Mockingjay Bab 8


BAB 8

  BOGGS muncul dan mencengkeram lenganku kuat-kuat, tapi aku tidak berencana lari sekarang. Aku menoleh memandang rumah sakit—tepat ketika seluruh bangunan itu runtuh—dan keinginanku untuk melawan pun ikut runtuh. Semua orang tadi, ratusan orang yang terluka, keluarga mereka, petugas medis dari Distrik 13, tewas sudah. Aku menoleh memandang Boggs, melihat wajahnya yang bengkak karena sepatu bot Gale. Meskipun bukan pakar, tapi aku yakin hidungnya patah. Suaranya lebih terdengar pasrah dibanding marah. “Kembali ke landasan udara.”
  Dengan patuh aku melangkah dan mengernyit ketika aku merasakan sakit yang mengigit di belakang lutut kananku. Adrenalin yang tadi memompaku sudah hilang dan bagian-bagian tubuhku menyuarakan serangkaian keluhan. Aku babak belur dan berdarah, dan seakan ada orang yang memalu pelipis kiriku dari dalam tengkorakku. Boggs mengamati wajahku dengan cepat, lalu menggendongku dan berlari menuju landasan. Separo jalan, aku muntah di rompi antipelurunya. Karena dia terengah-engah, aku tak bisa yakin seratus persen, tapi sepertinya kudengar dia mendesah.
  Pesawat ringan berukuran kecil menunggu di landasan, berbeda dengan yang mengangkut kami kemari. Tidak lama setelah tim kami naik, pesawat pun tinggal landas. Tak ada kursi-kursi nyaman dan jendela kali ini. Sepertinya kami berada di dalam pesawat pengangkut. Boggs memberikan pertolongan pertama pada orang-orang sebelum kami tiba di 13. Aku ingin melepaskan rompiku, karena rompiku kena muntahku sebagian, tapi terlalu dingin untuk memikirkannya. Aku berbaring di lantai dengan kepala di pangkuan Gale. Yang terakhir kuingat adalah Boggs menutupi tubuhku dengan karung.
®LoveReads
  Saat terbangun, tubuhku sudah terasa hangat dan aku berada di ranjang lamaku di rumah sakit. Ibuku ada di sana, memeriksa tanda-tanda vitalku. “Bagaimana perasaanmu?”
  “Agak bonyok, tapi baik,” jawabku.
  “Tak ada seorang pun yang memberitahu kami kau pergi sampai kau sudah pergi,” kata ibuku.
  Aku merasakan sengatan rasa bersalah. Saat keluargamu harus mengirimmu dua kali ikut Hunger Games, hal seperti ini seharusnya tidak boleh diabaikan. “Maafkan aku. Mereka tidak mengira bakal ada serangan. Aku seharusnya hanya mengunjungi pasien,” kataku menjelaskan. “Lain kali, aku akan meminta mereka menjelaskannya padamu.”
  “Katniss, tak ada seorang pun menjelaskan apa-apa padaku.” kata ibuku.
  Memang benar. Bahkan aku pun tak memberinya penjelasan. Sejak ayahku meninggal. Kenapa harus berpura-pura? “Yah, akan kuminta mereka… untuk tetap memberitahu.”
  Di meja samping tempat tidur ada pecahan bom yang mereka ambil dari kakiku. Para dokter lebih mencemaskan kemungkinan otakku rusak karena ledakan, karena aku belum pulih total dari gegar otakku yang sebelumnya. Tapi pandanganku tidak berbayang atau buram dan aku bisa berpikir jernih. Aku sudah tidur sepanjang sore hingga malam hari, dan aku lapar sekarang. Sarapanku amat sedikit. Hanya beberapa potong kecil roti yang dicelup di dalam susu hangat. Aku sudah dipanggil mengikuti pertemuan pagi hari di Ruang Komando. Aku mulai bergerak bangun lalu menyadari bahwa mereka berencana untuk mendorong ranjang rumah sakitku ke sana. Aku ingin berjalan, tapi tidak boleh, jadi aku menawar agar boleh pakai kursi roda saja. Sesungguhnya aku merasa baik-baik saja. Kecuali bagian kepala, kaki, dan rasa ngilu dari memar-memarku, dan mual yang kurasakan sehabis makan. Mungkin kursi roda ini ide yang bagus juga.
  Dan mereka mendorongku ke sana, aku mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang bakal kuhadapi. Aku dan Gale melanggar perintah kemarin dan luka Boggs bisa membuktikan ketidakpatuhan kami. Tentu bakal ada akibat dari perbuatan kami, tapi apakah Coin bakal bertindak jauh dengan membatalkan perjanjian untuk memberi ampunan pada para pemenang? Apakah aku sudah membuat Peeta kehilangan perlindungan yang bisa kuberikan untuknya?
  Saat aku tiba di Ruang Komando, yang sudah tiba di sana adalah Cressida, Mesalla, dan para serangga. Mesalla langsung bersemangat dan berkata, “Itu dia bintang kecil kita!” dan yang lain tersenyum amat tulus sehingga aku tak bisa menahan diri untuk tidak membalas senyum mereka. Mereka membuatku terkesan di Distrik 8, mengikutiku sampai ke atap pada saat pengeboman, membantah Plutarch agar mereka bisa mendapatkan rekaman yang mereka inginkan. Mereka tidak sekadar bekerja, mereka bangga terhadap pekerjaan mereka. Seperti Cinna.
  Aku punya pikiran aneh bahwa jika kami berada di arena bersama, aku akan memilih mereka sebagai sekutuku, Cressida, Mesalla, dan—dan—“Aku harus berhenti memanggil kalian “serangga”,” kataku pada para juru kamera. Aku menjelaskan bahwa aku tak tahu nama mereka, tapi pakaian mereka mirip serangga. Perbandingan itu sepertinya tidak menganggu mer eka. Bahkan tanpa kamera, mereka berdua mirip satu sama lain. Rambut pirang pasir, janggut merah, dan mata biru.
  Yang suka mengigit kukunya memperkenalkan diri dengan nama Castor dan satunya lagi, yang ternyat a saudara lelakinya, bernama Pollux. Aku menunggu Pollux mengucap halo, tapi dia hanya mengangguk. Mulan ya kupikir dia pemalu atau tidak suka bicara. Tapi ada sesuatu yang menggugah perhatianku—posisi bibirnya, usaha lebih yang diperlukannya untuk menelan—dan aku tahu sebelum Castor memberitahuku. Pullox adalah Avox. Mereka memotong lidahnya dan dia tak bisa bicara lagi. Dan aku tak perlu bertanya lagi apa yang membuatnya mempertaruhkan segalanya untuk menjatuhkan Capitol.
  Ketika ruangan itu makin lama makin terisi banyak orang, aku menguatkan diri untuk menerima sambutan yang tak seramah tadi. Tapi satu-satunya orang yang bersikap negatif adalah Haymitch, yang memang selalu seperti itu, dan Fulvia Cardew yang bermuka masam. Boggs memakai topeng plastik berwarna kulit di bagian bibir atasnya hingga ke alis—dugaanku benar tentang hidungnya yang patah—sehingga ekspresinya sulit kubaca. Coin dan Gale sedang bercakap-cakap akrab.
  Ketika Gale duduk di kursi di samping kursi rodaku, aku berkata, “Punya teman baru ya?”
  Mata Gale berkedip memandang Presiden dan kembali ke arahku. “Salah satu dari kita kan harus mudah didekati.” Dia menyentuh dahiku dengan lembut. “Bagaimana keadaanmu?”
  Mereka pasti menyajikan bawang putih dan tahu kukus sebagai sayuran pada saat sarapan. Semakin banyak orang berkumpul, aroma makanan itu semakin kuat. Perutku bergolak dan cahaya mendadak tampak terlalu terang. “Agak terguncang.” kataku. “Bagaimana denganmu.”
  “Baik. Mereka berhasil mengambil beberapa pecahan bom. Bukan masalah besar,” katanya.
  Coin membuka pertemuan. “Serangan Udara kita secara resmi telah diluncurkan. Bagi mereka yang ketinggalan siaran propo pertama kita yang ditayangkan dua ratus kali—atau tujuh belas kali tayangan ulang yang berhasil disiarkan Beetee setelah itu—kami akan memutarnya kembali.”
  Memutarkannya kembali? Jadi mereka tak hanya mendapatkan potongan-potongan gambar yang bisa mereka pakai, mereka juga berhasil menyusun menyusun tayangan propo dan menyiarkannya berkali-kali. Kedua telapak tanganku basah menunggu penampilanku di televisi. Bagaimana jika penampilanku masih buruk? Bagaimana jika aku tampil kaku dan tampak tak punya tujuan seperti yang terjadi di studio dan mereka sudah menyerah untuk mendapatkan gambar diriku yang lebih baik. Satu demi satu layar muncul dari meja, lampu mulai diremangkan, dan keheningan merayap dalam ruangan.
  Mulanya layarku hitam. Lalu ada kedipan-kedipan kecil di bagian tengah. Kedipan itu membesar, menyebar, mengisi bagian gelap di layar hingga semuanya terlalap api yang berkobar, hingga aku membayangkan panas yang memancar dari api itu. Gambar pin mockingjay-ku muncul, bersinar merah-keemasan. Suara yang dalam dan berwibawa, yang menghantui mimpi-mimpiku, mulai berbicara. Cladius Templesmith, penyiar yang memberi pengumuman dalam Hunger Games berkata, “Katniss Everdeen, gadis yang terbakar, terus berkobar.”
  Mendadak, aku ada di layar, menggantikan mockingjay, berdiri di depan api dan asap sungguhan di Distrik 8. “Aku ingin memberitahu para pemberontak bahwa aku masih hidup. Aku ada di sini di Distrik Delapan. Capitol baru saja mengebom rumah sakit yang penuh dengan lelaki, perempuan, dan anak-anak tak bersenjata. Takkan ada korban selamat.” Gambar berganti ke rumah sakit yang roboh, wajah-wajah orang yang putus asa ketika melihat gedung itu hancur sementara suaraku masih terdengar sebagai latar belakang. “Aku ingin memberitahu orang-orang bahwa jika ada yang berpikir Capitol akan memperlakukan kita dengan adil dengan adanya gencatan senjata, kau pasti bermimpi. Karena kau tahu siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.” Kembali ke wajahku sekarang, kedua tanganku terangkat menunjukkan kekejaman yang terjadi di sekelilingku. “Inilah yang mereka lakukan! Dan kita harus melawan balik!” Saat ini muncul gabungan gambar-gambar peperangan. Bom-bom yang berjatuhan, kami berlari, ledakan membuat kami terlempar jatuh—close-up lukaku, yang tampak bagus dan berdarah-darah—memanjat ke atap, bersembunyi di tempat berlindung, dan tayangan yang menampilkan para pemberontak dengan bagus, Gale, dan kebanyakan aku, aku, dan aku yang menjatuhkan pesawat-pesawat itu dari angkasa. Gambar berpindah menyorot aku bergerak mendekati kamera. “Presiden Snow bilang dia mengirimi kita pesan? Kalau begitu, aku juga punya pesan untuknya. Kau bisa menyiksa kami, mengebom kami, dan membumihanguskan distrik-distrik kami, tapi kau lihat itu?” Kamera bergerak menyoroti pesawat-pesawat yang terbakar di atas atap gudang di seberang kami. Menyoroti lekat-lekat lambang Capitol di sayap pesawat, yang meleleh kembali menampilkan wajahku. “Api sudah tersulut! Dan jika kami terbakar, kau terbakar bersama kami!” Api melalap layar lagi. Gambar berganti dengan layar hitam, ada tulisan dengan huruf besar:
  JIKA KAMI TERBAKAR
  KAU TERBAKAR BERSAMA KAMI
Kata-kata itu terbakar dan layar pun berubah hitam pekat.
  Ada rasa senang yang tak terucapkan, lalu tepuk tangan yang diikuti permintaan untuk melihatnya sekali lagi. Coin memencet tombol REPLAY, dan kali ini karena aku tahu apa yang bakal terjadi, aku berpura-pura sedang menontonnya di televisi di rumahku di Seam. Pernyataan anti-Capitol. Tak pernah ada hal semacam ini di televisi. Paling tidak, sepanjang masa hidupku.
  Pada saat layar menggelap untuk kedua kalinya, aku perlu tahu lebih banyak. Apakah rekaman ini ditayangkan di seluruh Panem? Apakah mereka menontonnya di Capitol?
  “Tidak diputar di Capitol,” kata Plutarch, “Kita tidak bisa membajak sistem mereka, meskipun Beetee sedang mengusahakannya. Tapi ini diputar di seluruh distrik. Kita bahkan memutarnya di Distrik Dua, yang mungkin malah lebih bermanfaat dibanding kita memutarnya di Capitol pada titik peperangan ini.”
  “Apakah Cladius Templesmith bersama kita?” tanyaku.
  Mendengar pertanyaanku, Plutarch tertawa terbahak-bahak. “Hanya suaranya. Tapi kita tinggal mengambilnya. Kita bahkan tak perlu melakukan editing khusus. Dia mengucapkannya pada Hunger Games yang pertama.” Tangannya menggebrak meja. “Mari kita tepuk tangan sekali lagi buat Cressida, timnya yang luar biasa, dan tentu saja, untuk tokoh kita di kamera!”
  Aku juga ikut bertepuk tangan sampai aku sadar akulah si tokoh di kamera itu dan mungkin aku tampak sombong dengan bertepuk tangan untuk diriku sendiri, tapi tak seorang pun memperhatikannya. Namun aku melihat ketegangan di wajah Fulvia. Kupikir ini pasti berat untuknya, melihat gagasan Haymitch berhasil di bawah arahan Cressida, sementara ide Fulvia di studio gagal total.
  Coin sepertinya sudah sampai di ujung kesabarannya pada acara memberi selamat pada diri sendiri ini. “Ya, memang pantas dipuji. Hasilnya jauh lebih baik daripada yang kita harapkan. Tapi aku harus mempertanyakan besarnya risiko yang berani kaujalani. Aku tahu serangan itu tak bisa diduga. Namun mengingat keadaan-keadaan kita, kurasa kita harus mendiskusikan keputusan untuk mengirim Katniss ke dalam medan perang sungguhan.”
  Keputusan? Mengirimku ke medan perang? Kalau begitu, dia tidak tahu bahwa dengan jelas aku mengabaikan perintah-perintah, mencopot alat pendengarku, dan kabur dari pengawalku. Apa lagi yang mereka rahasiakan dari Coin?
  “Itu memang keputusan sulit,” kata Plutarch, sambil mengerutkan kening. “Tapi kami sudah memutuskan bersama bahwa kami takkan dapat rekaman yang bisa digunakan jika kita menguncinya di bunker setiap kali ada letusan senjata.”
  “Dan kau tidak apa-apa dengan semua itu?” tanya sang presiden.
  Gale harus menendangku di bawah meja sebelum aku sadar bahwa Presiden Coin bicara padaku. “Oh? Yeah, aku tidak apa-apa dengan semua itu. Rasanya menyenangkan bisa melakukan sesuatu.”
  “Kalau begitu, mari kita bersikap lebih bijak dengan penampilannya. Terutama sekarang setelah Capitol tahu apa yang bisa dia lakukan,” kata Coin. Terdengar dengungan persetujuan di sekeliling meja.
  Tak ada seorang pun yang mengadukan perbuatanku dan Gale. Bahkan tidak juga Plutarch, yang perintahnya kami abaikan. Tidak juga Boggs, yang hidungnya patah. Juga tidak para serangga yang kami bawa masuk ke arena tempur. Bahkan Haymitch juga tidak—tapi, tunggu.
  Haymitch memberiku senyuman mematikan dan berkata dengan manis. “Yeah, kami tak mau kehilangan Mockingjay kecil kita ketika dia akhirnya mulai bernyanyi.” Aku mengingatkan diriku agar tidak berduaan dalam satu ruangan dengannya, karena dia jelas punya pikiran membalas dendam karena alat pendengar tolol itu.
  “Jadi apa lagi yang kaurencanakan?” tanya sang Presiden.
  Plutarch mengangguk pada Cressida, yang sedang memperhatikan papan tulis kecilnya. “Kita punya beberapa rekaman yang amat bagus ketika Katniss mengunjungi rumah sakit di Delapan. Kita bisa membuat rekaman propo lagi dengan tema “Karena kau tahu siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.” Kita akan fokus pada Katniss yang berinteraksi dengan para pasien, terutama anak-anak, pemboman rumah sakit, dan reruntuhannya. Mesalla sedang menyusun semua gambar itu. Kami juga memikirkan Mockingjay itu. Kita sorot beberapa adegan terbaik Katniss dipadukan dengan bangkitnya pemberontak dan potongan-potongan rekaman perang. Kita akan menamainya ‘Api yang tersulut’. Lalu Fulvia memberikan ide yang amat brilian.”
  Ekspresi Fulvia yang bermuka masam langsung ganti terperanjat, tapi dia segera pulih dari kagetnya, “Hm, aku tidak tahu seberapa briliannya, tapi kupikir kita bisa membuat propo berseri dengan judul Kami Mengingat. Dalam setiap propo itu, kita menampilkan peserta yang sudah meninggal. Rue kecil dari Sebelas atau Nenek Mags dari Empat. Tujuannya adalah agar kita bisa menyasar setiap detik dengan menampilkan sesuatu yang sifatnya personal.”
  “Seorang peserta mewakili para pesertamu, yang sudah tiada,” kata Plutarch.
  “Ini brilian, Fulvia,” kataku dengan tulus. “Ini cara yang sempurna untuk mengingatkan orang-orang kenapa mereka berjuang.”
  “Kurasa bisa berhasil,” katanya. “Kupikir kita bisa menggunakan Finnick sebagai intro dan mengisi narasinya. Jika kita tertarik membuat semua ini.”
  “Sejujurnya, kurasa tak ada salahnya kita membuat banyak propo Kami Mengingat,” kata Coin. “Bisakah kau membuatnya hari ini?”
  “Tentu bisa,” jawab Fulvia, yang jelas tidak tampak marah lagi karena idenya ditanggapi.
  Cressida berhasil membuat keadaan di bidang kreatif jadi lancar dengan niat baiknya. Memuji ide Fulvia, yang sesungguhnya memang ide yang amat bagus, dan memuluskan jalannya untuk terus menampilkan gagasannya tentang Mockingjay di televisi. Yang menarik adalah Plutarch sepertinya tidak merasa perlu mendapat pujian. Dia hanya ingin Serangan Udara berhasil. Aku ingat bahwa Plutarch adalah Ketua Juri Pertarungan, bukan anggota kru. Bukan pion dalam Hunger Games. Maka dari itu, keberhasilannya bukan ditentukan oleh satu unsur semata, tapi dari seluruh keberhasilan produksi. Jika kami memenangkan perang, saat itulah Plutarch akan menerima pujiannya. Dan berharap memperoleh imbalan.
  Presiden menyuruh semua orang agar segera bekerja, jadi Gale mendorongku kembali ke rumah sakit. Kami tergelak ketika membahas cara kami menutupi cerita sebenarnya. Gale bilang tak ada seorang pun yang mau terlihat buruk dengan mengakui bahwa mereka tak bisa mengontrol kami. Pendapatku lebih baik, dengan mengatakan bahwa mereka mungkin tidak mau membahayakan kesempatan mereka membawa kami keluar lagi setelah mereka berhasil mengambil beberapa rekaman yang bagus. Pendapat kami berdua mungkin sama-sama ada benarnya. Gale harus bertemu Beetee di Persenjataan Khusus, jadi aku memutuskan tidur.
  Sepertinya aku baru tidur beberapa menit, tapi ketika kubuka mataku, aku terjengit melihat Haymitch duduk tidak jauh dari ranjangku. Menunggu. Mungkin dia sudah menunggu selama beberapa jam jika jam yang kulihat benar. Tadinya aku berniat menjerit memanggil saksi, tapi cepat atau lambat aku harus menghadapinya.
  Haymitch mencondongkan tubuhnya ke depan dan menggoyang-goyangkan sesuatu yang tergantung di atas kawat putih tipis di depan hidungku. Aku sulit memusatkan perhatian, tapi aku yakin apa benda yang ada di depanku. Dia menjatuhkannya di atas seprai, “Itu alat pendengarmu. Kuberi kau satu kesempatan lagi untuk memakainya. Jika kau melepaskannya lagi, aku akan memasangkan ini di kepalamu.” Haymitch mengangkat semacam helm logam dan di kepalaku seketika terlintas kata belenggu kepala.
  “Ini unit audio yang terkunci di kepalamu hingga bawah dagumu sampai aku membukanya dengan kunci. Dan aku yang punya satu-satunya kunci. Jika entah bagaimana kau cukup pintar membukanya”—Haymitch membanting belenggu kepala itu ke ranjang dan mengeluarkan kepingan perak mungil—“Aku akan meminta mereka untuk mengoperasimu dan menanam transmiter ini ke dalam telingamu agar aku bisa bicara denganmu dua puluh empat jam sehari.”
  Haymitch dalam kepalaku sepanjang waktu. Mengerikan, “Aku akan memakai alat pendengar,” gumamku.
  “Maaf, apa ya?” tanya Haymitch.
  “Aku akan memakai alat pendengar!” kataku, cukup keras hingga bisa membangunkan setengah rumah sakit.
  “Kau yakin? Karena aku cukup gembira dengan tiga pilihan ini,” katanya.
  “Aku yakin.” kataku. Kugulung kabel alat pendengar itu dan kugenggam erat-erat dan kulempar belenggu kepala itu ke wajahnya dengan tanganku yang bebas, tapi dia menangkapnya dengan mudah. M ungkin dia sudah mengira aku bakal melemparnya. “Ada lagi?”
  Haymitch bangkit berdiri. “Saat aku menunggu tadi… aku menghabiskan makan siangmu.”
  Mataku memandang mangkuk rebusan daging yang sudah kosong dan nampan di meja samping tempat tidurku. “Aku akan melaporkanmu,” gumamku ke dalam bantal.
  “Lakukanlah, sweetheart.” Dia berjalan keluar, aman karena dia tahu aku bukan pengadu.
®LoveReads
  Aku ingin kembali tidur, tapi aku gelisah. Kilasan-kilasan kejadian kemarin mulai mengalir menuju masa kini. Pengeboman, pesawat-pesawat yang jatuh dan meledak, wajah-wajah mereka yang terluka yang kini sudah tiada. Aku membayangkan kematian dari segala sisi. Saat terakhir aku melihat bom menghantam tanah, merasakan sayap pesawatku meledak, dan meluncur terperosok menuju ketiadaan, atap gudang ambruk meruntuhiku sementara aku terjepit tak berdaya di ranjangku. Hal-hal yang kulihat, pada sosok orang-orang atau di rekaman. Hal-hal yang kutimbulkan ketika aku menarik busurku. Hal-hal yang takkan pernah bisa kuhapus dari kenanganku.
  Pada saat makan malam, Finnick membawa nampannya ke ranjangku agar kami bisa menonton propo terbaru di televisi. Dia sebenarnya mendapat kamar di lantai lamaku, tapi kondisi mentalnya sering kacau, jadi bisa dibilang dia tinggal di rumah sakit ini. Para pemberontak menyiarkan propo “Karena kau tahu siapa mereka dan apa yang mereka lakukan” yang diedit Messalla. Potongan-potongan gambar disambung dengan rekaman singkat Gale, Boggs, dan Cressida di studio yang menggambarkan kejadian tersebut. Sulit bagiku melihat aku diterima di rumah sakit di 8 karena aku tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Ketika bom berjatuhan menghantam atap, aku membenamkan wajahku di bantal, mendongak sejenak melihat rekaman singkat diriku di akhir propo, setelah semua korban tadi tewas.
  Paling tidak Finnick tidak bertepuk tangan atau bertingkah riang setelah tayangan tersebut selesai. Dia cuma berkata, “Orang-orang harusnya tahu hal itu terjadi. Dan sekarang mereka tahu.”
  “Ayo matikan TV-nya, Finnick, sebelum mereka menanyangkannya lagi,” aku mendesaknya. Tapi ketika tangan Finnick bergerak ke remote control, aku berteriak, “Tunggu!” Capitol memperkenalkan segmen khusus dan ada yang tak asing dalam tayangan itu. Ya, itu Caesar Flickerman. Dan aku bisa menebak siapa yang jadi bintang tamunya.
  Perubahan fisik Peeta mengejutkanku. Anak lelaki yang sehat dan bermata jernih yang kulihat beberapa hari lalu paling tidak berat badannya sudah turun tujuh kilogram dan kedua tangannya gemetar gelisah. Mereka masih mendandaninya. Tapi segala cat itu tak bisa menutupi kantong matanya, dan pakaian bagus itu tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang dirasakannya ketika bergerak. Peeta tampak kesakitan luar biasa.
  Pikiranku berputar, berusaha membuat semua ini masuk akal. Aku baru melihatnya! empat—tidak, lima—kurasa aku melihatnya lima hari lalu. Bagaimana kondisinya bisa memburuk secepat itu? Apa yang mereka lakukan padanya dalam waktu sesingkat itu? Lalu kesadaran itu menghantamku. Otakku memutar wawancara pertama Peeta dan Caesar berkali-kali, mencari apa pun yang bisa mencocokkannya. Tak ada apa pun. Mereka bisa merekam wawancara itu satu atau dua hari setelah aku meledakkan arena, lalu melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan pada Peeta setelah itu, “Oh, Peeta…” bisikku.
  Caesar dan Peeta saling bertukar tatapan kosong sebelum Caesar bertanya padanya tentang desas-desus aku membuat propo untuk distrik-distrik. “Jelas, mereka memanfaatkannya,” kata Peeta. “Untuk mengangkat semangat para pemberontak. Aku tak yakin dia sungguh-sungguh tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam perang. Apa yang dipertaruhkan di sini.”
  “Apakah ada yang ingin kausampaikan padanya?” tanya Caesar.
  “Ada,” kata Peeta. Dia memandang langsung ke kamera, tepat ke mataku. “Jangan bodoh, Katniss. Pikirkan dirimu sendiri. Mereka mengubahmu menjadi senjata yang bisa menjadi alat dalam kehancuran umat manusia. Jika kau punya pengaruh sungguhan, gunakan untuk menghentikan keadaan ini. Gunakan untuk menghentikan perang sebelum semuanya terlambat. Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah kau benar-benar percaya pada orang yang bekerja bersamamu? Apakah kau benar-benar tahu apa yang terjadi? Dan jika tidak…, coba cari tahu.”
  Layar gelap. Lambang panem. Acara berakhir.
  Finnick menekan tombol remote dan langsung mematikan pesawat televisi. Tidak lama lagi, orang-orang akan kemari untuk mengendalikan kerusakan yang ditimbulkan dari keadaan Peeta dan kata-kata yang terucap dari mulutnya. Aku harus mengingkarinya. Tapi sebenarnya, aku tak memercayai para pemberontak Plutarch, atau Coin. Aku tidak yakin mereka memberitahuku semua kebenarannya. Aku takkan bisa menutupi semua ini. Langkah-langkah kaki mendekat.
  Finnick mencengkeram kedua lenganku lekat-lekat. “Kita tidak melihatnya.”
  “Apa?” tanyaku.
  “Kita tidak melihat Peeta. Hanya propo di Delapan. Lalu kita mematikan televisi karena gambar-gambarnya membuatmu resah. Mengerti?” tanyanya.
  Aku mengangguk.
  “Habiskan makan malammu.”
  Aku menguatkan diri agar ketika Plutarch dan Fulvia masuk, mulutku penuh dengan roti dan kubis. Finnick bicara tentang betapa hebatnya Gale di kamera. Kami memberi selamat pada mereka atas propo-nya. Menunjukkan dengan jelas pada mereka bahwa propo tersebut sangat kuat, dan kami langsung mematikan televisi setelahnya. Mereka tampak lega. Mereka memercayai kami.
  Tak ada seorang pun yang menyebut nama Peeta.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 8"

Posting Komentar