BAB 3
MATA Buttercup memantulkan cahaya samar dari
lampu pengaman di atas pintu ketika dia berbaring di lengkungan lengan Prim.
Dia kembali bertugas, melindungi Prim dari malam hari. Prim bergelung dekat
ibuku. Dalam keadaan tertidur mereka seperti yang kulihat pada pagi hari
pemungutan yang membawaku ke Hunger Games pertama. Aku tidur sendirian di
ranjangku karena aku masih dalam tahap pemulihan dan karena tak ada yang bisa
tidur denganku. Aku meronta-ronta saat tidur karena mimpi buruk.
Setelah bolak-balik di atas ranjang selama
berjam-jam, aku akhirnya menerima kenyataan bahwa malam ini aku tak bakal bisa
tidur. Dalam tatapan Buttercup yang mengawasiku, aku berjingkat melintasi ubin
yang dingin menuju lemari pakaian.
Laci tengah berisi pakaian-pakaian resmi yang
dikeluarkan pemerintah. Semua orang mengenakan celana panjang dan kemeja
abu-abu yang sama, kemejanya dimasukkan di bagian pinggang. Di bawah pakaian
ini, aku menyimpan beberapa barang yang kumiliki ketika aku diangkat dari
arena. Pin mockingjay-ku. Tanda mata dari Peeta, bandul emas berisi foto Ibuku,
Prim, dan Gale di dalamnya. Parasut perak yang mengikat alat sadap pohon, dan
mutiara yang diberikan Peeta padaku beber apa jam sebelum aku meledakkan medan
gaya. Distrik 13 menyita salem kulitku untuk dipakai di rumah sakit, serta anak
panah dan busurku karena hanya para penj aga yang punya izin membawa senjata.
Busur dan pan ahku tersimpan aman di gedung senjata.
Aku meraba parasut dan menyelipkan
jari-jariku ke dalamnya sampai akhirnya menangkup mutiara tersebut. Aku duduk
bersila di ranjangku dan mengeluskan permukaan mutiara yang halus ke bibirku.
Entah bagaimana, apa yang kulakukan ini terasa menenangkan. Ciuman menyejukkan
dari si pemberi mutiara.
“Katniss?” bisik Prim. Dia terbangun,
mengintip memandangku dalam kegelapan. “Ada apa?”
“Tak apa-apa. Cuma mimpi buruk. Kembalilah
tidur.” Sudah otomatis. Aku menutup diri dari Prim dan ibuku dari beberapa hal
untuk melindungi mereka.
Prim bergerak hati-hati agar tidak
membangunkan ibuku, turun dari ranjang, menggendong Buttercup, lalu duduk di
sampingku. Dia menyentuh tanganku yang sedang menggenggam mutiara. “Kau
dingin.” Dia mengambil selimut cadangan dari kaki ranjang, lalu menyelimuti
kami bertiga, membungkusku dalam kehangatannya, juga bulu Buttercup yang
hangat. “Kau tahu kan, kau bisa cerita padaku. Aku pandai menyimpan rahasia.
Bahkan dari Mom.”
Prim sudah bukan gadis yang sama lagi. Gadis
kecil dengan bagian belakang pakaiannya yang mencelat keluar seperti ekor
bebek, anak yang butuh bantuan mengambil piring dan memohon untuk bisa melihat
kue-kue yang dihias di jendela toko roti. Waktu dan tragedi telah memaksanya
untuk dewasa lebih cepat, paling tidak menurut anggapanku, dan kini dia menjadi
gadis muda yang bisa menjahit luka yang berdarah dan tahu bahwa ibu kami tidak
terlalu mau tahu banyak urusan.
“Besok pagi, aku akan setuju untuk menjadi
Mockingjay,” kataku padanya.
“Karena kau mau atau karena kau merasa
terpaksa melakukannya?” tanya Prim.
Aku tertawa kecil. “Kurasa keduanya. Tidak,
aku ingin melakukannya. Aku harus melakukannya, jika bisa membantu para
pemberontak mengalahkan Snow.” Kugenggam mutiara makin erat dalam kepalanku.
“Hanya saja… Peeta. Aku takut jika kita menang, para pemberontak akan
menghukumnya sebagai pengkhianat.”
Prim memikirkannya dengan saksama, “Katniss,
kurasa kau tidak mengerti betapa pentingnya dirimu untuk perjuangan ini. Orang
penting biasanya mendapatkan apa yang mereka mau. Jika kau ingin menjaga Peeta
aman dari pemberontak, kau bisa melakukannya.”
Kurasa aku memang penting. Mereka harus
bersusah payah menyelamatkanku. Mereka membawaku ke Distrik 12. “Maksudmu… aku
bisa meminta mereka memberikan kekebalan hukum pada Peeta? Dan mereka harus
menyetujuinya?”
“Kurasa kau bisa meminta nyaris segalanya dan
mereka harus menyetujuinya.” Prim mengernyitkan alisnya. “Hanya saja, bagaimana
kau tahu mereka akan memegang janji mereka?”
Aku teringat pada segala dusta yang dikatakan
Haymitch pada Peeta dan aku untuk membuat kami melakukan apa yang diinginkannya.
Apa yang membuat para pemberontak takkan mengingkari perjanjian itu? Janji yang
terucap di balik pintu-pintu yang tertutup, bahkan pernyataan yang tertulis di
atas kertas—semua itu bisa dengan mudah menguap setelah perang. Keabsahan dan
keberadaan perjanjian tersebut bisa saja diingkari. Saksi-saksi di Ruang
Komando pun percuma. Bahkan sesungguhnya, mereka mungkin akan menjatuhkan
hukuman mati untuk Peeta. Aku membutuhkan saksi yang jauh lebih besar. Aku
butuh semua orang yang bisa kudapatkan.
“Harus di depan umum,” kataku, Buttercup
menyentakkan ekornya, yang kuanggap sebagai persetujuan darinya. “Aku akan
membuat Coin mengumumkannya di depan semua penduduk Tiga Belas.”
Prim tersenyum. “Oh, bagus sekali. Memang
bukan jaminan, tapi akan jauh lebih sulit bagi mereka untuk membatalkan janji.”
Aku merasakan kelegaan yang mengiringi
pemecahan masalahku. “Seharusnya aku lebih sering membangunkanmu, bebek kecil.”
“Kuharap kau mau begitu,” jawab Prim. Dia
menciumku. “Cobalah tidur sekarang,” Dan aku pun melakukannya.
®LoveReads
Pada pagi hari, aku melihat pukul
07.00—Sarapan langsung diikuti kegiatan pukul 07.30—Ruang Komando, yang bagus
saja buatku karena aku bisa memulai rencanaku. Di ruang makan, aku menunjukkan
jadwalku di depan alat sensor, di sana juga tertera semacam nomor ID. Ketika
aku menggeser nampanku di sepanjang rak logam di hadapan deretan makanan, aku
melihat sarapan yang biasa disajikan—semangkuk gandum panas, secangkir susu,
dan semangkuk kecil buah atau sayuran. Hari ini sayurannya, lobak tumbuk.
Semuanya berasal dari ladang-ladang bawah tanah Distrik 13.
Aku
duduk di meja yang sudah dinamai dengan keluarga Everdeen, Hawthorne, dan
beberapa pengungsi lain, lalu menyendokkan makananku dan menelannya, berharap
ada makanan yang lain, tapi tak pernah ada yang lain. Mereka mengukur gizi
berdasarkan ilmu pengetahuan. Kau pergi dengan cukup kalori yang akan
menunjangmu sampai makanan berikutnya, tak kurang , tak lebih. Ukuran makanan
yang disajikan juga berda sarkan umur, tinggi badan, jenis tubuh, kesehatan,
dan jumlah kerja fisik yang dibutuhkan sesuai dengan jadw almu. Orang-orang
dari 12 sudah mendapat makanan s edikit lebih banyak daripada penduduk asli 13
untuk me nambah berat badan kami. Kurasa tentara-tentara yang kurus mudah
lelah. Dan itu berhasil. Dalam waktu satu bulan, kami mulai kelihatan lebih
sehat, terutama anak -anak.
Gale menaruh nampannya di sampingku dan aku
berusaha untuk tidak memandangi lobaknya dengan tatapan yang terlalu
menyedihkan karena aku masih mau nambah, dan dia sudah bergerak cepat
menyelipkan makanannya. Walaupun aku mengalihkan perhatianku pada serbetku yang
terlipat rapi, sesendok penuh lobak sudah jatuh ke mangkukku.
“Kau harus berhenti melakukan itu,” kataku.
Tapi karena aku sudah menyendokkan makanan itu ke mulut, ucapanku jadi tidak
terlalu meyakinkan. “Sungguh. Apa yang kaulakukan ini mungkin melanggar hukum.”
Mereka
memiliki peraturan ketat tentang makanan. Contohnya, jika ada makananmu yang
tidak habis dan kau ingin menyimpannya untuk dimakan nanti, kau tidak bisa
membawanya keluar dari ruang makan. Tampaknya, pada masa-masa awal, ada
beberapa insiden yang melibatkan penimbunan makanan. Bagi beberapa orang
seperti aku dan Gale, yang selama bertahun-tahun bertanggung jawab atas
persediaan makanan keluarga kami, keadaan seperti ini tidak bisa kami terima begitu
saja. Kami tahu bagaimana caranya lapar, tapi kami tidak tahu bagaimana
menangani jatah makanan yang kami miliki. Dalam beberapa hal, Distrik 13 jauh
lebih mengontrol daripada Capitol.
“Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka sudah
mengambil alat komunikasiku,” kata Gale.
Ketika aku menyendoki sisa-sisa makanan di
mangkuk sampai bersih, aku mendapat inspirasi. “Hei, mungkin aku harus
menjadikannya syarat jika mereka mau aku menjadi Mockingjay.”
“Bahwa aku bisa memberimu makan lobak?” tanya
Gale.
“Tidak, agar kita bisa berburu.” Perkataanku
menarik perhatiannya. “Kita harus memberikan semua hasil buruan ke dapur.
Namun, kita bisa…” Aku tidak harus menyelesaikan kalimatku karena dia tahu.
Kami bisa berada di atas tanah. Di hutan. Kami bisa menjadi diri kami lagi.
“Lakukan saja,” katanya. “Sekaranglah
saatnya. Kau bisa meminta bulan dan mereka harus menemukan cara untuk
mendapatkannya.”
Gale tidak tahu aku sudah meminta bulan
dengan meminta mereka mengampuni nyawa Peeta dari hukuman. Sebelum aku bisa
memutuskan apakah aku harus memberitahunya atau tidak, bel berbunyi menandakan
waktu makan sudah habis.
Aku
gelisah membayangkan harus menghadapi Coin sendirian. “Kau dijadwalkan untuk
apa?”
Gale memeriksa lengannya. “Kelas Sejarah
Nuklir. Omong-omong, absenmu sudah dicatat.”
“Aku harus ke Ruang Komando. Mau ikut?”
tanyaku.
“Baiklah. Tapi mereka mungkin bakal
melemparku keluar setelah kejadian kemarin.” Sembari kami menaruh nampan, dia
berkata, “Kau tahu, sebaiknya kaumasukkan juga Buttercup dalam daftar
permintaanmu. Kurasa konsep binatang yang tak berguna tak dikenal di sini.”
“Oh, mereka akan bisa menemukan pekerjaan
untuknya. Menatonya di cakar hewan itu tiap pagi,” sahutku. Tapi aku
menyimpannya dalam otakku agar menyertakan Buttercup dalam permintaan, demi
Prim.
Pada saat kami tiba di Ruang Komando, Coin,
Plutarch, dan semua orang telah berkumpul. Beberapa alis mengernyit ketika
mereka melihat kehadiran Gale, tapi tak ada seorang pun yang melemparnya
keluar. Apa yang sudah kuingat-ingat tadi jadi berantakan tak keruan, jadi aku
meminta selembar kertas dan pensil. Minatku yang tampak jelas pada keadaan yang
berlangsung ini—pertama kalinya sejak aku dibawa kemari—membuat mereka
terkejut. Beberapa orang bertukar pandang. Mungkin mereka sudah punya beberapa
ceramah tambahan yang sudah disiapkan untukku. Malah, Coin yang menyerahkan
langsung kertas dan pensil untukku dan semua orang menunggu dalam diam
sementara aku duduk di meja, menuliskan daftarku. Buttercup. Berburu. Kekebalan
hukum untuk Peeta. Mengumumkannya di depan umum.
Sudah. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku
untuk menawar. Pikir. Apa lagi yang kau mau? Aku merasakannya, berdiri di dekat
bahuku. Gale, aku menambahkannya ke dalam daftar. Kurasa aku tidak bisa
melakukan ini tanpa dirinya.
Mendadak kepalaku sakit dan pikiranku mulai
berkecambuk. Kupejamkan mataku dan mulai mengulang dalam hati.
Namamu Katniss Everdeen. Umurku tujuh belas
tahun. Rumahku di Distrik 12. Aku ikut Hunger Games. Aku melarikan diri.
Capitol membenciku. Peeta dijadikan tawanan. Dia masih hidup. Dia pengkhianat
tapi masih hidup. Aku harus menjaganya agar tetap hidup…
Daftar itu. Sepertinya masih terlalu sedikit.
Aku harus berusaha berpikir lebih besar lagi, melebihi situasi kami sekarang di
mana aku menjadi orang yang mahapenting, sementara di masa depan aku mungkin
tak berarti apa-apa. Bukankah seharusnya aku meminta lebih? Untuk keluargaku? Untuk
penduduk distrikku yang masih tersisa? Kulitku gatal karena abu orang mati. Aku
merasa mual teringat pada tengkorak yang mengenai sepatuku. Bau darah dan bunga
mawar menyengat hidungku.
Pensil bergerak sendiri di atas kertas.
Kubuka mataku dan kulihat coretan cakar ayam. AKU BUNUH SNOW, jika dia
tertangkap, aku menginginkan hak istimewa itu.
Plutarch batuk kecil. “Sudah selesai?” Aku
mendongak dan memperhatikan jam dinding. Aku sudah duduk di sini selama dua
puluh menit. Ternyata bukan hanya Finnick yang punya masalah dalam memusatkan
perhatian.
“Yeah,” kataku. Suaraku terdengar serak, jadi
aku berdeham. “Yeah, jadi begini perjanjiannya. Aku akan menjadi
Mockingjay-mu.”
Aku menunggu hingga mereka bisa mengeluarkan
desahan lega, memberi selamat, saling menepuk punggung, Coin tidak menunjukkan
reaksi, terus memandangiku, tak terkesan.
“Tapi aku punya beberapa syarat.” Aku
meluruskan daftarku dan mulai membacanya. “Keluargaku boleh memelihara kucing
kami.” Permintaan terkecilku ini menimbulkan perdebatan. Para pemberontak dari
Capitol tidak melihat ini sebagai masalah—tentu saja, aku bisa memelihara
binatang peliharaanku—sementara mereka dari 13 menyebutkan kesulitan-kesulitan
apa saja yang kami alami saat ini. Akhirnya disetujui bahwa kami akan dipindahkan
ke lantai paling atas, yang memiliki fasilitas istimewa yaitu jendela berukuran
dua puluh senti yang membuka ke atas tanah. Buttercup boleh datang dan pergi
sesuka hati. Dia harus mencari makan sendiri. Jika dia melewatkan jam malam,
dia akan dikunci di luar. Jika dia menimbulkan masalah-masalah keamanan, dia
akan langsung ditembak.
Syarat itu terdengar oke bagiku. Tidak
terlalu berbeda dengan cara hidupnya sejak kami pergi. Kecuali bagian ditembak
tadi. Jika dia kelihatan terlalu kurus, aku bisa memberinya sedikit peroan
binatang, asal permintaanku berikutnya dikabulkan.
“Aku ingin berburu. Bersama Gale. Di hutan,”
kataku. Dan pernyataan ini membuat semua orang terdiam.
“Kami takkan pergi jauh. Kami akan
menggunakan busur dan panah kami sendiri. Dapur kalian akan mendapat daging.”
imbuh Gale.
Aku buru-buru menambahkan sebelum ada yang
sempat berkata tidak. “Masalahnya… aku tidak bisa bernapas terkungkung seperti
ini… Aku akan lebih baik, lebih cepat, jika… aku bisa berburu.”
Plutarch mulai menjelaskan
kesulitan-kesulitannya—bahayanya, pengamanan ekstra, risiko terluka—tapi Coin
memotongnya. “Tidak apa-apa. Izinkan saja. Beri mereka dua jam perhari,
dikurangi dari waktu latihan mereka. Radius seperempat mil. Dengan alat
komunikasi dan gelang kaki pencatat jejak. Apa selanjutnya?”
Aku melihat daftarku. “Gale. Aku akan
membutuhkannya bersamaku untuk melakukan ini.”
“Bersamamu seperti apa? Di luar kamera?
Bersamamu sepanjang waktu? Kau ingin dia tampil sebagai kekasih barumu?” tanya
Coin.
Dia tidak menanyakan ini dengan kebencian
tertentu—sebaliknya, kata-katanya terdengar lugas. Tapi mulutku masih menganga
karena kaget. “Apa?”
“Kurasa kita harus melanjutkan kisah asmara
ini. Terlalu cepat cintanya beralih dari Peeta bisa menyebabkan dia kehilangan
simpati penonton,” kata Plutarch. “Terutama sejak mereka berpikir dia hamil
anak Peeta.”
“Setuju. Jadi, di depan kamera, Gale bisa
ditampilkan sebagai teman sesama pemberontak. Bagaimana?” tanya Coin. Aku hanya
memandangnya, Coin mengulang perkataannya dengan tidak sabar. “Untuk G ale.
Apakah cukup seperti itu?”
“Kita selalu bisa menampilkannya sebagai
sepupumu,” kata Fulvia.
“Kami bukan sepupu,” aku dan Gale menjawab
berbarengan.
“Betul, tapi kita sebaiknya memainkan peran
tersebut di depan kamera,” kata Plutarch. “Di luar kamera, dia milikmu
sepenuhnya. Ada lagi yang lain?”
Aku bingung melihat arah pembicaraan ini.
Kesannya adalah aku sudah siap sedia menyingkirkan Peeta, bahwa aku mencintai
Gale, dan semua ini hanyalah akting. Kedua pipiku mulai terasa panas. Gagasan
bahwa aku memikirkan siapa yang akan kutampilkan sebagai kekasih mengingat
kondisi yang terjadi saat ini sepertinya merendahkan martabatku sendiri.
Kubiarkan amarah mendorongku menyatakan permintaan terbesarku. “Saat perang
berakhir, jika kita menang, Peeta akan diampuni.”
Hening total. Aku merasakan tubuh Gale
menegang. Kurasa aku seharusnya memberitahu Gale sebelumnya, tapi aku tidak
yakin bagaimana dia menanggapinya. Apalagi jika berkaitan dengan Peeta.
“Tak ada hukuman apa pun yang akan dijatuhkan
padanya,” aku melanjutkan. Gagasan baru terlintas dalam benakku. “Perlakuan
yang sama juga berlaku untuk para peserta yang tertangkap, Johanna dan
Enobaria.” Sejujurnya, aku tidak peduli pada Enobaria, peserta sadis dari
Distrik 2. Sesungguhnya, aku tidak menyukainya, tapi sepertinya salah jika aku
tidak menyertakannya.
“Tidak,” jawab Coin datar.
“Ya,” tukasku. “Bukan salah mereka kau
meninggalkan mereka di arena. Siapa yang tahu apa yang dilakukan Capitol pada
mereka.”
“Mereka akan disidang bersama para penjahat
perang yang lain dan dijatuhi hukuman yang dianggap tepat oleh pengadilan.”
katanya.
“Mereka akan diberi kekebalan hukum!” Aku
bangkit berdiri dari kursiku, suaraku berwibawa dan bergetar. “Kau secara
pribadi akan menyatakan ini di depan seluruh penduduk Distrik Tiga Belas dan
sisa penduduk Dua Belas. Segera. Hari ini. Pernyataanmu akan direkam untuk
generasi mendatang. Kau dan pemerintahanmu bertanggung jawab atas keselamatan
mereka, atau kaucari saja Mockingjay lain!”
Kata-kataku menggantung di udara selama
beberapa saat.
“Itu dia!” Aku mendengar Fulvia mendesis pada
Plutarch. “Tepat di sana. Dengan kostumnya, tembakan senjata di latar belakang,
sedikit asap.”
“Ya, itu yang kita mau,” kata Plutarch
berbisik.
Aku ingin memelototi mereka, tapi kupikir
mengalihkan perhatianku dari Coin adalah tindakan yang salah. Aku bisa
melihatnya mempertimbangkan harga yang harus dia bayar dari ultimatumku, menimbang
apakah aku seharga dengan itu.
“Bagaimana menurutmu, Presiden?” tanya
Plutarch. “Kau bisa mengeluarkan pengampunan resmi, mengingat keadaan yang
terjadi saat ini. Anak lelaki itu… bahkan belum dewasa.”
“Baikalh,” sahut Coin akhirnya. “Tapi kau sebaiknya
tampil bagus.”
“Aku akan tampil setelah kau membuat
pengumuman,” kataku.
“Panggil dewan keamanan nasional berkumpul
pada saat renungan hari ini.” perintah Coin. “Aku akan membuat pengumuman saat
itu. Apakah masih ada lagi yang tersisa dalam daftarmu, Katniss?”
Kertasku sudah remuk jadi bola dalam kepalan
tangan kananku. Aku meluruskan kertas tersebut di atas meja dan membaca coretan
kacau di sana. “Hanya satu hal lagi. Aku yang membunuh Snow. ”
Untuk pertama kalinya aku melihat secercah senyum
di bibir Presiden. “Ketika saatnya tiba, aku akan mengundi namamu untuk ikut
ambil bagian.”
Mungkin dia benar. Tentunya aku tidak
memiliki kekuasaan tunggal terhadap nyawa Snow. Dan kupikir aku bisa berharap
pada Coin yang menyelesaikan tugas ini. “Cukup adil.”
Tatapan Coin tertuju pada lengannya, jam itu.
Dia juga memiliki jadwal yang harus dipatuhinya. “Kutinggalkan dia di tanganmu,
Plutarch.” Dia keluar dari ruangan, diikuti oleh anggota timnya, meninggalkan
Plutarch, Fulvia, Gale, dan aku di dalam ruangan.
“Bagus. Bagus sekali.” Plutarch duduk, kedua
sikunya ditumpukan di atas meja, sambil tangannya menggosok matanya. “Kau tahu
apa yang kurindukan? Lebih dari apa pun? Kopi. Kutanya padamu, apakah
keterlaluan jika aku meminta sesuatu agar bisa membantuku menelan bubur dan
lobak itu?”
“Kami tak menyangka akan sekaku itu di sini,”
Fulvia menjelaskan pada kami sembari memijat bahu Plutarch. “Terutama untuk
orang-orang berkedudukan tinggi.”
“Atau paling tidak, ada pilihan untuk
kegiatan sampingan,” kata Plutarch. “Maksudku, bahkan Dua Belas punya pasar
gelap, kan?”
“Yeah, Hob,” kata Gale. “Itu tempat kami
bertukar barang.”
“Nah, lihatlah sekarang betapa bermoralnya
kalian berdua! Tak dapat dirusak.” Plutarch menghela napas. “Yah, perang takkan
berlangsung selamanya. Senang memiliki kalian dalam tim.” Plutarch mengulurkan
tangannya ke samping, di sana Fulvia sudah siap menyodorkan buku sketsa besar
bersampul kulit. “Secara umum kau sudah tahu apa yang kami minta darimu,
Katniss. Aku sadar kau punya perasaan yang campur-aduk untuk terlibat dalam hal
ini. Kuharap ini bisa membantu.”
Plutarch menggeser buku sketsa ke arahku.
Selama sesaat, benda itu tampak mencurigakan. Lalu rasa ingin tahu menguasai
diriku. Aku membuka sampul kulit itu dan melihat fotoku terpampang di sana,
berdiri tegak dan mantap, dalam seragam hitam. Hanya satu orang yang bisa
merancang pakaian seperti itu, sekilas pakaian tersebut tampak hanya
menunjukkan kegunaan, jika dilihat lebih teliti pakain itu adalah karya seni.
Lekukan helm, lengkungan perisai dada, bagian lengan yang sedikit berisi agar
bagian putih yang terlipat di bawah lengan bisa tampak. Di tangannya, aku
kembali jadi mockingjay.
“Cinna,” bisikku.
“Ya. Dia memaksaku berjanji untuk tidak
menunjukkan buku ini padamu sebelum kau memutuskan sendiri untuk menjadi
Mockingjay. Percayalah, aku sangat tergoda untuk menunjukkannya padamu,” kata
Plutarch. “Teruskan. Balik halamannya.”
Aku membalik halaman demi halaman
perlahan-lahan, melihat setiap detail seragam itu. Lapisan-lapisan perisai
tubuh yang dibuat secara saksama, senjata-senjata yang disembunyikan di dalam
sepatu bot atau ikat pinggang, dan pelindung khusus di bagian jantung. Pada
halaman terakhir, di bawah sketsa pin mockingjay, Cinna menulis, Aku masih
bertaruh untukmu.
“Kapan dia…” Suaraku pun pecah.
“Hmmm. Setelah pengumuman Quarter Quell.
Mungkin beberapa minggu sebelum Pertarungan dimulai. Tidak hanya sketsa. Seragammu
sudah tersedia. Oh, dan Beetee punya sesuatu yang amat istimewa yang menantimu
di ruang persenjataan. Aku tidak mau merusak kejutan dengan membocorkannya,”
kata Plutarch.
“Kau akan menjadi pemberontak dengan pakaian
paling bagus dalam sejarah,” kata Gale sambil tersenyum. Mendadak, aku sadar
bahwa Gale menahan diri padaku. Seperti Cinna, selama ini dia juga ingin aku
mengambil keputusan ini.
“Rencana kita adalah meluncurkan Serangan
Udara,” kata Plutarch. “Membuat seri yang kita sebut propo—kependekan dari
‘siaran propoganda’—yang menampilkanmu dan menyiarkannya ke seluruh penduduk
Panem.”
“Bagaimana? Capitol adalah pengendali tunggal
semua siaran,” kata Gale.
“Tapi kita punya Beetee. Sekitar sepuluh
tahun yang lalu, dia merancang ulang jaringan bawah tanah yang memancarkan
semua program siaran. Menurutnya ada kemungkinan bahwa hal itu bisa dilakukan.
Tentu saja kita membutuhkan sesuatu untuk disiarkan. Jadi Katniss, dengan
senang hati studio menantimu.” Plutarch menoleh memandang asistennya, “Fulvia?”
“Aku dan Plutarch sudah bicara tentang
bagaimana kita bisa berhasil melakukannya. Kami pikir yang terbaik adalah
membentukmu, pemimpin pemberontak kita, dari luar… ke dalam. Artinya, mari kita
temukan penampilan Mockingjay yang paling mempesona, lalu kita rancang
kepribadianmu yang paling pas dengan penampilan itu!” kata Fulvia dengan
gembira.
“Kau sudah punya seragamnya,” kata Gale.
“Ya, tapi apakah dia terluka dan berdarah?
Apakah dia berkilau dengan api pemberontakan? Seberapa jauh kita bisa
menampilkannya dalam kondisi buruk tanpa membuat orang jijik? Dalam keadaan apa
pun, dia harus menjadi sesuatu. Maksudku, ini jelas”—Fulvia bergerak cepat
mendekatiku dan langsung menangkup wajahku dengan kedua tangannya—“tak cukup.”
Secara rileks aku langsung menarik mundur kepalaku, tapi Fulvia sudah sibuk
mengumpulkan barang-barangnya. “Jadi dengan mengingat hal itu, kami punya
kejutan kecil lain untukmu. Ayo, ayo.”
Fulvia melambai pada kami, lalu aku dan Gale
mengikutinya dan Plutarch menuju koridor.
“Dilakukan dengan niat baik, namun tetap
terasa menghina,” bisik Gale di telingaku.
“Selamat datang ke Capitol,” balasku. Tapi
kata-kata Fulvia tak ada efeknya buatku. Kupeluk buku sketsa Cinna erat-erat
dan kubiarkan diriku merasakan harapan. Ini pasti keputusan yang benar. Jika
Cinna menginginkannya.
Kami naik elevator dan Plutarch memeriksa
catatannya. “Mari kita lihat. Kompartemen Tiga-Sembilan-Nol-Delapan.” Dia
memencet tombol angka 39, tapi tak terjadi apa-apa.
“Kau harus memasukkan kunci,” kata Fulvia.
Plutarch menarik kunci yang tergantung pada
kalung tipis di balik kausnya, lalu memasukkannya ke lubang yang tak
kuperhatikan sebelumnya. Kedua pintu elevator pun menutup. “Ah, kita bergerak.”
Elevator turun ke lantai sepuluh, dua puluh,
tiga puluh, turun jauh lebih dalam daripada Distrik 13 yang kutahu. Pintu
membuka dan memperlihatkan koridor putih dengan deretan pintu berwarna merah,
yang tampak nyaris sengaja dihias dibanding pintu-pintu berwarna kelabu di
lantai-lantai yang lebih tinggi. Masing-masing pintu ditulis angka. 3901, 3902,
3903…
Ketika kami melangkah keluar, aku menoleh ke
belakang untuk melihat pintu elevator menutup dan melihat pintu besi menggeser
menutupi pintu biasa. Ketika aku menoleh lagi, seorang penjaga sudah muncul
dari salah satu ruangan di ujung koridor. Pintu beranyun pelan menutup di
belakangnya saat dia berjalan menghampiri kami.
Plutarch bergerak menyambutnya, mengangkat
tangan memberi salam, dan kami semua mengikuti di belakangnya. Ada sesuatu yang
terasa sangat salah di bawah sini. Bukan sekadar elevator dengan pengamanan
tambahan, atau klaustrofobia karena berada jauh di bawah tanah, atau bau
antiseptik yang menyengat. Aku memandang Gale sejenak dan aku tahu dia juga
merasakan hal yang sama.
“Selamat pagi, kami ingin mencari…” kata
Plutarch.
“Kau salah lantai,” sergah sang penjaga.
“Benarkah?” Plutarch memeriksa ulang
catatannya. “Ditulis di sini Tiga-Sembilan-Nol-Delapan. Bisakah kau
menghubungi…”
“Sepertinya aku harus meminta kalian pergi
sekarang. Ketidaksesuaian tugas bisa disampaikan ke Kantor Pusat,” kata sang
penjaga.
Pintu itu ada di depan kami. Kompartemen
3908. Hanya beberapa langkah. Pintu itu—sesungguhnya, semua pintu—seakan tak
lengkap. Tak ada kenopnya. Pintu-pintu itu pasti berayun bebas di engselnya
seperti pintu tempat penjaga tadi muncul.
“Di mana tempatnya?” tanya Fulvia.
“Kau akan menemukan Kantor Pusat di lantai
tujuh,” kata penjaga, menjulurkan kedua lengannya mengarahkan kami kembali ke
elevator.
Dari balik pintu 3908 terdengar suara. Hanya
rengekan pelan. Seperti suara anjing yang ketakutan berusaha menghindari
pukulan, namun suara itu terdengar seperti suara manusia dan tak asing lagi.
Mataku sekilas memandang mata Gale, tapi tatapan itu cukup bagi dua orang biasa
bekerja sama seperti kami. Kujatuhkan buku sketsa Cinna di kaki penjaga hingga
berdebam keras. Pada saat penjaga itu membungkuk untuk mengambilnya. Gale juga
ikut membungkuk, sengaja membenturkan kepalanya keras-keras ke kepala penjaga
itu. “Oh, maafkan aku,” katanya sambil tertawa kecil seraya memegangi kedua
tangan penjaga itu seakan berusaha memantapkan berdirinya, lalu menariknya
sedikit menjauh dariku.
Ini kesempatanku. Aku berlari mengitari
penjaga yang teralih perhatiannya itu, mendorong pintu bernomor 3908 dan
melihat mereka. Dalam keadaan setengah telanjang, lebam-lebam, dan terbelenggu
di dinding.
Tim persiapanku.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 3"
Posting Komentar