Bab 22
BUNYI hujan yang
bertalu-talu menghantam atap rumah kami perlahan-lahan menarikku kembali ke
alam sadar. Namun aku berusaha kembali tidur, terbungkus dalam kehangatan
selimut, aman di dalam rumah. Samar-samar aku sadar kepalaku sakit. Mungkin aku
kena flu dan ini sebabnya aku boleh tetap berada di ranjang, meskipun aku tahu
aku sudah lama tidur. Tangan ibuku mengelus pipiku dan aku tidak
mengenyahkannya, sebagaimana yang kulakukan jika aku dalam keadaan sadar,
karena aku tak pernah ingin ibuku tahu betapa aku mendambakan sentuhan lembut
itu. Betapa aku merindukannya meskipun aku masih belum percaya padanya.
Kemudian terdengar suara, suara yang salah, bukan suara ibuku, dan aku ketakutan.
"Katniss,"
terdengar suara itu berkata. "Katniss, kau bisa dengar aku?"
Mataku terbuka dan rasa
aman itu pun lenyap. Aku tidak berada di rumah, tidak sedang bersama ibuku.
Dalam gua yang dingin dan temaram, kakiku yang telanjang seperti membeku
meskipun diselimuti, di udara tercium bau darah yang anyir. Wajah anak lelaki
yang pucat dan tirus tampak di depanku, dan setelah melewati kekagetanku, aku
merasa lebih baik, "Peeta."
"Hei,"
panggilnya. "Senang bisa melihat matamu lagi."
"Sudah berapa lama
aku pingsan?" tanyaku.
"Tidak yakin juga.
Aku bangun kemarin sore dan kau terbaring di sampingku dalam kubangan darah
yang sangat menakutkan," kata Peeta. "Kupikir darahnya sudah
berhenti, tapi lebih baik kau jangan duduk dulu atau melakukan sesuatu."
Dengan gamang kuangkat
tanganku menyentuh kepala dan ada perban di sana. Gerakan sederhana ini
membuatku lemah dan pening. Peeta mendekatkan botol ke bibirku dan aku minum
dengan haus.
"Kau sudah lebih
baik," kataku.
"Jauh lebih baik.
Apa pun yang kausuntikkan ke lenganku menyembuhkanku," katanya. "Pagi
ini, hampir semua bengkak di kaki hilang."
Peeta tampaknya tidak
marah aku sudah menipunya, membiusnya, lalu kabur menuju pesta. Mungkin aku
terlalu payah sekarang dan aku bakal mendengarnya nanti ketika kondisiku lebih
kuat. Tapi untuk sementara ini, sikap yang ditampilkan Peeta hanyalah
kelembutan.
"Kau sudah
makan?" tanyaku.
"Maaf aku sudah
menghabiskan tiga potong daging groosling itu sebelum aku sadar bahwa makanan
mesti dihemat. Jangan kuatir, aku kembali ke diet ketatku," katanya.
"Tidak apa-apa. Baguslah,
kau perlu makan. Aku akan berburu tak lama lagi," kataku.
"Jangan
terburu-buru, oke?" ujar Peeta. "Biar aku yang mengurusimu sementara ini."
Tampaknya aku juga tak
punya banyak pilihan. Peeta menyuapiku potongan-potongan daging groosling dan
kismis, lalu menyuruhku minum banyak air. Dia menggosok-gosok kakiku hingga
kehangatan menjalar di sana dan membungkus kakiku dengan jaketnya sebelum
menarik kantong tidur hingga menutupi sampai sebatas daguku.
"Sepatu botmu juga
kaus kakimu masih lembap dan cuaca juga tidak membantu," katanya.
Terdengar gemuruh
guntur, dan aku melihat sambaran kilat di angkasa melalui celah di batu-batuan.
Hujan menetes masuk melalui beberapa lubang di atap, tapi Peeta telah membangun
semacam kanopi di atas kepalaku dan bagian atas tubuhku dengan menyelipkan
kotak plastik di celah batu-batuan di atasku.
"Aku jadi
penasaran apa yang menjadi alasan badai ini? Maksudku, siapa sasarannya?"
tanya Peeta.
"Cato dan
Thresh," kataku tanpa pikir panjang. "Si Muka Rubah akan berada di sarangnya
entah di mana, dan Clove... dia melukaiku lalu..." Suaraku menghilang.
"Aku tahu Clove
tewas. Aku melihatnya di langit tadi malam," kata Peeta. "Kau membunuhnya?"
"Tidak. Thresh
menghancurkan tengkoraknya dengan batu," kataku.
"Untung dia tidak
menangkapmu juga," kata Peeta.
Kenangan tentang pesta
itu kembali sepenuhnya dan aku merasa mual. "Dia menangkapku. Tapi dia
membiarkanku pergi."
Tentu saja aku harus
menceritakan pada Peeta. Tentang banyak hal yang jadi rahasiaku karena dia
terlalu sakit untuk bertanya dan aku belum siap untuk menceritakannya kembali.
Seperti ledakan itu, telingaku, kematian Rue, anak lelaki dari Distrik 1, dan
roti. Semua itu mengarah pada apa yang terjadi pada Thresh dan bagaimana dia
membayar hutangnya.
"Dia melepasmu
karena dia tidak mau berutang padamu?" tanya Peeta tak percaya.
"Ya. Aku tidak
berharap kau mengerti. Kau selalu hidup berkecukupan. Tapi jika kau tinggal di
Seam, aku tak perlu menjelaskannya padamu," kataku.
"Tidak perlu.
Jelas aku tidak secerdas itu untuk bisa memahaminya," kata Peeta.
"Seperti roti
contohnya. Bagaimana aku tak pernah bisa lupa bahwa aku berutang padamu karena
roti itu," kataku.
"Roti? Apa? Waktu
kita masih kanak-kanak?" tanyanya. "Kurasa kita bisa melupakan itu.
Maksudku, kau baru saja membangkitkanku dari maut."
"Tapi kau tidak
kenal aku waktu itu. Kita tak pernah bicara. Lagi pula, hadiah pertama selalu
sulit untuk dibayar. Aku takkan pernah berada di sini untuk membantumu jika kau
tidak menolongku saat itu," kataku. "Lagi pula, kenapa kau melakukannya?"
"Kenapa? Kau tahu
kenapa," kata Peeta.
Aku menggeleng pelan,
terluka.
"Haymitch bilang
kau memang sulit diyakinkan."
"Haymitch?"
tanyaku. "Apa hubungannya dengan dia?"
"Tak
apa-apa," kata Peeta. "Jadi Cato dan Thresh, ya? Kurasa berlebihan jika
aku berharap mereka bisa saling membunuh ya?"
Tapi pemikiran itu
membuatku muram.
"Kurasa kita ingin
Thresh yang tewas. Kurasa dia bisa jadi teman kita jika tinggal di Distrik Dua
Belas," kataku.
"Jadi mari kita
harap Cato membunuhnya, agar kita tidak harus melakukannya," kata Peeta
muram.
Aku sama sekali tidak
ingin Cato membunuh Thresh. Aku tidak mau ada peserta lagi yang mati. Tapi ini
bukanlah kata-kata yang boleh diucapkan para pemenang di arena pertarungan.
Meskipun sudah berusaha mati-matian, aku bisa merasakan air mata mengambang di
mataku.
Peeta waswas melihatku.
"Ada apa? Kau kesakitan?"
Kuberikan jawaban lain
pada Peeta, karena apa yang kukatakan ini juga jujur tapi bisa dianggap sebagai
kelemahan sesaat bukannya kelemahan fatal.
"Aku ingin pulang,
Peeta." kataku sedih, seperti anak kecil.
"Kau akan pulang.
Aku berjanji," katanya, dan dia menunduk untuk menciumku.
"Aku ingin pulang
sekarang," kataku.
"Begini saja. Kau
tidur saja lagi dan mimpikan rumah. Tanpa sadar kau sudah ada dirumah,"
katanya. "Oke?"
"Oke,"
bisikku. "Bangunkan aku kalau kau ingin aku berjaga."
"Aku sudah sehat
dan puas beristirahat, berkat kau dan Haymitch. Selain itu, siapa yang tahu
berapa lama ini berlangsung?" tanyanya.
Apa maksud Peeta? Badai
ini? Jeda yang diberikannya kepada kami? Hunger Games. Aku tak tahu, tapi aku
terlalu sedih dan letih untuk bertanya.
®LoveReads
Sudah malam saat Peeta
membangunkanku. Hujan sudah menderas, membuat tetesan air dari langit-langit
berubah menjadi arus air tanpa henti. Peeta menaruh panci di bawah bocoran air
paling besar dan menempatkan plastik agar membelokkan air itu tidak mengenaiku.
Aku merasa lebih baik, bisa duduk tanpa jadi terlalu pening, dan aku sungguh
kelaparan. Demikian juga Peeta. Jelas bahwa dia menungguku terbangun untuk
makan dan tidak sabar untuk segera makan. Tidak banyak makanan yang tersisa.
Dua potong daging groosling, campuran umbi-umbian, dan segenggam buah kering.
"Apakah kita harus
makan sedikit dan menyimpan sisanya?" tanya Peeta.
"Tidak usah, mari
kita habiskan saja. Daging groosling ini sudah terlalu lama disimpan, dan kita
tak mau sakit karena makan makanan yang sudah busuk," kataku, dan membagi
makanan jadi dua porsi yang sama banyaknya.
Kami berusaha makan
pelan-pelan, tapi kamu terlalu lapar sehingga makanan habis dalam beberapa
menit. Perutku masih belum kenyang betul.
"Besok hari
berburu," kataku.
"Aku takkan bisa
banyak membantu," kata Peeta. "Aku tak pernah berburu sebelumnya."
"Aku yang membunuh
dan kau yang masak," kataku. "Dan kau selalu bisa mengumpulkan
makanan."
"Kuharap ada
semacam semak roti di luar sana," kata Peeta.
"Roti yang dikirim
Distrik Sebelas untukku masih hangat," kataku sambil menghela napas.
"Sini, kunyah ini."
Kuberikan beberapa
lembar daun mint dan kukunyah juga beberapa lembar. Sulit melihat proyeksi di
angkasa, tapi cukup jelas bagi kami untuk tahu tidak ada kematian hari ini.
Jadi Cato dan Thresh belum bertarung sampai mati.
"Ke mana Thresh
pergi? Maksudku, ada apa di ujung lingkaran?" aku bertanya pada Peeta.
"Ladang. Sejauh
mata memandang hanya terlihat rumput setinggi bahuku. Aku tidak tahu, mungkin
sebagian di antaranya tanaman gandum. Dari jauh tampak potongan-potongan warna
berbeda. Tapi tak tampak jelas jalan yang bisa dilalui," kata Peeta.
"Aku yakin
sebagian di antara rumput itu tanaman gandum. Aku juga yakin Thresh tahu mana
yang gandum," kataku. "Apakah kau ke ladang itu?"
"Tidak. Tak ada
seorang pun yang mau mengejar Thresh ke ladang itu. Tempat itu menimbulkan
perasaan seram. Setiap kali aku memandang ladang itu, yang terpikir olehku
adalah segala hal yang tersembunyi. Ular, anjing gila, dan pasir isap,"
kata Peeta. "Bisa apa saja ada di sana."
Aku tidak mengatakan
apa-apa tapi kata-kata Peeta mengingatkanku pada peringatan-peringatan yang
mereka berikan pada kami agar tidak melewati pagar di Distrik 12. Sesaat, aku
tidak bisa tidak membandingkannya dengan Gale, yang akan memandang ladang itu
sebagai sumber makanan potensial juga sebagai ancaman. Thresh jelas
menganggapnya seperti itu. Ini bukan berarti Peeta tak bernyali, dia sudah
membuktikan bahwa dirinya bukan pengecut.
Tapi kurasa ada hal-hal
yang tak banyak kaupertanyakan ketika di rumahmu selalu tercium aroma roti
hangat, sementara Gale mempertanyakan segalanya. Apa yang bakal dipikirkan
Peeta jika mendengar kelakar tak sopan yang terlontar di antara kami ketika aku
dan Gale melanggar hukum setiap hari? Apakah Peeta akan terkejut mendengar
segala hal yang kami katakan tentang Panem? Atau semburan kata-kata penuh
amarah dari Gale tentang Capitol?
"Mungkin ada semak
roti di ladang itu," kataku. "Mungkin itu sebabnya Thresh tampak
lebih gemuk daripada ketika kita memulai Hunger Games ini."
"Bisa jadi atau
dia mendapat sponsor-sponsor yang sangat murah hati," kata Peeta.
"Aku penasaran,
kira-kira apa yang harus kita lakukan agar Haymitch mau mengirimi kita
roti."
Kedua alisku terangkat
sebelum aku ingat dia tidak tahu tentang pesan yang dikirimkan Haymitch
beberapa malam lalu. Satu ciuman sama dengan sepanci kuah daging. Ini juga
bukan sesuatu yang bisa kuceritakan tanpa pikir panjang. Mengucapkan isi
pikiranku dengan lantang sama saja dengan membocorkan rahasia pada penonton
bahwa kisah cinta kami hanyalah tipuan untuk memperoleh simpati mereka dan pada
akhirnya kami takkan mendapat makanan. Entah bagaimana, aku harus mengembalikan
keadaan. Dimulai dari sesuatu yang sederhana. Kuulurkan tangan dan kuraih
tangannya.
"Hm, dia mungkin
sudah menghabiskan seluruh sumber dayanya untuk membantuku membuatmu
pingsan," kataku nakal.
"Yeah, tentang
itu," kata Peeta, mengaitkan jemarunya dengan jemariku. "Jangan coba-coba
melakukan hal semacam itu lagi."
"Kau bisa apa
memangnya?" tanyaku.
"Aku...
aku..." Peeta kehilangan kata-kata. "Beri aku waktu sebentar."
"Apa sih
masalahnya?" tanyaku sambil nyengir.
"Masalahnya kita
masih hidup. Itu membuatmu makin yakin bahwa tindakanmu benar," ujar
Peeta.
"Memang tindakanku
benar," aku berseru.
"Tidak Jangan
lakukan, Katniss" Genggamannya makin erat, hingga menyakiti tanganku, dan
ada kemarahan sungguh-sungguh dalam suaranya. "Jangan mati demi aku. Kau
tak boleh lagi melakukan apa pun untuk membantuku. Setuju?"
Aku terkejut dengan
intensitas kemarahannya tapi aku menyadari adanya kesempatan yang baik
memperoleh makanan, jadi aku mengikuti permainannya. "Mungkin aku
melakukannya untuk diriku sendiri, Peeta, pernahkah kau berpikir seperti itu?
Mungkin kau bukan satu-satunya yang... yang kuatir tentang... seperti apa
rasanya jika..."
Aku tergagap. Aku tidak
pandai berkata-kata seperti Peeta. Dan ketika aku bicara, bayangan bahwa aku
bisa saja kehilangan Peeta menghantamku lagi dan aku sadar betapa aku tidak
ingin dia mati. Dan ini bukan tentang sponsor. Bukan tentang apa yang akan
terjadi di distrik. Bukan tentang aku tidak mau sendirian. Aku tidak mau kehilangan
anak lelaki yang memberiku roti.
"Jika apa,
Katniss?" tanya Peeta lembut.
Aku berharap bisa
menutup semua kamera, menghalangi momen ini dari tatapan mata ingin tahu di
seantero Panem. Bahkan jika itu berarti kehilangan makanan. Apa pun yang
kurasakan, perasaanku adalah urusanku bukan urusan orang lain.
"Itu jenis topik
yang Haymitch bilang padaku agar tidak kubahas," kataku menghindar,
meskipun Haymitch tak pernah bicara seperti itu. Sesungguhnya, dia mungkin
sedang mengutukku sekarang karena tidak menggunakan kesempatan dengan baik. Tapi
Peeta berhasil menangkap kesempatan ini.
"Kalau begitu,
biar kujawab sendiri," katanya, dan bergerak mendekatiku.
Ini adalah ciuman
pertama yang sama-sama kami sadari sepenuhnya. Tak satu pun dari kami sedang
demam, kesakitan, atau tak sadarkan diri. Bibir kami tak ada yang terbakar
demam atau sedingin es. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan dengan dada
berdebar. Hangat dan penuh rasa ingin tahu. Ini adalah ciuman pertama yang
membuatku menginginkan ciuman lainnya. Tapi aku tidak mengerti. Yah, aku mendapat
ciuman keduaku, tapi hanya kecupan ringan di ujung hidungku karena perhatian
Peeta teralih.
"Kurasa lukamu
berdarah lagi. Ayo, berbaringlah. Lagi pula, sudah waktunya tidur," kata
Peeta.
Kaus kakiku sudah cukup
kering untuk bisa kupakai. Kusuruh Peeta memakai jaketnya lagi. Rasa dingin
yang lembap seakan menusuk tulangku, Peeta pasti sudah setengah beku. Aku
berkeras berjaga lebih dulu, meskipun kami berdua berpikir tak ada seorang pun
yang bakal datang dengan cuaca seperti ini. Tapi Peeta menolak kecuali aku juga
masuk kantong tidur, dan aku menggigil begitu keras sehingga tak ada gunanya
menolak Peeta. Berbeda dengan dua malam lalu, ketika kurasakan Peeta sejuta
kilometer jauhnya dariku, saat ini aku justru terkejut dengan kesigapannya.
Setelah kami berdua
berada di dalam kantong tidur, dia menaruh kepalaku di atas lengannya yang
digunakannya sebagai bantal, sementara tangan satunya lagi memelukku penuh
perlindungan bahkan ketika dia tertidur. Sudah lama sekali tak ada seorang pun
yang memelukku seperti ini. Sejak ayahku meninggal dan aku berhenti memercayai
ibuku, tak ada satupun pelukan yang membuatku senyaman ini.
Dengan bantuan kacamata
malam,aku berbaring melihat tetesan-tetesan air memantul dilantai gua. Beberapa
kali aku ketiduran lalu terbangun, merasa bersalah dan marah pada diriku
sendiri. Setelah 3 atau 4 jam aku tak tahan lagi,akhirnya kubangunkan Peeta
karena mataku tak mau lagi membuka. Dia tampaknya tak keberatan.
"Besok setelah
kering, akan kucarikan tempat yang sangat tinggi dipohon supaya kita bisa tidur
dengan damai," aku berjanji padanya lalu tertidur.
Tapi besoknya cuaca tak
lebih baik.Hujan deras turun tanpa henti seakan juri pertarungan berniat
membanjiri kami. Petir menggelegar begitu keras seakan mengguncang bumi. Peeta
berniat keluar mencari makanan, tapi kukatakan padanya usaha itu bakal sia-sia
dalam badai seperti ini. Peeta tau aku benar,tapi perut kami yang keroncongan
makin lama makin sakit.
Hari berlalu hingga
malam tiba dan tak ada perubahan pada cuaca. Haymitch adalah satu-satunya
harapan kami, tapi tak ada apapun yang dikirimnya. Entah karena kekurangan
uang—segalanya harus dibayar dengan harga mahal ini—atau karena dia tak puas
dengan penampilan kami. Mungkin dia tak puas. Harus kuakui penampilan kami tak
membuat penonton terpaku ditempatnya. Kami kelaparan, lemah karena luka-luka
kami, berusaha tak membuat luka kami terbuka lagi. Kami memang duduk berimpitan
terbungkus kantong tidur, tapi tujuannya adalah agar tetap hangat. Kegiatan
paling seru yang kami lakukan adalah tidur siang.
Aku tak yakin bagaimana
cara kami bisa sampai ke kegiatan asmara. Ciuman tadi malam menyenangkan,tapi
mengusahakan ciuman lagi perlu perencanaan. Selain itu,ciuman jelas tak cukup
lagi karena kami tak mendapat makanan tadi malam. Firasatku Haymitch tak
sekadar mencari kasih sayang fisik, dia menginginkan sesuatu yang lebih
personal. Aku payah dalam urusan ini, tapi Peeta tidak.
Mungkin pendekatan
terbaik adalah dengan membuatnya bicara.
"Peeta,"
kataku santai. "Waktu wawancara kaubilang kau sudah lama naksir aku. Lamanya
sejak kapan?"
"Coba
kuingat-ingat. Kurasa pada hari pertama sekolah. Kita berumur 5 tahun. Kau pake
baju kotak-kotak merah dan rambutmu.. dikepang dua bukan satu. Ayahku menunjukmu
ketika kita menunggu untuk berbaris," kata Peeta.
"Ayahmu?
Kenapa?" tanyaku.
"Dia bilang,
'Lihat anak perempuan itu? Aku ingin menikahi ibunya, tapi dia kawin lari
dengan penambang batubara,'" ujar Peeta.
"Apa? Kau pasti
mengarang cerita ini" aku berseru.
"Tidak, ini
sungguhan," kata Peeta. "Lalu kubilang, 'Penambang batubara? Kenapa mau
dengan penambang batubara kalau ibunya bisa menikah dengan ayah?' Dan ayahku
bilang, 'karena ketika ayahnya bernyanyi.. bahkan burung pun diam
mendengarkan'."
"Itu memang betul.
Burung-burung itu mendengarkan. Maksudku, dulu mereka mendengarkan
ayahku," kataku. Aku terpana dan amat tersentuh memikirkan tukang roti
menceritakan semua ini pada Peeta. Aku jadi tersadar bahwa keenggananku
bernyanyi, ketidak-pedulianku pada musik sesungguhnya bukan karena aku
menganggap musik cuma menghabiskan waktu. Mungkin karena musik terlampau
mengingatkanku pada ayahku.
"Jadi hari itu, di
kelas musik, guru kita bertanya siapa yang tau lagu lembah. Tanganmu terangkat
tinggi. Dia menyuruhmu berdiri di atas kursi kecil dan kau menyanyikan lagu itu
pada kami. Dan aku berani sumpah, semua burung di luar jendela terdiam mendengarmu,"kata
Peeta.
"Yang benar
saja," kataku sambil tertawa.
"Benar kok.
Sungguh. Dan ketika lagumu berakhir, aku tau—sama seperti ibumu—aku sudah
takluk padamu," ujar Peeta. "Lalu selama 11 tahun selanjutnya, aku
berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara denganmu."
"Yang ternyata tak
berhasil," tambahku.
"Yang ternyata tak
berhasil. Jadi bisa dibilang ketika namaku yang tercabut dalam pemungutan, itu
suatu keberuntungan." kata Peeta.
Sesaat aku merasakan
kegembiraan yang konyol, lalu rasa heran menguasaiku. Karena kami seharusnya
mengarang semua cerita ini, berakting jatuh cinta bukan jatuh cinta sungguhan.
Tapi cerita Peeta memiliki unsur kebenaran. Bagian tentang ayahku dan
burung-burung itu. Aku memang bernyanyi pada hari pertama sekolah, walaupun aku
tak ingat lagu apa yang kunyanyikan. Dan baju kotak-kotak merah.. aku pernah
punya baju seperti itu, yang kulungsurkan ke Prim dan jadi kain lap setelah
kematian ayahku.
Ceritanya juga
menjelaskan hal lain. Kenapa Peeta rela dipukul untuk bisa memberiku roti pada
hari ketika aku kehabisan daya itu. Jadi jika semua detail cerita itu benar..
mungkinkah semua ini benar?
"Kau punya
ingatan.. yang luar biasa," kataku terbata-bata.
"Aku ingat
segalanya tentang dirimu," kata Peeta, sambil menyelipkan rambut yang
terlepas ke belakang telingaku. "Kaulah yang tak memperhatikannya."
"Sekarang aku
memperhatikan,"kataku.
"Yah, aku tak
punya banyak pesaing disini," kata Peeta.
Aku ingin menarik diri,
memasang penutup pada kamera lagi. Tapi aku tau aku tak bisa melakukannya.
Seakan-akan aku bisa mendengar Haymitch berbisik di telingaku, 'Katakan
Katakan'. Aku menelan ludah dengan susah payah dan membiarkan kata-kata itu
terucap. "Kau tak punya pesaing dimanapun."
Lalu kali ini, akulah
yang mendekat. Bibir kami baru saja bersentuhan ketika suara berdebam di luar
membuat kami terlonjak. Busurku terangkat, siap ditembakkan. Peeta mengintip di
antara bebatuan lalu bersorak dan dia sudah berada di bawah hujan, kemudian dia
menyerahkan sesuatu padaku.
Parasut perak yang
menempel pada keranjang. Langsung kubuka penutupnya dan di dalamnya ada banyak
makanan lezat, roti segar, keju kambing, apel dan yang paling hebat dari
semuanya ada wadah berisi sup daging domba di atas nasi. Makanan yang kukatakan
pada Caesar Flickerman sebagai hal terbaik yang diberikan Capitol.
Peeta kembali ke gua,
wajahnya tampak cerah. "Kurasa Haymitch akhirnya bosan melihat kita
kelaparan."
"Kurasa
begitu," jawabku.
Tapi otakku bisa
mendengar kata-kata Haymitch yang penuh kepuasan dan menjengkelkan, "Ya,
itu yang aku cari, sweetheart."
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 22"
Posting Komentar