil dan panah yang dibuatkan Ayah untukku dari pohon
berongga. Mungkin aku tidak masuk ke hutan lebih dari dua puluh meter hari itu.
Aku menghabiskan lebih banyak waktu di atas dahan pohon oak tua, berharap
buruanku lewat. Setelah beberapa jam, aku beruntung bisa membunuh kelinci.
Sebelumnya, aku pernah memanah kelinci dari arahan ayahku.
Tapi kali ini aku
melakukannya sendiri.
Sudah berbulan-bulan
kami tidak makan daging. Melihat kelinci tampaknya memunculkan sesuatu dalam
diri ibuku. Dia bangkit berdiri, menguliti bangkai kelinci itu, dan membuat
rebusan daging yang di campur dengan daun-daunan yang berhasil di kumpulkan
Prim. Kemudian dia bertingkah bingung lagi dan kembali ke tempat tidur, tapi
ketika rebusan daging itu matang, kami memaksanya makan semangkuk.
Hutan menjadi
penyelamat kami, dan makin hari aku masuk makin dalam ke hutan. Mulanya
perlahan, tapi aku bertekad untuk memberi makan kami sekeluarga. Aku mencuri
telur dari sarang burung, menangkap ikan dengan jala, dan kadang-kadang
berhasil memanah tupai atau kelinci untuk dibuat rebusan daging, dan
mengumpulkan berbagai tumbuhan yang mekar di bawah kakiku. Mengumpulkan
tumbuhan lebih rumit. Banyak tumbuhan yang bisa dimakan, tapi sekali salah
makan kau bisa tewas seketika. Aku berkali-kali memeriksa tumbuhtumbuhan yang
berhasil kukumpulkan dengan membandingkannya dengan gambar-gambar yang dibuat
ayahku. Aku menjaga kami sekeluarga tetap hidup.
Awalnya, bila merasakan
ada tanda bahaya, lolongan di kejauhan, dahan patah tiba-tiba, aku pasti
langsung melesat lari ke pagar. Kemudian aku mulai berani memanjat pohon-pohon
agar bisa kabur dari kejaran anjing-anjing liar yang biasanya cepat bosan lalu
pergi. Beruang dan macan hidup jauh didalam hutan, mungkin mereka tidak
menyukai bau jelaga dari distrik kami.
Pada tanggal 8 Mei aku
pergi ke Gedung Pengadilan, mendaftar untuk jatah tessera, membawa pulang
gandum dan minyak pertamaku yang jumlahnya tak seberapa dalam gerobak mainan
Prim. Pada tanggal delapan setiap bulan, aku berhak mengambil jatahku. Tentu
saja, aku tidak bisa berhenti berburu dan mengumpulkan makanan. Gandum yang
kami terima tidak cukup untuk kebutuhan hidup, dan masih banyak barang yang
harus dibeli, seperti sabun, susu, dan benang. Makanan-makanan yang tak perlu
kami makan, mulai kutukar di Hob.
Rasanya mengerikan
masuk ketempat itu tanpa didampingi ayahku, tapi orangorang di sana menghormatinya,
dan mereka menerimaku. Hasil buruan tetaplah hasil buruan, tidak peduli siapa
yang membunuhnya. Aku juga menjual hasil buruanku lewat pintu belakang rumah
orang-orang kaya di kota, berusaha mengingat-ingat apa yang pernah diberitahu
ayahku sambil belajar trik-trik baru. Tukang daging mau membeli kelinci tapi
tidak mau tupai. Tukang roti menyukai tupai tapi hanya mau menukarnya dengan
roti jika tidak ada istrinya. Pemimpin Penjaga Perdamaian suka kalkun liar.
Sang wali kota menyenangi stroberi.
Pada akhir musim panas,
aku sedang mandi di kolam ketika aku memperhatikan tumbuh-tumbuhan mulai tumbuh
di sekelilingku. Tumbuhan jenis rimpang dengan dedaunan yang lancip. Bunga-bunganya
bermekaran dengan tiga kelopak putih. Aku berlutut di dalam air, jemariku
menggali lumpur lembut, dan menarik akar umbi-umbian dari sana. Umbi kecil
berwarna kebiru-biruan dengan tampilan tidak menarik tapi bila direbus atau
dipanggang rasanya selezat kentang.
"Katniss,"
kataku lantang. Ini jenis tanaman yang menjadi asal-usul namaku. Dan bisa
kudengar canda ayahku yang berkata, "Selama kau bisa menemukan dirimu, kau
takkan pernah kelaparan."
Selama berjam-jam aku
mengaduk tepi-tepi kolam dengan ujung jari-jari kakiku dan tongkat kayu, lalu
mengumpulkan umbi yang terangkat ke permukaan. Malam itu, kami berpesta ikan
dan umbi katniss sampai kami merasa kenyang, perasaan yang akhirnya bisa kami
rasakan setelah berbulan-bulan.
Pelan-pelan, ibuku kembali
pada kami. Dia mulai membersihkan, memasak, dan mengawetkan sebagian makanan
yang kubawa pulang untuk persediaan musim dingin. Orang-orang melakukan barter
atau membayar kami dengan uang untuk ramuan ibuku. Suatu hari, kudengar ibuku
bernyanyi. Prim gembira ibuku kembali, tapi tetap mengawasi ibuku, menunggunya menghilang
dari kami lagi. Aku tidak mempercayainya. Dan sisi beringas dalam diriku
membencinya karena sikap lemah ibuku, karena melalaikan kami, selama berbulan-bulan
yang harus kami lalui. Prim memaafkannya, tapi aku mengambil langkah mundur
dari ibuku, membangun dinding untuk melindungi diriku agar tidak
membutuhkannya, dan keadaan di antara kami tak pernah sama lagi.
Kini aku akan mati
tanpa punya kesempatan memperbaiki keadaan itu. Aku teringat bagaimana aku
membentak ibuku tadi siang di Gedung Pengadilan. Tapi aku juga bilang aku
sayang padanya. Jadi mungkin kata-kata itu bisa jadi penyeimbang.
Selama beberapa saat
aku berdiri memandang ke luar jendela kereta, berharap aku bisa membuka jendela
lagi, tapi aku tidak yakin dengan kemungkinan yang bisa terjadi jika aku
membuka jendela ketika kereta bergerak secepat ini. Di kejauhan, aku melihat
cahaya dari distrik-distrik lain. Distrik 10? Aku tidak tahu. Aku memikirkan
orang-orang yang berada di dalam rumah mereka, bersiap-siap tidur.
Aku membayangkan
rumahku, dengan jendela yang ditutup rapat. Apa yang sedang dilakukan Prim dan
ibuku sekarang? Apakah mereka sanggup makan malam? Menu malam ini adalah ikan
kukus dan stroberi. Ataukah mereka membiarkan makanan itu tak tersentuh di
piring? Apakah mereka menonton tayangan ulang rangkuman acara hari ini di TV
tua yang ditaruh di atas meja menempel pada dinding? Tentu akan ada air mata
lagi. Apakah ibuku bisa tetap bertahan, tetap kuat demi Prim? Atau apakah dia
mulai menghilang lagi? Menempatkan beban dunia pada bahu adikku yang rapuh?
Aku yakin Prim akan
tidur dengam ibuku malam ini. Membayangkan Buttercup yang budukan itu
memposisikan dirinya di ranjang untuk mengawasi Prim membuatku tenang. Jika Prim
menangis, binatang itu akan berjalan ke pelukan adikku dan bergelung di sana
sampai Prim tenang dan tertidur lagi. Aku lega tidak menenggelamkan kucing itu
dulu.
Membayangkan rumah
membuat hatiku perih dengan rasa kesepian. Hari ini seakan tak pernah berakhir.
Apa benar aku dan Gale baru tadi pagi makan blackberry? Rasanya seperti
kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang lampau. Seperti mimpi yang panjang
berubah menjadi mimpi buruk. Mungkin jika aku tidur, aku akan terbangun di
Distrik 12, tempatku seharusnya berada. Mungkin di laci-laci kamar ini terdapat
banyak gaun tidur, tapi aku hanya melepaskan kemeja dan celana panjangku lalu
naik ke ranjang hanya dengan pakaian dalam. Seprainya terbuat dari bahan yang
halus seperti sutra. Selimut tebal dan empuk langsung memberikan kehangatan.
Jika aku ingin
menangis, sekaranglah saat untuk melakukannya. Besok pagi, aku bisa membasuh
bekas-bekas air mata dari wajahku. Tapi tidak ada air mata yang keluar. Aku
terlalu lelah atau kebas untuk menangis. Satu-satunya hak yang kudambakan
adalah berada di tempat lain. Jadi kubiarkan kereta ini membuaiku hingga
terlena.
®LoveReads
Cahaya kelabu membias
di antara tirai ketika suara ketukan membangunkanku. Kudengar suara Effie
Trinket, menyuruhku bangun. "Bangun, bangun, bangun. Hari ini hari
besaaaaaar"
Sesaat aku membayangkan
seperti apa rasanya berada dalam kepala wanita itu. Apa isi pikirannya saat dia
terjaga? Mimpi apa yang menyambanginya pada malam hari? Aku sama sekali tidak
tahu.
Kupakai baju hijau yang
sudah kupakai sebelumnya karena bajunya masih bersih, hanya sedikit kusut
karena semalaman teronggok di lantai. Jemariku menelusuri lingkaran di
sekelilimg hiasan mockingjay emas dan aku teringat pada hutan, dan ayahku, saat
Prim dan ibuku terbangun, dan segera bergegas dengan kesibukan.
Aku tertidur dengan
rambut masih dikepang, hasil kepangan ibuku untuk Hari Pemungutan, dan
bentuknya tidak terlalu berantakan, jadi kubiarkan saja rambutku masih
terkepang. Tidak masalah. Capitol pasti tidak jauh lagi. Dan setelah kami tiba
di kota, penata busanaku pasti akan mengatur penampilanku. Kuharap aku tidak
mendapat penata gaya yang beranggapan bahwa telanjang adalah tren busana terbaru.
Ketika aku memasuki
ruang makan, Effie Trinket berjalan melewatiku dengan membawa secangkir kopi
pahit. Dia menggerutu pelan soal kecabulan. Haymitch, yang dengan wajah bengkak
dan merah karena kejadian kemarin, tampak tergelak. Peeta memegang roti dan
tampak malu.
"Duduk Duduk"
seru Haymitch, melambaikan tangan padaku agar mendekat.
Saat aku duduk di
kursiku, piring-piring berisi makanan melimpah langsung tersaji di hadapanku.
Telur, daging, tumpukan kentang goreng. Semangkuk besar buahbuahan yang ditaruh
di atas es agar tegap dingin. Seranjang roti yang ditaruh di depanku bisa
memberi makan keluargaku selama seminggu. Ada segelas jus jeruk, pada Tahun
Baru ketika ayahku membelikan kami sebuah jeruk sebagai hadiah istimewa.
Secangkir kopi. Ibuku amat menyukai kopi, yang nyaris tak sanggup kami beli,
tapi rasa kopi di lidahku hanya pahit dan encer. Dan ada secangkir entah apa
berisi cairan cokelat yang tak pernah kulihat.
"Ini namanya
cokelat panas," kata Peeta. "Rasanya enak."
Aku meminum seteguk
cairan panas, manis, kental itu dan langsung bergidik. Meskipun makanan lain
memanggilku untuk mencicipinya, aku mengabaikan panggilan itu hingga aku
menghabiskan cokelatku. Lalu aku memasukkan semua makanan yang bisa kutelan ke
mulutku, banyak-banyak. Tapi berlemak. Pernah ibuku bilang padaku bahwa aku
selalu makan seolah-olah aku ketakutan tak bisa melihat makanan lagi. Dan
kujawab "Ya, betul, kecuali aku pulang membawa makanan." Ibuku
langsung terdiam.
Ketika perutku rasanya
nyaris pecah, aku duduk bersandar dan memperhatikan rekan-rekan sarapanku.
Peeta masih makan, memecah rotinya dan mencelupkannya ke dalam cokelat panas.
Haymitch tampak tidak peduli pada makanan di piringnya, tapi dia menenggak
segelas jus berwarna merah yang ditambahkan cairan bening dari botol. Dari bau
yang tercium, pasti cairan itu semacam minuman keras. Aku tidak kenal Haymitch,
tapi aku sering melihatnya di Hob, melemparkan segepok uang ke meja kepada
wanita yang menjual cairan bening. Dia pasti bakal teler berat pada saat kami
tiba di Capitol.
Aku sadar bahwa aku
membenci Haymitch. Tidak heran para peserta dari Distrik 12 tak pernah punya
kesempatan menang. Bukan karena kami kurang makan dan kurang latihan. Beberapa
peserta dari distrik kami cukup kuat untuk menghadapi pertarungan. Tapi kami
jarang mendapat sponsor dan Haymitch-lah alasan utama kenapa kami tidak
memperolehnya. Orang-orang kaya yang mendukung peserta entah karena mereka
bertaruh atas diri sang peserta atau hanya demi bisa pamer bisa memilih
pemenang yang tepat-mengharapkan orang yang lebih elegan dibanding Haymitch
untuk diajak bekerja sama.
"Kau seharusnya
memberi kami nasihat," kataku pada Haymitch.
"Ini nasihat
untukmu. Usahakan tetap hidup," sahut Haymitch kemudian dia tertawa
terbahak-bahak.
Aku bertukar pandang
dengan Peeta sebelum aku sadar aku tidak mau berurusan lagi dengannya. Aku
kaget melihat ketegasan di matanya. Biasanya Peeta tampak begitu lembut.
"Lucu
sekali," kata Peeta.
Mendadak Peeta menepis
keras gelas di tangan Haymitch. Gelas itu pecah berantakan di lantai, membuat
cairan berwarna merah darah itu mengalir hingga ke bagian belakang kereta.
"Tapi buat kami tidak lucu."
Haymitch berpikir
sejenak, kemudian meninju rahang Peeta, hingga membuatnya terjatuh dari kursi.
Ketika dia mengulurkan tangan untuk mengambil minuman kerasnya, aku menusukkan
pisau ke meja, ke antara tangan dan botol minumannya, nyaris mengenai jemari
Haymitch. Kusiapkan diri untuk mengelak hantaman Haymitch, tapi dia tidak
membalas. Malahan dia duduk bersandar dan menyipitkan mata memandang kami.
"Hm, ada apa
rupanya?" tanya Haymitch. "Apakah aku mendapatkan petarung sejati
tahun ini?"
Peeta bangkit dari
lantai dan meraup es dari bawah mangkuk buah, kemudian menempelkan es itu ke
bagian memar di rahangnya.
"Jangan,"
kata Haymitch menghentikan Peeta. "Biarkan memar itu kelihatan. Penonton
akan mengira kau sudah bertarung dengan peserta lain sebelum sampai ke arena
pertarungan."
"Tapi itu
melanggar peraturan," jawab Peeta.
"Hanya jika mereka
menangkapmu. Memar itu menunjukkan kau berkelahi, tapi kau tidak tertangkap,
itu lebih baik lagi." kata Hatmitch. Dia berpaling memandangku. "Bisakah
kau menggunakan pisau itu selain untuk menusuk meja?"
Busur dan panah adalah
senjataku. Tapi aku juga sering menghabiskan waktu dengan melemparkan pisau.
Kadang-kadang, aku melukai binatang dengam pisau ke tubuh binatang itu sebelum
aku mendekatinya. Aku sadar jika aku ingin menarik perhatian Haymitch,
sekaranglah saatnya. Kutarik pisau dari meja, kupegang erat gagangnya, lalu
kulempar ke dinding di seberang ruangan. Sebenarnya aku cuma berharap pisau itu
bisa tertancap kuat di dinding, tapi pisau itu tersangkut di ruang sempit di
antara dua papan, membuatku tampak lebih jago.
"Berdiri disini.
Kalian berdua," kata Haymitch, mengangguk ke bagian tengah ruangan. Kami
mematuhinya dan dia berjalan mengitari kami, mengamati kami seperti yang
kadang-kadang dilakukan binatang, memperhatikan otot-otot kami, mengamati wajah
kami. "Hm, kalian tidak seluruhnya tanpa harapan. Tampak kuat. Dan setelah
penata busana mendandani kalian, kalian pasti akan kelihatan menarik."
Aku dan Peeta tidak
mempertanyakan hal ini. Hunger Games bukanlah kontes kecantikan, tapi peserta
yang kelihatan paling tampan atau cantik selalu bisa menarik lebih banyak
sponsor.
"Baiklah, aku akan
membuat perjanjian dengan kalian. Kalian jangan menggangguku kalau aku ingin
minum dan aku akan menjaga diri supaya tegap sadar untuk membantu kalian,"
kata Haymitch. "Tapi kau harus melakukan apa yang kuperintahkan."
Perjanjian ini memang
tidak terlalu menguntungkan tapi bila mengingat sepuluh menit yang lalu, ini
jauh lebih baik daripada tidak ada petunjuk sama sekali.
"Baik," sahut
Peeta.
"Jadi bantulah
kami," kataku. "Ketika kami sampai ke arena, apa strategi terbaik di Cornucopia
untuk orang yang..."
"Satu-satu dulu.
Beberapa menit lagi kita akan tiba di stasiun. Kau akan berada di tangan penata
busana. Kau takkan menyukai apa yang akan mereka lakukan padamu. Tapi apapun
yang terjadi jangan melawan," kata Haymitch.
"Tapi..." aku
hendak protes.
"Tidak ada tapi.
Jangan melawan," ujar Haymitch, dia mengambil botol minuman keras dari meja
dan meninggalkan ruang makan.
Ketika pintu menutup di
belakangnya, ruang makan berubah gelap. Masih ada sedikit cahaya di dalam, tapi
di luar seakan-akan malam kembali menelan bumi. Kami pasti berada dalam terowongan
yang menembus pegunungan memasuki Capitol. Pegunungan membentuk penghalang
alami antara Capitol dan distrik-distrik sebelah timur. Nyaris tidak mungkin
memasuki Capitol dari arah timur selain melewati terowongan. Keuntungan
geografis ini adalah faktor utama penyebab kekalahan distrik-distrik ini dalam
perang yang membuatku sekarang jadi peserta pertarungan hari ini. Karena para
pemberontak harus memanjat pegunungan, mereka jadi sasaran mudah bagi angkatan
udara Capitol.
Aku dan Peeta Mellark
berdiri tanpa bicara ketika kereta api melaju cepat. Terowongan itu seakan
tanpa akhir dan aku memikirkan berton-ton batu memisahkan diriku dengan langit,
dadaku langsung terasa sakit membayangkannya. Aku benci terperangkap dalam batu
seperti ini. Aku jadi teringat pada tambang dan ayahku, terjebak, tidak bisa
menemukan cahaya matahari, terkubur selamanya dalam kegelapan.
Kereta akhirnya mulai
melambat dan mendadak cahaya terang membanjiri ruangan. Kami tidak bisa menahan
diri. Aku dan Peeta langsung berlari ke jendela untuk melihat apa yang biasanya
cuma kami lihat di televisi, Capitol kota yang mengendalikan negara Panem.
Kamera tidak menipu saat menggambarkan kemegahannya. Jika pun ada yang tidak
tertangkap kamera adalah betapa besarnya gedung-gedung berkilau dengan
warna-warna pelangi yang menjulang ke angkasa, mobil-mobil mengilat yang
hilir-mudik di jalan-jalan lebar beraspal, orang-orang berpakaian asing dengan
tata rambut aneh dan wajah-wajah yang dilukis yang tampaknya tidak pernah
kekurangan makan. Semua warnanya tampak palsu, warna pinknya terlalu pink,
warna hijaunya terlalu terang, warna kuningnya menyakitkan mata, seperti warna
permen lolipop yang tak pernah sanggup kami beli di toko kecil di Distrik 12.
Orang-orang mulai
menunjuk ke arah kami dengan penuh semangat ketika mereka mengenali kereta
peserta pertarungan memasuki kota. Aku melangkah mundur menjauhi kereta, muak
melihat antusiasme mereka, tahu bahwa mereka tidak sabar lagi menonton kami
mati. Tapi Peeta tetap bertahan, dia bahkan melambai dan tersenyum pada
kerumunan orang. Dia baru berhenti melambai dan tersenyum ketika kereta
memasuki stasiun, dan membuat kami terhalang dari pandangan. Dia melihatku
sedang memelototinya dan mengangkat bahu.
"Siapa tahu?"
katanya. "Salah seorang dari mereka mungkin orang kaya."
Aku telah salah
menilainya. Aku memikirkan segala tindakannya sejak pemungutan. Caranya
menggenggam tanganku. Ayahnya datang membawa kue dan berjanji untuk memberi
makan Prim... apakah Peeta yang menyuruhnya? Air matanya di stasiun kereta.
Mengajukan diri untuk memandikan Haymitch tapi kemudian menantang lelaki itu
pagi ini ketika pendekatan baik-baik tampaknya gagal. Dan sekarang dia melambai
di jendela, berusaha mengambil hati penonton.
Semua potongan itu kini
berusaha kusatukan, tapi kurasakan Peeta sedang menyusun rencana. Dia tidak
menerima kematiannya. Dia sedang berusaha keras untuk tetap hidup. Dan itu
berarti Peeta Mellark yang baik hati, yang memberiku roti, sedang berusaha
keras untuk membunuhku.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 4"
Posting Komentar