Mockingjay Bab 7



BAB 7

  PESAWAT ringan tersebut berputar cepat lalu turun ke jalanan lebar di luar Distrik 8. Nyaris seketika, pintu pesawat terbuka, anak-anak tangga muncul. Dan kami berada di aspal. Pada saat orang terakhir turun, segala peralatannya pun diangkat. Kemudi an pesawat pun terbang dan menghilang. Aku berdiri bersama pengawal yang terdiri atas Gale, Boggs, dan dua prajurit lain. Kru TV terdiri atas sepasang juru kamera bertubuh gagah perkasa dengan berbagai perangkat ka mera berat tergantung di tubuh mereka seperti kerang- kerang yang menempel sehingga mereka mirip serang ga, wanita sutradara bernama Cressida dengan kepala plontos bertato sulur-sulur hijau dan asistennya Mesalla, pria muda kurus dengan deretan anting. Setelah mengamati lebih saksama, kulihat lidah Mesalla juga ditindik, dan dia mengenakan kancing dengan bola perak seukuran kelereng.
  Boggs menyuruh kami agar keluar dari jalanan sederetan gudang ketika pesawat ringan kedua datang untuk mendarat. Pesawat yang ini membawa sekotak persediaan medis dan enam petugas medis—kukenali mereka dari pakaian putihnya. Kami mengikuti Boggs menyusuri gang yang ada di antara dua gedung berwarna abu-abu. Hanya tangga darurat yang menuju atap memberi warna logam berkarat pada dinding. Ketika kami tiba di jalan, seakan-akan kami memasuki dunia lain.
  Korban luka-luka dari pengeboman pagi ini sedang dibawa masuk. Mereka dibawa dengan usungan buatan sendiri, di atas gerobak, dipanggul di bahu, dan dipeluk erat. Banyak yang berdarah, kehilangan lengan atau kaki, tak sadarkan diri. Diangkut oleh orang-orang yang putus asa menuju gudang yang di atas ambang pintunya ditulis huruf H asal-asalan. Aku teringat adegan di dapur rumah lamaku, di sana ibuku merawat mereka yang sekarat, tapi kali ini kalikan jumlah korbannya dengan sepuluh, lima puluh, seratus. Aku sudah bersiap-siap melihat gedung-gedung yang habis dibom namun ternyata aku harus melihat manusia-manusia yang luka dan sakit.
  Mereka berencana untuk merekamku di sini? Aku berpaling memandang Boggs. “Ini takkan berhasil,” kataku. “Aku takkan bagus di sini.”
  Boggs pasti melihat kepanikan di mataku, karena dia berhenti sejenak dan menaruh kedua tangannya di pundakku. “Kau bisa. Biarkan mereka melihatmu. Kau akan bisa melakukan lebih untuk mereka daripada yang bisa dilakukan dokter manapun.”
  Seorang wanita yang mengantar pasien-pasien baru memandang kami sekilas, dan memandang kami sekali lagi, lalu dia berjalan menghampiri. Matanya yang berwarna cokelat gelap bengkak karena letih dan wanita itu berbau logam dan keringat. Perban di lehernya sudah harus diganti sejak tiga hari lalu. Tali senapan otomatisnya tergantung di punggung, menusuk lehernya dan dia menggerakkan bahunya untuk mengubah posisi tali senapannya. Sekali mengangkat jempol, dia memerintahkan tim medis masuk ke gudang. Mereka menurutinya tanpa banyak tanya.
  “Ini Komandan Paylor dari Delapan,” kata Boggs. “Komandan, Prajurit Everdeen.”
  Dia tampak muda untuk ukuran komandan. Awal tiga puluhan. Tapi ada nada memerintah dalam suaranya yang membuatmu merasa penunjukkan sebagai pemimpin tidak dilakukan asal-asalan. Di sampingnya, dalam seragamku yang baru dan mulus licin, aku merasa seperti ayam yang baru menetas, masih belum teruji dan baru mengenal dunia.
  “Yeah, aku tahu siapa dia,” kata Paylor. “Kau masih hidup ternyata. Kami tak yakin.” Apakah aku salah mendengar nada tuduhan dalam suaranya?
  “Aku sendiri tak yakin,” jawabku.
  “Dari perawatan.” Boggs menepuk kepalanya. “Gegar otak parah.” Dia merendahkan suaranya. “Keguguran. Tapi dia berkeras melihat pendudukmu yang terluka.”
  “Yah, kami punya banyak di sini,” sahut Paylor.
  “Menurutmu ini ide yang bagus?” tanya Gale, mengerutkan dahi melihat rumah sakitnya. “Mengumpulkan orang-orangmu yang terluka seperti ini.”
  Menurutku tidak. Segala macam penyakit menular akan menyebar di tempat ini seperti kebakaran hutan.
  “Kurasa ini lebih baik daripada meninggalkan mereka agar mati.” kata Paylor.
  “Bukan itu maksudku,” kata Gale padanya.
  “Saat ini, hanya inilah pilihanku yang lain. Tapi jika kau punya pilihan ketiga yang didukung Coin, aku siap mendengarnya.” Paylor melambaikan tangannya menyuruhku ke pintu. “Masuklah, Mockingjay. Dan silakan, ajak semua temanmu.”
  Aku menoleh dan memandang rombongan aneh yang adalah timku, menguatkan diri, dan mengikutinya ke rumah sakit. Semacam tirai berat buatan pabrik tergantung di sepanjang gedung, membentuk koridor besar. Mayat-mayat dibaringkan bersisian, tirai mengenai kepala mereka, kain-kain putih menutupi wajah mereka. “Ada kuburan massal beberapa blok di sebelah barat, tapi aku belum bisa melepas beberapa orang untuk memindahkan mayat-mayat itu ke sana,” kata Paylor. Dia menemukan celah di tirai lalu membukanya lebar-lebar.
  Jemariku segera menggenggam pergelangan tangan Gale. “Jangan jauh-jauh dariku,” bisikku.
  “Aku di sini,” jawabnya pelan.
  Aku melangkah melewati tirai dan semua indraku langsung seperti diserang. Dorongan pertamaku adalah menutupi hidung untuk menghalau bau seprai yang kotor, daging yang membusuk, dan sisa muntah, yang semuanya semerbak di dalam gudang yang panas ini. Mereka membuka penutup jendela langit-langit yang ada di atap logam, tapi udara yang berhasil masuk tak mampu menghalau kabut busuk di bawahnya. Garis-garis tipis cahaya matahari yang masuk memberikan satu-satunya penerangan, dan ketika mataku berhasil beradaptasi, aku bisa melihat deretan demi deretan orang yang terluka, di atas ranjang, dipan, dan lantai karena banyak sekali yang butuh tempat berbaring. Kepakan lalat-lalat hitam yang beterbangan, erangan orang-orang yang kesakitan, dan isakan mereka yang mendampingi orang yang mereka sayangi bergabung membentuk paduan suara memilukan.
  Tak ada rumah sakit sungguhan di distrik-distrik. Kami mati di rumah, yang pada saat ini sepertinya menjadi pilihan yang lebih baik daripada yang ada di hadapanku sekarang. Lalu aku ingat bahwa banyak orang di sini mungkin kehilangan tempat tinggal mereka karena bom.
  Keringat mulai mengalir turun dari punggungku, membasahi kedua telapak tanganku. Aku bernapas melalui mulut agar bisa menghilangkan bau yang tercium. Titik-titik hitam mulai tampak di dalam jarak pandangku, dan kupikir kemungkinan besar aku bakalan pingsan. Tapi kemudian aku melihat Paylor, yang memandangiku lekat-lekat, menunggu untuk melihat mentalku, dan apakah mereka benar dengan berpikir bahwa mereka bisa mengandalkanku. Jadi kulepaskan peganganku dari Gale dan kupaksa diriku berjalan lebih jauh masuk ke dalam gedung, melangkah di antara jalur sempit yang memisahkan deretan ranjang.
  “Katniss?” terdengar suara serak di sebelah kiriku, lantang di antara dengungan suara yang bising. “Katniss?”
  Ada tangan terulur ke arahku di antara bayangan yang kabur. Kugenggam tangannya untuk berpegangan. Tangan itu milik perempuan muda yang kakinya luka. Darah merembes dari perbannya yang tebal, yang dipenuhi lalat. Wajahnya menunjukkan rasa sakit, tapi ada yang lain, sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisinya. “Ini benar kau?”
  “Yeah, ini aku.” kataku.
  Kebahagiaan. Itu ekspresi yang terlukis di wajahnya. Mendengar suaraku, wajahnya langsung cerah, penderitaannya terhapus sejenak.
  “Kau masih hidup? Kami tidak tahu. Orang-orang bilang kau masih hidup, tapi kami tidak tahu!” katanya gembira.
  “Luka-lukaku lumayan parah. Tapi aku membaik,” kataku. “Kau juga akan begitu.”
  “Aku harus memberitahu adikku!” Wanita itu berusaha duduk dan memanggil seseorang yang berjarak beberapa ranjang dengannya. “Eddy! Eddy! Dia ada di sini! Katniss Everdeen!”
  Seorang anak lelaki, mungkin baru berusia dua belas tahun, menoleh ke arah kami. Perban menutupi setengah wajahnya. Aku bisa melihat bagian samping mulutnya terbuka seakan hendak berseru. Aku menghampirinya, menyisir rambut ikalnya dari dahi. Terdengar gumaman salam yang tak jelas. Dia tak bisa bicara, tapi satu matanya yang masih bagus memandangiku dengan intens, seakan dia berusaha mengingat wajahku dengan terperinci.
  Aku mendengar namaku disebut di antara udara yang panas, menyebar di seantero rumah sakit. “Katniss! Katniss Everdeen!” Suara-suara kesakitan dan penderitaan mulai berkurang, digantikan kata-kata pengharapan.
  Dari semua sisi, suara-suara ini memberi isyarat padaku. Aku mulai bergerak, menggenggam tangan-tangan yang terulur padaku, menyentuh mereka yang tak bisa menggerakkan sendi-sendi mereka, mengucapkan salam halo, bagaimana keadaanmu, senang bertemu denganmu. Tak ada kata-kata yang penting, tak ada kata-kata luar biasa yang menginspirasi. Tapi tak masalah, Boggs benar. Melihatku dalam keadaan hidup sudah menjadi inspirasi bagi mereka.
  Tangan-tangan lapar menyentuhku, ingin merasakan kulitku. Ketika seorang pria yang terkena serangan bom menggenggam wajahku dengan kedua tangannya, diam-diam aku berterima kasih pada Dalton yang menyarankanku agar membersihkan semua makeup-ku. Betapa konyolnya, betapa buruknya perasaanku jika aku menampilkan wajahku dengan topeng Capitol kepada orang-orang ini. Terluka, letih, tak sempurna. Itulah cara mereka mengenaliku, dan kenapa aku menjadi milik mereka.
  Meskipun wawancara kontroversialnya dengan Caesar, banyak yang bertanya tentang Peeta, meyakinkanku bahwa mereka tahu dia bicara di bawah paksaan. Aku berusaha sebaik mungkin untuk terdengar positif tentang masa depan kami, tapi orang-orang tampak teramat sedih ketika mendengar aku kehilangan bayiku. Aku ingin bicara jujur dan memberitahu wanita yang menangis terisak-isak itu bahwa semua ini hanya bohongan, cuma taktik dalam permainan, tapi menampilkan sosok Peeta sebagai pembohong saat ini takkan memperbaiki citra dirinya. Atau citra diriku. Atau perjuangan ini.
  Aku mulai mengerti sepenuhnya mengapa orang-orang mau susah payah melindungiku. Apa artinya aku bagi para pemberontak. Perjuanganku yang tak kenal menyerah terhadap Capitol, yang sering kali terasa seperti perjalanan seorang diri, ternyata tidak kulalui sendirian. Ada ribuan orang dari distrik-distrik yang berada di pihakku. Aku sudah jadi Mockingjay mereka lama sebelum aku menerima peran ini.
  Perasaan baru mulai berkecambah dalam diriku. Tapi baru pada saat aku berdiri di atas meja, melambaikan tangan perpisahan pada orang-orang yang menyebut namaku, aku baru bisa menjelaskan perasaan ini. Kekuatan. Aku memiliki kekuatan yang sebelumnya tak pernah kusadari. Snow mengetahuinya, saat aku mengeluarkan buah-buah berry itu. Plutarch mengetahuinya ketika dia menyelamatkanku dari arena. Dan Coin tahu sekarang. Saking besarnya kekuatanku, Coin harus mengingatkan orang-orangnya di depan publik bahwa bukan aku yang memegang kendali.
  Ketika kami berada di luar lagi, aku bersandar di gudang, mengambil napas, menerima botol minuman dari Boggs. “Kau hebat tadi,” katanya.
  Yah, aku tidak pingsan atau muntah atau lari sambil menjerit. Yang kulakukan cuma meluncur di atas gelombang emosi yang membahana di tempat itu.
  “Kita berhasil merekam gambar-gambar yang bagus di sana,” kata Cressida. Aku memandang si juru kamera, yang bercucuran keringat memanggul peralatan. Mesalla mencoret-coret membuat catatan. Aku bahkan tidak ingat mereka merekamku tadi.
  “Sungguh, aku tidak banyak melakukan apa-apa,” kataku.
  “Kau harus menghargai dirimu sendiri atas apa yang telah kaulakukan di masa lalu,” kata Boggs.
  Apa yang telah kulakukan di masa lalu? Kupikir jejak kehancuran yang kutinggalkan seiring langkahku—lututku goyah dan aku meluncur turun hingga terduduk. “Itu campuran dari banyak hal.”
  “Kau memang jauh dari sempurna. Tapi waktu telah membuktikan, kau harus menerimanya.” kata Boggs.
  Gale berjongkok di sampingku, menggeleng. “Aku tak percaya kau membiarkan semua orang itu menyentuhmu. Aku sudah bersiap-siap melihatmu lari menerjang pintu keluar.”
  “Diam kau!” kataku sambil tertawa.
  “Ibumu akan sangat bangga padamu ketika dia melihat rekaman videonya.” kata Gale.
  “Ibuku bahkan tak mengenaliku. Dia terlalu ngeri melihat keadaan yang terjadi di sana.” Aku memandang Boggs dan bertanya, “Apakah seperti itu keadaan di tiap distrik?”
  “Ya. Sebagian besar distrik terus diserang. Kami berusaha memberi bantuan setiap kali kami bisa, tapi bantuan tak cukup.” Boggs terdiam sejenak, perhat iannya teralih pada apa yang dia dengar di alat penden garnya. Aku harus sadar bahwa aku sama sekali belum mendengar suara Haymitch, dan kusentuh alat penden garku, penasaran apakah alat milikku rusak. “Kita harus ke landasan udara. Segera,” kata Boggs, menarikku berdiri dengan satu tangan. “Ada masalah.”
  “Masalah macam apa?” tanya Gale.
  “Pesawat pengebom datang.” kata Boggs. Dia menarik bagian belakang leherku dan memakaikan helm Cinna ke kepalaku. “Ayo bergerak!”
  Tanpa tahu apa yang terjadi, aku berlari di sepanjang bagian depan gudang, ke gang yang menuju landasan udara. Tapi aku tidak merasakan ancaman langsung. Langit kosong, biru tanpa awan. Jalanan lengang, kecuali orang-orang yang membawa mereka yang terluka ke rumah sakit. Tidak ada musuh, tak ada peringatan. Lalu sirine mulai bergaung. Dalam hitungan detik, pesawat-pesawat Capitol yang terbang rendah dalam formasi V muncul di atas kami, dan bom-bom mulai berjatuhan. Aku terlempar ke udara, menabrak dinding depan gudang. Ada sakit yang menyengat tepat di atas bagian belakang lutut kananku. Ada yang mengenai bagian punggungku juga, tapi sepertinya tidak menembus rompiku. Aku berusaha bangkit, tapi Boggs mendorongku agar tiarap lagi, melindungi tubuhku dengan tubuhnya sebagai perisai. Tanah bergetar di bawahku ketika bom demi bom yang dijatuhkan dari pesawat meledak.
  Rasanya mengerikan seperti sedang dijepit ke dinding, ketika bom-bom berjatuhan. Apa istilah yang digunakan ayahku tentang membunuh dengan mudah? Seperti menembak ikan di dalam gentong. Kami jadi ikannya, jalanan ini gentongnya.
  “Katniss!” Aku terkejut mendengar suara Haymitch di telingaku.
  “Apa? Ya, apa? Aku di sini!” jawabku.
  “Dengarkan aku. Kami tidak bisa mendarat saat pengeboman berlangsung, tapi keberadaan dirimu tak boleh diketahui,” katanya.
  “Jadi mereka tak tahu aku berada di sini?” Seperti biasa, aku berasumsi bahwa keberadaanku yang menghasilkan hukuman ini.
  “Mata-mata kita pikir begitu. Penyerbuan ini sudah dijadwalkan.” kata Haymitch.
  Kini terdengar suara Plutarch, tenang namun kuat. Suara Ketua Juri Pertarungan yang biasa memberi perintah di bawah tekanan. “Ada gudang berwarna biru terang berjarak tiga gudang dari tempatmu berada. Ada bunker di sudut sebelah utaranya. Bisakah kalian ke sana?”
  “Kami akan berusaha,” jawab Boggs.
  Suara Plutarch pasti bisa didengar semua orang, karena para pengawal dan kru TV segera bangun. Secara naruliah mataku mencari Gale dan melihatnya berdiri, tak terluka.
  “Kalian mungkin punya waktu empat puluh lima detik sebelum gelombang seragan berikutnya,” kata Plutarch.
  Aku mengerang kesakitan ketika kaki kananku harus menanggung beban tubuhku, tapi aku terus bergerak. Tak ada waktu untuk memeriksa lukaku. Dan lebih baik tak melihatnya sekarang. Untungnya, aku memakai sepatu rancangan Cinna. Sepatu itu mencengkeram aspal saat bersentuhan dan langsung lepas dengan mudah. Aku pasti sudah tak ada harapan jika memakai sepatu yang diberikan oleh Distrik 13 untukku. Boggs memimpin pelarian, tapi tak ada seorang pun yang menyusul melewatiku. Malahan mereka berlari menyamakan langkahku, melindungi bagian-bagian sisiku, belakangku. Kupaksa diriku berlari cepat seiring detik-detik berlalu. Kami melewati gudang abu-abu kedua dan berlari di sepanjang gedung berwarna cokelat tanah.
  Di depan sana, aku melihat bagian depan gudang berwarna biru. Tempat bunker berada. Kami baru saja tiba di gang, hanya perlu menyeberanginya agar bisa ke pintu ketika gelombang bom berikutnya tiba. Otomatis aku melompat ke dalam gang dan berguling menuju dinding biru. Kali ini Gale yang melemparkan diri melindungiku memberikan perisai tambahan dari pengeboman. Kali ini sepertinya lebih lama, tapi kami sudah bergerak lebih jauh.
  Aku berguling menyamping dan langsung memandang mata Gale. Sedetik dunia berhenti berputar dan yang ada hanya wajah Gale yang merah padam, pelipisnya berdenyut, tubuhnya sedikit terbuka ketika dirinya berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah.
  “Kau tidak apa-apa?” tanya Gale, kata-katanya nyaris tenggelam dalam ledakan.
  “Yeah. Kurasa mereka tidak melihatku,” jawabku. “Maksudku mereka tidak mengikuti kita.”
  “Tidak, mereka punya sasaran lain,” kata Gale.
  “Aku tahu, tapi tak ada apa-apa di sana kecuali…” Kesadaran itu menghantam kami berbarengan.
  “Rumah sakit.” Segera. Gale berdiri dan berteriak pada yang lain. “Sasaran mereka adalah rumah sakit!”
  “Bukan urusanmu,” kata Plutarch dengan tegas. “Pergilah ke bunker,”
  “Tapi di sana hanya ada orang yang terluka!” kataku.
  “Katniss?” Aku mendengar nada peringatan dalam nada suara Haymitch dan aku tahu apa yang bakal dikatakannya. “Jangan coba-coba berpikir…!” Kutarik lepas alat pendengarku dan kubiarkan kabelnya tergantung. Setelah telingaku bebas dari alat pendengar, aku mendengar suara lain. Senapan mesin yang ditembakkan dari atap gudang berwarna cokelat tanah di seberang gang. Ada yang balas menembak. Sebelum ada orang yang bisa menghentikanku, aku segera lari menuju tangga darurat dan mulai menaikinya. Memanjat. Salah satu hal yang jago kulakukan.
  “Jangan berhenti!” Aku mendengar suara Gale di belakangku. Lalu terdengar bunyi sepatu botnya yang menghantam wajah seseorang. Jika yang dihajarnya adalah Boggs, Gale akan membayar mahal untuk itu di kemudian hari. Aku berhasil sampai ke atap dan menarik tubuhku di bagian landasan. Aku berhenti agar bisa menarik Gale ke sampingku, lalu kami berlari menuju deretan senapan mesin yang mengarah di sisi jalan gudang. Masing-masing senapan mesin dipegang oleh beberapa pemberontak. Kami menyelinap di antara sepasang prajurit, yang membungkuk di belakang bankade.
  “Boggs tahu kalian ada di atas sini?” Aku melihat ke kiri dan melihat Paylor ada di belakang salah satu senapan, memandang kami dengan tatapan heran.
  Aku berusaha tidak berterus terang tanpa berbohong. “Pokoknya, dia tahu di mana kami berada.”
  Paylor tertawa. “Aku yakin dia tahu. Kau pernah berlatih memakai ini?” Dia menepuk selongsong senapannya.
  “Pernah. Di Tiga Belas,” jawab Gale. “Tapi aku lebih suka menggunakan senjataku sendiri.”
  “Ya, kami punya panah.” Kuangkat anak panahku, lalu sadar betapa anak panah ini pasti lebih mirip mainan. “Benda ini jauh lebih mematikan daripada kelihatannya.”
  “Sebaiknya begitu,” kata Paylor. “Baiklah. Kami memperhitungkan paling tidak ada tiga gelombang serangan lagi. Mereka harus menurunkan perisai penghilang pesawat sebelum menjatuhkan bom. Saat itulah kesempatan kita. Tetaplah merunduk!” Aku memasang posisi untuk menembakkan panah dengan kuda-kuda satu lutut.
  “Lebih baik mulai dengan api,” kata Gale.
  Aku mengangguk dan menarik anak panah dari selongsong paling kanan. Jika kami salah sasaran, anak panah ini akan mendarat entah di mana—mungkin di gudang-gudang seberang jalan. Api bisa dipadamkan, tapi kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan mungkin tak bisa diperbaiki.
  Tiba-tiba mereka muncul di langit, dua blok jauhnya, mungkin seratus meter di atas kami. Tujuh pesawat pengebom kecil dengan formasi V, “Angsa!” aku berseru pada Gale. Dia tahu benar apa yang kumaksud. Pada musim migrasi, ketika kami berburu unggas, kami mengembangkan sistem menbagi burung-burung itu agar kami tidak mengejar sasaran yang sama. Aku menyasar bagian V terjauh, Gale mengambil yang terdekat, dan kami menembak burung terdepan bergantian. Tak ada waktu lagi untuk membahasnya. Aku memperkirakan waktu tiba pesawat-pesawat itu dan anak panahku pun melayang. Panahku berhasil mengenai bagian dalam sayap salah satu pesawat, membuatnya terbakar. Gale tidak berhasil mengenai pesawat paling depan. Api berkobar di atap gudang kosong di seberang kami. Dia mengumpat pelan.
  Pesawat yang kutembak melepaskan diri dari formasi, tapi tetap melepaskan bomnya. Namun pesawat itu tidak menghilang, juga pesawat lain yang kuperkirakan terkena tembakan. Kerusakan yang terjadi pasti membuat perisai penghilang pesawat tak bisa diaktifkan lagi.
  “Tembakan yang bagus,” kata Gale.
  “Aku bahkan tidak membidik yang itu,” gumamku. Aku membidik pesawat yang ada di depannya. “Mereka jauh lebih cepat daripada yang kita kira.”
  “Siap-siap!” seru Paylor. Gelombang pesawat berikutnya mulai muncul.
  “Api tak terlalu berguna,” kata Gale. Aku mengangguk dan kami memasang anak panah berujung peledak. Gudang-gudang di seberang jalan juga tampaknya tidak berpenghuni.
  Ketika pesawat-pesawat itu terbang makin dekat, aku membuat keputusan lain. “Aku berdiri!” aku berteriak pada Gale, dan bangkit. Ini posisi yang bisa membuatku membidik paling tepat sasaran. Aku menembakkan panah lebih dulu dan langsung mengenai pesawat paling depan, meledakkan lubang di perut pesawat. Gale meledakkan ekor pesawat kedua. Pesawat itu berputar-putar dan jatuh di jalan, menimbulkan serangkaian ledakan ketika barang bawaannya ikut meledak.
  Mendadak, formasi V ketiga pun tampak. Kali ini, Gale yang telah mengenai pesawat paling depan. Aku mengenai bagian sayap pesawat kedua, membuatnya berputar dan menabrak pesawat di belakangnya. Kedua pesawat sama-sama jatuh menimpa atap gudang di seberang rumah sakit. Pesawat keempat jatuh kena berondongan tembakan.
  “Sudah, sampai di sini,” kata Paylor.
  Api dan asap yang hitam pekat dari bangkai pesawat menghalangi pandangan kami. “Apakah mereka berhasil mengebom rumah sakit?”
  “Pastinya.” sahut Paylor muram.
  Ketika aku bergegas menuruni tangga di ujung gudang, Messalla dan salah satu serangga yang muncul di belakang saluran udara mengagetkanku. Kupikir mereka masih meringkuk di gang.
  “Mereka mulai jadi seperti aku,” kata Gale.
  Aku menuruni tangga. Ketika kakiku memijak tanah, aku melihat seorang pengawal, Cressida, dan salah satu serangga sedang menunggu. Aku mengira akan terjadi perlawanan, tapi Cressida melambai padaku agar ke rumah sakit. Dia berteriak, “Aku tak peduli, Plutarch! Beri aku lima menit lagi!” Aku tak mau mempertanyakan kebebasan ini, dan langsung menyebrang jalan.
  “Oh, tidak,” bisikku ketika melihat rumah sakit.
  Gedung yang dulunya rumah sakit. Aku bergerak melewati mereka yang terluka, melewati sisa pesawat yang terbakar, dan terpaku melihat kehancuran di hadapanku. Orang-orang berteriak, berlarian panik, tapi tak mampu menolong. Bom-bom tadi jatuh menghantam atap rumah sakit dan membuat gedung tersebut terbakar, memerangkap pasien-pasien yang ada di dalamnya. Sekelompok penyelamat sudah berkumpul, berusaha membuka jalan masuk. Tapi aku sudah tahu apa yang akan mereka temui. Jika reruntuhan bangunan dan api tidak membunuh mereka, asap akan melakukan tugasnya.
  Gale berada di sampingku. Kenyataan bahwa dia tidak melakukan apa-apa hanya menegaskan kecurigaanku. Penambang takkan meninggalkan korban kecelakaan sampai dia pikir keadaannya sudah tanpa harapan.
  “Ayo, Katniss. Haymitch bilang dia bisa mendaratkan pesawat untuk menjemput kita sekarang,” katanya memberitahuku. Tapi aku sepertinya tak bisa bergerak.
  “Kenapa mereka melakukannya? Kenapa mereka menjadikan orang-orang yang sudah sekarat sebagai sasaran?” aku bertanya padanya.
  “Membuat yang lain takut. Mencegah yang terluka mencari pertolongan,” kata Gale. “Orang-orang yang kautemui, mereka bisa dikorbankan. Paling tidak, bagi Snow. Jika Capitol menang, apa yang akan dilakukannya dengan budak-budak cacat?”
  Aku teringat masa bertahun-tahun di hutan, mendengarkan omelan Gale tentang Capitol. Aku, saat itu, tidak terlalu menyimaknya. Bertanya-tanya kenapa Gale mau susah payah mencari tahu motif perbuatan mereka. Apa pentingnya berpikir seperti musuh kami. Jelas, semua itu penting hari ini. Saat Gale mempertanyakan keberadaan rumah sakit, dia tidak memikirkan penyakit yang bisa menyebar, tapi ini. Karena dia tak pernah meremehkan kekejaman mereka yang kami hadapi.
  Perlahan-lahan aku berbalik dan memunggungi rumah sakit dan melihat Cressida, diapit dua serangganya. Berdiri beberapa meter jauhnya dariku. Sikapnya tak tergoyahkan. Bahkan tampak tenang. “Katniss,” katanya, “Presiden Snow baru saja menyiarkan pengeboman tadi secara langsung. Kemudian dia tampil dan mengatakan ini caranya untuk mengirim pesan kepada para pemberontak. Bagaimana denganmu. Kau ingin mengatakan sesuatu pada para pemberontak?”
  “Ya.” bisikku.
  Mataku menangkap lampu merah yang berkedip-kedip pada salah satu kamera. Aku tahu aku sedang direkam. “Ya,” kataku dengan lebih tegas. Semua orang menjauh dariku—Gale, Cressida, para juru kamera—memberiku panggung. Tapi aku tetap memusatkan perhatian pada lampu merah. “Aku ingin memberitahu pada pemberontak bahwa aku masih hidup. Aku ada di sini di Distrik Delapan, Capitol baru saja mengebom rumah sakit yang penuh dengan lelaki, perempuan, dan anak-anak tak bersenjata. Takkan ada korban selamat.” Keterkejutan yang kurasakan mulai berubah jadi kemarahan. “Aku ingin memberi tahu orang-orang bahwa jika ada yang berpikir Capitol akan memperlakukan kita dengan adil dengan adanya gencatan senjata, kau pasti bermimpi. Karena kau tahu siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.” Kedua tanganku langsung terangkat, seakan in gin memperlihatkan seluruh kengerian di sekelilingku. “ Inilah yang mereka lakukan! Dan kita harus melawan balik!”
  Aku bergerak mendekati kamera sekarang, didorong oleh rasa marahku. “Presiden Snow bilang dia mengirimi kita pesan? Kalau begitu, aku juga punya pesan untuknya. Kata bisa menyiksa kami, mengebom kami, dan membumihanguskan distrik-distrik kami, tapi kau lihat itu?” Salah satu kamera mengikuti arah yang kutunjuk, pesawat-pesawat yang terbakar di atas atap gudang di seberang kami. Lambang Capitol di sayap pesawat tampak jelas di antara kobaran api. “Api sudah tersulut!” Aku berteriak sekarang, bertekad agar Snow tidak kehilangan satu pun kata-kataku. “Dan jika kami terbakar, kau terbakar bersama kami!”
  Kata-kata terakhirku menggantung di udara. Aku merasa tertahan dalam waktu. Terangkat di dalam awan panas yang muncul tidak dari sekelilingku, tapi dari dalam diriku sendiri.
  “Cut!” Suara Cressida menyadarkanku kembali ke kenyataan, memadamkan apiku. Dia mengangguk setuju padaku. “Bungkus!”
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 7"

Posting Komentar