PERTARUNGAN
Bab 10
SESAAT, kamera
menyoroti Peeta yang menunduk sementara kata-katanya mulai dipahami. Lalu aku
bisa melihat wajahku, mulutku yang setengah terbuka campuran antara kaget dan
protes, diperbesar di setiap layar televisi ketika aku tersadar, Aku Gadis yang
dimaksud Peeta adalah aku. Aku mengatupkan bibir dan menunduk, berharap bisa
menutup segala bentuk emosi yang bergejolak dalam diriku.
"Wah, buruk sekali
nasibmu," kata Caesar, dan aku bisa mendengar rasa sakit sungguhan dalam
suaranya. Penonton juga ikutan bergumam setuju, bahkan ada yang memekik sedih.
"Tidak
bagus," Peeta sependapat.
"Yah, kurasa kami
tidak bisa menyalahkanmu. Sulit untuk tidak jatuh cinta pada gadis itu,"
kata Caesar. "Dia tidak tahu?"
Peeta menggeleng. "Tidak
tahu, sampai sekarang."
Mataku bekerjap
memandang layar televisi raksasa cukup lama hingga bisa melihat kedua pipiku
bersemu merah.
"Pasti kalian kepingin
aku menariknya ke atas sini dan mendengar jawabannya?"
Caesar bertanya pada
para penonton. Mereka berseru mengiyakan. "Sayangnya, peraturan adalah
peraturan, dan waktu Katniss Everdeen sudah habis tadi. Well, semoga beruntung,
Peeta Mellark, dan kurasa aku bisa mewakili seluruh Panem saat aku berkata hati
kami besertamu."
Sorakan penonton
terdengar memekakkan telingan. Peeta jelas membuat wawancara dengan peserta
lain jadi tak ada apa-apanya dengan pernyataan cintanya padaku. Ketika penonton
akhirnya tenang, Peeta mengucapkan "Terima kasih" dengan suara
tercekik pelan dan kembali ke tempat duduknya.
Kami berdiri menyanyikan
lagu kebangsaan. Aku harus mendongakkan kepalaku untuk menunjukkan rasa hormat
dan tidak bisa menghindar melihat semua layar televisi sekaranh penuh dengan
gambar aku dan Peeta, yang di benak penonton terasa jauh namun dekat. Malangnya
nasib kami. Tapi aku tahu yang sesungguhnya.
Setelah menyanyikan
lagu kebangsaan, para peserta kembali ke lobi Pusat Latihan dan memasuki
elevator. Aku memastikan lebih dulu agar tidak masuk ke elevator dengan Peeta
di dalamnya. Para penonton menghambat jalan rombongan penata gaya, mentor, dan
pendamping, jadi hanya peserta di dalam elevator. Tak ada seorang pun yang
bicara. Elevatorku berhenti untuk menerunkan empat peserta sebelum aku
sendirian dan pintu terbuka di lantai 12.
Peeta baru saja keluar
dari elevatornya ketika telapak tanganku menghantam dadanya. Dia kehilangan keseimbangan
dan menabrak jambangan jelek yang diisi dengan bunga palsu. Jambangan itu
bergoyang dan jatuh berkeping-keping ke lantai. Peeta terjatuh di antara
pecahan jambangan, dan darah langsung mengalir dari kedua tangannya.
"Kenapa kaupukul
aku?" tanyanya, terkejut.
"Kau tidak berhak.
Kau tak berhak mengatakan segala hal yang kaukatakan tentang aku" Aku
berteriak padanya.
Elevator terbuka dan
seluruh kru ada di sana, Effie, Haymitch, Cinna, dan Portia.
"Ada apa?' tanya
Effie, suaranya terdengar histeris. "Kau jatuh?"
"Setelah dia
mendorongku," kata Peeta saat Effie dan Cinna membantunya bangun.
Haymitch menoleh
memandangku. "Mendorongnya?"
"Ini pasti idemu,
kan? Membuatku jadi tampak bodoh di depan semua penduduk negeri ini?"
sahutku.
"Ini ideku,"
kata Peeta, mengernyit ketika dia menarik pecahan dari telapak tangannya.
"Haymitch hanya membantuku."
"Ya, Haymitch
memang sangat membantu. Membantumu" seruku.
"Kau memang
bodoh," kata Haymitch jijik. "Kaupikir dia menyakitimu? Anak itu memberimu
sesuatu yang takkan pernah bisa kaudapatkan sendirian."
"Dia membuatku
tampak lemah" kataku.
"Dia membuatmu
tampak diinginkan. Kita jujur saja ya, kau butuh segala bantuan yang bisa
kauperoleh dalam hal itu. Kau sama romantisnya dengan tanah liat sampai dia
bilang menginginkanmu. Sekarang semua orang menginginkanmu. Hanya kau yang
mereka bicarakan. Pasangan kekasih yang tak mungkin bersatu dari Distrik Dua
Belas" kata Haymitch.
"Tapi kami bukan
pasangan kekasih yang tak mungkin bersatu" kataku.
Haymitch mengguncangkan
bahuku dan mendorongku ke dinding. "Siapa yang peduli? Ini semua cuma acara
besar di TV. Semuanya tentang bagaimana kau dipandang. Setelah wawancaramu, aku
berani bilang kau cukup baik, walaupun itu juga sudah merupakan keajaiban.
Sekarang, setelah ini kau jadi gadis yang membuat patah hati. Oh, oh, oh,
betapa anak laki-laki di distrikmu berharap dan memujamu. Menurutmu mana yang
akan mendapat sponsor lebih banyak?"
Bau anggur dalam
napasnya membuatku mual. Kudorong tangannya menjauh dari bahuku dan beranjak
pergi, berusaha menjernihkan kepalaku.
Cinna datang dan
merangkulku. "Dia benar, Katniss."
Aku tidak tahu apa yang
harus kupikirkan. "Seharusnya aku diberitahu, jadi aku tidak tampak
tolol."
"Tidak, reaksimu
sempurna. Kalau kau sudah tahu, reaksimu takkan terlihat sungguhan," kata
Portia.
"Dia hanya
menguatirkan pacarnya," gerutu Peeta sambil melempar pecahan jambangan
yang ternoda darah.
Pipiku bersemu merah
lagi ketika teringat pada Gale. "Aku tidak punya pacar."
"Terserah,"
cetus Peeta. "Tapi aku yakin dia pasti cukup cerdas untuk tahu mana buatan
mana sungguhan kalau dia melihatnya. Lagi pula kau tidak bilang kau mencintaiku.
Jadi apa masalahnya?"
Kata-kata mereka mulai
terserap dalam benakku. Kemarahanku pun perlahan-lahan lenyap. Pikiranku
terkoyak antara aku telah dimaafkan dan diberi kesempatan. Haymitch benar. Aku
berhasil melewati wawancara dengan baik, tapi benarkah aku berhasil? Gadis
konyol yang berputar-putar dengan gaunnya yang berkilau.
Tertawa terkekeh-kekeh.
Satu-satunya jawaban berisi yang kuberikan adalah ketika aku bicara tentang
Prim. Bandingkan itu dengan Thresh, dengan diamnya, dan kekuatannya yang
mematikan, seketika aku terlupakan. Bodoh, berkilau, dan terlupakan. Tidak,
tidak sepenuhnya terlupakan, aku mendapat nilai sebelas dalam latihan.
Tapi sekarang Peeta
membuatku jadi objek cinta. Bukan cuma cintanya. Mendengarnya bicara bahwa aku
punya banyak penggemar. Dan jika penonton benar-benar menganggap kami sedang
jatuh cinta... aku ingat bagaimana bersemangatnya mereka menanggapi pengakuan
Peeta. Pasangan kekasih yang tak mungkin bersatu. Haymitch benar, orang-orang
di Capitol menelan cerita semacam itu bulat-bulat. Mendadak aku kuatir aku
tidak bereaksi seperti seharusnya.
"Setelah dia
bilang dia mencintaiku, apakah menurutmu aku juga tampak mencintainya?"
tanyaku.
"Tampaknya
begitu," kata Portia. "Caramu menghindar untuk tidak memandang kamera,
pipimu yang memerah."
Yang lain juga ikut
berkomentar senada.
"Kau hebat,
sweetheart. Sponsor akan mengantre panjang untuk mendapatkanmu," kata
Haymitch.
Aku malu dengan
reaksiku. Kupaksa diriku untuk mengaku pada Peeta. "Maaf aku mendorongmu."
"Tidak
apa-apa," katanya, mengangkat bahu. "Walaupun secara teknis ini
ilegal."
"Tanganmu
sakit?" tanyaku.
"Akan sembuh
kok," jawabnya.
Dalam keheningan yang
mengikuti percakapan aku dan Peeta, aroma makan malam yang nikmat menyerbu
penciuman kami dari ruang makan.
"Ayo, mari
makan," kata Haymitch.
Kami semua mengikutinya
ke meja dan duduk di sana. Tapi Peeta mengeluarkan terlalu banyak darah,
sehingga Portia harus membawanya untuk diobati. Kami mulai menyantap sup krim
dengan kelopak bunga mawar tanpa menunggu mereka. Pada saat kami selesai makan,
mereka kembali. Aku tidak bisa tidak merasa bersalah. Besok kami sudah berada
di arena.
Peeta sudah membantuku
dan aku membalasnya dengan luka. Sampai kapan aku bisa berhenti berutang
padanya? Setelah makan malam kami menonton tayangan ulang di ruang duduk.
Meskipun yang lain meyakinkanku bahwa aku memesona, tapi aku merasa meriah dan dangkal,
berputar-putar dan cekikikan dengan gaunku yang berkilau. Peeta yang sungguh-sungguh
tampak memesona dan akhirnya keluar menjadi pemenang sebagai pemuda yang jatuh
cinta. Kemudian tampak aku disorot kamera, tersipu-sipu dan bingung, setelah
dibuat cantik berkat tangan emas Cinna, dan jadi makin diinginkan berkat
pengakuan cinta Peeta. Keadaan membuat nasibku tragis, dan setelah semua
peristiwa yang terjadi, aku jadi sosok yang tak terlupakan.
Ketika lagu kebangsaan
selesai dinyanyikan dan layar televisi berubah gelap, keheningan menyergap
ruangan. Kami harus bangun dini hari besok dan bersiapsiap ke arena.
Pertarungan baru dimulai pukul sepuluh karena banyak penduduk Capitol yang baru
bangun pada siang hari. Tapi aku dan Peeta harus mulai lebih awal. Kami tidak
tahu seberapa jauhnya kami harus melakukan perjalanan ke arena yang disiapkan
untuk Pertarungan tahun ini.
Aku tahu Haymitch dan
Effie tidak akan bersama kami. Setelah mereka pergi dari sini, mereka akan
berada di Markas Pertarungan, semoga mereka sibuk mengurusi banyak orang yang
ingin menjadi sponsor, dan menyusun strategi bagaimana dan kapan mereka
mengirimkan hadiah-hadiah sponsor itu untuk kami. Cinna dan Portia akan
menemani kami sampai ke tempat kami akan diluncurkan ke arena. Namun perpisahan
terakhir harus diucapkan di sini sekarang.
Effie memegang tangan
kami berdua, dengan air mata sungguhan di matanya, mendoakan kami semoga
berhasil. Dia berterima kasih pada kami karena telah menjadi peserta terbaik
dan jadi kehormatan baginya untuk menjadi sponsor.
Kemudian, karena Effie
adalah Effie dan tampaknya menurut hukum dia harus mengatakan sesuatu yang
tidak menyenangkan, dia menambahkan, "Aku takkan terkejut jika akhirnya
aku dipromosikan ke distrik yang lebih baik tahun depan."
Selanjutnya, dia
mencium pipi kami berdua lalu bergegas keluar, tidak sanggup menahan emosi akibat
perpisahan atau kemungkinan peningkatan rezekinya. Haymitch bersedekap dan
memandang kami berdua.
"Ada nasihat
terakhir?" tanya Peeta.
"Ketika gong
berbunyi, langsung lari dari sana. Kecuali kalian siap menghadapi banjir darah
di Cornucopia. Segera pergi, buat jarak sejauh-jauhnya dengan peserta lain, dan
cari sumber air," katanya. "Mengerti?"
"Dan setelah
itu?" tanyaku.
"Usahakan tetap
hidup," kata Haymitch.
Nasihat yang sama
seperti yang diberikannya di kereta, tapi kali ini dia tidak mabuk atau tertawa.
Dan kami hanya mengangguk. Apa lagi yang bisa kami katakan?
Ketika aku menuju
kamarku, Peeta tetap di sana untuk bicara dengan Portia. Aku merasa lega. Apa
pun kata-kata perpisahan aneh yang harus kami ucapkan bisa menunggu sampai
besok. Ranjangku sudah dibereskan, tapi tidak ada tanda-tanda gadis Avox
berambut merah. Aku berharap aku tahu namanya. Atau menunjukkannya. Tapi
mungkin itu malah akan berbuah hukuman untuknya.
Aku mandi dan menggosok
cat emas, makeup, dan aroma keindahan dari tubuhku. Yang tersisa dari kerja
keras tim desain adalah bentuk api di kuku-kukuku. Kuputuskan untuk tidak
menghapusnya agar bisa jadi pengingat siapa diriku di hadapan penonton.
Katniss, gadis yang terbakar. Mungkin bisa jadi sesuatu yang dapat kujadikan
pegangan dalam beberapa hari ke depan.
Kukenakan gaun tidur
tebal yang putih lembut lalu naik ke ranjang. Setelah lima detik aku sadar aku
takkan bisa tidur. Padahal aku teramat butuh tidur karena di arena jika aku
menyerah pada kelelahan akibatnya bisa berarti maut. Ini tidak bagus. Satu jam,
dua jam, tiga jam berlalu, dan mataku tidak mau menutup juga. Aku tidak bisa
berhenti membayangkan seperti apa arena yang akan jadi tempatku betarung.
Padang pasir? Rawa? Tempat pembuangan yang kosong?
Di antara segalanya,
aku berharap ada pepohonan. Pohon-pohon berarti adanya tempat persembunyian,
makanan, dan perlindungan. Sering kali ada pepohonan dalam Hunger Games, karena
padang terbuka biasanya membosankan dan Hunger Games akan berakhir terlalu
cepat. Tapi bakal seperti apa iklim nanti? Apa jebakan-jebakan yang dipasang
Juri Pertarungan untuk menghidupkan saat-saat membosankan? Dan masih ada lagi
peserta-peserta lain.
Semakin aku berharap
bisa tidur, semakin jauh rasa kantukku. Akhirnya, aku terlalu gelisah untuk
tetap tiduran di ranjang. Aku berjalan mondar-mandir, jantungku berdetak
terlalu cepat, napasku memburu. Kamarku terasa seperti sel penjara. Kalau aku
tidak segera mendapat udara, aku bakalan membanting-banting barang. Aku berlari
menuju lorong kamar ke atap. Pintu itu bukan hanya tidak terkunci tapi juga
terbuka. Mungkin ada orang yang lupa menutupnya, tapi tak masalah. Medan energi
yang meliputi atap mencegah siapa pun yang putus asa untuk melarikan diri. Dan
aku tidak kepingin melarikan diri, aku hanya ingin mengisi paru-paruku dengan
udara. Aku ingin melihat langit dan bulan pada malam terakhir tanpa ada seorang
pun yang memburuku.
Tidak ada lampu di
atap, tapi ketika kakiku yang tanpa alas kaki mengijak permukaan atap yang
berubin, aku melihat siluetnya, bayangan hitam di belakang cahaya yang bersinar
tanpa henti di Capitol. Terdengar keramaian berlangsung di jalanan, musik dan
lagu serta klakson, yang sama sekali tak bisa kudengar melalui jendela kaca
yang tebal di kamarku. Aku bisa menyelinap pergi sekarang tanpa ketahuan
olehnya; dia tidak bakal bisa mendengarku di antara hiruk-pikuk. Tapi udara
malam terasa sangat manis, aku tidak tahan membayangkan harus kembali ke
kandang menyesakkan yang disebut kamar itu. Lagi pula apa bedanya jika kami bicara
atau tidak?
Kakiku bergerak tanpa
suara melintasi ubin. Jarakku hanya semeter di belakangnya ketika aku berkata,
"Seharusnya kau sudah tidur."
Dia tampak terkejut
tapi tidak menoleh. Aku bisa melihat kepalanya sedikit menggeleng. "Aku
tidak mau melewatkan pestanya. Ini kan pesta untuk kita."
Aku berjalan ke
sampingnya dan mencondongkan tubuh melewati pembatas. Jalanan yang lebar di
bawah sana penuh dengan orang-orang yang menari. Aku menyipitkan mata agar bisa
lebih memperhatikan sosok-sosok mungil di bawah.
"Apakah mereka
memakai kostum?"
"Entahlah,"
jawab Peeta, "Mana aku tahu dengan segala pakaian sinting yang mereka
pakai di sini. Tidak bisa tidur juga, ya?"
"Tidak bisa
mematikan pikiranku," aku menyahut.
"Memikirkan
keluargamu?" tanyanya.
"Tidak,"
jawabku dengan setitik rasa bersalah. "Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang
besok, yang tentu saja tak ada gunanya."
Dengan bantuan cahaya
dari bawah, sekarang aku bisa melihat wajahnya, serta caranya yang canggung
ketika memegang tangannya yang berbalut perban. "Aku sungguh-sungguh minta
maaf membuat tanganmu luka."
"Tidak apa-apa,
Katniss," katanya. "Aku juga tak pernah jadi penantang dalam Hunger
Games semacam ini."
"Jangan berpikir
seperti itu," kataku.
"Kenapa tidak?
Memang benar kok. Harapan terbaikku adalah tidak mempermalukan diriku sendiri
dan..." Peeta terdiam, tampak ragu.
"Dan apa?"
tanyaku.
"Aku tidak tahu
bagaimana mengatakannya. Hanya saja... aku ingin mati sebagai diriku sendiri.
Apakah itu masuk akal?" tanya Peeta.
Aku menggeleng.
Bagaimana mungkin dia bisa mati sebagai orang lain yang bukan dirinya?
"Aku tidak mau
mereka mengubah diriku di sana. Menjadikanku sebagai monster yang bukan diriku
sebenarnya."
Kugigit bibirku sambil
merasa dangkal. Sementara aku sibuk memikirkan apakah bakal ada pepohonan,
Peeta sedang berusaha mempertahankan identitasnya. Kemurnian dirinya.
"Maksudmu kau tak
mau membunuh siapa pun?" tanyaku.
"Bukan begitu.
Kalau saatnya tiba, aku yakin aku akan membunuh sama seperti orang lain. Aku
tidak mau menyerah tanpa perlawanan. Hanya saja aku terus berharap bisa
memikirkan cara untuk... untuk menunjukkan pada Capitol mereka tidak
memilikiku. Aku bukan sekedar pion dalam Hunger Games mereka ini," kata Peeta.
"Tapi kau memang
bukan milik mereka," kataku. "Tak seorang pun dimiliki. Itulah cara kerja
Hunger Games."
"Oke, tapi dalam
kerangka berpikir itu, masih ada kau, masih ada aku," Peeta berkeras.
"Kau mengerti?"
"Sedikit. Hanya
saja... bukan bermaksud menyinggung ya, tapi siapa yang peduli, Peeta?"
tanyaku.
"Aku peduli.
Maksudku, apa lagi yang bisa kuperdulikan pada tahap ini?" tanyanya berang.
Matanya yang biru memandang mataku lekat-lekat, menuntut jawaban.
Aku mundur selangkah.
"Pedulilah pada perkataan Haymitch. Tentang berusaha tetap hidup."
Peeta tersenyum padaku,
sedih dan tampak mengejek. "Oke. Terima kasih atas tipnya, Manis."
Rasanya seperti
ditampar, mendengar cara Peeta menggunakan istilah sayang yang meremehkan yang
sering digunakan Haymitch. "Dengar, kalau kau ingin menghabiskan jam-jam
terakhir hidupmu merencanakan semacam kematian agung di arena, itu pilihanmu.
Aku ingin menghabiskannya di Distrik Dua Belas."
"Aku takkan kaget
jika kau bisa," kata Peeta. "Sampaikan salam pada ibuku, kalau kau
berhasil pulang, mau kan?"
"Pasti
kusampaikan," jawabku. Lalu aku berputar dan meninggalkan atap.
Aku melewati malam itu
terbangun berkali-kali dalam tidur, membayangkan komentar tajam apa yang
kuucapkan pada Peeta Mellark besok pagi. Peeta Mellar. Kita akan melihat betapa
tinggi dan tegarnya dia ketika berhadapan dengan hidup dan mati. Dia mungkin
akan menjadi peserta yang berubah menjadi binatang buas, jenis yang berusaha
memakan jantung lawannya setelah membunuh mereka.
Beberapa tahun lalu ada
anak lelaki yang seperti itu, namanya Titus dari Distrik 6. Dia jadi buas tak
terkendali dan Juri Pertarungan harus menyetrumnya dengan pistol listrik agar
bisa mengambil mayat peserta-peserta lain yang telah dibunuhnya sebelum dia
memakan mereka. Tidak ada peraturan di arena, tapi kanibalisme tidak disukai
oleh penonton di Capitol, jadi mereka berusaha menghentikannya. Ada spekulasi
bahwa gelundungan bola salju yang akhirnya menghabisi Titus sengaja diatur
untuk memastikan agar pemenang Hunger Games bukanlah maniak sinting.
Aku tidak bertemu Peeta
pada pagi hari. Cinna sudah datang sebelum matahari terbit, memberiku pakaian
sederhana untuk dipakai, dan mengantarku ke atap. Segala persiapan akhir dan
gaunku baru dikenakan di makam bawah tanah yang berada di bawah arena. Pesawat
ringan muncul entah dari mana, jenis pesawat yang sama seperti yang kulihat di
hutan pada hari aku melihat gadis Avox berambut merah itu ditangkap. Kemudian
tangga diturunkan dari pesawat itu. Tangan dan kakiku menjejak janjang-janjang
tangga terbawah dan seketika aku merasa tak mampu bergerak. Ada semacam
gelombang yang melekatkanku pada tangga sementara aku terangkat naik ke
pesawat.
Kupikir tangga akan
segera melepaskanku, tapi aku masih menempel di sana ketika seorang wanita
berjas putih menghampiriku membawa alat suntik.
"Ini hanya alat
pelacak, Katniss. Lebih baik kau tidak bergerak, agar aku bisa menempatkannya
dengan lebih efisien," katanya.
Tidak bergerak? Aku
sudah sekaku patung. Tapi itu tidak membuatku mati rasa terhadap rasa sakit
menyengat di bagian lengan atasku ketika jarum memasukkan alat pelacak
berbentuk logam ke balik kulitku. Sekarang Juri Pertarungan akan bisa melacak
keberadaanku di arena. Mereka pasti tidak mau kehilangan peserta, kan?
Setelah alat pelacak
itu masuk ke tubuhku, tangga yang kupegang melepaskanku. Wanita itu menghilang
kemudian Cinna dijemput dari atap. Anak lelaki Avox datang dan mengarahkan kami
ke ruangan tempat sarapan telah disajikan. Meskipun perutku mulas setengah
mati, aku makan sebanyak yang bisa masuk ke perutku, meski tak satu pun makanan
lezat ini kunikmati. Aku amat tegang, hingga bisa makan apa saja termasuk debu
batu bara. Satu-satunya hal yang membuat perhatianku teralih adalah pemandangan
dari jendela ketika kami terbang melintasi kota dan hutan. Inilah pemandangan
yang dilihat burung. Hanya saja burungburung itu bebas dan aman. Berbeda 180
derajat dengan diriku.
Perjalanan ini sudah
berlangsung selama setengah jam sebelum jendela-jendela menggelap, menunjukkan
bahwa kami sudah berada dekat arena. Pesawat ringan itu mendarat lalu aku dan
Cinna kembali ke tangga, tapi kali ini tangga membawa kami ke lorong bawah
tanah, menuju makam yang berada di bawah arena. Kami mengikuti petunjuk menuju
tujuanku, ruang persiapanku. Di Capitol, mereka menyebutnya Ruang Peluncuran.
Di distrik-distrik, ruang ini disebut Ruang Penyimpanan Ternak. Tempat binatang
menunggu untuk disembelih.
Segalanya tampak baru.
Aku jadi orang pertama dan satu-satunya yang menggunakan Ruang Peluncuran ini.
Arena-arena pertarungan merupakan tempat bersejarah, yang jadi tempat yang
dilindungi selama Pertarungan. Tempat-tempat ini jadi objek wisata populer
untuk penduduk Capitol. Tur selama sebulan, menonton ulang Pertarungannya, tur
ke makam, mengunjungi tempat pesertapeserta tewas. Kau bahkan bisa ikut bermain
dalam reka ulang. Mereka bilang makanan yang disajikan dalam kegiatan itu
sangat lezat. Aku berjuang untuk menjaga agar sarapanku tidak kumuntahkan
ketika aku mandi dan sikat gigi.
Cinna menata rambutku
dengan gaya khasku yang sederhana, kepang satu yang jatuh di punggungku. Lalu
pakaian pun tiba, pakaian yang sama untuk setiap peserta. Cinna tidak
berkomentar tentang pakaianku, dan dia juga tidak tahu seragam apa yang dipakai
dalam Pertarungan kali ini, tapi dia membantuku memakai pakaian dalam, blus
hijau muda, ikat pinggang cokelat yang kuat, dan jaket hitam berpenutup kepala
yang panjangnya sampai ke pahaku.
"Bahan dalam jaket
ini didesain untuk memantulkan panas tubuh. Bersiap-siaplah menghadapi
malam-malam dingin," katanya.
Bot yang kupakai di
luar kaus kaki yang menempel ketat pada kulit jauh lebih baik daripada yang
kuperkirakan. Kulit sepatu ini lembut, tidak seperti yang kumiliki di rumah.
Sepatu ini memiliki sol karet yang fleksibel dan enak buat dipakai jalan. Bagus
untuk berlari.
Aku selesai didandani
ketika Cinna mengeluarkan pin emas mockingjay dari sakunya. Aku benar-benar
lupa pada benda itu.
"Di mana kau
mendapatkannya?" tanyaku.
"Dari baju hijau
yang kaupakai di kereta," katanya.
Aku ingat sekarang saat
aku melepaskannya dari gaun ibuku, dan memasangnya di kaus.
"Ini lambang
distrikmu, kan?"
Aku mengangguk dan
menjepitkannya di bajuku.
"Benda ini nyaris
tidak lolos dewan penilai. Ada yang berpikir pin ini bisa digunakan sebagai
senjata, dan memberimu keuntungan yang tidak adil. Tapi akhirnya mereka
meloloskannya," kata Cinna. "Mereka mengambil cincin dari anak
perempuan Distrik Satu. Jika kau memutar batu permatanya, ada jarum yang muncul.
Jarum beracun. Dia mengaku sama sekali tidak tahu cincin itu bisa berubah
bentuk jadi senjata, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa dia tahu. Akhirnya
cincin itu harus disita. Nah, kau sudah siap. Coba bergerak. Rasakan apakah
semuanya nyaman."
Aku berjalan
mengelilingi ruangan, mengibas-ngibaskan tanganku. "Ya, semuanya nyaman.
Pakaian ini pas dengan sempurna."
"Kalau begitu,
tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menunggu panggilan," kata
Cinna. "Kecuali kau masih mau makan?"
Aku menolak tawaran
makanan tapi menerima segelas air yang kuminum pelanpelan sembari menunggu di
sofa. Aku tidak mau menggigit bibir atau kukuku, jadi aku menguyah-nguyah bagian
dalam pipiku. Luka di bagian dalam pipiku belum sembuh benar setelah beberapa
hari lalu. Tidak lama kemudian aku bisa merasakan darah memenuhi mulutku.
Kegelisahanku berubah
jadi ketakutan ketika aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Aku bisa saja
tewas dalam waktu satu jam. Bahkan bisa jadi kurang dari satu jam. Jemariku
menelusuri benjolan kecil yang keras tempat wanita itu menyuntikkan alat
pelacaknya. Kutekan benjolan itu, meskipun terasa sakit, tekananku sangat kuat
hingga mulai terbentuk memar kecil di sana.
"Kau ingin bicara,
Katniss?" tanya Cinna.
Aku menggeleng, tapi
tidak lama kemudian aku mengulurkan tangan ke arahnya. Cinna menyambut tanganku
dalam genggamannya. Dan kami duduk dalam posisi bergenggaman seperti ini sampai
terdengar suara wanita yang merdu mengumumkan sudah tiba saatnya bersiap-siap
untuk peluncuran. Masih sambil menggenggam satu tangan Cinna, aku berjalan dan
berdiri di atas piringan logam bundar.
"Ingat apa kata
Haymitch. Lari, cari air. Selanjutnya lihat apa yang terjadi," kata Cinna.
Aku mengangguk. "Dan ingat ini. Aku tidak boleh ikut bertaruh, tapi kalau bisa,
aku akan memasang taruhan pada dirimu."
"Sungguh?"
aku berbisik.
"Sungguh,"
sahut Cinna. Dia menunduk dan mengecup dahiku. "Semoga beruntung, gadis
yang terbakar."
Kemudian silinder kaca
turun mengelilingiku, membuat kami harus melepaskan pegangan, memisahkanku dari
Cinna. Dia mengetukkan jemarinya ke bawah dagu. Kepala diangkat tinggi-tinggi. Aku
mengangkat daguku dan berdiri setegak mungkin. Silinder itu mulai naik.
Selama sekitar lima
belas menit, aku berada dalam kegelapan dan aku bisa merasakan piringan logam
mendorongku keluar dari silinder, menuju udara terbuka. Sesaat, mataku
dibutakan silau cahaya matahari yang terang. Sesaat, mataku dibutakan silau
cahaya matahari yang terang, aku hanya bisa merasakan embusan angin yang kuat
membawa aroma pohon-pohon pinus yang memberikan harapan.
Kemudian aku mendengar
suara pengumuman pembawa acara legendaris, Cladius Templesmith, ketika suaranya
menggelegar di sekitarku. "Saudara-saudara sekalian, maka dimulailah
Hunger Games Ketujuh Puluh Empat"
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "The Hunger Games Bab 10"
Posting Komentar