Bab 16
Rue telah memutuskan
untuk mempercayaiku sepenuh hati. Aku tahu karena ketika lagu kebangsaan
selesai diputar, Rue bergelung di dekatku lalu langsung tertidur. Aku juga
tidak punya perasaan waswas terhadapnya, hingga aku tidak merasa perlu
berjaga-jaga. Kalau dia mau aku mati, dia hanya perlu menghilang dari pohon itu
tanpa menunjukkan sarang tawon penjejak itu padaku. Ada hal yang mengusik
benakku terus-menerus, suatu hal yang sudah jelas. Kami berdua tidak bisa
sama-sama jadi pemenang Hunger Games. Tapi karena kemungkinan untuk kami bisa
bertahan hidup tidak berpihak pada kami, aku berhasil mengabaikan pikiran
tersebut.
Selain itu pikiranku
teralih dengan gagasan terbaruku tentang kawanan Karier dan persediaan makanan
mereka. Aku yakin mereka pasti akan sulit mencari makanan untuk diri mereka
sendiri. Biasanya, peserta-peserta Karier membuat strategi untuk menguasai
makanan sejak awal, lalu baru membuat perencanaan dari sana. Tahun-tahun ketika
mereka tidak menjaga makanan mereka dengan baik-sekali ketika kawanan reptil
mengerikan menghabiskannya, sekali lagi ketika banjir buatan Juri Pertarungan
menghancurkannya-dan biasanya pada tahun-tahun itulah peserta dari distrik lain
jadi pemenangnya.
Para peserta Karier
yang biasanya mendapat makanan dengan baik justru tidak menguntungkan buat
mereka, karena mereka tidak tahu bagaimana rasanya lapar. Mereka tidak kenal
lapar seperti yang dikenal aku dan Rue. Tapi aku terlalu lelah untuk
menjelaskan rencana kami malam ini. Luka-lukaku mulai sembuh, pikiranku masih
agak berkabut karena bisa tawon, dan kehangatan tubuh Rue di sampingku, dengan
kepalanya disandarkan ke bahuku membuatku merasa aman. Untuk pertama kalinya,
aku sadar betapa kesepiannya aku di arena pertarungan ini. Betapa nyamannya
arti kehadiran manusia lain di dekatku. Aku menyerah pada rasa kantukku,
bertekad akan mengubah keadaan besok. Besok, para Karier-lah yang harus
waspada.
Tembakan meriam
membuatku terlompat bangun. Di langit ada kilatan cahaya, burung-burung sudah
bernyanyi. Rue berjongkok di dahan pohon seberangku, kedua tangannya menutupi
sesuatu. Kami menunggu, mendengarkan adanya tembakan lain, tapi ternyata tak
ada lagi.
"Menurutmu siapa
yang tewas?" Mau tidak mau aku teringat pada Peeta.
"Aku tidak tahu.
Bisa saja selain mereka," jawab Rue. "Kurasa kita tidak bakal tahu
jawabannya malam ini."
"Siapa saja yang
tersisa?" tanyaku lagi.
"Anak lelaki dari
Distrik Satu. Dua peserta dari Distrik Dua. Anak lelaki dari Distrik Tiga. Aku
dan Thresh. Kau dan Peeta." jawab Rue. "Sudah delapan. Tunggu, ada
anak lelaki dari Distrik Sepuluh, yang kakinya luka. Sudah sembilan."
Masih ada seorang lagi,
tapi kami berdua tidak bisa mengingatnya. "Aku penasaran bagaimana yang
tadi itu tewas ya?" tanya Rue.
"Entahlah. Tapi
bagus buat kita. Ada yang tewas membuat penonton jadi menaruh perhatian.
Mungkin kita bisa punya waktu melakukan sesuatu sebelum Juri Pertarungan
memutuskan bahwa pertarungan berjalan terlalu lambat," kataku.
"Apa yang ada di
tanganmu?"
"Sarapan,"
jawab Rue. Dia mengulurkan tangannya dan memperlihatkan dua buah telur besar.
"Telur apa
itu?" tanyaku.
"Tidak tahu. Ada
daerah rawa di dekat sana. Mungkin semacam burung air," jawabnya.
Pasti enak bisa memasak
telur-telur ini, tapi kami berdua tak ada yang berani mengambil risiko untuk
menyalakan api. Perkiraanku adalah peserta yang tewas hari ini adalah korban
dari peserta Karier, dan itu berarti mereka sudah pulih sepenuhnya untuk
kembali bertarung. Kami masing-masing menyedot isi telur, menyantap daging paha
kelinci, dan buah-buah berry. Sarapan yang menyenangkan.
"Sudah siap?"
tanyaku, sambil memakai ranselku.
"Siap untuk
apa?" tanya Rue, tapi melihat caranya melompat aku tahu dia siap melakukan
apa pun usulanku.
"Hari ini kita
akan menghabisi makanan peserta Karier," kataku.
"Sungguh?
Bagaimana caranya?" Aku bisa melihat binar semangat di matanya.
Dalam hal ini, dia
berbeda jauh dari Prim yang menganggap petualangan adalah siksaan.
"Belum tahu. Ayo,
kita akan pikirkan rencananya sambil berburu," kataku.
Namun, kami tidak bisa
berburu banyak karena aku terlalu sibuk mengumpulkan semua informasi yang bisa
kuperoleh dari Rue tentang markas peserta-peserta Karier. Rue hanya sebentar
memata-matai mereka, tapi pengamatannya jeli. Mereka membuat kemah di samping
danau. Persediaan makanan mereka jaraknya hanya sekitar tiga puluh meter. Pada
siang hari, mereka meninggalkan anak lelaki dari Distrik 3 untuk mengawasi
persediaan.
"Anak lelaki dari
Distrik Tiga?" tanyaku. "Dia bekerja bersama mereka?"
"Ya, dia berjaga
di kemah terus-menerus. Dia juga kena sengatan tawon saat mereka dikejar tawon
penjejak sampai ke danau," kata Rue. "Kurasa mereka membiarkannya
hidup jika dia kau jadi penjaga kemah. Tapi tubuhnya tidak terlalu besar."
"Senjata apa yang
dimilikinya?" tanyaku.
"Tidak banyak yang
bisa kulihat. Ada tombak. Dia mungkin bisa menahan beberapa orang dari kita
dengan tombak itu, tapi Thresh bisa membunuhnya dengan mudah," ujar Rue.
"Dan makanan itu ada
di tempat terbuka?" tanyaku.
Rue mengangguk.
"Ada yang tidak
beres dengan seluruh pengaturan ini."
"Aku tahu. Tapi
aku juga tidak tahu apa tepatnya," kata Rue. "Katniss, seandainya kau
bisa menguasai makanan mereka, bagaimana kau menghabiskannya?"
"Bakar. Buang ke
danau. Siram dengan minyak." Kucolek perut Rue, seperti yang sering
kulakukan pada Prim. "Dimakan"
Rue terkikik.
"Jangan kuatir, akan kupikirkan caraya. Menghancurkan lebih mudah daripada
membuatnya."
®LoveReads
Selama beberapa saat,
kami menggali umbi-umbian, mengumpulkan buah-buah berry dan sayuran hijau, dan
menyusun rencana dengan suara berbisik-bisik. Dan aku jadi mengenal Rue, anak
pertama dari enam bersaudara, mati-matian melindungi adik-adiknya, memberikan
jatah makanannya pada anak-anak yang lebih kecil, berkelana mencari makanan di
padang rumput di distrik dengan tentara Penjaga Perdamaian yang tidak sepatuh
di distrik kami.
Saat aku menanyakan
pada Rue apa yang paling disukainya di dunia ini, dia menjawab,
"Musik."
"Musik?"
tanyaku. Dalam dunia kami, aku menempatkan kegunaan musik antara pita rambut
dan pelangi. Paling tidak, pelangi bisa memberikan petunjuk tentang cuaca.
"Kau punya banyak waktu untuk melakukannya?"
"Kami bernyanyi di
rumah. Saat bekerja juga. Itu sebabnya aku suka pinmu," kata Rue, menunjuk
pin mockingjay yang nyaris tidak kuingat lagi.
"Kau punya
mockingjay?" tanyaku.
"Oh, ya, bahkan
ada yang jadi teman-teman istimewaku. Kami bisa bernyanyi bersama selama
berjam-jam. Mereka menyampaikan pesan-pesan untukku," katanya.
"Apa
maksudmu?" aku bertanya.
"Aku biasanya
berada di puncak tertinggi, jadi aku yang pertama kali melihat bendera yang
menandakan waktu bekerja usai. Ada lagu spesial yang kunyanyikan," kata
Rue.
Dia membuka mulut dan
terdengar suara bening dan manis melantunkan empat not singkat.
"Lalu
burung-burung mockingjay menyebarkan lagunya di taman buah. Itulah cara semua
orang tahu kapan saatnya berhenti bekerja," lanjutnya. "Tapi
burung-burung itu bisa juga berbahaya, kalau kita berada terlalu dekat dengan
sarang mereka. Tapi kau tidak bisa menyalahkan mereka karena itu."
Aku melepaskan pin dan
mengulurkannya pada Rue. "Ini, ambil saja. Pin ini punya arti lebih
untukmu daripada untukku."
"Oh, jangan,"
tukas Rue, mengatupkan lagi jemariku agar mengambil pin itu kembali. "Aku
senang melihat pin itu kau pakai. Itulah caraku memutuskan bahwa aku bisa
memercayaimu. Lagi pula, aku punya ini." Rue mengeluarkan kalung berbahan
semacam anyaman rumput dari balik bajunya. Dikalung itu tergantung bandul
berbentuk bintang kayu yang diukir kasar. Atau mungkin juga bentuknya bunga.
"Ini jimat keberuntungan."
"Yah, sejauh ini
jimatnya bekerja," kataku, sambil menjepitkan pin mockingjay ke bajuku.
"Mungkin baiknya kau tetap memakai jimatmu."
Pada saat makan siang,
kami sudah punya rencana. Selewat tengah hari, kami bersiap melaksanakannya.
Aku membantu Rue mengumpulkan dan menaruh kayu bakar untuk salah satu dari dua
api unggun yang harus kubuat, dan api unggun yang ketiga dibuat oleh Rue
sendiri. Kami memutuskan untuk bertemu sesudahnya di tempat kami makan bersama
pertama kali. Aliran air akan menuntunku ke sana.
Sebelum pergi,
kupastikan Rue memiliki cukup makanan dan korek api. Aku bahkan memaksanya
mengambil kantong tidurku, berjaga-jaga seandainya kami tidak bisa bertemu saat
malam tiba.
"Bagaimana
denganmu? Kau bakal kedinginan," katanya.
"Tidak bakal,
kalau aku bisa mengambil kantong tidur lain di dekat danau," jawabku. "Kau
tahu kan, di sini mencuri bukan perbuatan ilegal," kataku sambil nyengir.
Di saat terakhir, Rue
memutuskan untuk mengajariku sinyal mockingjay-nya. Sinyal yang menandakan hari
kerja berakhir. "Mungkin tidak berguna. Tapi kalau kau mendengar
mockingjay menyanyikannya, itu artinya aku baik-baik saja, tapi aku tidak bisa
langsung menemuimu."
"Memangnya banyak
burung mockingjay di hutan ini?" tanyaku.
"Kau tidak pernah
melihatnya? Sarang mereka ada di mana-mana," jawabnya.
Aku terpaksa mengakui
bahwa aku tidak memperhatikannya. "Oke, kalau begitu. Jika semua berjalan
sesuai rencana, kita akan bertemu pada saat makan malam," kataku.
Tanpa kuduga, Rue
merangkulkan kedua lengannya memelukku. Aku hanya ragu sejenak sebelum balas
memeluknya.
"Hati-hati
ya," kata Rue padaku.
"Kau juga,"
balasku. Aku berbalik dan berjalan menuju sungai, entah kenapa merasa agak
cemas. Aku mencemaskan Rue bakal tewas, mencemaskan Rue tidak terbunuh dan
hanya kami berdua yang tersisa. Aku memikirkan meninggalkan Rue seorang diri,
memikirkan meninggalkan Prim seorang diri di rumah. Tidak juga, Prim punya
ibuku dan Gale serta tukanh roti yang sudah berjanji takkan membiarkannya
kelaparan. Rue hanya punya aku.
®LoveReads
Saat tiba di sungai,
aku hanya perlu menyusurinya hingga sampai ketempat aku pertama kali menemukan
sungai setelah diserang tawon penjejak. Aku harus berhati-hati sepanjang
perjalananku, karena otakku penuh dengan banyak pertanyaan tak terjawab, yang
kebanyakan tentang Peeta. Meriam yang ditembakkan pagi-pagi tadi, apakah itu
menandakan kematiannya? Jika benar begitu, bagaimana dia bisa tewas? Apakah dia
dibunuh oleh para peserta Karier? Dan apakah dia tewas karena mereka ingin
membalas dendam karena Peeta membiarkanku hidup?
Aku berusaha lagi
mengingat saat aku berada di dekat mayat Glimmer, ketika Peeta melesat keluar
dari pepohonan. Tapi melihat kenyataan bahwa dia berkilauan air membuatku
meragukan segala yang telah terjadi.
Aku pasti berjalan amat
pelan kemarin karena aku tiba di bagian sungai yang dangkal tempatku mandi
hanya dalam waktu beberapa jam. Aku berhenti untuk mengisi airku dan
menambahkan selapis lumpur di ranselku. Rasanya berapa kalipun aku menutupi
tetap saja ransel itu menunjukkan warna oranyenya.
Kedekatanku dengan kamp
para peserta Karier mempertajam indra-indraku, dan semakin dekat aku dengan
tempat mereka, semakin tinggi kewaspadaanku. Aku sering berhenti untuk
mendengarkan suara-suara yang tak lazim, sebatang anak panah sudah dipaskan ke
busurku. Aku tidak melihat peserta lain, tapi aku memperhatikan beberapa hal
yang disebutkan Rue. Gerumbulan buah berry manis. Semak dengan dedaunan yang
menyembuhkan luka sengatanku. Kerumunan sarang tawon penjejak di dekat pohon
tempat aku terjebak. Dan di sana-sini, ada kilasan hitam-putih sayap mockingjay
di dahan-dahan tinggi di atas kepalaku.
Saat aku tiba di pohon
dengan sarang yang terbengkalai di bawahnya, aku berhenti sejenak untuk
mengumpulkan keberanianku. Rue sudah memberikan instruksi-instruksi khusus agar
bisa sampai ke tempat terbaik untuk memata-matai di dekat danau dari tempat
ini. Jangan lupa, aku mengingatkan diriku. Kaulah pemburunya sekarang, bukan
mereka. Kugenggam busurku makin erat lalu terus berjalan. Aku akhirnya sampai
ke sesemakan dengan pohon-pohon kecil yang diberitahukan Rue padaku dan sekali
lagi aku harus mengagumi kecerdasannya. Sesemakan itu ada di tepi hutan, tapi
semak sangat tebal hingga dengan mudah aku bisa mengamati kamp peserta Karier
tanpa ketahuan. Di antara kami terbentang tanah lapang luas tempat Hunger Games
dimulai.
Ada empat peserta. Anak
lelaki dari Distrik 1, Cato dan anak perempuan dari Distrik 2, dan bocah lekaki
kurus kering berkulit pucat yang pasti dari Distrik 3. Anak lelaki itu nyaris
tidak meninggalkan kesan padaku selama kami di Capitol. Aku nyaris tidak ingat
apa pun tentang dia, kostumnya, atau nilai latihannya, bahkan wawancaranya.
Bahkan saat ini, ketika dia berada di sana memegang semacam kotak plastik,
keberadaannya di sana dengan mudah diabaikan oleh teman-temannya yang lebih
besar dan dominan. Tapi anak lelaki itu pasti memiliki kemampuan, kalau tidak
buat apa mereka repot-repot membiarkannya tetap hidup. Namun, melihatnya aku
malah jadi tambah gelisah kenapa peserta Karier bisa menjadikannya sebagai
penjaga, dan belum membunuhnya hingga sejauh ini.
Keempat peserta
tampaknya sudah pulih dari serangan tawon penjejak. Bahkan dari jarak sejauh
ini, aku bisa melihat bengkak-bengkak di tubuh mereka. Mereka pasti tidak
terpikir untuk melepaskan sengat-sengat itu, atau jika mereka melepaskannya,
mereka tidak tahu jenis daun apa yang bisa menyembuhkan mereka. Tampaknya,
obat-obatan apa pun yang mereka temukan di Cornucopia tidak efektif.
Cornucopia berada di
posisi asalnya, tapi segala isinya sudah disapu bersih. Sebagian besar
persediaan, yang ditaruh di kotak-kotak, karung goni, dan wadah plastik,
ditumpuk rapi dalam bentuk piramida dalam jarak yang tak wajar dari kamp.
Barang-barang lain disebarkan begitu saja di sekitar piramida, hampir mirip dengan
susunan sebaran persediaan di sekitar Cornucopia sewaktu dimulainya pertarungan
ini. Kanopi berjaring, segala untuk menjauhkannya dari burung, tampak tidak ada
gunanya untuk melindungi piramida.
Semua pengaturan ini
membingungkan. Jaraknya, jaring, dan keberadaan anak lelaki dari Distrik 3.
Satu hal yang pasti, menghancurkan persediaan mereka tidak semudah
kelihatannya. Ada faktor lain yang bermain di sini, dan lebih baik aku berjaga-jaga
sampai aku tahu apa jebakannya. Tebakanku adalah piramida itu dipasangi
perangkap entah bagaimana caranya. Aku membayangkan lubang perangkap, jaring
yang bisa jatuh dan mengurung korbannya, benang yang bila putus akan
menembakkan panah beracun ke jantungnya. Ragam kemungkinannya tak terbatas.
Ketika aku sedang
mempertimbangkan pilihan-pilihanku, aku mendengar Cato berteriak. Dia menunjuk
ke hutan, jauh di belakangku, dan tanpa menoleh aku tahu Rue pasti sudah
menyalakan api unggun. Kami memastikan agar daun-daun yang dibakar cukup banyak
agar asapnya bisa kelihatan jelas. Para peserta Karier bergegas mempesenjatai
diri.
Mendadak terdengar
pertengkaran. Suara mereka cukup keras hingga bisa kudengar, mereka berdebat
apakah anak lelaki dari Distrik 3 sebaiknya ikut atau tinggal.
"Dia ikut kita.
Kita butuh dia di hutan, lagi pula pekerjaannya di sini sudah selesai. Tak ada
seorang pun yang bisa menyentuh persediaan kita." kata Cato.
"Bagaimana dengan
Lover Boy?" tanya anak lelaki dari Distrik 1.
"Sudah kubilang
berkali-kali, lupakan dia. Aku tahu di bagian mana kutusuk dia. Ajaib juga, dia
belum mati kehabisan darah sampai sekarang. Dan dalam kondisinya sekarang dia
tak bakal sanggup menjarah persediaan kita," sahut Cato.
Jadi Peeta ada di
hutan, terluka parah. Tapi aku masih tidak memahami motivasinya mengkhianati
para peserta Karier.
"Ayo," kata
Cato. Dia menyodorkan tombak ke tangan anak lelaki dari Distrik 3, dan mereka
berjalan menuju arah api. Kata-kata terakhir yang kudengar ketika mereka
memasuki hutan adalah ucapan Cato, "Saat kita menemukannya, aku akan membunuhnya
dengan caraku sendiri, dan tak ada seorang pun yang boleh ikut campur."
Entah bagaimana, aku
merasa dia tidak bicara tentang Rue. Lagi pula, bukan dia yang menjatuhkan
sarang tawon penjejak ke kepalanya.
Aku masih berdiam di
posisiku selama sekitar setengah jam, berusaha mencari tahu apa yang harus
kulakukan dengan persediaan mereka. Jarak adalah satu keuntungan yang kumiliki dengan
busur dan panah. Dengan mudah aku bisa mengirimkan panah berapi ke piramida
persediaan mereka-aku cukup hebat untuk bisa menembakkan panah masuk ke celah
antara jaring-tapi tak ada jaminan tembakanku akan berhasil membakar persediaan
mereka. Kemungkinan besar api di panah akan padam sendiri, lalu apa? Aku gagal
dan memberi mereka terlalu banyak informasi tentang diriku. Bahwa aku ada di
sini, punya kaki-tangan, dan aku pandai menggunakan busur panah.
Tidak ada jalan lain.
Aku harus mendekat dan melihat apakah aku tidak dapat menemukan apa yang
sebenarnya melindungi persediaan itu. Aku baru saja hendak keluar dari
sesemakan ketika mataku menangkap gerakan. Beberapa ratus meter di sebelah
kananku, aku melihat ada orang muncul dari dalam hutan. Sedetik kukira gadis
itu Rue, tapi kemudian aku mengenali si Muka Rubah-dialah yang tidak bisa kami
ingat tadi pagi-mengendap-endap ke tanah lapang. Ketika dia menganggap situasi
sudah aman, dia berlari menuju piramida dengan langkah-langkah pendek dan
cepat. Sebelum sampai ke lingkaran dengan persediaan yang berserakan di sekitar
piramida, dia berhenti, melihat-lihat tanah, dan dengan hati-hati melangkah di
suatu titik.
Kemudian gadis itu
mulai mendekati piramida sambil melompat-lompat aneh, kadang-kadang bahkan
hanya berdiri dengan satu kaki, sesekali menyeimbangkan dirinya, terkadang dia
melayang ke udara, melompati tong kecil dan mendarat dengan anggun dalam posisi
berjinjit. Tapi lompatannya agak terlalu jauh. Aku mendengarnya memekik nyaring
saat kedua tangannya menyentuh tanah, tapi tak terjadi apa-apa. Seketika, dia
berdiri dan meluruskan langkahnya hingga dia tiba di timbunan persediaan.
Jadi, aku benar tentang
adanya perangkap, tapi perangkap itu jauh lebih rumit daripada yang
kubayangkan. Aku juga benar tentang gadis itu. Betapa cerdas dirinya bisa
menemukan jalan menuju persediaan makanan dan mampu melewati perangkap dengan
rapi. Dia mengisi ranselnya, mengambil beberapa barang dari berbagai tempat
penyimpanan, biskuit dari kotak kayu, segenggam apel dari karung goni yang
tergantung dengan tali di sebelah tempat makanan. Tapi dia hanya mengambil
sedikit dari masing-masing barang yang dicurinya, jadi tidak menimbulkan
kecurigaan bahwa makanan mereka dicuri. Selanjutnya dia membuat gerakan-gerakan
aneh untuk bisa keluar dari lingkaran dan mengambil langkah seribu lari ke
hutan dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa pun.
®LoveReads
Aku sadar aku
menggertakan gigiku karena frustasi. Si Muka Rubah sudah memastikan apa yang
sudah kuduga. Tapi perangkap seperti apa yang membutuhkan ketangkasan semacam
itu, dan memiliki banyak titik pemicu? Kenapa anak perempuan itu memekik ketika
dua tangannya menyentuh tanah? Kau pasti berpikir... dan perlahan-lahan aku
tahu jawabannya... kaupikir tanah itu akan meledak.
"Dipasangi
ranjau," bisikku.
Itu menjelaskan
segalanya. Kerelaan kawanan Karier untuk meninggalkan persediaan mereka, reaksi
si Muka Rubah, keterlibatan anak lelaki dari Distrik 3, di sana ada banyak
pabrik, tempat mereka membuat televisi, mobil, dan bahan peledak. Tapi di mana
mereka memperoleh ranjau? Di antara persediaan? Itu bukan jenis senjata yang
biasanya disediakan para juri, mengingat mereka senang melihat para peserta
saling menumpahkan darah. Aku menyelinap keluar dari sesemakan dan melintasi
piringan logam bundar yang mengangkut para peserta ke arena.
Tanah di sekitarnya
telah digali dan ditutup lagi. Ranjau darat dimatikan setelah kami berdiri di
atas piringan itu selama enam puluh detik, tapi anak lelaki dari Distrik 3
pasti berhasil mengaktifkannya lagi. Aku tidak pernah melihat siapa pun dalam
Hunger Games yang pernah melakukannya. Aku yakin pasti keahliannya ini juga
membuat para juri terkejut.
Well, aku bersorak
untuk anak lelaki dari Distrik 3 itu karena berhasil membuat juri terperangah, tapi
apa yang harus kulakukan sekarang? Tentu saja, aku tidak bisa berjalan-jalan
diantara barang-barang yang berserakan itu tanpa meledakkan diriku. Ide untuk
menembakkan panah berapi jadi makin konyol sekarang. Ranjau itu dipicu dengan
tekanan. Tidak perlu tekanan berat. Pernah, seorang anak perempuan menjatuhkan
tanda matanya-sebuah bola kayu kecil-saat dia masih berdiri di piringan logam,
dan secara harfiah mereka bisa dibilang harus mengeruk sisa-sisa tubuhnya di
tanah.
Kedua lenganku lumayan
kuat, aku bisa melemparkan batu-batu kesana dan memicu apa? Mungkin meledakkan
satu ranjau? Bisa saja ledakan itu memulai reaksi berantai. Bisa tidak ya?
Apakah anak lelaki dari Distrik 3 itu menempatkan ranjau-ranjau dengan posisi
yang diatur agar ledakan satu ranjau tidak mengganggu ranjau-ranjau lain? Jadi
dia bisa tetap melindungi persediaan tapi memastikan penyusupnya tewas. Bahkan
seandainya aku hanya meledakkan satu ranjau, aku pasti akan menarik kawanan
Karier untuk kembali kemari.
Uh, apa sih yang
kupikirkan? Ada jaring, yang jelas dibuat untuk menghalau serangan semacam itu.
Selain itu, aku perlu melempar tiga puluh batu ke sana secara bersamaan, dan
memicu reaksi berantai yang besar, meluluhlantakan semua tempat itu.
Aku menoleh ke hutan di
belakangku. Asap dari api kedua Rue membubung di angkasa. Pada saat ini,
kawanan Karier mungkin sudah menduga adanya semacam jebakan. Waktuku hampir
habis.
Ada jalan keluar untuk
semua ini. Aku tahu pasti ada, jika saja aku bisa memusatkan perhatian cukup
keras. Aku melotot memandangi piramida, kotak-kotak penyimpanan, kotak-kotak
kayu, yang terlalu berat untuk dijatuhkan dengan panah. Mungkin salah satunya
berisi minyak goreng, dan ide untuk menembakkan panah berapi muncul lagi ketika
aku sadar aku bisa menghabiskan dua belas anak panah yang kumiliki dan tetap
tidak mengenai sasaran ke tempat penyimpanan minyak, karena aku cuma
menebak-nebak.
Aku mulai berpikir
untuk berjalan mengikuti langkah si Muka Rubah menuju piramida, berharap bisa
menemukan cara baru untuk menghancurkan tempat ini ketika mataku tertuju pada
karung goni berisi apel. Aku bisa memutuskan tali yang mengikatnya hanya dengan
satu tembakan, bukankah itu yang kulakukan di Pusat Latihan? Karung itu akan
jatuh bergedebuk, tapi paling hanya akan menimbulkan satu ledakan. Seandainya
aku bisa melepaskan semua apel dari dalam karung....
Aku tahu apa yang harus
kulakukan. Aku bergerak di dalam jarak lingkaran dan menggunakan tiga anak
panah untuk membereskan masalahku. Aku memasang kuda-kuda, memusatkan perhatian
sepenuhnya ketika aku membidik dengan teliti.
Panah pertama merobek
bagian samping atas karung, membuat robekan di karung itu. Panah kedua
memperlebar robekan itu. Aku bisa melihat apel pertama mengintip hendak keluar
ketika aku melepaskan anak panah ketiga, menembus celah robek di karung, dan
mengoyak karung tersebut hingga lepas.
Selama beberapa saat,
waktu seakan berhenti berputar. Apel-apel itu berjatuhan ke tanah dan aku
terlempar ke belakang, melayang di udara.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 16"
Posting Komentar