BAB 15
MAKSUD dan akibat dari saran Gale menyesap
perlahan-lahan dalam ruangan. Reaksinya tergambar jelas di wajah orang-orang di
sana. Ekspresinya bermacam-macam, mulai dari senang sampai gelisah, dari sedih
sampai puas.
“Mayoritas pekerja adalah penduduk dari
Distrik Dua,” kata Beetee berusaha netral.
“Memangnya kenapa?” tanya Gale. “Kita takkan
pernah bisa memercayai mereka lagi.”
“Paling tidak, beri mereka kesempatan untuk
menyerah,” kata Lyme.
“Itu kemewahan yang tak diberikan pada
Distrik Dua Belas ketika mereka membumihanguskannya, tapi kalian di sini hidup
lebih nyaman bersama Capitol,” ujar Gale. Melihat wajah Lyme, kupikir dia akan
menembak Gale, atau paling tidak menonjoknya. Mungkin Lyme malah lebih unggul
daripada Gale dengan segala latihan yang dijalaninya. Tapi kemarahan Lyme
justru makin menyulut emosi Gale hingga dia berteriak, “Kami melihat anak-anak
tewas terbakar dan tak ada yang bisa kami lakukan!”
Aku harus memejamkan mataku sesaat, ketika
bayangan-bayangan itu melintas di depan mataku. Bayangan tersebut menghasilkan
efek yang diinginkan. Aku ingin semua orang di gunung itu mati. Aku hendak
mengatakannya. Tapi aku kemudian ingat … aku juga gadis dari Distrik 12. Bukan
Presiden Snow. Aku tidak bisa menahan diriku. Aku tidak bisa menjatuhkan
hukuman mati pada siapa pun sebagaimana yang disarankan Gale.
“Gale,”
kataku, sambil merangkul len gannya dan berusaha bicara dengan nada yang logis.
“Nut adalah tambang tua. Ini seperti menimbulkan kecelakaan tambang batu bara
yang dahsyat.” Pastinya kata -kata ini cukup untuk membuat semua orang dari 12
be rpikir dua kali tentang rencaa ini.
“Tapi tidak secepat kecelakaan tambang yang
membunuh ayah kita,” tukasnya. “Apakah ini yang jadi masalah semua orang? Bahwa
musuh kita mungkin punya waktu beberapa jam untuk merenungi kenyataan bahwa
mereka sedang sekarat, bukannya langsung hancur berkeping-keping?”
Dulu, ketika kami cuma anak-anak yang berburu
di luar 12, Gale sering mengucapkan kata-kata seperti ini, terkadang lebih
buruk. Tapi pada masa itu kata-kata hanyalah kata-kata. Di sini, kata-kata
dipraktikka, dan jadi perbuatan yang takkan pernah bisa ditarik lagi.
“Kau tidak tahu bagaimana orang-orang dari
Distrik Dua bisa berada di Nut,” kataku. “Mereka mungkin dipaksa. Mereka
mungkin ditahan di sana, bukan karena keinginan mereka mungkin ditahan di sana
juga mata-mata kita. Apakah kau akan membunuh mereka juga?”
“Ya, aku akan mengorbankan beberapa orang,
untuk menyingkirkan sisanya,” sahut Gale. “Dan jika aku mata-mata di sana, aku
akan bilang, ‘Luncurkan saja longsornya!’”
Aku tahu Gale bicara jujur. Bahwa dia akan
mengorbankan hidupnya seperti ini demi tujuan yang lebih besar—tak ada seorang
pun yang meragukannya. Mungkin kami semua akan melakukan hal yang sama jika
kami jadi mata-mata dan kami diberi pilihan semacam itu. Kurasa aku juga
begitu. Tapi ini adalah keputusan yang kejam jika kami memutuskannya bagi orang
lain dan mereka yang mencintainya.
“Kau bilang kita punya dua pilihan,” kata
Boggs pada Gale. “Memerangkap mereka atau mengusir mereka keluar. Menurutku
kita coba melongsorkannya tapi kita tidak perlu menutup terowongan kereta.
Orang-orang bisa melarikan diri ke alun-alun, di sana kita akan menunggu
mereka.”
“Kuharap kita bersenjata lengkap,” kata Gale.
“Kalian bisa memastikan bahwa mereka akan bersenjata.”
“Mari kita beritahu Tiga Belas tentang
rencana ini,” kata Beetee. “Biar Presiden Coin ikut memberi masukan.”
“Dia akan menutup terowongan,” kata Gale
yakin.
“Ya, kemungkinan besar begitu. Tapi kau tahu
tidak, Peeta ada benarnya dalam propo-propo-nya. Tentang bahayanya membunuh
orang-orang kita sendiri. Aku sudah menghitung-hitung. Menyusun jumlah korban
tewas dan terluka dan… kupikir paling tidak kita harus membicarakannya,” kata
Beetee.
Hanya beberapa orang yang diundang untuk jadi
bagian percakapan itu. Aku dan Gale dilepaskan bersama yang lain. Kuajak Gale
berburu agar dia bisa menyalurkan emosnya, tapi dia tidak mau membicarakannya.
Mungkin dia terlalu marah padaku karena melawannya.
Akhirnya terjadi juga, keputusan sudah
diambil, dan pada sore hari aku sudah memakai pakaian Mockingjay, dengan busur
yang tersampir di bahuku dan alat pendengar yang menghubungkanku dengan
Haymitch di 13—untuk berjaga-jaga seandainya ada kesempatan bagus untuk propo.
Kami menunggu di atap Gedung Pengadilan agar bisa memandang sasaran dengan
jelas.
Pesawat-pesawat ringat kami pada awalnya
diabaikan oleh para pemimpin di Nut, karena di masa lalu mereka cuma dianggap
lalat yang terbang di atas stoples madu. Tapi setelah dua kali pengeboman di
bagian atas gunung, pesawat-pesaewat itu menarik perhatian mereka. Pada saat
senjata-senjata antipesawat Capitol mulai menembak, semuanya sudah terlambat.
Rencana Gale berhasil melebihi perkiraan
semua orang. Beetee benar tentang tak ada seorang pun yang bisa mengendalikan
longsor begitu dimulai. Lereng-lereng gunung pada dasarnya tidak stabil, tapi
ledakan-ledakan tadi membuatnya makin lemah, seh ingga tampak seakan mencair.
Seluruh bagian Nut runt uh di hadapan kami, menghapus petunjuk bahwa man usia
pernah ada di tempat itu. Kami berdiri kehilangan kata-kata, merasa kecil dan
tak berarti, ketika gelomba ng bebatuan menggelinding turun di sepanjang
lereng. Mengubur jalan masuk dengan jutaan bebatuan. Awan berdebu dan
puing-puing membuat langit jadi gelap. Mengubah Nut menjadi kuburan.
Kubayangkan neraka di dalam gunung itu.
Sirene meraung-raung. Lampu berkedip-kedip lalu gelap. Debu dari runtuhnya
bebatuan menyergap udara. Jeritan panik, terperangkap selagi pontang-panting
mencari jalan keluar, hanya untuk menemukan bahwa jalan masuk, landasan
peluncuran, dan lubang ventilasi tersumbat tanah dan batu yang masuk makin
dalam. Kabel-kabel mencelat keluar, api menjalar, reruntuhan membentuk jalur
yang simpang-siur. Orang-orang saling mendorong mendesak, berhamburan seperti
selimut ketika bukit sarangnya diruntuhkan, hendak meremukkan tempat pelindungan
mereka yang rapuh.
“Katniss!” Suara Haymitch terdengar di alat
pendengarku. Aku berusaha menjawab ketika kusadari tanganku menutup mulutku
erat-erat. “Katniss!”
Pada hari ayahku tewas, sirine berbunyi pada
jam makan siang di sekolah. Tak ada seorang pun yang mengunggu izin pulang dari
sekolah, dan sekolah pun tidak berharap anak-anak meminta izin. Respons
terhadap kecelakaan tambang berada di luar kendali siapa pun, bahkan Capitol
sekalipun. Aku lari ke kelas Prim. Aku masih mengingatnya, bertubuh mungil pada
usia tujuh tahun, sangat pucat, tapi duduk tegak dengan tangan terlipat di atas
meja. Menungguku menjempunya seperti yang kejanjikan seandainya sirine
berbunyi. Dia melesat turundari kursinya, menarik lengan bajuku, dan kami
bergerak di antara arus manusia yang keluar ke jalan menuju jalan masuk tambang
yang dipenuhi orang-orang yang menunggu. Kami melihat ibu kami memegang
erat-erat tali yang dipasang untuk memagari kerumunan massa. Jika kupikirkan
kembali, seharusnya saat itu aku tahu ada masalah, karena kenapa kami yang
mencari Ibu, bukankah seharusnya Ibu yang mencari kami?
Evalator-evalator menderit, naik-turun tak
kenal lelah ketika mereka memuntahkan pekerja-pekerja tambang yang hitam kena
asap ke atas tanah yang siang benderang. Diiringi pekik kelegaan, saak saudara
berjalan ke bawah tali untuk menjemput suami-suami, istri-istri, anak-anak, dan
saudara-saudara mereka. Kami berdiri dalam udara yang dingin menggigil ketika
senja pun tiba, salju yang ringan mulai mengotori tanah. Evalator bergerak
makin pelan sekarang dan mengangkut makin sedikit orang. Aku berlutut di tanah,
kedua tanganku menekan sisa arang, berharap bisa menarik ayahku keluar dari
tambang. Aku tak tahu apakah ada perasaan tak berdaya lebih daripada perasaan
berusha menggapai seseorang yang kaucintai yang terperangkap di bawah tanah.
Mereka yang terluka. Mayat-mayat. Menunggu sepanjang malam. Orang asing yang
menyelimuti bahumu. Secangkir minuman panas entah apa isinya yang tak kauminum.
Akhirnya, pada dini hari, ekspresi duka di wajah pemimpin penambang yang hanya
bisa diartikan satu hal.
Apa yang baru kami lakukan?
“Katniss? Kau ada di sana?” Haymitch mungkin
sudah berencana untuk memasangkan belenggu kepala padaku saat ini.
Kuturunkan kedua tanganku. “Ya.”
“Cepat masuk. Untuk berjaga-jaga seandainya
Capitol berusaha membalas serangan dengan sisa angkatan udaranya.” Perintah
Haymitch.
“Ya,” ulangku.
Semua
orang yang berada di atap, kecuali mereka yang memegang senapan mesin mulai
bergerak masuk. Ketika aku menuruni tangga, aku tak bisa menahan diri untuk
tidak menyentuh dinding marmer yang putih bersih. Dinding itu dingin dan indah.
Bahkan gedung di Capitol pun tak bisa menandingi kemegahan gedung tua ini. tapi
tak ada yang bisa diberikan oleh keindahan ini—hanya kulitku yang takluk dengan
menyerahkan kehangatannya. Batu mengalahkan manusia, selalu.
Aku duduk di dasar salah satu pilar raksasa
di ruang depan lantai marmer yang luas menuju tangga ke alun-alun. Aku ingat
betapa muaknya aku dan Peeta ketika menerima ucapan selamat di sana karena
telah memenangkan Hunger Games. Lelah karena Tur Kemenangan, gagal dalam
usahaku menenangkan distrik-distrik, menghadapi kenangan tentang Clove dan
Cato, terutama kematian Cato yang pelan-pelan dan mengerikan oleh para mutt.
Boggs berjongkok di sampingku, kulitnya yang
pucat tampak di balik bayangan. “Asal kau tahu ya, kita tidak mengebom
terowongan kereta api. Sebagian dari mereka mungkin berhasil keluar.”
“Lalu kita tembak saat mereka menunjukkan
wajah mereka?” tanyaku.
“Hanya jika memang perlu,” jawabnya.
“Kita bisa mengirim kereta ke gunung.
Membantu evakuasi mereka yang terluka,” kataku.
“Tidak. Sudah diputuskan untuk membiarkan
terowongan di tangan mereka. Dengan cara itu mereka bisa menggunakan semua
jalur kereta untuk membawa orang-orang keluar,” kata Boggs. “Selain itu, kita
jadi punya waktu untuk menyiapkan sisa pasukan kita di alun-alun.”
Beberapa jam lalu, alun-alun adalah tanah tak
bertuan, garis depan pertempuran antara para pemberontak dan Penjaga
Perdamaian. Ketika Coin memberi persetujuan untuk rencana Gale, para
pemberontak meluncurkan serangan dan memaksa tentara Capitol mundur beberapa
blok agar kami bisa mengontrol stasiun kereta jika Nut jatuh. Nah, sekarang Nut
sudah jatuh. Kenyataannya mulai masuk ke kepala. Orang-orang yang selamat dari
longsor akan kabur ke alun-alun. Aku bisa mendengar baku tembak dimulai lagi,
ketika pasukan Penjaga Perdamaian pasti berusaha menyerbu untuk bisa menolong
rekan-rekan mereka. Pasukan kami juga ikut disertakan untuk menahan serbuan
ini.
“Kau dingin,” kata Boggs. “Coba kucarukan
selimut.” Dia pergi sebelum aku sempat protes. Aku tidak mau selimut, bahkan
jika marmer terus mengisap panas tubuhku.
“Katniss,” kata Haymitch di telingaku.
“Masih di sini,” jawabku.
“Ada kerjaan menarik dengan Peeta siang ini.
kupikir kau mau tahu,” katanya. Menarik tidak berati bagus. Tidak berati lebih
baik. Tapi aku tak punya pilihan lain selain mendengarkan. “Kami menunjukkan
padanya video kau sedang menyanyikan lagu Pohon Gantung. Video itu tak pernah
ditayangkan, jadi Capitol tak bisa menggunakannya ketika mereka membajak Peeta.
Peeta bilang dia mengenali lagu itu.”
Selama sedetik, jantungku seakan berhenti.
Lalu aku sadar bahwa dia mengalami kebingungan karena serum tawon penjejak.
“Dia tidak mungkin tahu, Haymitch. Dia tak pernah mendengarku menyanyikan lagu
itu.”
“Bukan kau. Ayahmu. Peeta pernah mendengar
dia menyanyikannya ketika ayahmu datang ke toko roti untuk berbarter. Peeta
masih kecil, mungkin umurnya sekitar enam atau tujuh tahun, tapi dia
mengingatnya karena dia khusus mendengarnya untuk melihat apakah burung-burung
benar berhenti bernyanyi,” kata Haymitch. “Kurasa memang benar burung berhenti
bernyanyi.”
Enam atau tujuh tahun. Itu pasti sebelum
ibuku melarang lagu tersebut. Mungkin pada saat aku mempelajari lagu itu.
“Apakah aku juga ada di sana?”
“Kurasa tidak. Dia tidak menyebut keberadaanmu.
Tapi itu hubungan pertama denganmu yang tidak memicu kehancuran mentalnya,”
kata Haymitch. “Paling tidak, itu ada artinya, Katniss.”
Ayahku. Sepertinya dia berada di mana-mana
hari ini. tewas di tambang. Bernyanyi menuju kesadaran Peeta yang kacau. Hadir
di dalam tatapan Boggs ketika dengan penuh perlindungan dia membungkus bahuku
dengan selimut. Aku merindukan ayahku hingga nyeri rasanya.
Baku tembak berlangsung sengit di luar. Gale
bergegas bersama sekelompok pemberontak, tak sabar masuk ke medan perang. Aku
tidak mengajukan diri untuk bergabung dengan pejuang dalam perang, lagi pula
mereka takkan mengizinkanku. Aku tak sanggup melakukannya, darahku tak cukup
panas. Kuharap Peeta ada di sini—Peeta yang lama—karena dia akan bisa mengatakan
dengan jelas kenapa salah melakukan baku tembak ketika orang-orang, siapa pun
orangnya, berusaha keluar dari gunung dengan susah payah. Atau sejarah hidupku
yang membuatku terlalu sensitif? Bukankah kami sedang berperang? Bukankah ini
Cuma satu cara untuk membunuh musuh kami?
Malam tiba dengan cepat. Lampu-lampu sorot
yang terang dan besar dinyalakan menerangi alun-alun. Pasti semua lampu
dinyalakan dengan kekuatan penuh di dalam stasiun kereta. Bahkan dari posisiku
di seberang alun-alun, aku bisa melihat dengan jelas dari balik kaca bening
tebal di bagian depan gedung yang panjang dan sempit. Tidak mungkin para
prajurit tidak melihat kedatangan kereta atau bahkan kedatangan satu orang.
Tapi jam berlalu dan tak ada seorang pun yang keluar. Seiring waktu berlalu,
makin sulit bagiku membayangkan ada orang yang bisa selamat dari serangan
terhadap Nut.
®LoveReads
Sudah lewat tengah malam ketika Cressida
datang menempelkan mikrofon khusus di kostumku. “Untuk apa ini?” tanyaku.
Terdengar suara Haymitch memberikan
penjelasan. “Aku tahu kau takkan menyukainya, tapi aku butuh kau untuk
berpidato.”
“Pidato?” tanyaku, mendadak merasa mual.
“Aku akan mendiktekannya padamu, kata demi
kata,” Haymitch menenangkanku. “Kau hanya perlu mengulang apa yang kukatakan. Dengar,
tak ada tanda-tanda kehidupan dari gunung itu. Kita sudah menang, tapi
perjuangan terus berlanjut. Jadi kami pikir, kau bisa keluar ke tangga Gedung
Pengadilan dan menyatakan dengan jelas—mengatakan pada semua orang bahwa Nut
sudah ditaklukkan, bahwa kekuasaan Capitol di Distrik Dua sudah berakhir—kau
mungkin bisa membuat sisa tentara mereka menyerah.”
Aku menyipitkan mata memandang kegelapan di
luar alun-alun. “Aku bahkan tidak bisa melihat tentara mereka.”
“Itulah gunanya mirkrofon,” kata Haymitch.
“Kau akan disiarkan, suaramu disiarkan melalui sistem audio darurat mereka, dan
fotomu akan mucul di hadapan orang yang berada di depan layar.”
Aku tahu ada dua layar raksasa di alun-alun.
Aku melihatnya ketika Tur Kemenangan. Cara ini mungkin berhasil, jika aku jago
dalam urusan begini. Sayangnya aku tidak jago. Mereka berusaha memberikan
dialog ketika pertama kali mereka mencoba membuat propo, dan gagal total.
“Kau bisa menyelamatkan banyak nyawa,
Katniss,” kata Haymitch akhirnya.
“Baiklah. Akan kucoba,” aku menjawabnya.
Aneh rasanya berdiri di luar di puncak
tangga, memakai kostum lengkap, disorot lampu terang, tapi tanpa ada seorang
penonton pun yang kelihatan untuk mendengar pidatoku. Seakan-akan aku tampil
untuk bulan di atas sana.
“Kita buat cepat saja,” kata Haymitch. “Kau
terlalu terekspos.”
Kru televisiku, yang ditempatkan di alun-alun
dengan kamera-kamera khusus, memberi tanda bahwa mereka sudah siap. Kuberitahu
Haymitch untuk melanjutkan, lalu aku menghidupkan mikrofon dan mendengarkan
dengan saksama ketika Haymitch mendiktekan kalimat pertama dari pidatoku. Foto
besar diriku muncul di salah satu layar di alun-alun ketika aku mulai bicara.
“Penduduk Distrik Dua, ini Katniss Everdeen bicara pada kalian dari tangga
Gedung Pengadilanmu di mana…”
Dua rangkaian kereka berderit masuk
berdampingan. Ketika pintu-pintu kereta membuka, orang-orang berjatuhan keluar
dalam kabut asap yang dibawa dari Nut. Mereka pasti sudah punya firasat apa
yang menanti mereka di alun-alun karena mereka terlihat menghindari serangan.
Kebanyakan dari mereka tiarap di lantai, dan seburan peluru dari dalam gerbong
menembak ke lampu-lampu. Mereka datang bersenjata, seperti yang diperkirakan
Gale, tapi mereka juga datang dalam keadaan terluka. Erangan-erangan kesakitan
terdengar dalam udara malam yang hening.
Ada yang mematikan lampu-lampu di tangga,
membuatku bisa terlindung dalam bayangan gelap. Api memercik di dalam stasiyn
kereta—salah satu kereta pasti terbakar—dan asap hitam menerpa jendela. Tanpa
ada pilihan lain, orang-orang mulai bergerak ke alun-alun, tersedak asap namun
tanpa kenal menyerah melambaikan senjata mereka. Mataku memandang ke sekeliling
atap yang melingkari alun-alun. Di sepanjang atap dilengkapi dengan
pemberontak-pemberontak bersenapan mesin. Cahaya bulan terpantul di laras senapan
yang sudah diminyaki.
Seorang pemuda berjalan terhuyung-huyung
keluar dari stasiun kereta, satu tangannya memegangi kain berdarah di pipinya,
tangan lainnya menyeret senjata. Ketika dia terpeleset dan jatuh terjembab
dengan wajah terlebih dulu menyentuh tanah, aku melihat bekas terbakar di
bagian belakang kemejanya, daging merah meradang di baliknya. Dan tiba-tiba,
dia seperti korban yang terbakar dari kecelakaan tambang.
Kakiku melayang turun menjejak tangga dan aku
langsung berlari menghampirinya. “Stop!” aku berteriak kepada para pemberontak.
“Tahan tembakanmu!” kata-kataku bergema di sekeliling alun-alun dan di luar
sana karena mikrofon menambah keas suaraku. “Stop!” aku mendekati pemuda itu,
membungkuk membantunya, ketika dia berlutut dan menodongkan senjatanya ke
kepalaku.
Secara naluriah aku mundur beberapa langkah,
mengangkat busurku ke atas kepala untuk menunjukkan bahwa aku tidak berniat
jahat. Kini setelah dia memegang senjatanya dengan kedua tangan, aku
memperhatikan bahwa lubang di pipinya disebabkan sesuatu—mungkin batu yang
jatuh—menembus hingga ke dagingnya. Dia juga berbau hangus, rambut dan daging
dan bahan bakar. Tatapannya berkabut ketakutan dan kesakitan.
“Berhenti,” Haymitch berbisik di telingaku.
Aku mengikuti perintahnya, menyadari bahwa pasti inilah yang sedang dilihat
seluruh Distrik 2, mungkin malah seantero Panem. Nasib Mockingjay berada di
tangan seorang pria yang dalam keadaan nekat.
Ucapannya yang seperti orang kumur-kumur
nyaris tak bisa kupahami. “Beri aku satu alasan kenapa aku tidak harus
menembakmu.”
Seluruh dunia seakan berhenti. Hanya ada aku
yang memandang mata pria dari Nut yang kepayahan, yang menanyakanku satu
alasan. Tentunya aku bisa memberinya ribuan alasan. Tapi kata-kata yang teruap
dari bibirku adalah “Aku tak bisa.”
Berdasarkan logika, yang berikutnya terjadi
adalah pria itu menarik pelatuk. Tapi dia bingung berusaha memahami
kata-kataku, aku ikut merasakan kebingunganku ketika aku menyadari bahwa apa yang
kukatakan memang sepenuhnya benar, dan dorongan hatiku untuk bersikap mulia
yang membuatku berlari menyeberangi alun-alun digantikan rasa putus asa. “Aku
tak bisa. Itulah masalahnya, kan?” Kuturunkan busurku. “Kami meledakkan
tambangmu. Kau membumihanguskan distrikku. Kita punya banyak alasan untuk
saling membunuh. Jadi lakukan saja. Buat Capitol gembira. Aku sudah tidak mau
lagi membunuhi budak mereka,” Kujatuhkan busurku ke tanah dan kutendang pelan
dengan sepatu botku. Busurku meluncur melewati batu dan berhenti di lututnya.
“Aku bukan budak mereka,” gumam pemuda itu.
“Akulah budak mereka,” kataku. “Itu sebabnya
aku membunuh Cato… dan dia membunuh Thresh… dan dia membuhuh Clove… dan Clove
berusaha membunuhku. Terus berputar seperti lingkaran setan, dan siapa yang
menang? Bukan kita. Bukan distrik-distrik. Selalu Capitol yang menang. Tapi aku
muak jadi pion dalam permaina mereka.”
Peeta. Di atap pada malam sebelum Hunger
Games pertama kami. Dia memahaminya bahkan sebelum kami menjejakkan kaki di arena.
Kuharap Peeta menonton sekarang, agar dia mengingat kejadian malam itu, dan
mungkin bisa memaafkanku ketika aku mati.
“Teruslah bicara. Beritahu mereka tentang
melihat gunung yang longsor,” Haymitch berkeras.
“Ketika aku melihat gunung longsor malam ini,
kupikir… mereka berhasil melakukannya lagi. Membuatku membunuhmu—pendududuk di
distrik. Tapi kenapa aku melakukannya? Distrik Dua Belas dan Distrik Dua tidak
bermusuhan kecuali karena apa yang diberitahu Capitol.” Mata pemuda itu
berkedip memandangku tak mengerti. Aku berlutut di depannya, suaraku bernada
rendah dan mendesak. “Lalu kenapa kau berperang dengan para pemberontak yang
ada di atap? Melawan Lyme, yang adalah pemenangmu? Melawan orang-orang yang
adalah tetanggamu, bahkan mungkin masih ada hubungan keluarga denganmu?”
“Aku tidak tahu,” jawab pemuda itu. Tapi dia
tidak melepaskan moncong senjatanya dariku.
Aku berdiri lalu berbalik perlahan, menunjuk
senapan-senapa mesin di atap. “Dan kau yang ada di atas sana… aku berasal dari
kota tambang. Sejak kapan penambang menghabisi nyawa penambang lain dengan
kematian semacam itu, lalu menunggu untuk membunuh siapa pun yang berhasil
lolos dari reruntuhan?”
“Siapa musuh di sini?” bisik Haymicth.
“Orang-orang ini” —Aku menunjuk orang-orang
yang terluka di alun-alun—“bukanlah musuh kalian!” Aku berbalik lagi ke arah
stasiun kereta api. “Para pemberontak bukanlah musuh kalian! Kita semua punya
satu musuh yang sama, dan musuh kita adalah Capitol! Ini kesempatan kita untuk
mengakhiri kekuasaan mereka, tapi kita membutuhkan setiap orang di semua
distrik untuk melakukannya!”
Kamera-kamera menyorot wajahku lekat-lekat
ketika aku mengulurkan tanganku ke pemuda itu, kepada orang yang terluka,
kepada para pemberontak yang masih setengah hati di seantero Panem. “Mari!
Bergabunglah bersama kami!”
Kata-kataku menggantung di udara. Aku
memandang layar, berharap melihat mereka merekam semacam gelombang perdamaian
di antara kerumunan massa.
Namun malahan aku melihat diriku tertembak di
layar televisi itu.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 15"
Posting Komentar