Bab 3
Saat lagu kebangsaan
berakhir, kami dibawa untuk diamankan. Kami memang tidak diborgol atau
semacamnya, tapi sekelompok Penjaga Perdamaian menggiring kami memasuki pintu
depan Gedung Pengadilan. Mungkin dulu banyak peserta yang berusaha melarikan
diri. Meskipun aku tak pernah melihat kejadian semacam itu.
Selama berada di dalam,
aku dimasukkan ke ruangan dan ditinggal sendirian di sana. Ini tempat termewah
yang pernah kumasuki, dengan karpet tebal, kursi-kursi, dan sofa berlapis
beludru. Aku tahu seperti apa beludru karena ibuku memiliki gaun dengan kerah
berbahan itu. Sewaktu duduk di sofa, aku tidak tahan untuk tidak mengelus
beludru itu berkali-kali. Sentuhan itu membantu menenangkanku ketika aku
menyiapkan diri untuk menghadapi saat-saat berikutnya. Waktu yang diberikan
kepada para peserta untuk mengucapkan salam perpisahan dengan orangorang yang
mereka sayangi. Aku tidak bisa merasa merana, lalu keluar dari ruangan ini
dengan mata bengkak dan hidung sembap. Menangis bukanlah pilihan.
Akan ada lebih banyak
kamera di stasiun kereta api. Yang pertama datang adalah adik dan ibuku.
Kuulurkan tangan pada Prim dan dia naik ke pangkuanku, kedua lengannya memeluk
leherku, kepalanya di bahuku, sebagaimana yang sering dilakukannya saat dia
masih balita. Ibuku duduk di sampingku dan memeluk kami berdua. Selama beberapa
menit, tak ada yang bicara di antara kami. Kemudian aku mulai memberitahu
segala hal yang harus mereka ingat untuk dikerjakan, karena sekarang aku takkan
berada di sana untuk melakukannya.
Prim tidak boleh
mengambil tessera. Jika mereka hati-hati mereka bisa bertahan hidup dengan
menjual keju dan susu kambing milik Prim dan menjalankan usaha toko obat kecil
yang sekarang diurus ibuku untuk penduduk Seam. Gale akan mencarikan tanaman
obat yang tidak bisa ditanam sendiri oleh ibuku, tapi ibuku harus hati-hati
menggambarkannya pada Gale karena pemahamannya pada tanaman obat tidak seperti
aku. Gale juga akan membawakan sisa daging buruan untuk mereka-aku dan dia
sudah berjanji soal ini sekitar setahun lalu-dan tidak akan meminta bayaran,
tapi mereka akan berterima kasih pada Gale dengan memberinya barang-barang
seperti susu atau obat-obatan.
Aku tidak mau
repot-repot menyarankan Prim untuk belajar berburu. Aku pernah mengajarinya
beberapa kali dan hasilnya kacau-balau. Dia ketakutan berada di dalam hutan.
Setiap kali aku memanah sesuatu, matanya berkaca-kaca dan dia mengatakan bahwa
kami mungkin bisa mengobati binatang itu jika kami bergegas pulang secepatnya.
Tapi dia punya hubungan baik dengan kambingnya, jadi aku berkonsentrasi pada
hal itu.
Setelah aku selesai
memberi pengarahan tentang bahan makanan, cara berdagang, dan agar Prim tetap
bersekolah, aku berpaling pada ibuku dan mencekal lengannya kuat-kuat.
"Dengarkan aku. Ibu mendengarku?"
Dia mengangguk, terkejut
dengan keseriusanku. Dia pasti tahu apa yang hendak kukatakan. "Ibu tidak
boleh menghilang lagi," kataku.
Mata ibuku tertunduk
memandang lantai. "Aku tahu. Aku takkan melakukannya. Aku tidak bisa
menahan apa yang-"
"Yah, kali ini ibu
harus menahannya. Ibu tidak bisa cabut begitu saja dan meninggalkan Prim
sendirian. Sekarang tak ada aku yang bisa menjaga kalian agar tetap hidup. Tak
peduli apa pun yang terjadi. Apa pun yang Ibu lihat di layar TV, Ibu harus
berjanji padaku bahwa Ibu lihat dilayar TV, Ibu harus berjanji padaku bahwa ibu
akan terus berjuang" Suaraku meninggi hingga berteriak. Dalam suaraku
terdapat segenap kemarahan, segenap ketakutan yang kurasakan ketika dia meninggalkanku.
Ibuku menarik lengannya
dari cekalanku, dan jadi ikutan marah. "Dulu aku sakit. Aku bisa mengobati
diriku sendiri jika memiliki obat yang kupunyai sekarang."
"Kalau begitu
minum obatnya. Dan urus dia" sergahku.
"Aku akan
baik-baik saja, Katniss," kata Prim, seraya menangkup wajahku dengan kedua
tangannya. "Kau juga harus jaga diri. Kau sangat cepat dan berani. Mungkin
kau bisa menang."
Aku tidak bisa menang.
Prim pasti sadar betul hal itu dalam hatinya. Pertarungan pasti akan jauh di
atas kemampuanku. Anak-anak dari distrik yang lebih kaya, di mana kemenangan
adalah kehormatan besar, sudah berlatih sepanjang hidup mereka untuk
pertarungan ini. Anak laki-laki yang ukuran tubuhnya dua kali lebih besar
daripada tubuhku. Anak perempuan yang tahu dua puluh cara membunuhmu dengan
pisau. Oh, tentu saja bakal ada orang-orang seperti aku nanti. Orang yang dihabisi
sebelum pertarungan makin seru.
"Mungkin,"
jawabku, karena aku tidak mungkin bisa bilang pada ibuku untuk tetap berjuang
jika aku sendiri sudah menyerah. Selain itu, bukan sifatku untuk kalah tanpa
bertarung, bahkan saat kemungkinan untuk menang tampak begitu tipis. "Lalu
kita akan kaya raya seperti Haymitch."
"Aku tidak peduli
kita kaya atau tidak. Aku hanya ingin kau pulang. Kau akan berusaha, kan?
Sungguh-sungguh berusaha?" tanya Prim.
"Sungguh-sungguh berusaha.
Sumpah," kataku. Dan aku tahu, demi Prim, aku akan harus sungguh berusaha.
Kemudian Penjaga
Perdamai berada di ambang pintu, memberi tanda waktunya sudah habis, lalu kami
semua berpelukan sangat erat sampai sakit rasanya dan yang terus kuucapkan adalah
"Aku menyayangimu. Aku menyayangi kalian."
Dan mereka membalas
kata-kataku, kemudian Penjaga Perdamaian memerintahkan mereka keluar dan pintu
pun tertutup. Kubenamkan kepalaku di salah satu bantal beludru seakan apa yang
kulakukan ini bisa membendung segala yang terjadi. Orang lain memasuki ruangan,
dan ketika mendongak, aku kaget saat melihat ternyata yang datang adalah tukang
roti ayah Peeta Mellark. Aku tidak percaya dia datang mengunjungiku. Bisa jadi
aku bakalan berusaha membunuh anak lelakinya sebentar lagi.
Tapi kami lumayan
saling mengenal, dan dia bahkan lebih mengenal Prim. Saat Prim menjual keju
kambingnya di Hob, dia selalu menyisakan dua batang untuk tukang roti dan
sebagai gantinya dia memberikan banyak roti. Kalau ingin melakukan pertukaran
dengannya, kami selalu menunggu saat istrinya yang jahat sedang tidak ada
karena suaminya jauh lebih baik. Aku merasa yakin dia tidak pernah memukul
anaknya karena membuat roti hangus seperti yang dilakukan istrinya. Tapi kenapa
dia datang menemuiku?
Tukang roti itu duduk
dengan canggung di salah satu kursi empuk di ruangan ini. Dia lelaki bertubuh
besar dengan bahu lebar dan bekas luka bakar di tangannya hasil bertahun-tahun
di dekat oven. Dia pasti baru mengucapkan salam perpisahan dengan putranya. Dia mengeluarkan kantong kertas putih dari
saku jaketnya lalu mengulurkannya ke arahku. Kubuka kantong itu dan kulihat ada
kue di dalamnya. Kue adalah kemewahan yang takkan pernah bisa kuperoleh.
"Terima
kasih," kataku. Tukang roti itu sering kali lebih banyak diam, dan hari
ini dia tampak kehabisan kata-kata. "Aku makan roti Anda tadi pagi.
Temanku Gale menukarnya dengan tupai pagi ini."
Dia mengangguk, seakan
mengingat-ingat tupainya.
"Bukan pertukaran
yang menguntungkan Anda," kataku.
Lelaki itu mengangkat
bahu seakan menganggapnya sebagai hal sepele. Selanjutnya aku tidak bisa
memikirkan topik pembicaraan lainnya, jadi kami duduk dalam keheningan sampai
Penjaga Perdamaian memanggilnya. Dia bangkit dan batuk untuk melegakan
pernapasannya. "Aku akan mengawasi gadis kecilmu. Memastikan dia bisa
tetap kenyang."
Aku merasa beban yang
mengimpit dadaku langsung terangkat mendengar perkataannya. Orang-orang
biasanya berdagang denganku, tapi mereka dengan tulus menyukai Prim. Mungkin
akan ada cukup rasa suka yang mengupayakan Prim tetap hidup.
Tamuku berikutnya juga
di luar dugaan. Madge berjalan langsung ke arahku. Dia tidak tampak cengeng
atau menghindar, malahan ada ketergesaan dalam nada suaranya yang membuatku
terkejut. "Mereka akan mengizinkanmu memakai satu barang dari distrikmu di
dalam arena pertarungan. Satu benda yang mengingatkanmu pada rumah. Maukah kau
memakai ini?"
Dia mengulurkan pin
emas bundar yang tersemat digaunnya tadi siang. Sebelumnya aku tidak terlalu
memperhatikannya, tapi sekarang aku melihat lambang burung yang sedang terbang.
"Pin
milikmu?" tanyaku. Memakai tanda mata dari distrikku nyaris tak terlintas dalam
benakku.
"Sini kupakaikan
di gaunmu ya?" Madge tidak menunggu jawabanku, dia langsung menyematkan
pin burung itu di pakaianku. "Katniss, janji ya kau akan memakainya di
arena?" tanya Madge. "Janji?"
"Ya," kataku.
Kue. Pin. Aku dapat banyak hadiah hari ini. Madge memberiku hadiah lain. Ciuman
di pipi. Kemudian dia pergi dan aku berpikir mungkin selama ini sebenarnya
Madge adalah sahabatku.
Akhirnya, Gale datang.
Mungkin memang tidak ada unsur romantis dalam hubungan kami, tapi saat dia
merentangkan kedua lengannya, aku sama sekali tidak ragu untuk masuk
kepelukannya. Tubuhnya terasa tidak asing lagi-caranya bergerak, aroma kayu
yang terbakar, bahkan suara detak jantungnya yang kukenal dari momen-momen
sunyi saat berburu-tapi ini pertama kalinya aku sungguhsungguh merasakannya,
otot yang liat dan keras menempel pada tubuhku.
"Dengar,"
katanya. "Memperoleh pisau seharusnya urusan mudah, tapi kau harus bisa
mendapat panah. Itu kemungkinan terbaikmu."
"Mereka tidak
selalu punya panah," sahutku, dan aku teringat pada tahun ketika hanya ada
tongkat berduri yang dimiliki para peserta untuk saling menghantam satu sama
lain.
"Kalau begitu buat
saja sendiri," tukas Gale. "Bahkan busur yang lemah lebih baik daripada
tak memilikinya sama sekali."
Aku pernah mencoba
meniru busur panah buatan ayahku tapi hasilnya jelek sekali. Ternyata tidak
semudah itu. Bahkan ayahku kadang-kadang harus membuang busur buatannya
sendiri.
"Aku juga tidak
tahu apakah bakal ada kayu di sana nanti," kataku.
Pada tahun yang lain,
mereka melempar semua orang ke daerah yang hanya ada batu-batu besar, pasir dan
semak-semak. Aku benci pertarungan tahun itu. Banyak peserta digigit ular
berbisa atau jadi gila karena kehausan.
"Selalu ada
kayu," kata Gale. "Sejak tahun itu ketika setengah peserta mati
karena kedinginan. Tidak banyak hiburan dari tayangan tahun itu."
Memang benar. Kami
pernah menonton para peserta dalam Hunger Games kedinginan sampai mati pada
malam hari. Kau nyaris tida kbisa melihat mereka karena mereka hanya berbaring
menggelung dan tidak ada kayu untuk dibuat api atau obor atau apalah. Tahun itu
dianggap tahun yang antiklimaks bagi Capitol, hanya melihat kematian-kematian
yang tenang dan tanpa darah. Sejak saat itu, biasanya selalu tersedia kayu
untuk membuat api.
"Ya, biasanya
memang ada," kataku.
"Katniss, ini
hanya perburuan. Kau pemburu terbaik yang kukenal," kata Gale.
"Ini bukan sekedar
perburuan. Mereka bersenjata. Dan mereka bisa berpikir," jawabku.
"Kau juga. Dan kau
lebih sering latihan. Latihan sungguhan," katanya. "Kau tahu bagaimana
membunuh."
"Bukan membunuh
manusia," kataku.
"Sesulit apa
sih?" tanya Gale muram.
Yang membuatku bergidik
adalah jika aku bisa lupa bahwa mereka manusia, maka tidak ada bedanya sama
sekali. Para Penjaga Perdamaian datang lebih awal dan Gale minta waktu lebih,
tapi mereka menariknya pergi dan aku mulai panik. "Jangan biarkan mereka kelaparan"
Aku menjerit memegangi
tangan Gale.
"Tidak akan pernah.
Kau tahu aku takkan membiarkannya. Katniss, ingat aku..." katanya.
Kemudian mereka memisahkan kami dengan paksa lalu menutup pintu dan aku takkan
pernah tahu apa yang ingin Gale katakan agar bisa kuingat.
Perjalanan dari Gedung
Pengadilan sampai stasiun kereta api cukup singkat. Aku tak pernah naik mobil.
Naik kereta kuda pun jarang. Di Seam, kami biasanya berjalan kaki. Tidak
menangis adalah keputusan benar. Stasiun kereta api penuh dengan wartawan
lengkap dengan kamera mereka yang seperti serangga pengganggu diarahkan padaku.
Tapi aku sudah sering berlatih menghapus segala bentuk emosi agar tidak
terpampang di wajahku dan aku melakukannya sekarang. Sekilas kulihat diriku di
layar televisi di dinding yang menyiarkan kedatanganku secara langsung dan aku
bersyukur bisa tampil dengan wajah bosan seperti itu.
Sebaliknya, Peeta
Mellark jelas habis menangis dan yang menarik darinya adalah dia tidak berusaha
menutupinya. Aku langsung berpikir apakah ini strateginya untuk Hunger Games kali
ini. Dengan tampil lemah dan ketakutan, dia meyakinkan peserta-peserta lain
bahwa dia bukanlah lawan yang patut di perhitungkan, baru kemudian dia muncul
sebagai jagoan. Hal ini berhasil buat anak bernama Johanna Mason dari Distrik 7
beberapa tahun lalu. Dia kelihatannya cuma anak pengecut dan cengeng tak di
perdulikan oleh semua orang sampai ketika tinggal beberapa peserta yang
tersisa.
Ternyata anak perempuan
itu bisa membunuh dengan keji. Caranya bermain sangat cerdik. Tapi ini
tampaknya strategi yang aneh dari Peeta Mellark karena dia putra tukang roti.
Selama bertahun-tahun dia mendapatkan cukup makanan, lagi pula mengangkat
nampan-nampan roti kesana kemari membuat bahunya kekar dan kuat. Dia harus
menangis sampai tersedu-sedu tanpa henti untuk meyakinkan siapa pun agar mau
menganggap enteng dirinya.
Kami harus berdiri di
ambang pintu kereta selama beberapa menit sementara kamera televisi melahap
wajah kami bulat-bulat, kemudian kami diizinkan masuk dan untunglah pintu
segera menutup di belakang kami. Seketika kereta api pun bergerak. Kecepatan
kereta api ini membuatku tercengang. Tentu saja, aku tak pernah naik kereta,
karena melakukan perjalanan antar disttik termasuk kegiatan terlarang kecuali
untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan negara. Bagi distrik kami,
tugas ini terutama mengangkut batu-bara. Tapi ini bukan kereta batu bara biasa.
Ini salah satu kereta milik Capitol yang berkecepatan tinggi, dengan kecepatan
rata-rata 250 mil per jam. Perjalanan kami ke Capitol akan makan waktu kurang
dari sehari.
Di sekolah, mereka
memberitahu kami bahwa Capitol dibangun di tempat yang dulu dinamai Pegunungan
Rocky. Distrik 12 adalah wilayah yang dikenal sebagai Appalachia. Bahkan
ratusan tahun lampau, mereka menambang batu bara disini. Itulah sebabnya para
penambang kami harus menggali sangat dalam. Entah bagaimana pelajaran di
sekolah selalu kembali ke batu bara. Selain buku bacaan dasar dan matematika
kebanyakan pelajaran yang kami terima berhubungan dengan batu bara. Kecuali
untuk kelas mingguan tentang sejarah Panem.
Kebanyakan sih omong
kosong tentang apa saja utang kami terhadap Capitol. Aku tahu pasti banyak yang
tidak mereka beritahukan tentang kejadian yang sesungguhnya terjadi pada masa
pemberontakan. Tapi aku tidak menghabiskan banyak waktu untuk memikirkannya.
Apa pun kebenarannya, aku tidak melihat itu sebagai cara yang bisa membantuku
mencari makan.
Kereta peserta ini
lebih mewah dibanding ruangan di Gedung Pengadilan. Masingmasing orang diberi
kamar sendiri lengkap dengan kamar tidur, ruang pakaian, dan kamar mandi
pribadi dengan air keran yang bisa mengucurkan air dingin dan panas. Di rumah
kami tidak punya air panas, kecuali kami memasaknya. Ada laci-laci yang penuh
berisi pakaian-pakaian bagus. Effie Trinket memberitahuku agar melakukan apa
yang ingin kulakukan, memakai pakaian apa pun yang kuinginkan, segalanya yang
ada disini bisa kupakai. Hanya saja kau harus siap untuk makan malam dalam
waktu satu jam.
Aku melepaskan gaun
biru ibuku lalu mandi air hangat dari pancuran. Aku tak pernah mandi dengan air
pancuran. Rasanya seperti di bawah siraman hujan, hanya saja lebih hangat. Aku memakai
kemeja hijau tua dan celana panjang. Pada saat terakhir, aku teringat pin emas
Madge. Untuk pertama kalinya aku benarbenar memperhatikan pin itu. Ada
perhiasan kecil bergambar burung emas dengan lingkaran emas di sekelilingnya.
Burung itu menempel dengan lingkaran hanya di bagian ujung sayapnya. Tiba-tiba
aku mengenali burung ini. Burung Mockingjay.
Mereka jenis burung
yang lucu dan menampar wajah Capitol. Selama masa pemberontakan, Capitol
membiakkan serangkaian hewan rekayasa genetika sebagai senjata. Istilah umum
bagi hewan-hewan itu adalah mutan, atau kadangkadang disingkat dengan sebutan
mutt. Salah satunya adalah burung istimewa disebut jabberjay yang memiliki
kemampuan untuk mengingat dan mengulang seluruh percakapan manusia. Mereka
adalah burung yang bisa terbang pulang ke sarang, semuanya jantan, yang
dilepaskan ke wilayah-wilayah yang dikenal sebagai tempat persembunyian musuh
Capitol.
Setelah burung-burung
itu mengumpulkan kata-kata yang didengarnya, mereka terbang pulang ke markas untuk
direkam. Butuh waktu beberapa saat bagi orang-orang untuk menyadari apa yang
terjadi pada distrik-distrik tersebut, bagaimana percakapan-percakapan pribadi
bisa sampai ke telinga Capitol. Tentu saja kemudian para pemberontak mengibuli
Capitol dengan kebohongan-kebohongan besar dan mereka tertipu habis-habisan.
Sehingga markas yang jadi sarang burung itu pun ditutup dan burung-burung itu
dibiarkan begitu saja agar punah di alam liar.
Hanya saja mereka tidak
pernah punah. Malahan, burung-burung jabberjay itu kawin dengan mockingbird
betina menciptakan spesies baru yang bisa meniru siulan burung dan melodi
manusia. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengulang kata-kata tapi masih
bisa meniru suara manusia sampai tingkat tertentu, mulai dari suara merdu
bernada tinggi milik anak-anak hingga suara berat orang dewasa. Dan
burung-burung ini bisa menciptakan ulang lagu. Bukan hanya beberapa nadanya,
tapi seluruh lagu dengan berbagai versi berbeda, jika kau punya kesabaran untuk
menyanyikannya pada burung-burung itu dan jika mereka menyukai suaramu.
Ayahku sangat menyukai
burung mockingjay. Sewaktu kami berburu, biasanya Ayah akan bersiul atau
menyanyikan lagu yang rumit pada mereka, dan setelah jeda yang sopan,
burung-burung itu selalu balas bernyanyi. Tidak semua orang mendapat kehormatan
semacam itu. Tapi setiap kali ayahku bernyanyi, semua burung di sana akan diam
dan mendengarkan dengan saksama. Suaranya begitu indah, bernada tinggi dan
jernih dan penuh dengan getar kehidupan sehingga membuat orang yang
mendengarnya ingin tertawa dan menangis pada saat yang bersamaan. Aku tak
pernah sanggup melanjutkan latihan nyanyiku setelah ayahku tewas. Namun, entah
bagaimana burung-burung kecil itu memberikan semacam kenangan. Seakan-akan ada
bagian dari ayahku yang bersamaku, melindungiku.
Kupasang pin itu ke
kemejaku, dan dengan kain berwarna hijau gelap sebagai latar belakang, aku
nyaris bisa membayangkan burung mockingjay terbang di antara pepohonan. Effie
Trinket datang menjemputku untuk makan malam. Kuikuti langkahnya melewati
koridor sempit dan bergoyang-goyang menuju ruang makan dengan dinding berpanel
kayu yang dipelitur. Di sana terdapat meja dengan piring-piring yang mudah
pecah. Peeta Mellark duduk menunggu kami kursi di sampingnya kosong.
"Di mana
Haymitch?" tanya Effie Trinket dengan nada ceria.
"Terakhir kulihat
dia, dia bilang mau tidur siang," sahut Peeta.
"Yah, ini memang
hari yang melelahkan," kata Effie Trinket. Menurutku dia tampak lega tanpa
kehadiran Haymitch, dan aku tidak menyalahkannya. Makan malam disajikan satu
demi satu. Sup wortel kental, salad sayuran, daging domba dan kentang tumbuk,
keju dan buah-buahan, kue cokelat. Sepanjang makan, Effie Trinket mengingatkan
kami untuk menyisakan ruang di perut karena masih ada lagi makanan yang akan
disajikan. Tapi aku makan sebanyak-banyaknya karena aku tak pernah makan
makanan seperti ini, begitu lezat dan begitu banyak, dan karena mungkin saja
hal terbaik yang bisa kulakukan sampai saat pertarungan tiba adalah menambah
bobotku beberapa kilogram.
"Paling tidak
kalian berdua masih punya sopan santun," kata Effie saat kami menghabiskan
makanan utama. "Pasangan tahun lalu makan segalanya dengan tangan seperti
orang-orang tak beradab. Aku sampai tidak nafsu makan melihatnya."
Pasangan tahun lalu
adalah dua anak dari Seam yang tak pernah melewati satu hari pun dengan makan
kenyang. Dan saat mereka melihat makanan, sopan santun di meja makan pasti
sudah tak dipikirkan lagi. Peeta adalah anak tukang roti. Ibuku mengajari aku
dan Prim untuk makan dengan benar, jadi ya, aku bisa menggunakan pisau dan
garpu dengan baik. Tapi aku amat membenci komentar Effie Trinket sampai-sampai
aku sengaja menghabiskan sisa makan malamku dengan menggunakan tangan. Lalu aku
mengelap kedua tanganku dengan taplak meja. Perbuatanku membuat bibirnya
terkatup makin rapat.
Kini setelah selesai
makan, aku berusaha keras untuk menjaga agar makananku tidak naik lagi. Aku
melihat muka Peeta juga agak pucat. Perut kami berdua tidak terbiasa dengan
makanan-makanan lezat seperti tadi. Tapi jika aku bisa tahan makan sup dengan
daging tikus, jeroan babi, dan kulit pohon-terutama di musim dingin-aku
bertekad untuk bisa menahan makananku agar tetap di lambung. Kami menuju
gerbong lain untuk menonton tayangan ulang pemungutan di seantero Panem. Mereka
berusaha mengatur acara itu berlangsung sepanjang hari agar satu orang bisa
menonton seluruh pemungutan secara langsung, tapi hanya orang-orang yang berada
di Capitol yang bisa menonton seluruhnya, karena mereka tidak perlu menghadiri
pemungutan.
Satu demi satu, kami
melihat pemungutan di distrik lain, nama-nama yang disebutkan, para sukarelawan
yang maju menggantikan, atau lebih seringnya lagi tak ada yang mau menjadi
sukarelawan. Kami memperhatikan wajah-wajah mereka yang akan menjadi
lawan-lawan kami. Ada beberapa yang sulit kulupakan. Anak lelaki mengerikan
yang berlari maju untuk menjadi sukarelawan dari Distrik 2. Gadis berwajah
rubah dengan rambut merah lurus dari Distrik 5. Anak laki-laki yang kakinya
pincang dari Distrik 10. Dan yang paling menakutkan, gadis berusia dua belas
tahun dari Distrik 11. Dia memiliki mata cokelat gelap, tapi selain itu ukuran
tubuh dan tingkah polahnya mirip Prim. Hanya ketika dia naik ke panggung dan
mereka bertanya apakah ada sukarelawan, yang bisa kudengar hanyalah embusan
angin kencang di antara gedung-gedung kumuh di sekitarnya. Tak ada seorang pun
yang mau menggantikan tempatnya.
Terakhir, mereka
menampilkan Distrik 12. Nama Prim disebutkan, aku berlari maju untuk menjadi
sukarelawan. Kau tidak bisa mendengar keputusasaan dalam suaraku saat mendorong
Prim ke belakang tubuhku, seakan aku takut tak seorang pun mendengarku dan
mereka akan membawa Prim pergi. Tapi tentu saja mereka mendengarnya. Aku
melihat Gale menarik Prim menjauh dariku dan melihat diriku naik ke panggung.
Para komentator tidak tahu harus berkata apa ketika melihat kerumunan massa
menolak tepuk tangan. Salam hormat tanpa suara. Salah satu komentator mengatakan
Distrik 12 selalu ketinggalan zaman tapi kebiasaan masyarakat setempat itu bisa
tampak menawan. Seakan mendapat aba-aba, Haymitch jatuh di panggung dan mereka
mengerang kocak. Nama Peeta ditarik, dan dengan tenang dia mengambil tempatnya.
Kami berjabat tangan. Mereka sampai ke bagian lagu kebangsaan lagi, dan acara
pun berakhir.
Effie Trinket
menggurutu tentang keadaan wignya. "Mentor kalian harus belajar banyak
tentang penampilan. Juga banyak belajar tentang bagaimana bersikap saat disorot
televisi."
Tanpa disangka Peeta
tertawa. "Dia mabuk," kata Peeta. "Dia mabuk setiap tahun."
"Setiap
hari," tambahku. Aku tidak bisa tidak takut menyeringai. Cara Effie Trinket
mengatakannya seakan-akan Haymitch cuma bersikap kasar dan sikap lelaki itu
bisa diperbaiki dengan beberapa tips darinya.
"Ya," desis
Effie Trinket. "Kalian anggap ini lucu ya. Kalian tahu mentor kalian adalah
penyambung hidup kalian kepada dunia luar dalam Hunger Games ini. Orang yang
memberi kalian saran, mencarikan sponsor, dan menentukan hadiahhadiah apa yang
diberikan. Haymitch bisa jadi orang yang menentukan hidup dan mati kalian"
Tepat pada saat itu,
Haymitch terhuyung-huyung masuk ke dalam gerbong. "Aku ketinggalan makan
malam ya?" katanya dengan suara tidak jelas. Kemudian dia muntah di atas
karpet mahal dan jatuh ke kotorannya sendiri.
"Silahkan
tertawa" kata Effie Trinket. Dia melompat dalam sepatu berhak lancipnya
mengitari kubangan muntahan dan meninggalkan ruangan.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 3"
Posting Komentar