Bab 18
ANAK lelaki dari
Distrik 1 tewas sebelum dia sempat menarik tombaknya. Anak panahku langsung
menghujam tepat di bagian tengah lehernya. Anak lelaki itu jatuh berlutut dan
menghabiskan setengah dari hidupnya yang singkat dengan berusaha mencabut anak
panah yang berkubang dalam genangan darahnya sendiri.
Aku menarik anak panah,
bersiap-siap menembak, mencari sasaran dari satu sisi ke sisi lain, sambil
berteriak pada Rue, "Apa masih ada lagi? Masih ada lagi?"
Dia harus berkata
beberapa kali sebelum aku bisa mendengarnya. Rue berguling menyamping, tubuhnya
bergelung membungkus tombak. Kudorong tubuh anak lelaki itu menjauh dari Rue
dan kukeluarkan belatiku untuk membebaskannya dari jaring.
Sekali melihat lukanya,
aku tahu luka itu jauh dari kemampuanku untuk bisa kuobati. Bahkan mungkin
takkan bisa diobati oleh siapa pun juga. Mata tombaknya tertanam di ulu hati
Rue. Aku berjongkok di hadapannya, memandang senjata yang menancap di tubuhnya
tanpa sanggup berbuat apa-apa. Tidak ada gunanya mengucapkan kata-kata yang
menenangkan, dengan mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja.
Rue tidak bodoh.
Tangannya terulur dan aku menggenggamnya seperti berpegangan pada tali
penyelamat. Seakan akulah yang sekarat, bukannya Rue.
"Kau meledakkan
makanan mereka?" bisiknya.
"Semuanya sampai
habis," kataku.
"Kau harus
menang," kata Rue.
"Aku akan menang.
Sekarang aku akan menang demi kita berdua," aku berjanji.
Aku mendengar dentuman
meriam dan mendongak. Pasti meriam untuk anak lelaki dari Distrik 1.
"Jangan
pergi." Rue memperat genggamannya pada tanganku.
"Tidak akan. Aku
tetap di sini," kataku. Aku bergerak mendekatinya, menaruh kepalanya di
pangkuanku. Dengan lembut aku membelai rambutnya yang tebal dan berwarna gelap.
"Bernyanyilah,"
kata Rue, tapi aku nyaris tidak bisa menangkap ucapannya. Bernyanyi? pikirku.
Lagu apa yang harus kunyanyikan?
Aku tahu beberapa lagu.
Percaya atau tidak, di rumahku dulu juga pernah ada musik. Musik yang ada
karena keberadaanku. Ayahku menarikku ikut bernyanyi dengan suaranya yang
indah-tapi aku sudah lama tidak bernyanyi sejak ayahku meninggal. Kecuali
ketika Prim sedang sakit berat. Biasanya aku menyanyikan lagu yang sama, yang
suka didengarnya semasa dia masih bayi.
Bernyanyi.
Tenggorokanku tercekat air mata, serak karena asap dan kelelahan. Tapi jika ini
permintaan terakhir Prim, maksudku Rue, paling tidak aku harus berusaha
bernyanyi. Lagu yang terlintas dalam benakku adalah lagu ninabobo sederhana,
lagu yang kami nyanyikan untuk menidurkan bayi yang lapar dan gelisah. Kalau
tidak salah, ini lagu yang sudah sangat lama. Diciptakan pada zaman dulu kala
di perbukitan kami. Guru musikku menyebutnya udara pegunungan. Tapi lirik
lagunya sederhana dan menenangkan, menjanjikan hari esok yang lebih penuh
harapan daripada sepotong waktu tidak menyenangkan yang kami jalani hari ini.
Aku terbatuk kecil,
menelan ludah dengan susah payah, lalu mulai bernyanyi:
“Jauh
di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat
tidur dari rumput, yang hijau, lembut, dan kemilau
Letakkan
kepalamu, dan tutup mataku yang mengantuk
Dan
saat matamu kembali terbuka, fajar akan mengetuk
Di
sini aman, di sini hangat
Di
sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di
sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di
sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.”
Mata Rue lamat-lamat
menutup. Dadanya bergerak amat perlahan. Tenggorokanku melepaskan air mata yang
ditahan dan mengalir di kedua pipiku. Tapi aku harus menyelesaikan laguku
untuknya.
“Jauh
di padang rumput, jauh tersembunyi
Satu
jubah dari dedaunan, satu sinar bulan sunyi
Lupakan
sedihmu dan biarkan masalahmu terlelap sepi
Dan
bila pagi menjelang lagi, mereka akan hilang pergi
Di
sini aman, di sini hangat
Di
sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat.”
Baris-baris terakhir
nyaris tak terdengar.
“Di
sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di
sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.”
Segalanya tenang dan
sunyi. Kemudian, nyaris membuat bulu kuduk bergidik, burung-burung mockingjay
mengulang laguku.
Selama sesaat, aku
duduk di sana, melihat air mataku menetes jauh ke wajahnya. Tembakan meriam
untuk Rue berbunyi. Aku menunduk dan bibirku mengecup pelipisnya.
Perlahan-lahan, seakan takut membangunkannya, aku menaruh kepala Rue ke tanah
dan melepaskan tangannya.
Mereka pasti ingin aku
menyingkir. Agar mereka bisa mengambil jenazahnya. Dan tak ada alasan bagiku
untuk tetap tinggal. Kutelungkupkan mayat anak lelaki dari Distrik 1 lalu
kuambil ranselnya, juga anak panah yang mengakhiri hidupnya. Kuambil juga
ransel dari punggung Rue, karena aku tahu dia pasti mau aku mengambilnya, tapi
kubiarkan tombak itu di perutnya. Senjata-senjata yang ada di jenazah akan ikut
dibawa dengan pesawat ringan. Tombak tak ada gunanya buatku, jadi makin cepat
tombak itu hilang dari arena, makin baik.
Aku tidak bisa berhenti
memandang Rue, yang tampak lebih mungil, seperti bayi binatang meringkuk di
sarang jalanya. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Sudah
melewati bahaya, tapi tampak amat tak berdaya.
Membenci anak lelaki
dari Distrik 1, yang juga tampak rapuh dalam kematiannya, seakan tidak cukup.
Capitol-lah yang kubenci karena telah melakukan ini pada kami semua. Suara Gale
bergaung dalam kepalaku. Ocehan kemarahannya pada Capitol tidak lagi tak berguna,
tak lagi bisa di abaikan. Kematian Rue telah memaksaku menghadapi kemarahanku
sendiri terhadap kekejaman dan ketidakadilan yang mereka timpakan pada kami.
Tapi di sini, jauh lebih kuat daripada yang kurasakan di kampung halaman, aku
merasa tak berdaya. Tidak mungkin aku bisa membalas dendam pada Capitol. Atau
mungkinkah aku melakukannya?
Lalu aku teringat pada kata-kata
Peeta di atap. "Hanya saja aku terus berharap bisa menemukan cara untuk...
menunjukkan pada Capitol mereka tidak memilikiku. Aku lebih dari sekedar pion
dalam permainan mereka."
Dan untuk pertama kalinya,
aku memahami maksudnya.
®LoveReads
Aku ingin melakukan
sesuatu, di sini, sekarang, membuat mereka bertanggung jawab, menunjukkan pada
Capitol bahwa apapun yang mereka lakukan atau mereka paksakan pada kami, ada
bagian dari setiap peserta yang tak dapat mereka miliki. Bahwa Rue lebih dari
sekedar pion dalam permainan mereka. Dan aku juga bukan.
Beberapa langkah menuju
hutan tumbuh bunga-bunga liar. Mungkin itu Cuma rumput-rumput liar, tapi tumbuh
menjadi bunga-bunga indah berwarna ungu, kuning, dan putih. Aku memungut
segenggam bunga dan kembali ke sisi Rue.
Perlahan-lahan
setangkai demi setangkai aku menghias jenazahnya dengan bunga-bunga. Menutupi
lukanya yang buruk. Merangkaikan bunga di wajahnya. Menyelipkan warna-warni
cerah di rambutnya. Mereka harus menunjukkan gambar ini di layar televisi.
Atau, bahkan jika mereka memilih untuk mengalihkan kamera ke arah lain saat
ini, mereka harus menyoroti lagi saat mereka mengambil jenazahnya dan semua
orang akan melihatnya saat itu dan tahu akulah pelakunya. Aku melangkah mundur
dan melihat Rue untuk terakhir kalinya. Bisa jadi dia sebenarnya hanya tidur di
padang rumput itu.
"Selamat tinggal,
Rue," bisikku.
Aku menempelkan tiga
jari tengah tangan kiriku di bibir, lalu melemparkan ciuman jauh ke arah Rue.
Kemudian aku berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Burung-burung pun
terdiam. Di suatu tempat, seekor mockingjay bersiul melantunkan tanda
peringatan yang menandai datangnya pesawat ringan. Aku tidak tahu bagaimana dia
tahu. Dia pasti bisa mendengar apa yang tak bisa didengar melalui telinga
manusia. Aku berhenti berjalan, mataku tertuju pada apa yang ada di depanku,
bukan apa yang terjadi di belakangku. Tidak lama kemudian, burung-burung mulai
bernyanyi lagi dan aku tahu Rue sudah lenyap.
Mockingjay lain, yang
tampaknya masih anak burung, hinggap di dahan di depanku dan menyanyikan melodi
Rue. Laguku dan bunyi pesaway ringan terlalu asing untuk ditiru anak burung
ini, tapi dia sudah menguasai sederet nada. Melodi yang berarti dia dalam
keadaan aman.
"Sehat dan
aman," kataku ketika berjalan melewati dahan pohon. "Sekarang kita tak
perlu menguatirkannya lagi."
Sehat dan aman.
®LoveReads
Aku tidak tahu harus
pergi ke mana. Perasaan pulang yang kurasakan sejak bersama Rue satu malam itu
kini lenyap sudah. Kakiku berjalan ke sana kemari hingga matahari terbenam. Aku
tidak takut, bahkan tidak waspada. Ini menjadikanku sasaran mudah. Kecuali kali
ini aku akan membunuh siapa pun yang kutemui. Tanpa emosi atau gemetar sedikit
pun. Kebencianku pada Capitol tidak mengurangi kebencianku sedikit pun terhadap
para pesaingku. Terutama pada kawanan Karier. Paling tidak, mereka harus
membayar kematian Rue.
Tapi tak ada seorang
pun yang tampak. Tidak banyak lagi peserta yang tersisa dan arena pertarungan
ini sangat luas. Tidak lama lagi mereka akan mengeluarkan alat entah apa yang
memaksa kami untuk mendekat. Tapi sudah cukup banyak kengerian hari ini.
Mungkin kami bisa punya waktu untuk tidur.
Aku baru saja hendak
menaruh ransel-ranselku ke pohon untuk membuat tempat istirahat ketika parasut
perak melayang turun dan mendarat di depanku. Hadiah dari sponsor. Tapi kenapa
sekarang? Barang-barang persediaanku banyak.
Mungkin Haymitch
menyadari bahwa aku patah semangat dan berusaha sedikit menghiburku. Atau
mungkin ini sesuatu yang dapat membantu telingaku? Aku membuka parasut dan
menemukan sebongkah kecil roti. Bukan roti putih buatan Capitol. Roti ini
terbuat dari gandum hitam jatah distrik dan bentuknya seperti bulan sabit.
Bagian atasnya ditaburi biji-bijian.
Aku mengingat pelajaran
yang diberikan Peeta di Pusat Latihan tentang berbagai jenis roti dari setiap
distrik. Roti ini berasal dari Distrik 11. Dengan hati-hati aku mengangkat roti
yang masih hangat itu. Berapa harga yang harus dibayar oleh orang-orang dari
Distrik 11 yang bahkan tidak bisa membeli makanan untuk diri mereka sendiri?
Berapa banyak orang yang harus mengais-ngais uang yang mereka miliki untuk
menyumbang demi roti ini? Pasti roti ini ditujukan buat Rue. Tapi bukannya
menarik hadiah ini ketika dia tewas, mereka memerintahkan Haymitch untuk
memberikannya padaku. Sebagai pernyataan terima kasih? Apa pun alasannya,
kejadian ini adalah pertama kalinya. Hadiah dari distrik yang bukan distrikmu.
Aku mendongak dan
melangkah ke sinar matahari terakhir yang tersisa. "Terima kasihku untuk
penduduk Distrik Sebelas," kataku.
Aku ingin mereka tahu
bahwa aku tahu dari mana roti ini berasal. Itulah penghargaan penuh bahwa aku
mengenali hadiah mereka.
®LoveReads
Aku memanjat pohon
setinggi-tingginya, bukan demi keamanan tapi untuk pergi sejauh-jauhnya dari
hari ini. Kantong tidurku tergulung rapi dalam ransel Rue. Besok aku akan
melihat-lihat persediaan yang kumiliki. Besok aku akan membuat rencana baru.
Tapi malam ini, yang bisa kulakukan adalah mengikat diriku di pohon dan mencuil
roti sedikit demi sedikit untuk kumakan. Rasanya enak. Rasanya seperti berada
di rumah.
Tidak lama kemudian
lambang Capitol muncul di langit, lagu kebangsaan terdengar di telinga kananku.
Aku melihat anak lelaki dari Distrik 11, Rue. Itu saja untuk malam ini. Tinggal
enam yang tersisa, pikirku. Hanya enam. Sambil memeluk roti dengan kedua
tanganku, aku langsung jatuh tertidur.
Kadang-kadang saat
keadaan sedang buruk, otakku akan memberiku mimpi indah. Berjalan ke hutan
bersama ayahku. Satu jam di bawah sinar matahari sambil makan kue dengan Prim. Malam
ini membawaku bertemu Rue, masih berhiaskan bunga-bunganya, hinggap di
pepohonan tinggi, berusaha mengajariku bicara pada mockingjay. Aku tidak
melihat bekas-bekas lukanya, tidak ada darah, hanya ada gadis kecil yang cerdas
dan ceria. Dia menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah kudengar dengan suara
jernih dan merdu. Terus dan terus. Sepanjang malam. Ada masa di antara kantuk
ketika aku bisa mendengar sisa-sisa nada musiknya meskipun dia hilang di antara
dedaunan.
Ketika aku terbangun
sepenuhnya, selama sesaat aku merasa nyaman. Aku berusaha berpegangan pada
perasaan mimpi yang damai itu, tapi semua itu lenyap dengan cepat, meninggalkan
aku dalam keadaan makin sepi dan lebih sehat daripada sebelumnya. Seluruh
tubuhku terasa lembam, seakan ada cairan timah mengalir dalam aliran darahku.
Aku kehilangan semangat untuk melakukan tugas-tugas sederhana, hanya bisa
berbaring di sini, memandangi kanopi daun-daun tanpa berkedip.
Selama beberapa jam,
aku diam tak bergerak. Seperti biasa, pikiranku membayangkan wajah Prim yang
gelisah ketika menontonku di layar kaca di rumah yang membuatku lepas dari rasa
malas.
Kuberikan
perintah-perintah sederhana pada diriku, seperti, "Sekarang kau harus duduk,
Katniss. Sekarang kau harus minum, Katniss." Aku melaksanakan perintah-perintah
itu dengan gerakan lamban ala robot. "Sekarang kau harus memeriksa isi ransel-ranselmu,
Katniss."
Ransel Rue menyimpan
kantong tidurku, kantong airnya yang nyaris kosong, segenggam kacang-kacangan
dan umbi-umbian, sedikit daging kelinci, kaus kaki cadangan dan ketapelnya.
Anak lelaki dari Distrik 1 punya beberapa pisau, dua mata tombak cadangan,
senter, kantong-kantong kulit berukuran kecil, peralatan P3K, sebotol penuh
air, dan sekantong buah-buahan kering. Sekantong buah-buahan kering. Dari semua
barang yang bisa dipilihnya, dia memilih ini. Bagiku, ini merupakan lambang
kesombongan. Kenapa harus repot-repot membawa makanan sementara kau punya
makanan berlimpah di kamp? Saat kau bisa membunuh musuhmu dengan cepat lalu kau
bisa pulang sebelum lapar? Aku hanya bisa berharap kawanan Karier lainnya hanya
membawa sedikit bekal makanan dan saat ini mereka tidak punya apa-apa.
Bicara tentang makanan,
persediaan makananku juga sudah menipis. Aku sudah menghabiskan roti dari
Distrik 11 dan kelinci terakhir. Betapa cepatnya makanan habis. Yang tersisa di
tanganku hanya umbi-umbian dan kacang-kacangan milik Rue, buah-buahan kering
milik anak lelaki Distrik 1, dan selembar dendeng.
Sekarang kau harus
berburu, Katniss, aku memberi perintah pada diriku sendiri. Dengan patuh aku
menyusun persediaan-persediaan yang kuinginkan ke dalam ranselku. Setelah turun
dari pohon, aku menyembunyikan pisau-pisau dan dua mata tombak di bawah
tumpukan batu agar tak ada yang bisa memakainya. Aku tersesat karena berjalan tak
tentu arah kemarin sore, tapi aku berusaha untuk berjalan ke arah aliran air.
Aku tahu aku berjalan ke arah yang benar ketika melihat api unggun ketiga Rue,
yang tak pernah dinyalakan.
Tidak lama kemudian,
aku menemukan sekawanan groosling hinggap di pepohonan dan langsung memanah tiga
ekor sebelum mereka sadar apa yang menghantam mereka. Aku kembali ke api sinyal
Rue dan menyalakannya, tidak peduli pada asapnya yang berlebihan. Di mana kau,
Cato? Pikirku saat memanggang burung dan umbi-umbian Rue. Aku menunggu di sini.
Siapa yang tahu di mana
kawanan Karier sekarang? Entah mereka terlalu jauh untuk mendatangiku atau
terlalu yakin ini cuma tipuan atau... mungkinkah mereka terlalu takut padaku?
Tentu saja, mereka tahu aku punya busur dan panah, Cato melihat aku
mengambilnya dari Glimmer. Tapi apakah mereka sekarang sudah tahu jawabannya?
Apakah mereka tahu bahwa aku yang meledakkan persediaan mereka dan membunuh
teman sesama Karier mereka? Mungkin mereka pikir Thresh pelakunya. Bukankah dia
yang lebih mungkin membalas dendam atas kematian Rue daripada aku? Mengingat
mereka berasal dari distrik yang sama? Walaupun Thresh tidak pernah tampak
menaruh perhatian pada Rue.
Dan bagaimana dengan si
Muka Rubah? Apakah dia masih berada di sana melihatku meledakkan persediaan?
Rasanya tidak. Ketika aku melihatnya tertawa di dekat puing-puing keesokan
paginya, dari wajahnya seakan ada orang yang memberinya kejutan yang
menyenangkan.
Aku ragu mereka
menganggap Peeta yang menyalakan api sinyal ini. Cato yakin Peeta sudah mampus.
Saat ini aku berharap bisa memberitahu Peeta tentang bunga-bunga yang kuhiaskan
pada Rue. Bahwa aku kini memahami apa yang berusaha dikatakannya di atap.
Mungkin jika dia memenangkan Hunger Games ini, dia akan melihatku pada malam
pemenang, ketika mereka memutar ulang momen-momen penting dalam Hunger Games di
layar di atas panggung tempat kami melakukan wawancara. Sang pemenang duduk di
tempat terhormat di panggung, dikelilingi para kru pendukung mereka.
Tapi aku sudah bilang
pada Rue, aku akan di sana. Demi kami berdua. Entah bagaimana kata-kata itu
tampak lebih penting daripada janji yang kuberikan pada Prim.
Aku sungguh-sungguh
berpikir aku punya kesempatan menang sekarang. Bukan karena aku punya panah
atau berhasil mengelabui kawanan Karier beberapa kali, meskipun dua hal itu
membantu. Ada yang terjadi ketika aku menggenggam tangan Rue, memperhatikan
kehidupan mengalir keluar dari dirinya. Sekarang aku bertekad untuk membalas
dendamnya, dan aku hanya bisa melakukannya dengan memenangkan Hunger Games ini
dan membuat diriku tak terlupakan.
Burung-burung ini
kupanggang sampai kelewat matang sambil berharap ada orang yang datang agar
bisa kupanah, tapi tak ada seorang pun muncul. Mungkin pesertapeserta lain sedang
saling menghantam sampai mati. Tidak masalah juga sebenarnya. Sejak adegan
pertumpahan darah itu, aku pasti muncul di layar televisi lebih dari yang bisa
kuhitung.
Akhirnya, kubungkus
makananku dan kembali ke sungai untuk mengisi air. Tapi rasa lelah yang
kurasakan tadi pagi kembali muncul, sehingga meskipun sekarang masih sore, aku
memanjat pohon dan beristirahat di sana. Otakku mulai memutar ulang
kejadian-kejadian yang terjadi sejak kemarin. Aku terus-menerus melihat Rue
yang tertombak, anak panahku menembus leher anak lelaki itu. Aku tidak tahu kenapa
aku bahkan peduli pada anak itu.
Lalu aku tersadar...
dia korban pertama yang kubunuh.
Bersama dengan
statistik lain yang mereka laporkan untuk membantu penonton memasang taruhan
mereka, semua peserta memiliki daftar korban. Kurasa secara teknis aku diakui
sebagai pembunuh Glimmer dan anak perempuan dari Distrik 4, karena menjatuhkan
sarang tawon pada mereka. Tapi anak lelaki dari Distrik 1 adalah korban pertama
yang kutahu akan tewas akibat perbuatanku. Banyak binatang yang sudah tewas di tanganku,
tapi hanya satu manusia. Aku mendengar Gale berkata, "Memangnya bisa
berbeda sampai sejauh apa?"
Yang luar biasa rasanya
seperti melakukan eksekusi. Busur ditarik, anak panah ditembakkan. Semua terasa
berbeda sesudahnya. Aku sudah membunuh anak lelaki yang namanya pun tak
kuketahui. Entah di mana keluarganya menangisi kematiannya. Teman-temannya
ingin menghabisiku. Mungkin dia punya kekasih yang sungguh-sungguh berharap dia
akan kembali... Tapi kemudian aku teringat pada jenazah Rue dan aku langsung
mengenyahkan gambaran tentang anak lelaki itu dari benakku. Paling tidak, untuk
saat ini.
Tampilan di langit
menunjukkan hari ini tidak banyak peristiwa yang terjadi. Tidak ada yang tewas.
Aku bertanya-tanya berapa lama lagi waktu kami sampai malapetaka baru
diciptakan untuk mendesak kami mendekat. Kalau waktunya adalah malam ini, aku
ingin menyempatkan diri untuk tidur dulu. Kututup telingaku yang masih bisa
mendengar untuk mengenyahkan lagu kebangsaan yang terngiang, tapi kemudian aku
mendengar tiupan terompet, lalu segera duduk menunggu.
Kebanyakan,
satu-satunya komunikasi antara para peserta dengan dunia luar adalah laporan
kematian tiap malam. Tapi kadang-kadang, ada bunyi terompet yang diikuti
pengumuman. Biasanya ini panggilan untuk berpesta. Saat makanan langka, para
Juri Pertarungan akan mengundang semua peserta ke pesta, ke tempat yang dikenal
semua petarung seperti Cornucopia, sebagai ajakan untuk berkumpul dan
bertarung. Kadang-kadang ada banyak makanan dan kadang-kadang hanya ada sebongkah
roti basi yang diperebutkan oleh para peserta. Aku tidak ingin mengambil
makanan, tapi ini bisa jadi waktu yang tepat untuk menghabisi beberapa pesaing.
Suara Cladius
Templesmith bergaung di atas, memberi selamat kepada kami berenam yang masih
bertahan. Tapi dia tidak mengundang kami berpesta. Dia mengatakan sesuatu yang
sangat membingungkan. Ada perubahan peraturan dalam Hunger Games.
Perubahan peraturan.
Ini saja sudah mengacau pikiran karena kami tidak punya peraturan yang
dinyatakan dengan jelas, kecuali jangan keluar dari lingkarang selama enam
puluh detik, dan peraturan yang tak disebutkan adalah jangan saling memakan
satu sama lain. Di bawah peraturan baru, dua peserta dari distrik yang sama
bisa dinyatakan sebagai pemenang jika mereka jadi dua peserta terakhir yang masih
hidup. Claudius berhenti sejenak, seakan dia tahu kami tidak benar-benar paham
artinya, lalu mengulang perubahan peraturan itu sekali lagi.
Kabar itu segera masuk
ke otakku. Dua pemenang bisa menang tahun ini. Kalau mereka berasal dari distrik
yang sama. Dua-duanya bisa hidup. Kami berdua bisa hidup.
Tanpa pikir panjang,
aku berseru memanggil nama Peeta.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 18"
Posting Komentar