Mockingjay Bab 21



BAB 21

DALAM waktu kurang dari satu jam sudah ada dua permintaan untuk kematian Peeta.
“Jangan konyol,” kata Jackson.
“Aku sudah membunuh anggota pasukan kita!” pekik Peeta.
“Kau mendorongnya menjauh. Bagaimana kau tahu dia akan memicu jaring tepat di tempat kau melemparnya?” kata Finnick, berusaha menenangkannya.
“Masa bodoh! Dia tewas, kan?” Air mata mulai mengalir di wajah Peeta. “Aku tidak tahu. Aku tak pernah melihat diriku seperti ini sebelumnya. Katniss benar. Aku ini moster. Aku ini mutt. Aku ini orang sudah diubah menjadi senjata oleh Snow!”
“Bukan salahmu, Peeta,” kata Finnick.
“Kalian tidak bisa membawaku ikut. Tinggal masalah waktu sebelum aku membunuh kalian.” Peeta memandang ke sekeliling, melihat wajah-wajah kami yang kebingungan.
“Mungkin kalian pikir lebih baik meninggalkan aku entah dimana. Membiarkanku mengadu nasibku sendiri. Tapi itu sama saja dengan menyerahkan ke tangan Capitol. Apakah kalian pikir kalian membantuku dengan mengirimku kembali ke Snow?”
Peeta. Kembali ke tangan Snow. Disiksa dan dianiaya sampai tak ada setitik pun bagian dirinya yang lama yang bisa mucul lagi.
Entah kenapa, bait terakhir dari lagu Pohon Gantung terngiang dalam benakku. Tentang lelaki yang ingin kekasihnya mati daripada wanita itu hars menghadapi iblis yang menunggu kekasihnya di dunia.
“Apakah kau
Akan datang ke pohon
Memakai kalung dari tali, bersamaku bersebelahan.
Hal-hal aneh terjadi di disini
Kita takkan jadi orang asing
Jika kita bertemu tengah malam di pohon gantung.”
“Aku akan membunuhmu sebelum itu terjadi,” kata Gale. “Aku janji.”
Peeta tampak ragu, seakan mempertimbangkan keandalan tawaran ini, lalu dia menggeleng. “Tak ada gunanya. Bagaimana jika kau kebetulan tak ada untuk membunuhku? Aku ingin pil beracun seperti yang kalian punya.”
Nightlock. Ada satu pil d perkemahan, disimpan di kantong khusus di bagian lengan baju Mockingjay-ku. Tapi ada satu lagi di kantong dada seragamku. Menarik juga jika dipikir-pikir bagwa mereka tidak memberikan pil itu pada Peeta. Mungkin Coin pikir dia akan menelannya sebelum dia punya kesempatan untuk membunuhku. Peeta tidak menjelaskan maksudnya, apakah dia ingin bunuh diri sekarang dengan pil itu, membebaskan kami dari keharusan membunuhnya, atau apakah dia baru akan bunuh diri jika Capitol menangkapnya lagi. Dalam konsidinya saat ini, kupikir dia akan memilih bunuh diri sekarang bukannya nanti. Memang hal itu akan membuat beberapa hal lebih mudah untuk kami. Kami tak perlu menembaknya. Pastinya ini akan memudahkan kami untuk tidak perlu menghadapi kumatnya keinginan Peeta untuk membunuhku.
Aku tidak tahu apakah ini semua gara-gara kapsul jebakan, atau ketakutan, atau melihat Boggs mati, tapi aku merasa arena ada di sekelilingku. Seakan aku tak pernah pergi dari arena. Sekali lagi aku bertarung bukan hanya demi keselamatanku sendiri tapi juga demi Peeta. Betapa memuaskan dan menghibur bagi Snow jika aku membunuhnya. Bahwa aku , dengan sisa kehidupan yang kumiliki menyebabkan kematian Peeta.
“Ini bukan tentang dirimu,” kataku. “Kita sedang dalam misi. Dan kau diperlukan untuk menuntaskannya.” Aku memandang sisa anggota pasukan. “Bisakah kita mendapat makanan di sini?”
Selain perlengkapan P3K dan kamera, kami Cuma membawa seragam yang melekat dan senjata kami.
Setengah dari kami menjaga Peeta atau mengawasi siaran Snow, sementara yang lain mencari makanannya. Seperti ada ruang penyimpanan tersembunyi di belakang panel cermin di kamar tidur, atau betapa mudahnya mencongkel kasa ventilasi di ruang depan. Jadi walaupun lemari dapur kosong, kami berhasil menemukan tiga puluh kaleng makanan dan beberapa kotak kue.
Timbunan makanan ini membuat jijik pasukan yang dibesarkan di 13. “Bukankan ini ilegal?” tanya Leeg 1.
“Sebaliknya, di Capiol kau akan dianggap bodoh jika tidak melakukannya,” kata Messalla. “Bahkan sebelum Quarter Quell, orang-orang mulai menyimpan persediaan makanan yang makin langka.”
“Sementara yang lain tidak punya makanan,” kata Leeg 1
“Betul,” kata Messalla. “itulah cara kerjanya di sini.”
“Untungnya begitu, atau kita takkan punya makanan malam ini,” kata Gale. “Ayo semuanya, ambil satu kaleng.”
Beberapa anggota pasukan sepertinya enggan melakukan ini, tapi ini sama efektifnya dengan metode ransum. Suasana hatiku tidak mendukung untuk membagi semua makanan menjadi sebelas bagian yang sama rata, dengan memperhitungkan umur, berat badan, dan kekuatan fisik. Aku mencari-cari di tumpukan kaleng, dan hendak mengambil sup kental ikan cod, ketika Peeta mengulurkan kaleng untukku. “Nih.”
Aku mengambilnya, tanpa tahu apa yang kuambil. Di labelnya tertulis SUP DAGING DOMBA.
Kurapatkan bibirku erat-erat ketika mengingat hujan yang menetes di antara bebatuan, usaha-usahaku yang janggal untuk bermanis-manis pada Peeta, dan aroma makanan favoritku dari Capitol dalam udara dingin ini. sebagian ingatan itu pasti masih melekat dalam kepala Peeta. Betapa gembiranya, betapa laparnya, dan betapa dekatnya kami ketika keranjang piknik itu mendarat di luar gua kami. “Terima kasih.” Aku membuka penutupnya. “Bahkan ada buah plum kering di dalamnya.” Kutekuk penutupnya dan kugunakan sebagai sendok, lalu kusuapkan potongan daging ke mulutku. Sekarang tempat ini juga terasa seperti arena.
Kami mengedarkan kotak berisi kue yang tengahnya berisi krim lezat ketika TV mulai berbunyi bip. Lambang Panem muncul di layar dan tetap di sana ketika lagu kebangsaan diputar. Lalu mereka mulai menampilkan gambar-gambar para korban yang tewas, sama seperti mereka lakukan pada para peserta di arena. Mereka memulai dengan empat wajah kru TV, dilanjutkan dengan Boggs, Gale, Finnick, Peeta, dan aku. Kecuali Boggs, mereka tak mau repot-repot menampilkan wajah para prajurit dari 13. Entah karena mereka tidak tahu ataukarena mereka tahu para prajurit itu tidak berarti bagi penonton. Lalu dia muncul, duduk di balik mejanya, bendera terhampar di belakangnya, bunga mawar putih yang segar berkilau di kerah jasnya. Kurasa wajahnya baru dioperasi lagi, karena bibirnya tampak lebih tebal daripada biasanya. Dan tim periapannya seharusnya mengurangi perona wajahnya.
Snow memberi selamat pada pasukan Penjaga Perdamaian atas pekerjaan bagus mereka, menghormati mereka karena menyingkirkan musuh negara yang disebut Mockingjay. Denan kematianku, dia memperhitungkan perang yang berubah 180 derajat posisnya, karena para pemberontak yang sudah hancur semangatnya kini kehilangan panutan. Dan siapa sesungguhnya aku? Gadis miskin yang terganggu jiwanya yang memiliki sedikit bakat dengan busur dan panah. Bukan pemikir yang hebat, bukan otak dari pemberontakan, hanya wajah yang dipungut dari rakyat jelata karena aku menarik perhatian bangsa karena tingkahku di Hunger Games. Tapi aku diperlukan, amat sangat diperlukan, karena para pemberontak tidak punya pemimpin nyata di antara mereka.
Nun jauh di Distrik 13, Beetee menekan tombol, karena sekarang bukan Presiden Snow melainkan Presiden Coin yang memandang kami. Dia memperkenalkan dirinya pada Panem, menyebut dirinya sebagai pemimpin pemberontakan, lalu membacakan eulogi untukku. Memuji gadis yang selamat dari Seam dan Hunger Games, lalu mengubah negara budak menjadi pasukan pejuang kemerdekaan. “Mati atau hidup, Katniss Everdeen akan menjadi wajah bagi pemberontakan ini. jika tekadmu goyah, pikirkan sang Mockingjay, dan di dalam dirinya kau akan menemukan kekuatan yang kau butuhkan untuk menyingkirkan Panem dari para menjajahnya.”
“Aku tak tahu sebesaritu artiku baginya,” kataku, yang membuat Gale tertawa dan tatapan penuh tanda tanya dari yang lain.
Berikutnya muncul fotoku yang sudah direkayasa hingga tampak amat cantik dan beringas dengan api berkobar di belakangku. Tak ada kata-kata. Tak ada slogan. Yang mereka perlukan hanya wajahku sekarang.
Beetee mengembalikan kendali pada Snow yang amat tenang. Aku punya firasat Presiden Snow menganggap saluran darurat tak bisa ditembus, dan bakal ada orang yang mati malam ini karena pemberontak berhasil merentasnya. “Besok pagi, ketika kita mengeluarkan mayat Katniss Everdeen dari abu, kita akan lihat siapa sebenarnya Mockingjay. Gadis yang sudah tewas, yang tidak bisa menyelamatkan siapa pun, bahkan dirinya sendiri.” Lambang negara, lagu kebangsaan, lalu gelap.
“Tapi kau takkan bisa menemukan mayatnya,” kata Finnick pada layar yang kosong, menyuarakan apa yang mungkin kami semua pikirkan. Masa kebebasan kami akan singkat. Setelah mereka menggali abu itu dan tidak menemukan sebelas mayat di sana, mereka akan tahu bahwa kami berhasil melarikan diri.
“Paling tidak kita punya keunggulan dari mereka,” kataku. Tiba-tiba, aku merasa amat lelah. Aku hanya ingin berbaring di sofa hijau empuk yang ada di dekatku lalu tidur. Aku ingin meringkuk di kursi nyaman yang terbuat dari bulu kelinci dan bulu angsa. Tapi aku malah mengeluarkan Holo dan berkeras meminta Jackson untuk mengajariku perintah-perintah dasarnya—yang sebenarnya hanya memasukkan koordinat perempatan terdekat di peta—agar aku bisa mengoprasikan benda ini sendiri. Ketika Holo memproyeksikan peta disekeliling kami, hatiku melecos. Pasti kami makin dekat dengan sasaran, karena jumlah kapsul makin banyak. Bagaimana kami bisa bergerak maju melewati lampu-lampu yang berkedip-kedip ini tanpa ketahuan? Kami tidak bisa melakukannya, kami terperangkap seperti burung di jaring. Kuputuskan untuk tidak bersikap sok jadi pemimpin dengan orang-orang ini. terutama saat mataku berkali-kali melirik sofa hijau itu. Jadi aku berkata, “Ada ide?”
“Atap juga sama buruknya dengan jalanan,” kata Leeg 1.
“Kita mungkin masih punya kesempatan untuk mundur, kembali lewat jalan masuk,” kata Homes. “Tapi itu berarti misi kita gagal.”
Aku dihantam rasa bersalah karena telah mengarang misi tersebut. “Kita memang tak pernah diharapkan untuk terus maju. Kalian Cuma sial saja karena bersamaku.”
“Itu persoalan yang bisa kita bicarakan. Kami bersamamu sekarang,” kata Jackson. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Kita tidak bisa bergerak naik. Kita tidak bisa bergerak menyamping. Kurasa kita hanya punya satu pilihan.”
“Bawah tanah,” kata Gale.
Bawah tanah. Aku membencinya. Seperti tambang dan terowongan da 13. Bawah tanah, di sana aku takut mati, yang sebenarnya konyol karena jika aku mati di atas tanah, selanjutnya mereka juga akan menguburku di bawah tanah.
Holo juga bisa menunjukkan kapsul-kapsul dalam gambar peta bawah tanah selain yang ada di jalanan,. Aku melihat jika kami melalui bawah tanah ada jaringan jalan yang terjalin dengan terowongan-terowongan yang berkelok dan berputar. Namun, kapsul-kapsul jebakan tidak sebanyak di atas.
Dua pintu di bawah kami, pipa vertikal menghubungkan deretan apartemen kami ke terowongan-terowongan. Untuk sampai ke pipa di apartemen, kami harus melewati lubang pemelihataan gedung yang sempit yang ada di sepanjang gedung. Kami bisa masuk ke lubang melalui ruang di bagian belakang lemari yang ada di lantai atas.
“Baiklah. Mari kita atur seolah-olah kita tak pernah berada di tempat ini,” kataku. Kami menghapus semua tada keberadaa kami. Membuang kaleng-kaleng kosong ke tempat sampah menyimpan kaleng yang masih ada isinya untuk persediaan makanan, membalik bantal-bantal sofa yang kena noda darah, membersihkan sisa-sisa jel dari lantai. Kami tidak memperbaiki kuci pintu depan, tapi kami mengunci selot kedua, sehingga paling tidak pintu tidak langsung terbuka jika disentuh.
Akhirnya, ada Peeta yang harus kami hadapi. Dia duduk di sofa biru, tidak mau bergerak sama sekali. “Aku tidak mau ikut. Aku  bisa membocorka posisimu atau menyakiti orang lain.”
“Orang-orang Snow akan menemukanmu,” kata Finnck.
“Kalau begitu beri aku pilnya. Aku hanya akan menelannya jika perlu,” kata Peeta.
“Itu bukan pilihan. Ayo ikut,” kata Jackson.
“Atau apa? Kau mau menembakku?” tanya Peeta.
“Kami akan membuatmu pingsan lalu menyeretmu ikut kami,” kata Homes. “Dan itu akan memperlambat dan membahayakan kami.”
“Berhentilah jadi orang sok baik! Aku tidak peduli jika aku harus mati!” Peeta menoleh memandangku dengan tatapan memohon sekarang. “Katniss, tolong. Tidakkah kaulihat, aku tak ingin ikut dalam urusan ini?”
Masalahnya adalah, aku memang melihatnya. Kenapa aku tidak bisa membiarkannya pergi? Berikan pil padanya, menarik pelatuk. Apakah aku peduli karena aku terlalu sayang pada Peeta atau aku tidak mau Snow menang? Apakah aku sudah membuat Peeta menjadi pion dalam permainan ini? terdengar menjijikkan, namun aku yakin diriku sanggup berbuat seperti itu. Jika memang benar, lebih baik aku membunuh Peeta di sini sekarang. Tapi dalam keadaan senang maupun susah, aku bukan orang uang didorong oleh kebaikan. “Kita buang-buang waktu di sini. Kau mau ikut baik-baik atau kami hajar sampai pingsan?”
Peeta membenamkan wajahnya ke dalam dua tangannya selama beberapa saat, lalu bangkit bergabung dengan kami.
“Apakah aku perlu melepaskan ikatan tangannya?” tanya Leeg 1.
“Tidak!” Peeta menggeram padanya, menarik borgolnya ke dada.
“Tidak,” kataku menimpali. “Tapi aku ingin pegang kuncinya.” Jackson menyerahkannya tanpa mengucap sepatah katapun. Aku memasukkan kunci itu ke kantong celanaku, kunci membentur mutiara di dalam kantong.
Setelah Homes mencungkil hingga terbuka pintu besi kecil menuju lubang pemeliharaan, kami menemukan masalah lain. Tidak mungkin kerang-kerang serangga itu bisa melewati jala sempit tersebut. Castor dan Pollux melepaskan kerang-kerang mereka dan mencopot kamera-kamera cadangan. Masing-masing kamera berukuran kotak sepatu dan mungkin bekerja sama bagusny. Messalla tidak tahu di mana kami bisa menyembunyika kerang-kerang besar itu, jadi akhirnya kami menyimpan ke dalam lemari. Meninggalkan jejak yang begitu mudah untuk diikuti membuatku frustasi, tapi apa lagi yang bisa kami lakukan?
Bahkan ketika kami masuk satu-satu, membawa ransel dan perlengkapan di sisi tubuh kami, lubang ini terasa sempit. Kami bergerak menyamping melewati apartemen pertama, dan masuk ke apartemen kedua. Dalam apartemen ini, salah satu kamar tidur memiliki pintu yang bertuliskan RUANG UTILITAS bukannya kamar mandi. Di belakang pintu ada kamar dengan jalan masuk menuju pipa.
Messalla mengerutkan dahi memandang penutup yang lebar melingkar, selama sesaat dia kembali ke dunia uang meriah. “Ini sebabnya tak ada seorang pun yang mau untuk unit apartemen di tengah. Para pekerja datang dan pergi sesuka hati mereka dan tak ada kamar mandi kedua. Tapi biaya sewanya amat jauh lebih murah.” Dia memperlihatkan ekspresi wajah Finnick yang terlihat geli, lalu menambahkan, “Sudahlah, tak perlu dipikirkan.”
Tutup pipa mudah dibuka. Tangga yang lebar dengan pijakan-pijakan berlapis karet sehingga kami bisa bergerak turun dengan mudah dan cepat menuju perut bumi. Kami berkumpul di kaki tangga, menunggu mata kami bisa menyesuaikan pandangan dalam cahaya yang minim. Kami menghirup udara yang merupaka campuran bahan-bahan kimia, jamur, dan selokan.
Pollux, yang pucat dan berkeringat, mengulurkan tangan dan berpegangan pada pergelangan tangan Castor. Seakan-akan dia bisa jatuh terguling jika tak ada orang yang memeganginya.
“Adikku bekerja di bawah sini setelah dia menjadi Avox,” kata Castor. Tentu saja. Siapa yang akan mereka suruh untuk merawat jalan-jalan lembap berbau busuk yang dilengkapi kapsul-kapsul jebakan? “Butuh waktu lima tahun sebelum kami bisa membeli kebebasannya menuju atas tanah. Tak sekalipun dia melihat matahari selama itu.”
Dalam kondisi yang lebih baik, pada hari yang tidak terlalu mengerikan dan lebih banyak istirahat, pasti ada seseorang yang tahu harus menjawab apa. Bukannya seperti sekarang ketika kami semua berdiri dan berusaha menyusun jawaban.
Akhirnya, Peeta memandang Pollux. “Kalau begitu kau menjadi aset kami yang paling berharga.” Castor tertawa dan Pollux berhasil tersenyum.
Kami baru setengah jalan melewati terowongan pertama ketika aku menyadari ada yang luar biasa dari obrolan tadi. Peeta terdengar seperti dirinya yang lama, orang selalu bisa memikirkan apa yang harus dikatakan saat semua orang sudah buntu. Ironis, memberi dukungan, agak lucu, tapi tidak mengejek siapa pun. Aku menoleh memandang Peeta ketika dia berjalan bersama para pengawalnya, Gale dan Jackson, matanya tertuju ke tanah, kedua bahunya agak bungkuk. Tidak bersemangat. Tapi selama sesaat tadi, Peeta sungguh-sungguh ada di sini.
Peeta benar. Pollux ternyata lebih berharga daripada sepuluh Holo. Ada jaringan terowongan-terowongan lebar yang sama alurnya dengan jalan utama di atas kami, sehingga kami tepat berada di jalan-jalan utama dan persimpangan-persimpangan. Jalan ini disebut jalan Transfer, karena truk-truk kecil digunakan untuk mengantar kiriman barang mengelilingi kota. Pada siang hari, banyak kapsul jebakan tidak diaktifkan, tapi pada malam hari seperti berjalan di padang ranjau. Namun, ratusan jalan tambahan, rel kereta api, dan pipa pembuangan membentuk jalan yang simpang siur di banyak level. Pollux mengetahui setiap detail yang akan membuat orang baru seperti kami terjeblos ke dalam malapetaka, seperti cabang-cabang mana yang mengharuskan kami memakai masker gas atau mana yang dipasangi ranjau, atau cabang mana yang ada tikus sebesar berang-berang. Dia memberi peringatan akan kedatangan semburan air yang membanjiri selokan secara berkala, mengantisipasi pergantian sif kerja para Avox, membawa kami menuju pipa lembab dan gelap untuk menghindari kereta-kereta barang yang lewat nyaris tanpa suara. yang terpenting, dia tahu benar letak kamera pengawas. Tidak banyak kamera di tempat yang suram dan kemal ini, kecuali di Transfer. Tapi kami menghindar kamera-kamera itu dengan baik.
Di bawah bimbingan Pollux, waktu perjalanan kami berlangsung singkat—luar biasa singkat malah, jika dibadingkan dengan perjalanan di atas tanah. Setelah sekitar enam jam berjalan, kami semua kelelahan. Sekarang jam tiga pagi, menurutku kami masih punya waktu beberapa jam sebelum mereka menyadari bahwa kami hilang, mereka akan mencari di antara reruntuhan seluruh blok apartemen untuk mengantisipasi kami melarikan diri melewati lubang-lubang pemeliharaan, lalu perburuan pun dimulai.
Saat aku menyarankan agar kami beristirahat, tak ada seorang pun yang keberatan. Pollux menemukan ruangan kecil yang hangat berdengung dengan bunyi mesin, penuh dengan pengungkit dan tombol. Dia mengangkat jemarinya menandakan bahwa kami harus pergi dalam empat jam. Jackson menyusun jadwal jaga, dan karena aku tidak masuk sif pertama, aku menjejalkan diriku di antara Gale dan Leeg 1 lalu langsung tertidur.
Sepertinya baru semenit aku tertidur ketika Jackson mengguncang-guncang tubuhku untuk bangun, memberitahuku bahwa sudah saatnya aku berjaga. Sudah pukul enam, dan satu jam lagi kami harus bergerak. Jackson menyuruhku untuk makan makanan kaleng dan mengawasi Pollux, yang berkeras untuk berjaga sepanjang malam. “Dia tidak bisa tidur di bawah sini.” Kupaksa diriku untuk awas dan berjaga, makan sekaleng kentang dan buncis rebus, lalu duduk di seberang tembok menghadap pintu. Pollux sepertinya tidak tidur. Sepanjang malam dia mungkin sedang membayangkan lagi hidupnya yang terpenjara lima tahun di tempat ini. aku mengeluarkan Holo dan berhasil memasukkan koordinat kami dan memindai terowongan-terowongan. Sebagaimana yang sudah kami perkirakan, makin banyak kapsul jebakan ketika kami makin mendekati Capitol. Selama beberapa saat, aku dan Pollux menekan tombol-tombol di Holo, melihat di mana saja kapsul-kapsul jebakan berada. Saat kepalaku mulai pusing, kuserahkan Holo ke tangan Pollux lalu bersandar ke dinding. Aku memandangi para prajurit, kru, dan teman-teman yang sednag tidur, dan aku bertanya-tanya berapa dari kami yang bisa melihat matahari lagi?
Saat mataku memandang Peeta, dengan kepala yang terbaring tepat di kakiku, kulihat dia sudah bangun. Seandainya aku bisa membaca isi pikirannya, agar aku bisa masuk dan mengurai kekacauan dusta yang ditanam di sana. Kupikir saat ini aku bisa berpuas diri dengan apa yang bisa kucapai.
“Kau sudah makan?” tanyaku. Sedikit gelengan kepalaya menunjukkan bahwa dia belum makan, aku membuka sekaleng sup nasi dan ayam lalu kuberikan padanya, sengaja aku yang menyimpan tutup kalengnya untuk berjaga-jaga seandainya dia berniat mengiris nadinya atau apalah. Peeta duduk lalu memiringkan kaleng itu di atas mulutnya, menelan sup itu tanpa repot-repot mengunyahnya. Bagian dasar kaleng memantulkan cahaya dari mesn-mesin, dan aku teringat pada sesuatu yang menganggu pikiranku sejak kemarin. “Peeta, saat kau bertanya tentang apa yang terjadi pada Darius dan Labinia, dan Boggs memberitahumu itu nyata, kau bilang menurutmu juga nyata. Karena tak ada yang berkilau. Apa maksudmu dengan kilau itu?”
“Oh, aku tidak tahu bagaimana menjelaskan secara tepat,” dia menjelaska padaku. “Pada awalnya, semua membingungkan. Sekarang aku bisa memilah beberapa hal. Menurutku ada pola yang mucul. Ingatan yang mereka ubah dengan racun dari tawon penjejaak punya semacam keanehan. Sepertinya ingatan itu terlalu menegangkan atau gambar-gambarnya tidak stabil. Kau ingat seperti apa rasanya saat kau disengat?”
“Pohon-pohon tumbang. Ada kupu-kupu besar yang berwarna. Aku jatuh ke lubang berisi gelembung-gelembung oranye.” Kupikirkan lagi bayangan itu. “Gelembung-gelembung oranye yang berkilau.”
“Betul. Ingatan tentang Darius dan Lavinia tidak seperti itu. Kurasa mereka belum meracuniku saat itu,” kata Peeta.
“Itu bagus, kan?” tanyaku. “Jika kau bisa membedakannya, kau tahu apa yang benar.”
“Ya. Dan jika aku bisa menumbuhkan sayap, aku bisa terbang. Akan tetapi manusia tidak bisa menumbuhkan sayap, kan?” katanya. “Nyata atau tidak nyata?”
“Nyata,” kataku. “Tapi manusia tidak butuh sayap untuk bertahan hidup.”
“Mockingjau perlu.” Dia menghabiskan supnya dan mengembalikan kalengnya ke tanganku.
Di bawah cahaya lampu neon, lingkaran-lingkaran hitam di bawah matanya tampak seperti memar. “Masih ada waktu. Sebaiknya kau tidur.” Tanpa membantah, Peeta berbaring lagi, tapi dia Cuma memandang salah satu jarum jam yang bergerak dari satu sisi ke sis lain. Perlahan-lahan, seperti yang kulakukan terhadap binatang yang terluka, aku mengulurkan tangan dan membelai rambut dari dahinya. Peeta langsung tegang disentuh olehku, tapi tidak menari diri. Jadi aku terus mengelus bagian belakang rambutnya dengan lembut. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya tanpa terpaksa sejak terakhir kali di arena.
“Kau masih berusaha melindungiku. Nyata atau tidak nyata,” bisiknya.
“Nyata,” jawabku. Jawabanku sepertinya butuh lebih banyak penjelasan. “Karena itulah yang kita lakukan. Saling melindungi.” Setelah sekitar satu menit, Peeta pun tertidur.
Tak lama sebelum pukul tujuh, aku dan Pollux bergerak membangunkan yang lain. Seperti biasa terdengar suara orang menguap dan mendesah yang biasanya terlontar saat bangun tidur. Tapi telingaku juga menangkap suara lain. Nyaris seperti desisan. Mungkin hanya uap yang keluar dari pipa atau bunyi desis kereta api di kejauhan…
Kusuruh pasukanku untuk diam agar aku bisa menyimaknya dengan lebih baik. Ya, ada bunyi desisan, tapi bukan bunyi satu desisan panjang. Lebih mirip bunyi embusan napas yang membentuk kata-kata. Satu kata. Bergema di sepanjang terowongan. Satu kata. Satu nama. Diulang berkali-kali.
“Katniss.”
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 21"

Posting Komentar