BAB 16
“SELALU.”
Di ambang kesadaran dalam pengaruh morfin,
Peeta membisikkan kata itu dan aku bergegas mencarinya. Aku berada dalam dunia
yang ungu, berkabut tipis, tanpa ada ujung-ujung yang nyata, dan banyak tempat
untuk bersembunyi. Aku menembus lautan awan, mengikuti jejak-jejak samar,
mencium aroma kayu manis. Sekali aku merasakan sentuhan tangannya di pipiku dan
berusaha menahannya di sana, tapi tangan itu lenyap seperti kabut di antara
jemariku.
Ketika aku akhirnya mulai sadar di dalam
kamar rumah sakit yang steril di Distrik 13, aku pun ingat. Aku di bawah
pengaruh sirup tidur. Tumitku terluka setelah aku memanjat dahan pohon di atas
pagar listrik lalu jatuh di dalam Distrik 12. Peeta menemaniku di tempat tidur
dan aku memintanya tetap bersamaku ketika aku jatuh tertidur. Dia membisikkan
sesuatu yang tak kudengar dengan jelas. Tapi sebagian otakku memerangkap satu
kata jawaban dan kubiarkan jawaban itu mengalir dalam mimpi-mimpiku untuk
mengejekku sekarang. “selalu”
Morfin menumpulkan ujung-ujung tajam dari
semua emosi, bukannya aku merasakan tusukan penderitaaan, aku hanya merasakan
kehampaan. Ruang hampa berisi tanaman yang layu di tempat yang tadinya adalah
bunga-bunga bermekaran. Sayangnya, tak ada cukup obat tersisa di aliran darahku
agar bisa mengabaikan rasa sakit di sisi kiri tubuhku. Kedua tanganku
meraba-raba perban tebal yang membungkus bagian rusukku dan aku bertanya-tanya
kenapa aku masih ada di sini.
Bukan dia pelakunya, pemuda yang berlutut di
depanku di alun-alun, yang mengalami luka bakar dari Nut. Bukan dia yang
menarik pelatuk. Pelakunya adalah orang yang berada jauh di antara kerumunan.
Ketika ditembus peluru, rasanya tidak sekuat seperti jika dihantam palu godam.
Setetah tembakan keadaan langsung kacau-balau akibat baku tembak. Aku berusaha
duduk, tapi yang bisa kulakukan cuma mengerang.
Tirai putih yang memisahkan ranjangku dengan
pasien sebelah tersingkap keras, dan Johanna Mason melotot memandangku. Mulanya
aku merasa terancam, karena dia pernah menyerangku di arena. Aku harus
mengingatkan diriku sendiri bahwa dia melakukannya untuk menyelamatkanku.
Tindakan itu adalah bagian dari rencana pemberontak. Tapi itu tetap tidak
berarti dia tidak membenciku. Mungkin perlakuannya terhadapku hanya akting
untuk Capitol?
“Aku hidup,” kataku dengan suara parau.
“Pintar sekali, otak udang.” Johanna berjalan
menghampiri dan mengempaskan tubuhnya di ranjangku, mengirimkan gelombang rasa
sakit di dadaku. Ketika dia nyengir melihatku kepayahan, aku tahu kami tidak
sedang bereuni mengenang yang indah-indah. “Masih sakit ya?” Dengan tangan yang
kompeten, dengan cepat Johanna melepas infus morfin dari lenganku dan
memasangnya ke rongga infus yang terpasang ke lengannya. “Mereka mulai
mengurangi morfinku beberapa hari yang lalu. Mereka takut aku jadi seperti
orang aneh dari Enam. Aku harus meminjamnya darimu saat situasi aman. Kupikir
kau tidak keberatan.”
Keberatan? Bagaimana mungkin aku keberatan
ketika dia nyaris disiksa sampai mati oleh Snow setelah Quarter Quell? Aku
tidak punya hak untuk keberatan, dan Johanna tahu itu.
Johanna mendesah ketika morfin memasuki
aliran darahnya “Mungkin mereka yang di Enam memang kecanduan. Buat dirimu
sampai teler dan lukiskan bunga-bunga di tubuhmu. Bukan hidup yang buruk.
Mereka sepertinya lebih bahagia daripada kita semua.”
Beberapa minggu sejak aku meninggalkan 13,
berat badan Johanna bertambah. Rambut halus mulai tumbuh di kepalanya yang
dicukur botak, dan menyamarkan sejumlah bekas luka- nya. Tapi jika dia perlu
menyedot morfinku, artinya dia pasti berjuang keras juga.
“Mereka punya dokter jiwa yang datang setiap
hari. Dia seharusnya membantuku pulih. Memangnya orang yang tinggal seumur
hidup di liang kelinci ini bisa menyembuhkanku? Tolol banget. Dalam setiap sesi
paling sedikit dua puluh kali dia mengingatkanku bahwa aku aman sepenuhnya.”
Aku berusaha tersenyum. Sungguh bodoh mengatakan kalimat se-macam itu, terutama
kepada seorang pemenang Hunger Games. Seakan-akan keadaan aman semacam itu
pernah ada, di mana pun, bagi semua orang. “Bagaimana denganmu, Mockingjay? Kau
merasa aman sepenuhnya?”
“Oh, ya. Sampai aku tertembak,” jawabku.
“Tolong ya. Peluru itu bahkan tak pernah
mengenaimu. Cinna sudah mengantisipasinya,” kata Johanna.
Aku teringat pada lapisan-lapisan pelindung
di pakaian Mockingjay-ku. Tapi rasa sakitnya berasal dari tempat lain. “Rusuk
yang patah?”
“Tidak. Memar yang cukup parah. Benturannya
membuat limpamu bocor. Mereka tidak bisa memperbaikinya.” Johanna melambaikan
tangan tak peduii. “Jangan cemas, kau tidak membutuhkannya. Dan jika kau butuh,
mereka akan mencarikannya untukmu, ya kan? Sudah jadi tugas semua orang untuk
menjagamu agar tetap hidup.”
“Itu sebabnya kau membenciku?” tanyaku.
“Sebagian,” jawabnya mengakui. “Jelas
kecemburuan ada bagiannya di sini. Aku juga menganggapmu sulit dipercaya.
Dengan drama cinta murahan dan akting membela-kaum-lemah-mu itu. Hanya saja
semua itu bukan akting, sehingga membuatku makin tidak tahan padamu. Silakan
Iho untuk menganggap komentarku ini menyerangmu secara pribadi.”
“Kau seharusnya jadi Mockingjay. Tak ada
seorang pun yang harus membisikkan dialog padamu,” kataku.
“Betul. Tapi tak ada seorang pun yang
menyukaiku,” kata-nya.
“Tapi
mereka percaya padamu. Untuk mengeluarkanku dari arena,” aku mengingatkannya.
“Dan mereka takut padamu.”
“Di sini, mungkin. Di Capitol, kau
satu-satunya yang mereka takutkan sekarang.”
Gale berdiri di ambang pintu, dan dengan rapi
Johanna melepaskan slang infus lalu memasang kembali infus morfin kepadaku.
“Sepupumu tidak takut pada-ku,” katanya penuh rahasia. Dia merosot turun dari
ranjangku dan berjalan ke pintu, menyenggol kaki Gale dengan pahanya ketika dia
melewatinya. “Benar kan, ganteng?” Aku dan Gale bisa mendengar gema tawanya
ketika dia menghliang di koridor.
Aku mengangkat alis memandang Gale ketika dia
menggenggam tanganku. “Ngeri,” katanya tanpa suara. Aku tertawa tapi aku segera
mengernyit kesakitan. “Tenang” Dia membelai, wajahku sementara rasa sakit itu
menyurut. “Kau harus berhenti lari menuju masalah.”
“Aku tahu. Tapi ada orang yang meledakkan
gunung,” sahutku Bukannya mundur, Gale malah mendekat, memandangiku
lekat-lekat. “Kau menganggapku tidak berperasaan.”
“Aku tahu kau memang tidak berperasaan. Tapi
aku takkan mengatakan padamu bahwa tidak apa-apa seperti itu,” kataku.
Kini Gale langsung menarik diri, nyaris terkesan
tidak sabar. “Katniss, sesungguhnya apa bedanya , antara menimbun musuh kita di
tambang atau meledakkan mereka di angkasa dengan salah satu anak panah
rancangan Beetee? Hasilnya sama saja.”
“Aku tidak tahu. Satu hal yang berbeda, kita
di bawah serangan ketika di Delapan. Rumah sakit sedang diserang,” kataku.
“Ya, dan pesawat-pesawat itu berasal dari
Distrik Dua,” sahut Gale. “Jadi dengan menghabisi mereka, kita mencegah
serangan-serangan lebih lanjut.”
“Tapi dengan pemikiran semacam itu… kau bisa
mengubahnya menjadi argumen untuk membunuh orang kapan pun kau mau. Kau bisa
membenarkan dirimu untuk mengirim anak-anak ke Hunger Games untuk mencegah
distrik-distrik agar tidak berbuat macam-macam,” kataku.
“Aku tidak percaya omong kosong itu,” kata
Gale.
“Aku percaya,” jawabku. “Pasti sebabnya
karena kunjungan-kunjunganku ke arena.”
“Baiklah. Kita tahu bagaimana caranya berbeda
pendapat,” tukas Gale, “Kita selalu begitu. Mungkin itu bagus. Antara kita saja
ya, kita dapat Distrik Dua sekarang.”
“Benarkah?” Selama sesaat aku merasakan
kemenangan membara di hatiku. Lalu aku teringat orang-orang di alun-alun.
“Apakah ada pertempuran setelah aku tertembak?”
“Tidak lama. Para pekerja dari Nut menyerang
tentara-tentara Capitol. Para pemberontak cuma duduk dan menonton tara saja,”
katanya. “Sesungguhnya, seluruh negeri hanya duduk dan menonton.”
“Yah, memang itulah yang paling bisa mereka
lakukan,” kataku.
Kaupikir kehilangan organ utama dalam tubuh
membuatmu boleh berbaring bermalas-malasan selama beberapa minggu ke depan,
tapi karena alasan tertentu, dokter-dokter di sini ingin aku segera bangun dan
bergerak. Bahkan dengan bantuan morfin, rasa sakit di dalam tubuhku amat
menyakitkan selama beberapa hari pertama, tapi kemudian mereda lumayan cepat.
Namun rasa nyeri dari rusuk yang memar tetap bertahan se-lama beberapa lama.
Aku mulai kesal melihat Johanna men-curi persediaan morfinku, tapi aku tetap
membiarkannya mengambil sebanyak yang dia mau.
Kabar burung tentang kematianku sudah
menyebar dengan heboh, jadi mereka mengirim tim untuk merekamku terbaring di
ranjang rumah sakit. Kuperlihatkan pada mereka jahitan lukaku dan memar yang
mengagumkan dan memberi selamat pada distrik-distrik atas keberhasilan mereka
untuk bersatu. Lalu aku memperingatkan Capitol agar bersiap-siap menanti
kedatangan kami.
Sebagai bagian dari proses pemulihanku, aku
berjalan-jalan singkat di atas setiap hari. Suatu siang, Plutarch ikut berialan
bersamaku dan memberikan informasi terbaru tentang keadaan saat ini. Kini
setelah Distrik bersekutu bersama kami, para pemberontak mengambil jeda
istirahat sejenak dari perang untuk menyatukan diri. Kami mernperkuat jalur
persediaan, merawat yang terluka mengorganisir pasukan. Capitol seperti 13 pada
Masa Kegelapan, sepenuhnya terputus dari dunia luar sementara mereka waspada
menghadapi ancaman serangan nuklir dari musuh-musuhnya. Tidak seperti 13,
Capitol tidak siap membangun kembali dan mengidupi sendiri distriknya.
“Oh, kota di Capitol mungkin bisa
mengais-ngais makanan untuk sementara,” kata Plutarch. “Mereka jelas punya
persediaan cadangan untuk keadaan darurat. Tapi perbedaan yang menonjol antara
Tiga Beias dan Capitol adalah apa yang harapkan dari penduduknya. Tiga Belas
terbiasa hidup susah, sementara di Capitol, yang mereka tahu hanyalah Panem et
Circences.”
“Apa artinya?” Aku mengenali kata Panem,
tentu saja, tapi sisanya tidak kupahami.
“Itu pepatah dari ribuan tahun lalu, ditulis
dalam bahasa yang disebut sebagai bahasa Latin tentang kota bernama Roma,” dia
menjelaskan. “Terjemahan Panem et Circences adalah ‘Roti dan Sirkus.’ Penulis
pepatah itu bermaksud menyatakan bahwa sebagai ganti perut kenyang dan hiburan,
rakyatnya menyerahkan tanggung jawab politik mereka, dan dengan sendirinya juga
menyerahkan kekuasan mereka.”
Aku memikirkan Capitol. Makanan berlimpah.
Dan hiburan tanpa henti. The Hunger Games. “Jadi itulah gunanya distrik-distrik
di Panem. Untuk menyediakan makanan dan hiburan.”
“Ya. Dan selama keduanya berlangsung, Capitol
bisa mengontrol kerajaan kecilnya. Saat ini, tak satu pun yang bisa diberikan
Capitol, paling tidak bukan seperti standar yang biasa dinikmati penduduk di
sana,” kata Plutarch. “Kita punya makanan dan aku hendak merancang propo
hiburan yang pasti akan populer. Lagi pula, semua orang pasti suka pernikahan.”
Aku langsung berhenti melangkah, muak
mendengar idenya.
Entah bagaimana dia merancang pernikahan yang
menjijikkan antara aku dan Peeta. Aku tidak sanggup melihat kaca satu arah yang
memperlihatkan kondisi Peeta sejak aku kembali, berdasarkan permintaanku, aku
hanya memperoleh informasi tentang kondisi Peeta dari Haymitch. Dia jarang membicarakan
Peeta. Mereka sudah mencoba beragam teknik. Tak pernah ada cara untuk
menyembuhkannya. Dan sekarang mereka ingin aku menikahi Peeta demi propo?
Plutarch segera menenangkanku. “Oh, bukan,
Katniss. Bukan pernikahanmu. Pernikahan Finnick dan Annie. Yang perlu
kaulakukan hanyalah datang dan pura-pura bahagia untuk mereka.”
“Itu salah satu dari sedikit hal di mana aku
tak perlu pura-pura, Plutarch,” kataku.
Hari-hari berikutnya berlalu diisi kegiatan
yang berlangsung kabur di otakku ketika mereka merencanakan acara pernikahan.
Perbedaan-perbedaan antara Capitol dan 13 ditunjukkan dengan perbedaan tajam
dalam acara tersebut. Saat Coin bicara soal “pernikahan” maksudnya adalah dua
orang menandatangani selembar kertas dan mereka mendapat kompartemen baru. Bagi
Plutarch pernikahan artinya ratusan orang berpakaian bagus dalam perayaan tiga
hari. Lucu rasanya melihat mereka tawar-menawar soal detail pernikahan.
Plutarch harus tarik urat untuk setiap tamu, setiap nada dalam musik yang dipakai.
Setelah Coin memveto acara makan malam, hiburan, dan alkohol, Plutarch berteria
k, “Apa gunanya propo jika tak seorang pun bersenang -senang!”
Sulit membuat ketua juri Pertarungan membuat
rencana berdasarkan anggaran. Tapi perayaan sesederhana apa pun sudah menimbulkan
kehebohan di 13, di sana mereka sepertinya tidak punya hiburan sama sekali.
Ketika diumumkan bahwa anak-anak dibutuhkan untuk menyanyikan lagu pernikahan
Distrik 4, nyaris semua anak-anak muncul mengajukan diri. Tak pernah ada
kekurangan relawan untuk membuat dekorasi. Di ruang makan, orang-orang tampak
bersemangat membicarakan acara tersebut.
Mungkin ini lebih dari sekadar pesta. Mungkin
kami semua mendambakan ada sesuatu yang indah terjadi dan kami ingin menjadi
bagian dari keindahan itu. Itulah sebabnya ketika Plutarch naik pitam mengenai
baju pengantin, aku mengajukan diri untuk mengajak Annie ke rumahku di 12, di
sana Cinna meninggalkan banyak gaun malam di lemari penyimpanan besar di lantai
bawah. Semua gaun pengantin yang dirancang Cinna untukku sudah dibawa ke
Capitol, tapi ada beberapa pakaian yang kupakai di Tur Kemenangan.
Aku agak sangsi soal Annie karena yang kutahu
tentang dia cuma Finnick mencintainya dan semua orang menganggapnya gila. Di
dalam pesawat ringan, aku memutuskan bahwa dia lebih bisa dibilang tidak stabil
daripada gila. Dia tertawa di bagian obrolan yang salah lalu terdiam begitu
saja. Mata hijaunya tertuju pada titik tertentu dengan intensitas yang berusaha
kaupahami ketika yang dilihatnya hanyalah udara kosong. Kadang-kadang, tanpa
alasan, kedua tangannya menekan telinganya seakan ingin menghalau suara yang
menyakitkan. Baiklah, dia memang aneh, jika Finnick mencintainya, itu sudah
cukup buatku.
Aku mendapat izin agar tim persiapanku ikut
serta, jadi aku tidak perlu membuat keputusan-keputusan dalam bidang fashion.
Ketika aku membuka lemari, kami Iangsung terdiam karena kehadiran Cinna terasa
amat kuat dalam kain-kain yang terhampar di sana. Lalu Octavia jatuh berlutut,
mengeluskan rok di lemari ke pipinya, kemudian menangis terisak. “Sudah lama
sekali,” isaknya, “aku tidak melihat barang-barang indah,”
Meskipun ada keengganan dari sisi Coin bahwa
pernikahan ini terlalu mewah dan dari sisi Plutarch yang bilang ini terlalu
hemat, pernikahan tersebut jadi acara yang memukau. Tiga ratus tamu yang
beruntung dipilih dari 13 dan banyak pengungsi yang memakai pakaian mereka
sehari-hari, dekorasi-nya dibuat dari dedaunan musim gugur, musiknya berasal
dari paduan suara anak-anak yang diiringi pemain biola yang berhasil lolos dari
12 dengan membawa biolanya. Jadi pernikahan ini sederhana, hemat kalau menurut
standar Capitol. Tapi semua itu tidak penting karena tak ada yang bisa menyaingi
keindahan pasangan pengantin.
Bukan
karena baju indah pinjaman—Annie memakai gaun sutra hijau yang ku-pakai di 5,
Finnick memakai salah satu jas Peeta yang sudah disesuaikan ukurannya—meskipun
pakaian yang mereka pakai memesona. Siapa yang tidak bisa melihat betapa
berbinarnya wajah pasangan pengantin ini, hingga nyaris berkilau saking terang
binarnya? Dalton, peternak dari 10, menjadi pemimpin upacara pernikahan ini,
karena tata cara Distrik 4 mirip de-ngan distriknya. Tapi ada sentuhan unik
dari Distrik 4. jaring yang dianyam dari rumput-rumput panjang yang menaungi
kepala pasangan pengantin selama mengucapkan janji mereka, saling menyentuh
bibir satu sama lain dengan air laut, lagu pernikahan kuno, yang menyamakan
pernikahan dengan perjalanan laut.
Tidak, aku tidak perlu berpura-pura bahagia
untuk mereka.
Setelah ciuman yang mengesahkan ikatan
pernikahan mereka, dan bersulang dengan sari buah apel, pemain biola memainkan
nada yang membuat semua penduduk dari 12 menoleh. Kami mungkin distrik paling
miskin dan paling kecil di Panem, tapi kami tahu caranya menari. Dalam jadwal
acara pernikahan saat ini adalah acara bebas, tapi Plutarch yang mengatur propo
dari ruang kendali, pasti berharap kami melakukan sesuatu. Dengan sigap, Greasy
Sae menarik tangan Gale dan membawanya ke bagian tengah ruangan dan berdiri
berhadapan dengannya. Orang-orang mulai bergabung denganya, membentuk dua
baris. Dan tarian pun dimulai.
Aku berdiri di pinggir, bertepuk tangan
sesuai irama, ketika sebuah tangan kurus mencubit bagian atas sikuku. Johanna
mengomel padaku. “Kau mau melewatkan kesempatan menunjukkan tarianmu pada
Snow?” Dia benar. Apa lagi yang bisa menyuarakan kemenangan lebih lantang
daripada Mockingjay yang bahagia berputar menari diiringi musik? Aku melihat Prim
di antara kerumunan orang. Karena malam-malam musim dingin memberi kami banyak
waktu latihan, aku dan Prim adalah pasangan menari yang bagus. Aku mengabaikan
kekuatiran Prim terhadap rusukku, dan kami ikut berbaris. Rusukku sakit, tapi
kepuasan membayangkan Snow melihatku menari bersama adik perempuanku membuat
rasa sakit itu lenyap tak berbekas.
Tarian mengubah kami. Kami mengajari tamu-tamu
dari Distrik 13 langkah-langkahnya. Kami berkeras memaksa pengantin pria dan
wanita ikut menari. Tangan-tangan yang bertaut bergandengan membentuk lingkaran
besar yang berputar dan orang-orang memamerkan tarian dengan gerakan kaki.
Sudah lama tak ada peristiwa yang konyol, menggembirakan, dan menyenangkan
semacam ini. Tarian ini bisa berlangsung sepanjang malam jika tak ada acara
terakhir yang direncanakan dalam propo Plutarch. Aku tidak tahu acara apa, tapi
kudengar ini akan jadi kejutan.
Empat orang mendorong kue pengantin besar
dari samping ruangan. Sebagian besar tamu mundur, memberi jalan pada kue
pengantin indah berwarna biru-hijau, dengan lapisan berupa gelombang putih
dengan ikan yang berenang dan perahu layar, anjing-anjing laut dan bunga-bunga
laut. Tapi aku desakkan diriku melewati kerumunan orang untuk memastikan apa
yang sudah kuketahui sejak pertama kali melihat kue tersebut. Sama pastinya
seperti aku yakin pada bordiran yang ada di gaun Annie adalah hasil buatan
tangan Cinna, bunga-bunga hiasan di kue itu adalah buatan tangan Peeta.
Mungkin ini cuma hal kecil, tapi hasilnya
luar biasa. Haymitch menyimpan banyak rahasia dariku. Anak lelaki yang terakhir
kulihat, yang menjerit-jerit, berusaha melepaskan diri dari ikatannya, takkan
pernah bisa membuat kue semacam ini. Dia harus bisa fokus, menjaga tangannya
tetap mantap, dan merancang sesuatu yang sempurna seperti ini untuk Finnick dan
Annie. Seakan mengantisipasi reaksiku, Haymitch berdiri di sampingku.
“Mari kita bicara,” katanya.
Di
koridor, jauh dari kamera, aku bertanya, “Apa yang terjadi padanya?”
Haymitch menggeleng. “Aku tidak tahu. Tak
seorang pun tahu. Kadang-kadang dia terlihat rasional, lalu tiba-tiba tanpa ada
alasan, dia kumat lagi. Membuat kue seperti terapi untuk-nya. Dia sudah
membuatnya selama berhari-hari. Melihatnya… dia tampak seperti sebelumnya.”
“Jadi dia sudah keluar jalan-jalan di tempat
ini?” tanyaku. Pikiran itu membuatku gelisah dalam banyak hal.
“Oh, tidak. Dia menghias kue dalam peniagaan
ketat. Dia masih dikurung di ruang terkunci. Tapi aku sudah bicara dengannya”.
Kata Haymitch.
“Behadapan langsung?” tanyaku. “Dan dia tidak
ngamuk?”
“Tidak. Marah padaku, tapi karena alasan-alasan
yang benar. Karena aku tidak memberitahunya tentang rencana pemberontak dan apa
saja yang kusembunyikan.” Haymitch terdiam sejenak, seakan ingin memutuskan
sesuatu. “Dia bilang dia ingin bertemu dengamu.”
Aku berada di atas kapal layar hiasan itu,
terombang-ambing di atas gelombang biru-hijau, geladak bergerak di bawah
kakiku. Kedua telapak tanganku menekan dinding agar aku bisa menguatkan diri.
ini bukan bagian dari rencana. Aku sudah mencoret nama Peeta di Distrik 2.
Kemudian aku akan ke Capitol, membunuh Snow, dan membiarkan diriku ditangkap.
Luka tembakku hanyalah kemunduran sementara. Aku tak pernah mengira akan
mendengar kata-kata Dia bilang dia ingin bertemu denganmu. Tapi sekarang aku
sudah mendengarnya, dan tak ada alasan untuk menolaknya.
®LoveReads
Pada tengah malam, aku berada di luar pintu
selnya. Kamar rumah sakit. Kami harus menunggu Plutarch selesai menyusun
potongan-potongan rekaman acara pernikahan, yang meskipun menurutnya kurang
gaduh, tapi tetap membuatnya senang. “Pada dasarnya hal terbaik yang dihasilkan
oleh Capitol karena mengabaikan Dua Belas selama ini adalah orang-orang di sana
masih punya spontanitas. Penonton menerimanya bulat-bulat. Seperti saat Peeta
menyatakan cintanya padamu atau kau membuat tipuan dengan buah berry. Bagus untuk
ditayangkan di televisi.”
Aku berharap bisa bertemu Peeta berduaan
saja. Tapi serombongan dokter sudah berkumpul di balik kaca satu arah, siap
dengan buku catatan, dan bolpoin di tangan. Ketika Haymitch memberiku tanda oke
lewat alat pendengar, perlahan-lahan aku membuka pintu.
Mata birunya langsung memandangku
lekat-lekat. Ada tiga alat pengikat di masing-masing lengannya, dan tabung yang
bisa menyalurkan obat bius seandainya dia kehilangan kontrol. Namun dia tidak
berjuang untuk melepaskan diri, hanya memandangiku dengan tatapan cemas yang
dimiliki seseorang ketika berhadapan dengan mutt. Aku berjalan mendekat sampai
aku berdiri sekitar satu meter dari ranjang. Kedua tanganku menganggur, jadi
aku merangkul rusukku sebelum aku bicara. “Hei.”
“Hei,” sahutnya. Suaranya seperti suaranya,
nyaris seperti suaranya, namun ada sesuatu yang baru dalamnya. Nada mencela dan
curiga.
“Haymitch bilang kau ingin bicara denganku,”
kataku.
“Coba lihat dirimu.” Seakan-akan Peeta
menungguku berubah menjadi serigala jejadian di depannya. Dia memandangiku lama
hingga aku melirik sembunyi-sembunyi ke kaca satu arah, berharap mendapat
petunjuk dari Haymitch, tapi alat pendengarku tetap hening. “Tubuhmu tidak
besar, ya? Kau juga tidak terlalu cantik?”
Aku tahu Peeta sudah melalui derita panjang
hingga neraka dan kembali lagi ke bumi, namun komentarnya terhadap diri-ku
membuatku tersinggung. “Yah, kau sendiri tidak setampan dulu.”
Saran Haymitch yang menyuruhku mundur
tersamar oleh suara tawa Peeta. “Dan sikapmu sama sekali tidak manis. Bicara
begitu padaku setelah apa yang kulalui.”
“Yeah. Kita sudah melewati banyak hal. Dan
kau yang biasanya dikenal dengan sikap baikmu. Bukan aku.” Semua tindakanku
salah. Aku tak tahu kenapa aku merasa amat defensif. Dia sudah disiksa! Dia
sudah dibajak! Ada apa denganku? Tiba-tiba, aku merasa hendak
meneriakinya—meski-pun aku tak yakin apa alasannya—jadi aku memutuskan untuk
keluar dari topik itu. “Dengar, aku tidak enak badan. Mungkin aku mampir kemari
lagi besok.”
Aku baru sampai ke pintu ketika suara Peeta
menghentikan langkahku. “Katniss. Aku ingat tentang roti itu.”
Roti. Momen hubungan nyata kami sebelum
Hunger Games.
“Mereka menunjukkan rekaman ketika aku bicara
tentang roti itu?” tanyaku.
“Tidak. Apakah ada rekama kau
membicarakannya? Kenapa Capitol tidak menggunakannya untuk mengacaukanku?”
tanyanya.
“Aku membuatnya pada hari kau diselamatkan,”
jawabku. Rasa sakit dadaku membelit rusukku seperti tanaman rambat. Menari
adalah kesalahan. “jadi apa yang kauingat?”
“Kau. Di bawah hujan,” katanya lembut.
“Mengorek-ngorek tempat sampah. Roti yang hangus. Ibuku memukulku. membawa roti
keluar untuk diberikan pada babi tapi aku malah memberikannya untukmu.”
“Betul. Itulah yang terjadi,” kataku.
“Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku ingin berterima kasih padamu. Tapi aku
tidak tahu bagaimana caranya.”
“Kita ada di luar sesudah jam pulang sekolah.
Aku berusaha memandang matamu. Kau memalingkan wajahmu. Lalu… entah apa
alasannya, kupikir kau memungut bunga dandelion.” Aku mengangguk. Ternyata dia
ingat. Aku tak pernah menceritakan momen itu pada siapa pun. “Aku pasti sangat
mencintaimu.”
“Memang.” Suaraku pecah dan aku pura-pura
batuk.
“Dan apakah kau mencintaiku?” tanyanya.
Mataku tetap memandangi ubin di lantai.
“Semua orang bilang aku mencintaimu. Semua orang bilang itu sebabnya Snow
menyiksamu. Untuk menghancurkanku.”
“Itu bukan jawaban,” kata Peeta. “Aku tak
tahu harus berpikir apa ketika mereka menunjukkan padaku sebagian rekamannya.
Dalam arena pertama, sepertinya kau berusaha membunuhku dengan tawon penjejak.”
“Aku berusaha membunuh kalian semua,” kataku.
“Kau membuatku terperangkap di atas pohon.”
“Selanjutnya, ada banyak ciuman. Sepertinya
ciuman darimu tidak tulus. Apakah kau suka menciumku?” tanyanya.
“Kadang-kadang,” aku mengakui. “Kau tahu kan
orang-orang mengawasi kita sekarang?”
“Aku tahu. Bagaimana dengan Gale?” Peeta
lanjut bertanya.
Kemarahanku timbul kembali. Aku tidak peduli
pada pemulihannya—ini bukan urusan orang-orang di balik kaca. “Ciumannya juga
tidak buruk,” jawabku tak lama kemudian.
“Dan oke-oke saja denga kami berdua? Kau
mencium pria lain?” tanyanya.
“Tidak. Tidak oke-oke saja dengan kalian
berdua. Tapi aku tidak meminta izinmu,” kataku.
Peeta tertawa lagi, dingin, dan tak acuh.
“Hmm, kau memang luar biasa, ya?”
Haymitch tidak protes ketika aku berjalan
keluar dari kamar. Berjalan menuju koridor. Melewati deretan kompartemen.
Menemukan pipa yang hangat di balik ruang cuci. Butuh waktu lama untuk tahu
kenapa aku amat kesal. Terlalu mengerikan mengakui apa yang kulakukan. Selama
berbulan-bulan aku tidak menghargai pemikiran Peeta yang menganggapku hebat,
dan kini berakhir sudah. Akhirnya, dia bisa melihat siapa diriku sebenarnya.
Kejam. Tak bisa dipercaya. Manipulatif. Mematikan.
Dan aku membenci Peeta karenanya.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 16"
Posting Komentar