BAB 2
APAKAH ada pesawat ringan Capitol yang
terbang untuk menghancurkan kami di angkasa? Ketika kami terbang di atas
Distrik 12, dengan cemas aku mencari tanda-tanda serangan, tapi tak ada apa pun
yang mengejar kami. Setelah beberapa menit, sehabis mendengar percakapan antara
Plutarch dan pilot yang memastikan kondisi penerbangan aman, aku mulai bisa
sedikit rileks.
Gale mengangguk mendengar dengkingan dari tas
berburuku, “Sekarang aku tahu kenapa kau harus kembali.”
“Selalu ada kemungkinan dia bisa ditemukan.”
Kulempar tasku ke kursi, dan binatang menjijikkan itu mulai meraung dengan
suara dalam dan rendah. “Oh, diamlah,” kataku pada tas itu ketika aku duduk di
kursi empuk dekat jendela di seberang Buttercup.
Gale duduk di sampingku. “Buruk ya di bawah sana?”
“Parah,” jawabku. Aku menatap matanya dan
melihat kesedihanku terpantul di sana. Tangan kami saling menggenggam,
berpegangan erat pada bagian dari Distrik 12 yang entah bagaimana tidak
berhasil dihancurkan Snow. Kami duduk tanpa bicara sepanjang perjalanan menuju
13, yang cuma berlangsung selama 45 menit. Jika berjalan kaki hanya akan makan
waktu satu minggu. Bonnie dan Twill, pengungsi dari Distrik 8 yang kutemui
musim dingin lalu, ternyata tidak terlalu jauh dari tujuan mereka. Namun
sepertinya mereka tidak berhasil tiba. Ketika aku menanyakan tentang mereka di
Distrik 13, sepertinya tak ada seorang pun yang tahu siapa yang kubicarakan.
Tewas di hutan, menurutku.
Dari angkasa, 13 tampak sama cerianya dengan
12. Reruntuhannya tidak mengepulkan asap, seperti yang ditunjukkan Capitol di
televisi, tapi nyaris tak ada kehidupan di atas tanah. Tujuh puluh lima tahun
sejak Masa Kegelapan—ketika 13 dikatakan telah dimusnahkan dalam perang antara
Capitol dan distrik-distrik—hampir semua bangunan baru dibuat di bawah tanah.
Sudah ada fasilitas bawah tanah yang besar di sini, dibangun selama
berabad-abad untuk tempat perlindungan rahasia bagi para pemimpin pemerintahan
pada saat perang, atau tempat pelarian terakhir bagi manusia jika hidup di atas
tak tertahankan lagi.
Yang
terpenting bagi penduduk Distrik 13 adalah tempat ini menjadi pusat program
pengembangan peluru kendali nuklir bagi Capitol. Pada Masa Kegelapan, para
pemberontak di Distrik 13 merebut kendali dari tentara pemerintah, membidik
Capitol sebagai sasaran senjata nuklir mereka, lalu mereka bersepakat: Mereka
akan pura-pura mati agar tidak diganggu. Capitol punya senjata nuklir lain di
barat, tapi mereka tak bisa menyerang 13 tanpa yakin seratus persen takkan
balas diserang. Mereka terpaksa menerima tawaran dari Distrik 13. Capitol
menghancurkan bagian distrik yang masih tersisa dan memotong semua akses dari
luar. Mungkin para pemimpin Capitol mengira tanpa adanya bantuan, 13 akan mati
sendiri. Memang beberapa kali nyaris terjadi, tapi Distrik 13 selalu berhasil
bangkit lagi berkat pembagian makanan yang ketat, disiplin tinggi, dan
kewaspadaan terus-menerus terhadap serangan Capitol berikutnya.
Sekarang semua penduduk nyaris hidup
sepenuhnya di bawah tanah. Kau bisa keluar untuk olahraga dan kena sinar
matahari, tapi hanya pada waktu-waktu tertentu yang sudah dijadwalkan untukmu.
Kau tidak boleh melewatkan jadwalmu. Setiap pagi, kau harus memasukkan lengan
kananmu ke dalam alat aneh di dinding. Benda itu menato jadwalmu dalam satu
hari dengan tinta ungu terang. 07.00—Sarapan. 07.30—Tugas Dapur. 08.30—Pusat
Pendidikan, Ruang 17. Dan seterusnya. Tinta ini tak bisa dihapus sampai pukul
22.00—Mandi. Pada saat itu apa pun yang membuat tinta tersebut tahan air hilang
dan seluruh jadwal tercuci bersih. Lampu padam pukul 22.30 menandakan bahwa
semua orang yang tidak jaga malam sudah harus tidur.
Mulanya, ketika aku sakit berat di rumah
sakit, aku tidak perlu melaksanakan apa yang tertera. Tapi setelah aku pindah
ke Kompartemen 307 bersama adik dan ibuku, aku diharapkan mengikuti program
yang berlaku. Kecuali hadir untuk makan, aku mengabaikan kata-kata yang
tertulis di lenganku. Aku biasanya kembali ke kompartemen atau berjalan-jalan
di sekitar 13 atau ketiduran di tempat tersembunyi. Saluran udara yang tak
terpakai. Di belakang pipa-pipa air di ruang cuci. Ada lemari di Pusat
Pendidikan yang sangat besar karena tak ada seorang pun yang sepertinya
membutuhkan perlengkapan sekolah. Mereka sangat pelit dengan barang-barang di
sini, membuang-buang barang bisa dianggap sebagai kejahatan. Untungnya,
penduduk 12 tak pernah boros.
Aku
pernah melihat Fulvia Cardew meremas selembar kertas yang baru ditulisi
beberapa kata, dan dari tatapan orang-orang yang memandangnya seakan dia sudah
membunuh orang. Wajahnya merah padam, membuat bunga-bunga perak yang ditato di
pipinya jadi makin kelihatan. Gambaran dari orang yang biasa hidup berlebihan.
Salah satu dari sedikit kegembiraan yang kurasakan adalah mengamati sejumlah
“pemberontak” dari Capitol yang biasa dimanja harus merana ketika mereka
berusaha beradaptasi.
Aku tidak tahu berapa lama aku bisa lolos
didiamkan begitu saja atas ketidakpedulianku terhadap jadwal kehadiran yang
sudah diatur secermat mungkin oleh orang-orang yang menampungku. Saat ini
mereka tidak menggangguku karena aku dianggap kacau mentalnya—itu tertera di
gelang medis plastik di tanganku—dan semua orang harus menerima
ocehan-ocehanku. Tapi hal itu tak bisa bertahan selamanya. Sama seperti mereka
juga tak bakal terus-menerus sabar terhadap urusan Mockingjay ini.
Di landasan, aku dan Gale menyusuri
deretan-deretan tangga hingga sampai di Kompartemen 307. Kami bisa menggunakan
elevator, tapi benda itu terlalu mengingatkanku pada benda yang mengangkatku
naik ke arena. Aku kesulitan menyesuaikan diri karena terlalu lama berada di
bawah tanah. Tapi setelah pertemuan surealku dengan bunga mawar, untuk pertama
kalinya turun ke bawah tanah membuatku merasa lebih aman.
Aku ragu di depan pintu bernomor 307,
menunggu pertanyaan-pertanyaan dari keluargaku, “Apa yang akan kuceritakan pada
mereka tentang Distrik Dua Belas?” Aku bertanya pada Gale.
“Aku tidak yakin mereka akan bertanya secara
mendetail. Mereka melihatnya terbakar. Mereka bakal lebih menguatirkan
bagaimana caramu menghadapinya.” Gale menyentuh pipiku. “Sama seperti aku.”
Aku menekankan pipiku ke tangan Gale selama
beberapa saat. “Aku akan hidup.”
Lalu aku menghirup napas panjang dan membuka
pintu. Ibuku dan adikku berada di rumah pukul 18.00—Merenung, setengah jam
sebelum waktu makan malam tiba. Aku melihat kekuatiran di wajah mereka sembari
mereka mengira-ngira kondisi emosiku. Sebelum ada yang sempat bertanya, aku
mengeluarkan isi tas berburuku dan jam 18.00 berubah menjadi—Memuja kucing.
Prim duduk di lantai, menangis dan menggendong Buttercup yang jelek itu, yang
sesekali menyela dengkuran senangnya dengan mendesis padaku. Kucing itu
memberiku pandangan pongah ketika Prim mengikatkan pita biru di lehernya.
Ibuku memeluk foto pernikahannya erat-erat
lalu menaruhnya, bersama dengan buku tumbuh-tumbuhan, di atas lemari berlaci
yang modelnya standar milik pemerintah. Aku menggantung jaket ayahku di
punggung kursi. Selama sesaat, tempat ini nyaris seperti rumah. Jadi kupikir
perjalanan ke 12 tidaklah sia-sia.
Kami menuju ruang makan pada pukul
18.30—Makan Malam ketika alat komunikasi Gale mulai berbunyi. Bentuknya seperti
jam tangan yang kebesaran, tapi benda itu bisa menerima pesan-pesan tertulis.
Seseorang yang diberi alat komunikasi itu berarti punya hak istimewa, karena
alat itu hanya diberikan pada mereka yang dianggap penting terhadap perjuangan.
Status ini diperoleh Gale karena keberhasilannya menyelamatkan para penduduk di
Distrik 12. “Mereka membutuhkan kita berdua di Ruang Komando,” katanya.
Aku berjalan beberapa langkah di belakang
Gale, berusaha menenangkan diri sebelum masuk ke sesi Mockingjay yang tak
berujung. Aku berlama-lama di ambang pintu Ruang Komando, ruang pertemuan
canggih/dewan perang lengkap dipasangi dinding-dinding dengan komputer yang
berbicara, peta-peta elektronik menunjukkan pergerakan-pergerakan pasukan di
berbagai distrik, dan sebuah meja raksasa berbentuk persegi panjang dengan
panel-panel kontrol yang tak seharusnya kusentuh. Akan tetapi tak ada seorang
pun yang memperhatikanku karena mereka semua berkumpul di layar televisi di
ujung ruangan yang menyiarkan acara Capitol selama 24 jam. Kupikir aku bisa
mengendap-endap pergi namun Plutarch, dengan tubuh subur yang menghalangi
pandangan ke televisi, keburu melihatku lalu melambai cepat padaku agar segera
bergabung dengan mereka.
Dengan
enggan aku melangkah maju, berusaha membayangkan apa yang bisa membuatku
tertarik. Acara yang ditampilkan di televisi selalu sama. Kilasan-kilasan
perang. Propaganda. Pengeboman Distrik 12 yang ditayangkan berulang-ulang.
Pesan dari Presiden Snow yang tak menyenangkan. Jadi aku merasa nyaris terhibur
ketika melihat Caesar Flickerman, pembawa acara Hunger Games, dengan wajah
dicat dengan jas berkilau, bersiap-siap melakukan wawancara. Sampai kamera
menyorot menjauh dan aku melihat tamunya adalah Peeta.
Suara keluar dari mulutku. Suara yang merupakan
gabungan pekikan dan erangan yang mirip suara orang yang ditenggelamkan di air,
kekurangan oksigen sampai ke titik menyakitkan. Aku mendorong orang-orang ke
samping sampai aku tepat berada di depan nya, tanganku menyentuh layar
televisi. Di matanya aku mencari tanda-tanda kesakitan, pantulan apa pun yang
menunjukkan penderitaan karena disiksa. Tak ada apa pun. Peeta tampak sehat
sehingga terlihat tegap dan kuat. Kulitnya cerah, tanpa cacat, berkat polesan
di selu ruh tubuhnya. Sikapnya tenang, serius. Aku tak bisa membayangkan sosok
yang tampil ini dengan anak lelaki yang terluka dan berdarah-darah yang
menghantui mimpi-mimpiku.
Caesar mencari posisi duduk lebih nyaman di
kursi seberang Peeta dan memandanginya lama. “Jadi… Peeta… selamat datang
kembali.”
Peeta tersenyum kecil. “Aku berani taruhan
kaupikir terakhir itu wawancara terakhir kita, Caesar.”
“Harus kuakui, memang,” jawab Caesar. “Malam
sebelum Quarter Quell… siapa yang menyangka kami bakal bertemu denganmu lagi?”
“Yakinlah, ini juga bukan rencanaku,” kata
Peeta sambil mengerutkan dahi.
Caesar mencondongkan tubuhnya mendekat
sedikit. “Kurasa sudah jelas bagi kita semua apa rencanamu. Mengobarkan dirimu
di arena agar Katniss Everdeen dan anakmu bisa selamat.”
“Betul. Sejelas dan sesederhana itu.” Jemari
Peeta menelusuri pola kain pelapis di lengan kursi, “Tapi orang lain juga punya
rencana.”
Ya, orang lain juga punya rencana, pikirku. Apakah
Peeta sudah menebak bagaimana para pemberontak memanfaatkan kami sebagai pion?
Bahwa penyelamatanku sudah diatur sejak awal. Dan terakhir, mentor kami,
Haymitch Abernathy, mengkhianati kami berdua demi tujuan yang pura-pura tak
dipedulikannya.
Dalam keheningan setelah itu, aku
memperhatikan garis-garis yang terbentuk di antara kedua alis Peeta. Dia sudah
menebak atau dia sudah diberitahu. Tapi Capitol tidak membunuh atau
menghukumnya. Saat ini, semua itu melampaui harapan-harapan terliarku. Aku menyesap
seluruh diri Peeta seutuhnya, kesegaran tubuh dan pikirannya. Semua itu
mengalir dalam diriku seperti morfin yang mereka berikan padaku di rumah sakit
selama beberapa minggu terakhir, menumpulkan rasa sakit yang kualami selama
beberapa minggu ini.
“Bagaimana kalau kauceritakan pada kami
kejadian pada malam terakhir di arena?” tanya Caesar memberi saran, “Membantu
kami menjelaskan beberapa hal.”
Peeta mengangguk tapi dia berbicara
pelan-pelan, “Malam terakhir itu… untuk menceritakan malam terakhir itu…
pertama-tama kau harus membayangkan seperti apa rasanya di arena. Rasanya
seperti serangga terperangkap di bawah mangkuk yang disesaki udara panas. Dan
di sekelilingmu, hutan… hijau, hidup, dan berdetik. Jam raksasa itu merenggut
hidupmu setiap detiknya. Sampai jam menjanjikan kengerian baru. Kau harus
membayangkan dalam dua hari, enam belas orang tewas—sebagian tewas karena
menyelamatkanmu. Melihat kecepatan keadaan yang berlangsung, delapan orang
terakhir akan tewas besok pagi. Sisa satu. Seorang pemenang. Dan rencanamu
adalah orang itu bukan dirimu.”
Tubuhku langsung berkeringat mengingatnya.
Tanganku meluncur turun ke layar TV dan tergantung lemah di sisi tubuhku. Peeta
tidak butuh kuas untuk melukiskan gambar-gambar dari Pertarungan. Kata-katanya
sudah cukup.
“Setelah kau berada di arena, dunia di luar
sana terasa amat jauh,” lanjutnya. “Semua orang dan segala yang kausayangi atau
kaupedulikan nyaris tak ada lagi. Langit berwarna merah muda dan
monster-monster di hutan serta peserta-peserta yang haus darahmu menjadi
kenyataan terakhirmu, satu-satunya hal yang penting. Seburuk apa pun rasa yang
dihasilkannya, kau harus melakukan pembunuhan, karena di arena, kau hanya bisa
punya satu keinginan. Dan itu sangatlah mahal.”
“Harganya adalah hidupmu,” kata Caesar.
“Oh, tidak. Harganya lebih dari hidupmu. Membunuh
orang yang tak bersalah?” tanya Peeta. “Harganya adalah segala yang kaumiliki
dari dirimu.”
“Segala yang kaumiliki dari dirimu,” ulang
Caesar pelan.
Keheningan melanda ruangan ini, dan aku bisa
merasakannya mengalir di seluruh Panem. Satu negara terpusat perhatiannya pada
layar-layar televisi mereka. Karena sebelumnya tak ada seorang pun yang pernah
bicara tentang seperti apa yang sesungguhnya terjadi di arena.
Peeta melanjutkan. “Jadi kau berpegangan pada
keinginanmu itu. Dan pada malam terakhir itu, ya, keinginanku adalah
menyelamatkan Katniss. Tanpa mengetahui tentang para pemberontak pun, rasanya
ada yang tidak benar. Segalanya terlalu rumit. Aku menyesal tidak lari
bersamanya lebih awal hari itu, mengikuti sarannya. Tapi pada titik itu tak
mungkin lagi pergi begitu saja.”
“Kau terlalu sibuk dengan rencana Beetee
untuk menyetrum danau air asin itu,” kata Caesar.
“Terlalu sibuk bermain sekutu-sekutuan dengan
yang lain. Seharusnya aku tidak membiarkan mereka memisahkan kami!” sembur
Peeta. “Saat itulah aku kehilangan dia.”
“Saat kau tinggal di pohon kilat, lalu dia
dan Johanna Mason membawa kawat ke arah air,” Caesar menjelaskan.
“Aku tidak mau!” Muka Peeta merah karena
kesal. “Tapi aku tidak bisa berdebat dengan Beetee tanpa menunjukkan bahwa kami
ingin memisahkan diri dari persekutuan. Saat kawat terputus, semuanya menggila.
Aku hanya bisa mengingat sebagian-sebagian. Berusaha menemukan Katniss. Melihat
Brutus membunuh Chaff. Aku membunuh Brutus. Aku tahu dia akan memanggil namaku.
Lalu kilat menyambar pohon, dan medan gaya di sekitar arena… meledak.”
“Katniss yang meledakkannya, Peeta,” kata
Caesar, “Kau sudah melihat potongan filmnya.”
“Dia tidak menyadari apa yang dilakukannya.
Tak seorang pun yang bisa mengikuti rencana Beetee. Kau bisa melihatnya
kebingungan dengan kawat itu,” sahut Peeta.
“Baiklah. Namun kelihatannya mencurigakan,”
kata Caesar. “Seakan dia bagian dari rencana pemberontakan ini sejak awal.”
Peeta berdiri, mencondongkan tubuhnya ke
wajah Caesar, kedua tangannya mencengkeram lengan kursi. “Sungguh? Dan Johanna
yang nyaris membunuhnya juga bagian dari rencananya? Juga setruman listrik yang
melumpuhkannya? Memicu terjadinya ledakan bom?” Peeta sudah berteriak sekarang.
“Dia tidak tahu, Caesar! Kami berdua tidak tahu apa-apa kecuali berusaha
menjaga yang lain tetap hidup!”
Caesar menaruh tangannya di dada Peeta untuk
melindungi dirinya sendiri, juga untuk menena ngkan Peeta. “Oke, Peeta. Aku percaya
padamu.”
“Oke.” Peeta menarik diri dari Caesar,
melepaskan pegangan tangannya, lalu menyusurkan tangannya ke rambut, membuat
rambut pirangnya yang sudah tertata rapi jadi berantakan. Dia duduk lemas
bersandar di kursinya, gelisah.
Caesar menunggu sejenak, memperhatikan Peeta.
“Bagaimana dengan mentormu, Haymitch Abernathy?”
Wajah Peeta mengeras. “Aku tidak tahu apa
yang diketahui Haymitch.”
“Mungkinkah dia bagian dari konspirasi?”
tanya Caesar.
“Dia tidak pernah menyebutnya,” kata Peeta.
Caesar masih terus menekan, “Apa kata
hatimu?”
“Seharusnya aku tidak memercayainya,” kata
Peeta. “Itu saja.”
Aku belum melihat Haymitch lagi sejak aku
menyerangnya di pesawat ringan, meninggalkan bekas cakaran panjang di wajahnya.
Aku tahu tinggal di sini juga buruk baginya. Distrik 13 melarang dengan ketat
segala produksi atau konsumsi minuman yang memabukkan, bahkan alkohol untuk
membersihkan luka di rumah sakit pun disimpan dalam tempat penyimpanan
terkunci. Akhirnya Haymitch dipaksa untuk terus sadar, tanpa ada botol-botol
tersembunyi di tempat rahasia atau minuman racikan sendiri untuk memudahkan
masa transisinya. Mereka menahannya di tempat terasing sampai kecanduannya
hilang, karena dia dianggap tidak pantas tampil di depan umum. Pasti Haymitch
tersiksa sekali, tapi aku tidak punya simpati lagi untuknya saat aku sadar
bahwa dia sudah menipu kami. Kuharap dia menonton siaran Capitol saat ini, agar
dia bisa melihat bahwa Peeta juga sudah menyingkirkannya.
Caesar menepuk bahu Peeta. “Kita bisa berhenti
sekarang kalau kau mau.”
“Apakah ada lagi yang bisa dibicarakan,”
tanya Peeta dengan muka masam.
“Aku hendak meminta pendapatmu tentang
perang, tapi kalau kau terlalu kesal…” Caesar melanjutkan.
“Oh, aku tidak terlalu kesal untuk menjawabnya.”
Peeta mengambil napas dalam-dalam lalu memandang lurus ke kamera. “Aku mau
semua yang menonton—baik itu yang di pihak Capitol atau pihak pemberontak—agar
berhenti sejenak dan memikirkan apa arti perang ini. Untuk umat manusia. Kita
hampir punah karena saling membunuh. Kini jumlah kita bahkan lebih sedikit.
Kondisi kita makin payah. Apakah ini yang sungguh-sungguh kita inginkan?
Memusnahkan satu sama lain? Demi apa? Agar ada makhluk hidup yang dianggap
pantas yang akan mewariskan sisa-sisa bumi yang hangus binasa?”
“Aku tidak sepenuhnya… aku rasanya tidak
paham…” kata Caesar.
“Kita tidak bisa terus berperang, Caesar,”
Peeta menjelaskan. “Takkan ada cukup manusia yang tersisa untuk terus
berperang. Kalau semua orang tak meletakkan senjata—dan maksudku, sesegera
mungkin—segalanya akan berakhir.”
“Jadi… kau mengajak gencatan senjata?” tanya
Caesar.
“Ya, aku mengajak gencatan senjata,” kata
Peeta lelah. “Sekarang kenapa tidak kaupanggil saja para penjaga untuk
membawaku ke kamarku agar aku bisa membangun seratus rumah kartu lagi.”
Caesar menoleh menghadap kamera. “Baiklah.
Kurasa kita sudah selesai. Kita kembali ke program reguler.”
Musik mengakhiri acara mereka, kemudian ada
seorang wanita membacakan daftar barang-barang yang diperkirakan akan kurang
persediaannya di Capitol—buah segar, baterai tenaga surya, sabun. Aku tetap
asyik menonton televisi, karena aku tahu semua orang akan menunggu reaksiku
terhadap wawancara tadi. Tapi tak mungkin aku bisa mencernanya dengan sangat
cepat—kebahagiaan melihat Peeta hidup dan tak disakiti, pembelaannya terhadap
diriku yang tidak terlibat para pemberontak, kelihatannya dengan Capitol yang
tak bisa dipungkiri lagi sekarang setelah dia mengajak gencatan senjata. Oh,
dia membuatnya terdengar seakan-akan dia mengutuk kedua belah pihak yang
berperang. Tapi pada titik ini, dengan pemberontak yang hanya memperoleh
kemenangan-kemenangan kecil, gencatan senjata hanya akan membuat kami kembali
ke status sebelumnya. Atau lebih buruk.
Di belakangku aku bisa mendengar tuduhan-tuduhan
terhadap Peeta. Kata-kata seperti pengkhianat, pembohong, dan musuh berpantulan
di dinding. Karena aku tidak bisa bergabung dengan kemarahan para pemberontak
atau melawannya, kuputuskan yang terbaik adalah menjauh dari sini. Ketika aku
sampai di pintu, suara Coin terdengar di antara dengungan orang-orang yang
bicara. “Kau belum diizinkan pergi, Prajurit Everdeen.”
Salah satu anak buah Coin memegang lenganku.
Sesungguhnya, dia tidak melakukan gerakan agresif, tapi setelah berada di arena,
aku jadi terbiasa bersikap defensif pada setiap sentuhan asing. Kusentak lenganku
agar lepas dari genggamannya lalu berlari menyusuri lorong. Di belakangku,
terdengar bunyi perkelahian, tapi aku tidak berhenti berlari. Pikiranku segera
menghitung cepat tempat-tempat persembunyianku yang aneh, dan aku akhirnya bersembunyi
di lemari persediaan barang, menggelungkan tubuh di dekat peti berisi kapur.
“Kau hidup,” bisikku, kedua telapak tanganku
menangkup pipiku, merasakan senyum di wajahku yang begitu lebar hingga membentuk
seringai. Peeta hidup. Dan jadi pengkhianat. Tapi pada saat itu, aku tak
peduli. Bukan apa yang dikatakannya, atau untuk siapa dia mengatakannya, tapi
terutama dia masih mampu bicara.
Beberapa lama kemudian, pintu terbuka dan
seseorang masuk. Gale duduk berselonjor di sampingku, hidungnya meneteskan
darah.
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Aku menghalangi Boggs,” jawabnya sambil
mengangkat bahu. Aku menggunakan lengan bajuku untuk menyeka darah di
hidungnya. “Hati-hati!”
Aku berusaha lebih lembut. Menyeka, bukan
mengelapnya. “Yang mana dia?”
“Oh, kau tahu. Kacung Coin yang jadi tangan
kanannya. Yang berusaha menghentikanmu.” Gale mendorong tanganku menjauh.
“Hentikan! Kau bisa membuatku mati kehabisan darah.”
Tetesan darah sudah berubah menjadi aliran
darah yang mengalir lancar. Aku menyerah tak mau lagi berusaha menolongnya.
“Kau berkelahi dengan Boggs?”
“Tidak, hanya menghalangi pintu ketika dia
berusaha mengikutimu. Sikutnya menyangkut di hidungku,” kata Gale.
“Mereka mungkin akan menghukummu,” kataku.
“Sudah kok.” Gale mengangkat pergelangan
tangannya. Aku memandanginya tak mengerti. “Coin mengambil alat komunikasiku.”
Kugigit bibirku, berusaha untuk tetap serius.
Tapi rasanya konyol. “Maafkan aku, Prajurit Gale Hawthorne.”
“Tidak perlu, Prajurit Katniss Everdeen,”
Gale nyengir. “Lagi pula, aku merasa seperti orang tolol berjalan-jalan dengan
benda itu.” Kami berdua mulai tertawa.
“Kupikir itu malah penurunan pangkat.”
Ini salah satu dari sedikit hal menyenangkan
dari Distrik 13. Mendapatkan Gale kembali. Tanpa adanya tekanan pernikahan dari
Capitol untukku dan Peeta, kami berhasil mendapatkan persahabatan kami kembali.
Gale tidak menekanku lebi h jauh—dengan berusaha menciumku atau bicara tenta ng
cinta. Entah karena aku terlalu sakit, atau dia rela memberiku ruang, dan dia
tahu terlalu kejam rasanya dengan Peeta masih di tangan Capitol. Apa pun
rasanya, aku punya seseorang yang jadi tempatku berbagi rahasia lagi.
“Siapa orang-orang ini?” tanyaku.
“Mereka adalah kita. Jika kita punya nuklir,
bukannya bongkah-bongkah batu bara,” jawabnya.
“Aku ingin berpikir bahwa Dua Belas takkan
meninggalkan sisa pemberontak begitu saja pada Masa Kegelapan,” kataku.
“Mungkin saja kita melakukannya. Itu,
menyerah, atau memulai perang nuklir,” kata Gale. “Bagaimanapun, mereka bisa
bertahan hidup saja sudah menakjubkan.”
Mungkin karena masih ada sedikit abu dari
distrikku di sepatuku, tapi untuk pertama kalinya, aku memberi orang-orang di
Distrik 13 ini apa yang selama ini kutahan: penghargaan. Karena bisa bertahan
hidup menghadapi segala rintangan yang ada. Tahun-tahun awal mereka pasti
buruk, berjejalan di dalam kamar-kamar di bawah tanah sehabis kota mereka dibom
sampai tinggal debu yang tersisa. Populasi berkurang drastis, tak ada sekutu
yang bisa memberikan bantuan. Selama 75 tahun terakhir, mereka belajar untuk
menghidupi diri sendiri, mengubah warga mereka menjadi tentara, dan membangun
masyarakat baru tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka bisa lebih hebat lagi jika
epidermi cacar tidak menghambat angka kelahiran dan membuat mereka putus asa
mencari pemberi keturunan. Mungkin mereka milisteristik, terprogram secara
berlebihan, dan entah bagaimana tak punya rasa humor. Tapi mereka ada di sini.
Dan berniat melawan Capitol.
“Namun, butuh waktu terlalu lama bagi mereka
untuk muncul,” kataku.
“Tidak sesederhana itu. Mereka harus
membangun markas pemberontak di Capitol, menyusun gerakan bawah tanah di
distrik-distrik,” katanya. “Kemudian mereka butuh seseorang yang memulai
gerakan itu. Mereka membutuhkanmu.”
“Mereka butuh Peeta juga, tapi sepertinya
lupa tentang hal itu,” kataku.
Ekspresi Gale menggelap. “Peeta mungkin sudah
membuat banyak kerusakan malam ini. Tentu saja, kebanyakan pemberontak akan langsung
mengabaikan ucapannya. Tapi ada beberapa distrik yang lebih mudah goyah gerakan
pemberontaknya. Genjatan senjata jelas gagasan Presiden Snow. Tapi saat keluar
dari mulut Peeta jadi terdengar masuk akal.”
Aku takut mendengar jawaban Gale, tapi aku tetap
bertanya, “Menurutmu kenapa dia mengatakannya?”
“Dia mungkin disiksa. Atau dibujuk. Tebakanku
adalah dia membuat semacam perjanjian untuk melindungimu. Dia mengeluarkan
gagasan gencatan senjata jika Snow mengizinkannya menampilkanmu sebagai gadis hamil
yang kebingungan, yang tak tahu apa-apa sama sekali ketika dia ditangkap
pemberontak. Dengan demikian, jika distrik-distrik kalah, masih ada kemungkinan
bahwa kau takkan dihukum berat. Jika kau memutuskannya dengan baik.” Aku pasti
tampak bingung karena Gale menyampaikan kalimat selanjutnya dengan amat
perlahan. “Katniss… dia masih berusaha menjagamu tetap hidup.”
Menjagaku tetap hidup? Barulah aku mengerti.
Pertarungan masih berlanjut. Kami telah meninggalkan arena, tapi karena aku dan
Peeta tidak tewas, keinginan terakhirnya untuk menyelamatkanku tak pernah
pupus. Keinginan Peeta adalah agar aku tidak menonjolkan diri, tetap aman dan
terpenjara, sementara perang berlangsung. Lalu kedua belah pihak takkan punya
alasan membunuhku. Dan Peeta? Jika para pemberontak menang, akan jadi
malapetaka baginya. Jika Capitol menang, siapa yang tahu? Mungkin kami berdua
akan dibiarkan tetap hidup—jika aku memainkannya dengan benar—menyaksikan
Hunger Games berlanjut…
Berbagai bayangan melintasi benakku: tombak
menembus tubuh Rue di arena, Gale tergantung tak berdaya di tiang cambukan,
mayat-mayat bergelimpangan di kampung halamanku. Dan semua itu untuk apa? Untuk
apa? Ketika darahku jadi panas, aku mengingat hal-hal lain. Sekilas
pemberontakan di Distrik 8. Para pemenang bergandengan tangan sebelum Quarter
Quell. Dan bagaimana aku bukan kebetulan sengaja menembakkan panah ke medan
gaya di arena. Betapa inginnya aku menancapkan panah tersebut di jantung
musuhku.
Aku berdiri, menyenggol kotak berisi ratusan
pensil, dan membuatnya jatuh berantakan ke lantai.
“Ada apa?” tanya Gale.
“Tak boleh ada gencatan senjata.” Aku
berjongkok, meraba-raba batang-batang grafit hitam kelabu itu dan memasukkannya
ke dalam kotak. “Kita tidak bisa kembali.”
“Aku tahu.” Gale meraup segenggam pensil dan
mengetukkannya ke lantai agar berderet sejajar.
“Apa pun alasan Peeta mengucapkan apa yang
dikatakannya tadi, dia salah.” Batang-batang bodoh itu tak bisa masuk ke dalam
kotak dan aku mematahkan beberapa batang pensil karena kesal.
“Aku tahu. Berikan padaku. Kau mematahkannya
sampai hancur.” Gale menarik kotak dari kedua tanganku dan mengisinya dengan
batang pensil dengan geralan cepat dan teratur.
“Dia tidak tahu apa yang mereka lakukan pada
Distrik Dua Belas. Jika saja dia bisa melihat apa yang terjadi di sana…”
kataku.
“Katniss, aku tidak berdebat. Kalau kau bisa
menekan tombol dan membunuh semua orang yang bekerja di Capitol, aku mau
melakukannya. Tidak ada keraguan sedikit pun.” Gale memasukkan batang pensil
terakhir ke dalam kotak dan menutup kotaknya. “Pertanyaannya adalah apa yang
akan kaulakukan?”
Ternyata pertanyaan yang sudah mengangguku
itu hanya punya satu jawaban. Tapi butuh usaha dari Peeta agar aku bisa
menyadarinya.
Apa yang akan kulakukan?
Aku mengambil napas dalam-dalam. Kedua
lenganku terangkat sedikit—seakan mengingat sayap-sayap hitam-dan-putih yang
diberikan Cinna padaku—lalu kedua tanganku kuturunkan ke sisi tubuhku.
“Aku
akan menjadi Mockingjay.”
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 2"
Posting Komentar