Bab 21
JAM-JAM terakhir
menjelang malam tiba, aku mengumpulkan batu-batu dan berusaha membuat kamuflasi
di pintu gua sebaik mungkin. Kegiatan ini lambat dan melelahkan, tapi setelah
banyak berkeringat dan memindah-mindahkan batubatuan, aku merasa puas dengan
hasil kerjaku. Gua itu sekarang kelihatan seperti bagian dari tumpukan
batu-batuan, seperti yang ada di sekitar tempat ini. Aku masih bisa merangkak
masuk ke tempat Peeta melalui bukaan kecil, tapi tidak terdeteksi dari luar.
Itu bagus, karena aku
masih perlu berbagi kantong tidur lagi malam ini. Selain itu, jika aku tidak
kembali dari pesta, Peeta akan tersembunyi tapi tidak sampai terpenjara.
Meskipun aku tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama tanpa obat. Kalau aku
tewas dalam pesta, kemungkinan besar Distrik 12 takkan punya pemenang.
Aku meracik makanan
dari ikan yang lebih kecil dan lebih banyak tulangnya yang mendiami sungai di
sini. Kuisi juga semua tempat air yang kupunya dan kusuci-hamakan, lalu
kubersihkan senjata-senjataku. Hanya ada sembilan anak panah yang tersisa. Aku
sedang menimbang-nimbang apakah ingin meninggalkan pisauku di tangan Peeta agar
dia punya perlindungan selama aku pergi, tapi sesungguhnya itu tak ada gunanya.
Kamuflase jadi pertahanan terakhirnya. Tapi aku masih bisa memanfaatkan pisau
ini. Siapa tahu apa yang bakal kuhadapi nanti?
Berikut ini beberapa
hal yang kuyakini. Paling tidak Cato, Clove, dan Thresh akan siap ketika pesta
dimulai. Aku tidak yakin dengan si Muka Rubah karena pertarungan langsung
bukanlah gayanya atau kekuatannya. Tubuhnya lebih kecil daripada tubuhku dan
dia tidak bersenjata, kecuali dia menemukan senjata entah di mana belakangan
ini. Dia mungkin akan menunggu tidak jauh dari tempat pesta, melihat apa
sisa-sisa yang bisa dia pungut. Tapi tiga peserta lain... aku pasti bakal sibuk
sekali.
Kemampuanku untuk
membunuh sasaran dari jarak jauh adalah aset terbesarku, tapi aku tahu harus
terjun ke sarang kehebohan untuk memperoleh ransel itu, ransel bernomor 12
seperti yang disebutkan Claudius Templesmith.
Aku mendongak menatap
langit, berharap lawan yang harus kuhadapi pada dini hari nanti bisa berkurang
satu, tapi tak ada seorang pun yang muncul. Besok akan ada wajah-wajah yang
muncul di sana. Pesta selalu menghasilkan korban jiwa.
Aku merangkak ke dalam
gua, menyimpan kacamataku, dan bergelung di samping Peeta. Untungnya aku sudah
tidur nyenyak sepanjang siang tadi. Aku tidak boleh tidur. Kurasa tak ada
seorang pun yang akan menyerang gua kami malam ini, tapi aku tidak bisa
menanggung risiko ketinggalan dini hari.
Dingin sekali, dingin
yang amat menggigit malam ini. Seakan para Juri Pertarungan telah menyuntikkan
embusan udara yang membeku ke arena pertarungan, dan mungkin saja mereka memang
sungguh-sungguh melakukannya.
Aku berbaring di
samping Peeta di dalam kantong tidur, berusaha menyerap setiap titik panas dari
demamnya. Aneh rasanya berada dekat secara fisik dengan seseorang yang teramat
jauh. Peeta bisa saja berada di Capitol, Distrik 12, atau di bulan saat ini,
aku sama saja tak bisa menggapainya. Aku tak pernah merasa kesepian seperti
saat ini sejak Hunger Games dimulai.
Terima saja ini akan
jadi malam yang buruk, kataku dalam hati. Aku berusaha tidak melakukannya, tapi
aku tidak bisa berhenti memikirkan ibuku dan Prim, bertanya-tanya apakah mereka
bisa tidur malam ini. Pada tahap-tahap menjelang akhir Hunger Games dan adanya
peristiwa penting seperti pesta, sekolah mungkin diliburkan. Keluargaku bisa
memilih antara menonton di televisi tua yang gambarnya berbintik-bintik di
rumah atau bergabung dengan massa di alun-alun untuk menonton di layar-layar
televisi besar yang gambarnya jernih. Mereka akan mendapat privasi di rumah
tapi dukungan di alun-alun.
Orang-orang akan
bersikap ramah pada mereka, memberikan sedikit makanan jika ada yang tersisa.
Aku bertanya-tanya apakah tukang roti telah mengurus mereka, terutama sekarang setelah
aku dan Peeta satu tim, dan melaksanakan janjinya untuk menjaga perut adikku
tetap kenyang.
Semangat pasti berkobar
di Distrik 12. Kami jarang sekali memiliki peserta yang bisa kami elu-elukan
pada tahap ini di Hunger Games. Tentu saja, orang-orang pasti gembira melihat
aku dan Peeta, terutama sekarang setelah kami bersama. Kalau aku memejamkan
mata, aku bisa membayangkan teriakan-teriakan mereka ke layar-layar televisi,
mendorong kami untuk terus lagi. Aku melihat wajah-wajah mereka-Greasy Sae dan
Madge, bahkan para Penjaga Perdamaian yang membeli daging dariku-sedang
bersorak untuk kami.
Dan Gale. Aku kenal
dia. Dia takkan berteriak dan bersorak. Tapi dia akan menonton, setiap momen,
setiap gerak dan tingkah laku, dan menginginkan aku pulang. Aku ingin tahu
apakah dia berharap Peeta juga bisa selamat. Gale bukan kekasihku, tapi akankah
dia jadi kekasihku, jika aku membuka pintu hatiku? Dia bicara tentang kami
kabur bersama. Apakah itu cuma perhitungan praktis dari kemungkinan kami
bertahan hidup jauh dari distrik? Atau ada sesuatu yang lebih? Aku ingin tahu
apa yang dia tangkap dari semua ciuman ini.
Melalui celah di
bebatuan, aku melihat bulan melintasi langit. Pada waktu yang kuperkirakan tiga
jam sebelum dini hari tiba, aku memulai segala persiapan akhir. Aku
berhati-hati meninggalkan Peeta dengan air dan obat-obatan tepat di sampingnya.
Barang-barang lainnya takkan berguna jika aku tidak kembali.
Setelah melalui
sejumlah pertimbangan, kulepaskan jaket Peeta dan kupakai rangkap di luar
jaketku. Dia tidak membutuhkannya. Apalagi sekarang ketika dia berada di
kantong tidur dengan demam tingginya, dan pada siang hari besok nanti. Jika aku
tidak melepaskannya, dia pasti terpanggang kepanasan di dalam kantong tidur.
Kedua tanganku sudah kaku kedinginan, jadi kupakai kaus kaki cadangan Rue,
Setelah kubuat lubang untuk empat jari-jariku. Kaus kaki ini membantu. Aku mengisi
ransel kecil Rue dengan makanan, botol air, dan perban, menyelipkan pisau di
ikat pinggangku, lalu mengambil busur dan anak panahku.
Aku baru saja hendak
pergi ketika teringat pada pentingnya menjaga situasi kami sebagai pasangan
kekasih yang bernasib malang, jadi aku menunduk dan mencium Peeta, lama dan tak
terlupakan. Aku membayangkan desahan penuh air mata di Capitol, lalu aku
pura-pura menyeka air mataku sendiri. Kemudian aku melesat di antara batu-batuan
menuju pekatnya malam.
Napasku menimbulkan
awan-awan putih kecil ketika terembus ke udara. Dinginnya sama seperti
dinginnya udara bulan November di distrikku. Suatu malam ketika aku menyelinap
ke hutan, dengan lentera di tangan, bertemu dengan Gale di tempat yang sudah
kami atur agar kami bisa duduk terbungkus selimut bersama, menyesap teh herbal
dari termos logam yang terbungkus kain perca, sambil berharap buruan akan lewat
depan kami sementara menunggu pagi tiba. Oh, Gale, pikirku. Seandainya ada kau
yang menjagaku sekarang....
Aku bergerak secepat
yang berani kulakukan. Kacamata malam ini luar biasa, tapi aku masih sedih
kehilangan pendengaran sebelah kiri. Aku tak tahu ledakan itu menyebabkan apa,
tapi yang pasti ledakan itu merusak sesuatu yang dalam dan tak bisa diperbaiki
lagi. Tak apalah. Kalau aku pulang, aku bakalan kaya raya, dan aku bisa
membayar orang untuk jadi pendengarku.
Hutan selalu tampak
berbeda pada malam hari. Bahkan dengan kacamata, segalanya memiliki secercah
kesan asing. Seakan pohon-pohon, bunga-bungaan, dan bebatuaan siang hari sudah
tidur dan mereka mengirim versi mereka yang tidak menyenangkan untuk mengganti
tempat mereka. Aku tidak mencoba berbuat macam-macam, seperti mengambil rute
baru. Aku berjalan naik menyusuri sungai dan mengikuti jalan yang sama menuju
tempat persembunyian Rue di dekat danau.
Sepanjang jalan, aku
tidak melihat tanda keberadaan peserta lain, tidak ada embusan napas, atau
guncangan pada cabang pohon. Entah akulah orang pertama yang tiba atau yang
lain-lain sudah berada di posisi mereka sejak tadi malam.
Masih ada waktu sekitar
satu jam, mungkin dua, ketika aku masuk ke semak-semak dan menunggu darah
tertumpah di Cornucopia. Kukunyah beberapa helai daun mint, perutku tidak
sanggup makan berat.
Untunglah aku memakai
jaket Peeta sekalian dengan jaketku. Kalau tidak, aku bakal terpaksa bergerak
terus agar tetap hangat. Langit berubah kelabu pagi yang berembun dan masih tak
ada tanda-tanda peserta lain. Tidak mengejutkan sebenarnya. Semua orang punya
kelebihan entah dengan kekuatan, kemampuan mematikan, atau kelicikan. Aku
penasaran apakah mereka menduga Peeta bersamaku sekarang? Aku tidak yakin si
Muka Rubah dan Thresh tau bahwa Peeta terluka. Lebih baik jika mereka berpikir
Peeta melindungiku saat aku masuk mengambil ransel.
Tapi di mana ranselnya?
Arena pertarungan sudah cukup terang sehingga aku membuka kacamataku. Aku bisa
mendengar burung-burung pagi bernyanyi. Waktunya tiba? Selama sedetik, aku
panik karena mengira berada di lokasi yang salah. Tapi tidak, aku yakin aku
ingat Claudius Templesmith menyebut Cornucopia. Dan Cornucopia ada di sana. Aku
di sini. Jadi di mana pestaku berlangsung?
Tepat ketika cahaya
matahari pertama menyinari bagian emas Cornucopia, ada gerakan di tanah. Tanah
di depan mulut terompet terbelah dua dan meja bundar dengan taplak putih bersih
muncul di arena. Di meja terdapat empat ransel, dua ransel hitam besar dengan
angka 2 dan 11, ransel hijau ukuran sedang dengan angka 5, dan ransel oranye mungil-yang
sesungguhnya bisa kuikat di pergelangan tanganku-pasti yang bertanda angka 12.
Meja itu baru saja
terpasang di tempatnya ketika ada sosok yang melesat dari Cornucopia, menyambar
ransel hijau, dan kabur dengan cepat. Si Muka Rubah. Dia paling lihai membuat
gagasan yang penuh risiko dan cerdas. Peserta-peserta lain masih tenang berada
di sekitar tanah lapang, menilai situasi, dan dia sudah mendapatkan ranselnya.
Dia juga memerangkap kami, karena tak ada seorang pun yang mau mengejarnya,
sementara ransel kami sendiri masih duduk manis di atas meja. Si Muka Rubah
pasti sengaja meninggalkan ransel-ransel itu, dia sadar benar mencuri ransel
yang bukan miliknya pasti akan membuat dirinya dikejar.
Seharusnya itu jadi
strategiku. Ketika segala perasaan terkejut, kagum, marah, cemburu, dan
frustasi usai kurasakan, aku melihat rambut kemerahan menghilang di antara
pepohonan dan berada di luar jarak tembakanku. Huh. Aku selalu ngeri pada
peserta-peserta lain, tapi mungkin si Muka Rubah adalah lawan yang sesungguhnya
di sini.
Dia juga menghabiskan
waktuku, karena sekarang jelas bahwa aku harus tiba di meja sehabis ini. Siapa
pun yang tiba lebih dulu ke meja akan dengan mudah mengambil ranselku lalu
kabur. Tanpa ragu, aku berlari cepat ke meja. Aku bisa merasakan datangnya
bahaya sebelum aku melihatnya. Untungnya lemparan pisau pertama mendesing di
sebelah kanan tubuhku jadi aku bisa mendengarnya dan menangkisnya dengan
busurku. Aku berbalik, menarik tali busur dan menembakkan panah ke arah jantung
Clove. Dia mengelak tepat untuk menghindari serangan fatal, tapi ujung mata
panah menembus lengan kiri atas Clove.
Sialnya, dia melempar
pisau dengan tangan kanan, tapi panah itu sempat membuat gerakannya lambat, dia
juga harus menarik panah dari lengannya dan kesakitan akibat lukanya. Aku terus
bergerak, secara otomatis langsung memasang anak panah di busur, yang hanya
bisa dilakukan oleh seorang yang sudah bertahun-tahun berburu.
Aku berada di meja
sekarang, jemariku menggenggam ransel mungil itu. Tanganku masuk di antara
talinya dan menggantung di lengan bawahku. Ransel ini terlalu kecil untuk bisa
kubawa di bagian lain tubuhku, dan aku berbalik untuk menembakkan panah lagi
ketika pisau kedua menyambar dahiku. Pisau itu mengiris bagian atas alisku,
membuat luka terbuka yang mengucurkan darah ke wajahku, membutakan mataku,
memenuhi mulutku dengan rasa logam tajam darahku sendiri.
Aku terhuyung-huyung
mundur tapi masih sempat menembakkan panah yang sudah siap tembak ke arah
penyerangku. Saat anak panah itu terlepas dari tanganku, aku tahu tembakanku
pasti meleset. Kemudian Clove menghantamkan tubuhnya ke tubuhku, membuatku
jatuh telentang. Dia mengunci kedua bahuku di tanah dengan lututnya.
Ini dia, pikirku, dan
berharap demi Prim kematianku berlangsung cepat. Tapi Clove tampak ingin
menikmatinya. Bahkan dia tidak tampak terburu-buru. Tidak diragukan lagi Cato
berada tidak jauh dari tempat ini, mengawasi Clove sambil menunggu Thresh
mungkin Peeta.
"Di mana pacarmu,
Distrik Dua Belas? Masih hidup?" tanya Clove.
Selama kami bicara
artinya aku masih hidup.
"Dia ada di luar
sana. Memburu Cato," balasku. Lalu aku berteriak sekeras-kerasnya.
"Peeta"
Clove meninju leherku,
langsung membuat suaraku hilang. Tapi kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, dan
aku tahu selama sesaat dia mempertimbangkan apakah aku berkata yang sebenarnya.
Karena Peeta tak muncul menyelamatkanku, Clove kembali memandangku.
"Pembohong,"
katanya sambil menyeringai. "Dia sudah sekarat. Cato tau di mana dia
melukainya. Kau mungkin mengikatnya di pohon sementara kau berusaha menjaganya
tetap hidup. Apa yabg ada di ransel mungilmu itu? Obat buat si Lover Boy?
Sayang, dia tak pernah mendapatkannya."
Clove membuka jaketnya.
Di baliknya terdapat deretan pisau yang mengesankan. Dengan hati-hati dia
memilih pisau yang cantik dengan mata pisau melengkung yang tampak kejam.
"Aku berjanji pada Cato kalau dia mengizinkanku menghabisimu, aku akan
memberikan tontonan yang seru pada penonton."
Sekarang aku berusaha
keras untuk lepas dari tindihannya, tapi gagal. Dia terlalu berat dan
kunciannya terlalu keras.
"Lupakan saja,
Distrik Dua Belas. Kami akan membunuhmu. Sama seperti yang kami lakukan pada
sekutu kecilmu yang suka melompat-lompar di pepohonan? Ya, pertama Rue, lalu
kau, dan kurasa kita biarkan saja alam membereskan Lover Boymu.
Bagaimana?" tanya Clove. "Nah, kita mulai dari mana?"
Dengan asal-asalan dia
menyeka darah dari lukaku dengan lengan jaketnya. Sesaat, dia mengamati
wajahku, memiringkannya dari satu sisi ke sisi lain seakan wajahku ini sepotong
kayu dan dia sedang memutuskan pola apa yang akan digunakan untuk mengukirnya.
Aku mencoba menggigit tangannya, tapi dia menjambak rambut atasku, memaksaku
tetap di tanah.
"Ku pikir..."
Clove seakan mendengkurkan ucapannya. "Kupikir kita akan mulai dari
mulutmu."
Kukatupkan gigiku
rapat-rapat sementara dia bermain-main dengan ujung mata pisaunya menelusuri
bibirku. Aku tidak mau menutup mataku. Komentarnya tentang Rue membuatku
terbakar amarah, kemarahan yang sama kupikir adalah mati dengan bermartabat.
Sebagai tindakan perlawanan terakhirku, aku akan menatapnya selama yang kubisa,
yang mungkin sisa waktunya tak lama lagi, tapi aku akan terus menatapnya, aku
takkan menjerit. Dengan caraku sendiri, aku akan mati, tapi tak terkalahkan.
"Ya, menurutku kau
sudah tak perlu mulutmu lagi. Ingin meniupkan ciuman terakhir untuk Lover
Boy?" tanyanya.
Kuusahakan mengumpulkan
darah dan air liur dalam mulutku lalu kuludahi wajahnya.
Dia langsung murka.
"Baik kalau begitu. Ayo kita mulai."
Kukuatkan diriku
menghadapi penderitaan yang sebentar lagi tiba. Tapi ketika aku merasakan ujung
pisau mulai mengiris bibirku, ada kekuatan besar yang menarik Clove dari
tubuhku lalu dia menjerit. Mulanya aku terlalu terpana, tak sanggup mencerna
apa yang terjadi. Apakah Peeta yang entah bagaimana datang menyelamatkanku?
Apakah para Juri Pertarungan mengirim hewan liar untuk menambah seru
pertarungan? Apakah pesawat ringan tanpa sengaja menariknya ke udara?
Tapi ketika aku
berhasil bangun dengan dua tangan yang kebas, ternyata semua dugaanku salah. Clove
meronta-ronta dengan kaki di atas tanah, terperangkap dalam jepitan lengan
Thresh. Aku terkesiap melihat Thresh seperti itu, menjulang di hadapanku,
memegang Clove seperti memegang boneka kain. Aku ingat tubuh Thresh memang
besar, tapi dia tampak semakin meraksasa, lebih kuat daripada yang kuingat.
Berat badannya seakan bertambah di arena pertarungan. Dia memutar tubuh Clove
lalu membantingnya ke tanah.
Ketika Thresh
berteriak, aku terlonjak, karena tak pernah mendengarnya bicara lebih dari
sekedar gumaman. "Apa yang kaulakukan terhadap gadis kecil itu? Kau membunuhnya?"
Clove merangkak mundur
dengan posisi duduk, seperti serangga yang panik, bahkan terlalu kaget untuk
memanggil Cato. "Tidak Bukan, bukan aku"
"Kau menyebut
namanya. Aku mendengarmu. Kaubunuh dia?" Sebuah pemikiranterlintas dalam
benaknya, mengguratkan kemarahan di wajah Thresh. "Kaupotong dia seperti
kau akan potong gadis ini?"
"Tidak Tidak,
aku..." Clove melihat batu, yang di tangan Thresh seukuran roti tawar,
lalu langsung panik.
"Cato" pekiknya.
"Cato"
"Clove" Aku
mendengar jawaban Cato, tapi aku tahu dia terlalu jauh untuk bisa membantu
Clove. Apa yang sedang dilakukan Cato? Berusaha mengejar si Muka Rubah atau
Peeta? Atau dia menunggu Thresh dan salah memperkirakan lokasinya?
Thresh menghantamkan
batu itu dengan keras ke pelipis Clove. Tidak ada darah yang keluar, tapi dari
tengkorak Clove yang penyok aku tahu dia bakal tewas. Masih ada sisa-sisa
kehidupan dalam diri Clove, dadanya yang naik-turun dengan cepat, erangan lemah
yang keluar dari bibirnya.
Ketika Thresh berputar
ke arahku, batu di tangannya terangkat, aku tahu tak ada gunanya bagiku untuk
lari. Dan busurku kosong, tadi sudah kutembakkan ke arah Clove. Aku
terperangkap dalam sorot mata cokelat keemasannya yang aneh. "Apa maksud
dia? Tentang Rue jadi sekutumu?"
"Aku-aku-kami
bergabung. Meledakkan persediaan mereka. Aku berusaha menyelamatkannya,
sungguh. Tapi dia lebih dulu berada di sana. Anak lelaki Distrik Satu,"
kataku. Mungkin jika dia tahu aku membantu Rue, dia takkan membuatku mati
perlahan dan sengsara.
"Dan kau membunuh
anak lelaki itu?" tanyanya.
"Ya. Aku
membunuhnya. Dan memakamkan Rue dengan bunga-bungaan," kataku. "Lalu
aku bernyanyi untuknya sampai dia terlelap." Air mata mengambang di
mataku. Ketegangan pertarungan itu keluar dari kenanganku. Aku merasa dipenuhi
sosok Rue, rasa sakit di kepalaku, rasa takutku terhadap Thresh, dan erangan
gadis yang sekarat tak jauh dariku.
"Sampai
terlelap?" tanya Thresh serak.
"Sampai meninggal.
Aku bernyanyi untuknya sampai dia meninggal," kataku. "Distrikmu...
mereka mengirimiku roti."
Tanganku terulur ke
atas, tapi bukan untuk mengambil anak panah yang kutahu takkan pernah bisa
kuraih. Aku hanya ingin menyeka hidungku. "Lakukan dengan cepat, oke,
Thresh?"
Beragam emosi yang bertentang
melintas di wajah Thresh. Dia menurunkan batunya dan menunjukku, nyaris seperti
menuduh. "Hanya untuk kali ini, aku melepasmu. Untuk gadis kecil itu. Kau
dan aku impas. Kita tak ada utang lagi. Kau paham?"
Aku mengangguk karena
aku memang paham. Tentang utang. Tentang membenci utang. Aku paham jika Thresh
menang, dia harus pulang menghadapi distrik yang sudah melanggar semua
peraturan untuk berterima kasih padaku, dan Thresh melanggar peraturan juga
untuk berterima kasih padaku. Dan aku paham bahwa saat itu Thresh takkan
menghantam tengkorakku.
"Clove" suara
Cato makin dekat sekarang. Dari suaranya yang penuh kepedihan aku tahu Cato
sudah melihat Clove di tanah.
"Lebih baik kau
lari sekarang, Gadis Api," kata Thresh.
Aku tidak perlu
diberitahu dua kali. Aku bersalto lalu kakiku menjejak tanah yang keras ketika
berlari menjauh dari Thresh dan Clove serta suara Cato. Baru ketika sampai ke
hutan aku menoleh sejenak ke belakang. Thresh dan dua ransel besar menghilang
di ujung tanah lapang menuju wilayah yang tak pernah kulihat. Cato berlutut di
samping, tombak di tangan, sambil memohon pada Clove agar tetap bertahan.
Sebentar lagi Cato akan sadar bahwa usahanya sia-sia, Clove tak bisa diselamatkan.
Aku melesat di antara pepohonan, berkali-kali menyeka darah yang menetes ke
mataku, terbang laksana angin, bagaikan binatang terluka yang kabur.
Setelah beberapa menit
terdengar suara dentuman meriam dan aku tahu Clove sudah tewas, dan Cato akan
mengejar salah satu dari kami. Kalau tidak mengejar Thresh, dia akan
mengejarku. Aku merasa ngeri, lemas akibat luka di kepalaku, terguncang. Aku
memasang anak panah, tapi Cato bisa melempar tombak hampir sama jauhnya dengan
jarak aku bisa memanah.
Hanya satu hal yang
membuatku lebih tenang. Thresh mengambil ransel Cato yang berisi benda yang
amat sangat dibutuhkannya. Kalau aku harus bertaruh, Cato akan mengejar Thresh,
bukan aku. Tapi aku tetap tidak melambatkan lariku ketika tiba di sungai. Aku
langsung mencemplungkan kakiku ke sungai, masih memakai sepatu, menggelepar
menuju hilir. Kulepaskan kaus kaki Rue yang kugunakan sebagai sarung tangan dan
kutekankan kaus kaki itu ke dahiku, berusaha menyumbat aliran darahku, tapi
hanya dalam hitungan menit kaus kaki itu sudah basah dengan darah.
Entah bagaimana aku
berhasil sampai ke gua. Aku mengimpitkan tubuhku di antara celah batu. Dalam
sorotan bintik-bintik cahaya, kulepaskan ransel mungil itu dari tanganku,
kubuka tutupnya dan kutumpahkan semua isinya ke tanah. Satu kotak kecil yang
berisi jarum suntik. Tanpa ragu, kusuntikkan jarum ke lengan Peeta dan
perlahan-lahan kuinjeksikan isinya.
Tanganku memegang
kepalaku lalu turun ke paha, tanganku licin dengan darah. Hal terakhir yang
kuingat adalah betapa indahnya warna hijau-perak ngengat yang mendarat di lekuk
lenganku.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 21"
Posting Komentar