Mockingjay Bab 11



BAB 11

  APA yang akan menghancurkanku?
  Ini pertanyaan yang menggerogotiku selama tiga hari berikutnya ketika kami menunggu untuk dilepaskan dari penjara yang mengamankan kami. Apa yang akan menghancurkanku hingga berkeping-keping hingga aku tak lagi bisa bangkit, tak lagi berguna? Aku tak memberitahu siapa pun tentang kegundahan hatiku ini, tapi hal ini terus menggerogoti hari-hariku dan merayap ke dalam mimpi-mimpi burukku.
  Empat rudal bunker jatuh selama masa perlindungan ini, semuanya berkekuatan besar, sangat merusak, tapi serangan itu tak mendesak. Bom-bom itu dijatuhkan dalam interval waktu yang panjang sehingga ketika kami mengira serangan berakhir, ledakan lain mengirimkan gelombang kejut hingga ke ulu hatimu. Rasanya bom ini lebih dirancang untuk membuat kami tetap terkunci dalam bunker daripada membinasa minta baterai tambahan—suatu pemborosan—untuk digunakan dalam permainan ini. Penduduk di 13 teramat butuh hiburan.
  Pada malam ketiga, saat kami bermain, pertanyaan yang menggangguku terjawab sudah. Kucing Gila jadi metafora situasiku. Aku Buttercup. Peeta, benda yang amat kuinginkan, adalah cahayanya. Selama Buttercup merasa dia punya kesempatan, menangkap cahaya yang selalu bergerak kabur dengan cakarnya, dia siap berperang. (Itulah keadaanku sejak aku meninggalkan arena, dengan Peeta dalam keadaan hidup.) Saat lampu padam, selama beberapa saat Buttercup tampak gelisah dan bingung, tapi dia kemudian pulih lalu melakukan kegiatan-kegiatan lain. (Itulah yang akan terjadi jika Peeta tewas.)
  Tapi satu hal yang membuat Buttercup bersemangat adalah ketika aku menyalakan senter tapi membuatnya tanpa harapan untuk bisa menjangkau cahaya tersebut, jauh tinggi di dinding, tak bisa dicapai dengan lompatannya. Dia belari di bawah dinding, melolong, dan tak bisa ditenangkan atau dialihkan perhatiannya. Dia tak berguna sampai aku memadamkan senter. (Itulah yang berusaha dilakukan Snow padaku sekarang, hanya saja aku tak tahu jenis permainan apa yang dilakukannya.)
  Mungkin kesadaran macam inilah yang diperlukan Snow. Sudah buruk bagiku memikirkan bahwa Peeta jadi miliknya sekarang dan disiksa untuk mendapat informasi tentang pemberontak. Tapi memikirkan bahwa dia sengaja disiksa untuk membuatku tak berdaya tak mampu kutanggung rasanya. Saat menyadari semua inilah pertahananku mulai hancur.
  Setelah Kucing Gila, kami diarahkan ke tempat tidur. Lampu hidup dan mati tak menentu; kadang-kadang lampu menyala terang benderang, kadang-kadang kami harus menyipitkan mata untuk bisa melihat dalam keremangan. Pada jam tidur mereka memadamkan lampu hingga nyaris gelap total dan menyalakan lampu-lampu jaga di masing-masing tempat tidur. Prim, yang memutuskan bahwa dinding ini akan bertahan, bergelung bersama Buttercup di ranjang bagian bawah. Ibuku mengambil ranjang atas. Aku menawarkan diri untuk tidur di ranjang tapi mereka membuatku tidur di matras di lantai karena aku sering bergerak-gerak saat tidur.
  Aku tidak bergerak-gerak sekarang, semua ototku kaku karena tegang berusaha menguatkan diri. Rasa sakit di hatiku kembali lagi, dan dari sana kubayangkan ada retakan kecil yang menyebar ke seluruh tubuhku. Menembus dadaku, turun ke kedua lengan dan kakiku, lalu wajahku, menyisakan retakan di sepanjang jalur yang dilewatinya. Satu hantaman lagi dari rudal bunker dan aku bisa pecah jadi serpihan tajam berkeping-keping.
  Ketika kebanyakan orang yang resah gelisah sudah tidur, dengan hati-hati aku melepas selimutku dan berjingkat-jingkat berjalan di gua sampai aku menemukan Finnick, merasa bahwa entah karena alasan apa dia akan mengerti. Dia duduk di bawah lampu jaga di ruangannya, menjalin talinya, bahkan tak berpura-pura tidur. Ketika aku berbisik padanya tentang rencana Snow untuk menghancurkanku, aku tersadar. Strategi ini bukan berita baru buat Finnick. Inilah yang menghancurkannya.
  “Ini yang mereka lakukan padamu dengan Annie, kan?”
  “Yah, yang jelas mereka tidak menangkapnya karena mereka pikir dia bisa menjadi sumber informasi,” katanya. “Mereka tahu aku tak pernah mengambil risiko dengan memberitahunya apa pun. Demi keamanannya sendiri.”
  “Oh, Finnick. Aku minta maaf,” kataku.
  “Tidak, aku yang minta maaf. Karena tidak memperingatkanmu,” Finnick memberitahuku.
  Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul. Aku terikat di ranjang, kalap karena marah dan sedih sehabis diselamatkan. Finnick berusaha menenangkanku tentang Peeta. “Mereka pasti segera tahu dia tidak tahu apa-apa. Dan mereka tidak akan membunuhnya jika mereka pikir mereka bisa memanfaatkannya untuk mendapatkanmu.”
  “Kau sudah memperingatkanku kok. Di pesawat ringan. Hanya saja ketika kau bilang mereka akan memanfaatkan Peeta untuk mendapatkanku, kupikir maksudmu adalah menjadikannya sebagai umpan. Entah bagaimana memancingku untuk datang ke Capitol,” kataku.
  “Seharusnya aku tidak bicara seperti itu. Sudah terlambat untuk membantumu. Karena aku tidak memperingatkanmu sebelum Quarter Quell, seharusnya aku tidak membocorkan cara kerja Snow.” Finnick menarik ujung talinya, dan ikatan yang rumit langsung menjadi tali yang lurus lagi. “Aku cuma tidak mengerti ketika aku bertemu denganmu. Setelah Hunger Games pertamamu kupikir semua urusan asmara itu cuma akting bagimu. Kami berharap kau meneruskan strategi itu. Tapi baru pada saat Peeta menghantam medan gaya dan nyaris tewas aku…” Finnick tampak ragu-ragu.
  Kupikirkan kembali kejadian di arena. Bagaimana aku menangis ketika Finnick menghidupkan Peeta kembali. Wajah bingung Finnick. Caranya menerima keanehan tingkah lakuku, menyalahkannya pada kehamilan pura-puraku. “Kau apa?”
  “Aku salah menilaimu. Kau memang mencintainya. Aku tidak tahu dengan cara apa kau mencintainya. Mungkin kau sendiri tidak tahu. Tapi siapa pun yang memperhatikanmu bisa melihat betapa kau amat menyayanginya.” kata Finnick lembut.
  Siapa pun? Pada kunjungan Snow sebelum Tur Kemenangan, dia menantangku untuk menghapus keraguan apa pun tentang cintaku pada Peeta. “Yakinkan aku,” kata Snow. Sepertinya, di bawah langit merah jambu yang panas dan Peeta berada di alam hidup dan mati, akhirnya aku melakukannya. Dan setelah melakukannya, aku memberinya senjata yang dia perlukan untuk menghancurkanku.
  Aku dan Finnick duduk lama dalam keheningan, memperhatikan ikatan terbentuk dan menghilang, sebelum aku bisa bertanya, “Bagaimana kau bisa bertahan?”
  Finnick memandangku tak percaya. “Aku tak bisa, Katniss. Jelas, aku tidak bisa. Aku menyeret diriku keluar dari mimpi buruk setiap pagi dan ternyata pada saat bangun pun aku tidak menemukan kelegaan.” Ada sesuatu di ekspresi wajahku yang menghentikan Finnick. “Lebih baik tidak menyerah. Butuh kekuatan sepuluh kali lipat untuk bisa menguatkan diri dibandingkan untuk gagal.”
  Yah, Finnick pasti tahu benar. Aku mengambil napas dalam-dalam, memaksa diriku kembali utuh.
  “Semakin kau bisa mengalihkan perhatianmu, semakin baik,” katanya. “Besok pagi-pagi sekali, kita cari tali untukmu. Untuk malam ini, ambil taliku.”
  Malam itu kuhabiskan di matras dengan membuat ikatan tanpa henti, mengangkatnya di depan Buttercup untuk dia periksa. Jika ada tali yang tampak mencurigakan, dia akan menariknya dari udara dan mengigitinya beberapa kali untuk memastikan tali itu sudah mati. Ketika pagi tiba, jari-jariku sakit, tapi aku masih bertahan.
  Setelah melewati 24 jam dengan tenang, Coin akhirnya mengumumkan bahwa kami boleh meninggalkan bunker. Kamar-kamar lama kami pasti sudah hancur kena bom. Semua orang harus mengikuti dengan tepat arahan menuju tempat tinggal yang baru. Kami membersihkan tempat tinggal kami, sebagaimana yang diperintahkan, lalu berbaris patuh menuju pintu.
  Belum sampai separuh jalan, Boggs muncul dan menarikku dari barisan. Dia memberi kode pada Gale dan Finnick untuk bergabung bersama kami. Orang-orang minggir dan membiarkan kami lewat. Beberapa orang bahkan tersenyum padaku, sejak permainan Kucing Gila aku jadi lebih disukai. Keluar dari pintu, menaiki tangga, menyusuri lorong menuju salah satu elevator yang bisa bergerak ke banyak arah, hingga akhirnya kami tiba di Pertahanan Khusus. Tak ada yang rusak di jalan yang kami lewati, tapi kami berada jauh di dalam tanah.
  Boggs mengantar kami menuju ruangan yang amat mirip dengan Ruang Komando. Coin, Plutarch, Haymitch, Cressida, dan semua orang yang ada di ruangan tersebut tampak kelelahan. Seseorang akhirnya menyeduh kopi—meskipun aku yakin kopi dianggap sebagai perangsang energi—dan Plutarch menangkupkan kedua tangannya ke sekeliling cangkir seakan cangkirnya bisa diambil kapan saja.
  Tak ada basa-basi. “Kami butuh kalian berempat bersiap-siap dan berada di atas tanah,” kata sang presiden. “Kalian punya dua jam untuk mengambil gambar yang menunjukkan kerusakan yang terjadi akibat pengeboman, menegaskan bahwa unit militer Tiga Belas tidak hanya berfungsi tapi juga berkuasa, dan yang terpenting Mockingjay masih hidup. Ada pertanyaan?”
  “Bolehkah kami minum kopi?” tanya Finnick. Cangkir-cangkir yang masih mengepulkan asap disodorkan ke arah kami. Aku memandang jijik kepada cairan hitam berkilau itu, tak pernah aku bisa menikmatinya, tapi aku berpikir kopi bisa membuatku tetap bangun. Finnick menuangkan sedikit krim ke dalam cangkirku dan mengambil mangkuk gula. “Mau gula?” tanyanya dengan suara merayunya yang dulu. Seperti itulah cara kami bertemu. Dikelilingi kuda-kuda dan kereta-kereta, kami sudah memakai kostum dan didandani untuk memu askan penonton, sebelum kami menjadi sekutu. Sebelum aku tahu apa yang membuatnya terpancing. Kenangan itu membuatku tersenyum. “Ini, rasanya lebih enak,” katanya dengan suara biasa, sambil mencemplungkan tiga potong gula ke cangkirku.
  Ketika aku naik untuk memakai pakaian Mockingjay, aku sempat menangkap lirikan Gale yang memandangku dan Finnick dengan tatapan tidak senang. Apa lagi sekarang? Apakah dia pikir ada apa-apa di antara kami? Mungkin dia melihatku ke tempat Finnick tadi malam. Aku melewati ruang keluarga Hawthorne. Kurasa itu yang membuatnya salah paham. Aku mencari Finnick untuk minta ditemani olehnya, bukan mencari Gale. Baiklah. Jemari perih kena tali, mataku nyaris tidak bisa terbuka, dan kru kamera menungguku untuk melakukan sesuatu yang brilian. Dan Snow menahan Peeta. Gale boleh berpikir sesuka hatinya.
  Di Ruang Tata Ulang yang baru dalam Pertahanan Khusus ini, tim persiapanku memakaikan baju Mockingjay, mengatur rambutku, dan memoles wajahku dengan makeup bahkan sebelum kopiku dingin. Dalam sepuluh menit, para pemain dan kru propo berikutnya berjalan memutar menuju dunia luar. Kuhirup kopiku sepanjang perjalanan, dan kudapati bahwa krim dan gula memang membuatnya makin enak. Saat minumanku sampai ke ampas yang ada di bagian bawah cangkir, aku merasakan sedikit semangat yang mengalir di dalam nadiku.
  Setelah menaiki anak tangga terakhir, Boggs memukul pengungkit yang membuka pintu jebak. Udara segar mengalir masuk. Kuhirup dalam-dalam udara itu dan untuk pertama kalinya kubiarkan diriku merasakan betapa bencinya aku pada bunker. Kami masuk ke dalam hutan, dan ketika tanganku menyentuh daun-daun yang ada di atas kepala kami. Sebagian daun mulai berubah warna. “Tanggal berapa sekarang?” tanyaku tidak pada siapa-siapa. Boggs memberitahuku bahwa minggu depan sudah masuk bulan September.
  September. Itu artinya Snow sudah menahan Peeta selama lima, mungkin enam minggu. Kuperhatikan dengan saksama daun di telapak tanganku dan kulihat tanganku mulai gemetar. Aku tak bisa memaksa diriku untuk berhenti gemetar. Aku menyalahkan kopi yang kuminum sebagai penyebabnya dan berusaha memusatkan perhatian untuk memperlambat napasku, yang terlalu cepat untuk gerakan langkahku saat ini.
  Puing-puing mulai mengotori tanah di hutan. Kami menemukan kawah bom pertama, lebarnya sekitar tiga puluh meter dan aku tidak tahu seberapa dalamnya. Sangat dalam pastinya. Boggs mengatakan siapa pun yang berada dalam sepuluh tingkat pertama pasti tewas. Kami menyusuri lubang besar itu, lalu melanjutkan perjalanan.
  “Bisakah kalian membangunnya lagi?” tanya Gale.
  “Tidak dalam waktu dekat. Bom itu tidak menimbulkan banyak kerugian. Hanya beberapa generator cadangan dan peternakan ayam,” kata Boggs. “Akan kita tutup saja lubang itu.”
  Pohon-pohon menghilang ketika kami memasuki wilayah di dalam pagar. Kawah-kawah bom diisi dengan campuran reruntuhan puing lama dan baru. Sebelum pengeboman, sangat sedikit bangunan di atas tanah di 13. Beberapa pos jaga. Area latihan. Tempatnya sekitar tiga meter di bagian paling atas gedung kami—tempat jendela Buttercup melongok keluar—dengan beberapa meter bangunan besi di atasnya. Terlihat bahwa serangan paling ringan pun takkan bisa ditahan oleh bangunan itu.
  “Berapa lama selisih waktu sejak anak itu memberi peringatan?” tanya Haymitch.
  “Sekitar sepuluh menit sebelum sistem kami mendeteksi serangan rudal,” kata Boggs.
  “Tapi peringatan itu membantu, kan?” tanyaku. Aku takkan sanggup mendengarnya jika dia menjawab tidak.
  “Tentu saja,” sahut Boggs. “Evakuasi penduduk sipil sudah selesai. Setiap detik sangat berarti ketika kau diserang. Sepuluh menit berarti banyak nyawa yang berhasil diselamatkan.”
  Prim, pikirku. Dan Gale. Mereka ada di bunker hanya beberapa menit sebelum rudal pertama menghantam kami. Peeta mungkin sudah menyelamatkan mereka. Tambahkan itu pada daftar utangku yang tak pernah habis pada Peeta.
  Cressida punya ide untuk merekamku di depan reruntuhan Gedung Pengadilan lama, yang sekalian jadi lelucon karena Capitol menggunakan gedung itu sebagai latar belakang siaran palsu selama bertahun-tahun, untuk menunjukkan bahwa distrik 13 tak ada lagi. Kini, dengan serangan yang baru-baru ini dilakukan, Gedung Pengadilan berada sepuluh meter jauhnya dari ujung kawah bom yang baru.
  Ketika kami mendekati bagian yang dulunya adalah pintu masuk utama, Gale menunjuk sesuatu dan semua orang memperlambat langkahnya. Mulanya aku tidak tahu apa masalahnya, lalu kulihat di tanah ada taburan bunga mawar merah dan pink yang masih segar. “Jangan sentuh!” aku berteriak. “Bunga-bunga ini ditujukan untukku!”
  Hidungku mencium bau yang memuakkan, dan jantungku mulai berdebar keras. Jadi aku tidak cuma membayangkannya. Bunga mawar di meja riasku. Di depanku ada kiriman kedua dari Snow. Bunga-bunga mawar indah bertangkai panjang berwarna merah dan pink, jenis bunga yang menghiasi panggung tempat aku dan Peeta melakukan wawancara setelah kemenangan kami. Bunga-bunga itu tidak untuk satu orang, tapi untuk sepasang kekasih.
  Aku memberi penjelasan sebaik mungkin pada yang lain. Setelah diperiksa, bunga-bunga itu tampaknya tidak berbahaya, cuma bunga-bunga yang merupakan hasil rekayasa genetika. Dua lusin bunga mawar. Agak layu. Kemungkinan besar ditaruh setelah pengeboman terakhir. Kru dengan pakaian khusus mengambil bunga-bunga itu dan membawanya pergi. Aku yakin mereka takkan menemukan keanehan di bunga-bunga tersebut. Snow tahu benar apa yang dilakukannya terhadapku. Seperti ketika dia menghajar Cinna sampai babak belur sementara aku hanya bisa memandanginya dari tabung peserta. Sengaja dirancang untuk membuatku tak berdaya.
  Seperti saat itu, aku berusaha mengerahkan tenaga dan melawan. Tapi karena Cressida sudah menyuruh Castor dan Pollux, aku merasa kegelisahanku makin bertambah. Aku sangat lelah, sangat tegang, dan tak bisa memikirkan hal lain selain Peeta sejak aku melihat bunga mawar itu. Kopi adalah kesalahan besar. Aku butuh pemicu lagi. Tubuhku sudah gemetar hebat dan napasku pun tersengal-sengal. Setelah berhari-hari di bunker, aku menyipitkan mata ke arah mana pun aku memandang, dan cahaya rasanya menyakitkan. Bahkan dalam udara sejuk saat ini, keringat menetes membasahi wajahku.
  “Jadi, apa tepatnya yang kaubutuhkan dariku?” tanyaku.
  “Hanya beberapa kalimat singkat yang menunjukkan kau masih hidup dan masih berjuang,” kata Cressida.
  “Baiklah.” Aku mengambil posisi lalu memandang titik merah di kamera. Memandanginya. Terus memandanginya. “Maaf, aku tidak punya kata-kata.”
  Cressida menghampiriku. “Kau baik-baik saja?”
  Aku mengangguk.
  Dia mengambil kain dari sakunya dan menepuk-nepuk pelan keringat di wajahku. “Bagaimana jika kita lakukan tanya-jawab?”
  “Yeah. Kurasa, itu bisa membantu.” Kusilangkan kedua tanganku di depan dada untuk menyembu nyikan gemetarku. Aku menoleh memandang Finnick, y ang mengangkat dua jempolnya padaku. Tapi dia juga tampak gemetar.
  Cressida kembali ke posisinya sekarang. “Jadi, Katniss. Kau selamat dari pengeboman di Tiga Belas. Bagaimana kau membandingkannya dengan apa yang kaualami di Delapan?”
  “Kami berada jauh di dalam tanah kali ini, jadi tak ada bahaya yang nyata. Tiga Belas masih hidup dan baik, demikian juga aku…” Suaraku mendadak terpotong hingga terdengar seperti mencicit.
  “Coba ucapkan kalimat itu lagi,” kata Cressida. “Tiga Belas hidup dan baik, demikian juga aku.”
  Aku mengambil napas dalam-dalam, berusaha memaksa udara masuk ke dalam diafragmaku. “Tiga Belas hidup dan…” Tidak, kedengarannya salah. Berani sumpah aku masih bisa mencium bau bunga mawarnya.
  “Katniss, hanya satu kalimat ini dan kau selesai untuk hari ini. Aku janji,” kata Cressida. “Tiga Belas hidup dan baik, demikian juga aku.”
  Aku menggoyang-goyangkan kedua tanganku supaya bisa lebih santai. Memukul-mukulkan tinjuku ke pahaku. Lalu aku berdiri dengan kedua tangan di samping tubuhku. Ludah mengisi mulutku dalam tingkat yang tak masuk akal dan aku merasakan muntah mendesak pangkal leherku. Aku menelan ludah dengan susah payah dan membuka mulut agar aku bisa mengucapkan kalimat bodoh itu lalu kembali bersembunyi di hutan dan—pada saat itulah aku mulai menangis.
  Tidak mungkin menjadi Mockingjay. Tidak mungkin aku mengucapkan satu kalimat singkat ini. Karena sekarang aku tahu segala yang kukatakan akan dilampiaskan langsung ke Peeta. Mengakibatkan dirinya disiksa. Tapi tidak mengantarnya menuju kematian, mereka tidak sampai semurah hati itu. Snow akan memastikan bahwa hidup Peeta jauh lebih buruk daripada kematian.
  “Cut,” aku mendengar suara pelan Cressida.
  “Ada apa dengannya?” bisik Plutarch.
  “Dia sudah tahu bagaimana cara Snow memanfaatkan Peeta,” kata Finnick.
  Terdengar semacam desah penyesalan dari orang-orang yang membentuk setengah lingkaran di depanku. Karena aku mengetahuinya sekarang. Karena tak mungkin aku bisa tak mengetahuinya lagi sejak saat ini. Karena, di balik kerugian militer karena kehilangan Mockingjay, aku tak pernah bisa utuh lagi.
  Beberapa pasang tangan memelukku. Tapi akhirnya, satu-satunya orang yang kuinginkan untuk menghiburku adalah Haymitch, karena dia juga menyayangi Peeta. Aku mengulurkan tanganku padanya dan mengucapkan sesuatu seperti namanya dan Haymitch ada di sana, memelukku dan mengusap-usap punggungku. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, sweetheart.” Dia mendudukkanku di patahan pilar marmer dan terus merangkulku sementara aku terisak.
  “Aku tak bisa melakukan ini lagi,” kataku.
  “Aku tahu,” katanya.
  “Yang terpikir olehku adalah—apa yang akan dilakukannya pada Peeta—karena akulah Mockingjay!” kataku.
  “Aku tahu.” Haymitch mempererat rangkulannya.
  “Kaulihat, kan? Bagaimana anehnya dia? Apa yang mereka lakukan padanya?” Aku berusaha mengambil napas di antara isakanku, tapi aku berhasil mengucapkan satu kalimat terakhir. “Ini salahku!” Kemudian aku berubah jadi histeris dan ada jarum di lenganku, lalu dunia pun lenyap.
  Apa pun yang mereka suntikkan ke tubuhku pasti kuat sekali dosisnya karena butuh waktu sehari penuh hingga aku sadarkan diri. Tapi tidurku tidaklah tenang. Aku merasa keluar dari dunia yang gelap dengan tempat-tempat berhantu yang kulalui seorang diri. Haymitch duduk di kursi samping tempat tidurku, kulitnya kusam, matanya merah. Aku teringat Peeta dan tubuhku pun mulai gemetar.
  Haymitch mengulurkan tangannya dan meremas bahuku. “Sudah, tidak apa-apa. Kita akan berusaha mengeluarkan Peeta.”
  “Apa?” Kalian itu tidak masuk akal.
  “Plutarch mengirim tim penyelamat. Dia masih punya orang-orang di dalam. Menurutnya, kita bisa menyelamatkan Peeta hidup-hidup,” kata Haymitch.
  “Kenapa kita tidak melakukannya sebelum ini?” kataku.
  “Karena mahal. Tapi semua orang sependapat bahwa ini hal benar yang harus dilakukan. Ini pilihan yang sama yang kami buat di arena. Melakukan apa pun yang diperlukan untuk membuatmu terus melanjutkan perjuangan. Kami tidak bisa kehilangan Mockingjay sekarang. Dan kau tidak bisa tampil kecuali kau tahu Snow tak bisa melampiaskannya pada Peeta.” Haymitch menyodorkan cangkir. “Ini, minumlah.”
  Perlahan-lahan aku bangun dan menyesap air minum. “Apa maksudmu mahal tadi?”
  Dia mengangkat bahu. “Penyamaran-penyamaran akan terbongkar. Ada orang-orang yang mungkin bisa tewas. Tapi ingatlah mereka juga bisa mati setiap hari. Dan tidak hanya Peeta; kita juga akan membebaskan Annie untuk Finnick.”
  “Di mana Finnick?”
  “Di balik layar pemisah itu, tidur dalam keadaan terbius. Dia jadi kacau setelah kami membuatmu pingsan,” kata Haymitch. Aku tersenyum sedikit, tidak merasa selemah tadi. “Yeah, suntikannya benar-benar ampuh. Kalian berdua kacau otaknya dan Boggs mengatur misi penyelamatan Peeta. Secara resmi kita hanya bisa memutar ulang tayangan yang kita miliki.”
  “Baguslah jika Boggs yang memimpin,” kataku.
  “Oh, dia memang hebat. Tugas ini terbatas untuk sukarelawan saja, tapi dia pura-pura tidak memperhatikan tanganku yang melambai-lambai di udara,” kata Haymitch. “Paham, kan? Dia sudah menunjukkan penilaian yang baik.”
  Ada sesuatu yang salah. Haymitch berusaha terlalu keras untuk menghiburku. Ini benar-benar bukan gayanya. “Jadi, siapa lagi yang mengajukan diri jadi sukarelawan?”
  “Kurasa semuanya ada tujuh orang,” katanya menghindar.
  Perasaanku mulai tidak enak. “Siapa lagi, Haymitch?” aku berkeras.
  Haymitch akhirnya tidak lagi berpura-pura manis. “Kau tahu siapa lagi, Katniss. Kau tahu siapa yang mengajukan diri pertama kali.”
  Tentu saja aku tahu.
  Gale.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 11"

Posting Komentar