Mockingjay Bab 10



SERANGAN

BAB 10

  JERITAN itu mulai mengalir dari punggung bawah lalu naik menyusuri tubuhku hingga akhirnya tersangkut di tenggorokanku. Aku sebisu Avox, tersedak kesedihanku sendiri. Bahkan jika aku bisa melepaska n otot di leherku, membiarkan bunyinya merobek udara , apakah akan ada yang memperhatikannya? Ruangan ini hiruk-pikuk. Berbagai pertanyaan dan tuntutan berge ma ketika mereka berusaha memecahkan arti kata-kat a Peeta. “Dan kau… di Tiga Belas… tewas besok pagi!” Namun tak ada seorang pun yang bertanya tentang si pembawa pesan, yang darahnya digantikan gambar statik.
  Ada suara yang meminta perhatian yang lain. “Diam!” Semua mata tertuju pada Haymitch. “Itu bukan misteri besar! Anak itu memberitahu kita bahwa kita bakal diserang. Di sini. Di Tiga Belas.”
  “Bagaimana dia bisa mendapatkan informasi itu?”
  “Kenapa kita harus mempercayainya?”
  “Bagaimana kau tahu?”
  Haymitch mengerang kesal. “Mereka memukulinya sampai berdarah sementara kita bicara di sini. Apa lagi yang kaubutuhkan? Katniss, bantu aku sekarang!”
  Aku harus memaksa diriku agar bisa bicara. “Haymitch benar. Aku tak tahu dari mana Peeta mendapat informasi itu. Atau apakah benar atau tidak. Tapi dia memercayainya. Dan mereka…” Aku tidak bisa mengucapkannya dengan lantang apa yang dilakukan Snow padanya.
  “Kau tidak kenal dia,” kata Haymitch pada Coin. “Kami kenal. Suruh orang-orangmu bersiap-siap.”
  Presiden sepertinya tidak cemas, hanya sedikit bingung dengan kejadian yang berlangsung ini. Dia menimbang setiap kata, mengetuk-ngetukkan satu jarinya pelan di ujung papan kendali di hadapannya. Ketika Coin bicara, dia berbicara pada Haymitch dengan nada datar. “Tentu saja, kami sudah siap dengan skenario macam itu. Meskipun selama berpuluh-puluh tahun asumsi kami terbukti bahwa serangan langsung ke Tiga Belas akan kontraproduktif untuk tujuan Capitol. Rudal-rudal nuklir akan melepaskan radiasi ke atmosfer, menghasilkan dampak tak terkira untuk lingkungan. Bahkan pengeboman rutin bisa merusak kamp militer kami, yang kita tahu ingin mereka kuasai. Dan, tentu saja, mereka mengundang serangan balasan. Dapat dibayangkan bahwa mengingat persekutuan kita saat ini dengan para pemberontak, semua ini dianggap sebagai risiko-risiko yang bisa diterima.”
  “Menurutmu begitu?” tanya Haymitch. Pernyataan itu dibayangi ketulusan yang berlebihan, tapi ironi yang tersamar sering kali dihambur-hamburkan di 13.
  “Ya. Bagaimanapun, kita sudah lewat waktu untuk latihan keamanan Tingkat Lima,” kata Coin. “Mari kita mulai dengan penguncian.” Coin mengetik dengan cepat, mengautorisasi keputusannya. Saat dia mengangkat kepalanya, latihan dimulai.
  Ada dua kali latihan keamanan tingkat rendah sejak aku tiba di 13. Aku tidak terlalu ingat latihan pertama. Aku masih di unit perawatan intensif di rumah sakit dan seingatku pasien-pasien dibebaskan dari latihan, karena berbagai kerumitan ketika harus mengeluarkan kami untuk latihan lebih besar daripada manfaatnya. Samar-samar aku menyadari suara mekanis yang memerintahkan semua orang untuk berkumpul di zona kuning. Pada latihan kedua, latihan Tingkat Dua tujuannya adalah untuk menghadapi krisis-krisis minor—seperti karantina sementara ketika penduduk diperiksa apakah mereka tertular wabah flu—kami seharusnya kembali ke barak tempat tinggal kami.
  Aku tetap tinggal di belakang pipa di dalam ruang cuci, mengabaikan bunyi bip yang terus-menerus berdengung dari sistem audio, dan aku memperlihatkan laba-laba membangun sarangnya. Tak ada satu pun pengalaman yang sudah kulalui yang menyiapkanku mendengar sirene tanpa kata yang memekakkan telinga dan menyisipkan ketakutan yang sekarang merasuk di 13. Tak ada seorang pun yang bisa mengabaikan bunyi ini, yang sepertinya dirancang untuk membuat seluruh penduduk merasa panik. Tapi ini Distrik 13 dan hal semacam itu tidak terjadi.
  Boggs mengarahkan aku dan Finnick keluar dari Ruang Komando, berjalan di sepanjang koridor menuju ambang pintu, dan ke arah tangga yang lebar. Aliran manusia dari berbagai jurusan bertemu membentuk sungai yang mengalir ke bawah. Tak ada seorang pun yang menjerit atau mencoba saling dorong. Bahkan anak-anak pun tak ada yang melawan. Kami turun, serombongan demi serombongan, tanpa bicara, karena tak ada satu kata pun yang bisa terdengar dalam bunyi keras melengking ini. Aku mencari ibuku dan Prim, tapi tak mungkin melihat siapa pun kecuali orang-orang yang ada di sekelilingku. Mereka bekerja di rumah sakit malam ini, jadi tak mungkin mereka melewatkan latihan ini.
  Telingaku berdenging dan mataku terasa berat. Kami berada jauh di dalam tambang batu bara. Satu-satunya keuntungan berada semakin jauh di dalam perut bumi, semakin berkurang lengkingan sirene yang terdengar. Seakan mereka ingin mengusir kami dari permukaan, yang kurasa memang itulah tujuannya. Kelompok-kelompok manusia ini mulai memisahkan diri menuju pintu-pintu yang bertanda khusus namun Boggs masih terus membimbingku turun, sampai tangga akhirnya berada di ujung gua raksasa. Aku beranjak berjalan lurus tapi Boggs menghentikanku, menunjukkan padaku bahwa aku harus melambaikan jadwalku di depan alat pemindai agar keberadaanku bisa diketahui. Tak diragukan lagi informasi tersebut akan dicatat oleh komputer entah di mana untuk memastikan tak ada seorang pun yang menghilang.
  Tempat ini sepertinya tidak jelas apakah buatan alam atau karya manusia. Beberapa bidang dindingnya terbuat dari batu, sementara tiang-tiang baja dan beton memperkuat bidang dinding yang lain. Tempat-tempat tidur dipampatkan ke dinding-dinding batu. Ada dapur, beberapa kamar mandi, dan pos P3K. Tempat ini dirancang untuk jadi tempat tinggal sementara.
  Lambang-lambang berwarna putih dengan huruf-huruf dan angka-angka ditempatkan berjarak di sekeliling gua. Ketika Boggs memberitahu aku dan Finnick untuk melapor ke area yang sama dengan barak tempat tinggal kami—dalam hal ini aku harus melapor ke E untuk kompartemen E—Plutarch berjalan menghampiriku. “Ah, kau di sini rupanya,” katanya. Berbagai kejadian yang terjadi beberapa saat lalu sepertinya tidak berpengaruh pada suasana hati Plutarch. Dia masih riang gembira karena keberhasilan Beetee melakukan Serangan Siaran. Matanya tertuju pada hutan, bukan pada pepohonannya. Bukan pada hukuman terhadap Peeta atau pengeboman pada 13 yang tak terelakkan. “Katniss, ini jelas saat yang buruk untukmu, dengan kemunduran yang terjadi pada Peeta, tapi kau perlu menyadari bahwa orang lain akan memperhatikanmu.”
  “Apa?” kataku. Aku tak percaya dia baru saja merendahkan kondisi Peeta yang gawat dengan menyebutnya sebagai kemunduran.
  “Orang-orang lain di bunker, mereka akan mengambil keputusan dalam bertindak darimu. Jika kau tenang dan berani, yang lain juga akan mencobanya. Kalau kau panik, kepanikanmu akan menyebar seperti kebakaran hutan,” Plutarch menjelaskan. Aku cuma memandanginya. “Api itu mudah tersulut,” katanya, ia meneruskan, seakan aku ini lambat mencerna perkataannya.
  “Kenapa tidak sekalian aku pura-pura sedang di depan kamera, Plutarch?” tanyaku.
  “Ya! Sempurna. Orang selalu lebih berani dengan adanya penonton,” kata Plutarch. “Lihat saja keberanian yang ditunjukkan Peeta!”
  Aku berusaha keras tidak menamparnya.
  “Aku harus kembali ke Coin sebelum penguncian. Kauteruskan kerjamu yang bagus itu!” katanya, lalu berjalan pergi.
  Aku menyeberangi ruangan menuju huruf E besar yang terpampang di dinding. Ruangan kami luasnya tiga setengah kali tiga setengah meter, berlantai batu dengan garis-garis yang dilukiskan di sana. Di dinding terpasang dua ranjang—salah satu dari kami akan tidur di lantai—dan di lantai ada kotak untuk tempat penyimpanan. Ada selembar kertas putih yang dilaminating bertuliskan PROTOKOL BUNKER. Tatapanku tak bisa lepas dari dua titik hitam di lembaran tersebut. Selama sesaat, pemandangan itu dikaburkan dengan tetesan darah yang tak bisa kuenyahkan dari pandanganku. Perlahan-lahan, kata-kata yang tertera di sana mulai bisa kubaca.
  Bagian pertama berjudul “Saat Kedatangan.”
1.    Pastikan semua orang yang ada di Kompartemen-mu lengkap di sini.
  Ibuku dan Prim belum tiba, tapi aku salah satu dari rombongan pertama yang tiba di bunker. Mereka berdua mungkin membantu memindahkan pasien-pasien rumah sakit.
2.    Pergi ke Pos Persediaan dan ambil satu kantong persediaan untuk masing-masing orang yang ada di Kompartemen. Siapkan Area Tempat Tinggal. Kembalikan kantong-(kantong).
  Mataku memandang sekeliling gua sampai aku menemukan letak Pos Persediaan, sebuah ruangan yang menjorok ke dalam dengan meja konter di depannya. Orang-orang menunggu di belakangnya, tapi belum tampak terlalu banyak kegiatan di sana. Aku berjalan ke sana, memberikan huruf kompartemen kami, dan meminta tiga kantong. Seorang pria memeriksa selembar kertas, menarik kantong-kantong tertentu dari rak, dan menaruhnya di meja. Setelah memanggul satu kantong di punggungku dan menjinjing dua kantong lagi dengan kedua tanganku, aku berbalik dan melihat sekelompok orang sudah mengantre dengan cepat di belakangku.
  “Permisi,” kataku sambil membawa barang-barangku melewati orang-orang itu. Apakah ini cuma waktunya yang kebetulan? Atau apakah Plutarch betul? Apakah orang-orang ini meniru tindakanku?
  Kembali ke tempatku, kubuka satu kantong dan di dalamnya kulihat matras tipis, perlengkapan tidur, dua pasang pakaian berwarna abu-abu, sikap gigi, sisir, dan senter. Setelah memeriksa isi kantong-kantong lain, aku menemukan satu-satunya perbedaan yang terlihat jelas adalah isi kantong ini berisi pakaian abu-abu dan putih. Pakaian berwarna putih untuk ibuku dan Prim, untuk berjaga-jaga jika mereka diperlukan untuk tugas medis. Setelah aku menata tempat tidur, menyimpan pakaian, dan mengembalikan kantong-kantong itu, aku tidak punya kegiatan selain membaca peraturan terakhir.
3.    Menunggu instuksi lebih lanjut.
  Aku duduk bersila di lantai untuk menunggu. Arus manusia mulai mengisi ruangan, meng ambil kantong-kantong persediaan. Tidak lama kemudi an tempat ini pun penuh. Aku penasaran apakah ibuku dan Prim akan tinggal di tempat mereka menaruh pasi en. Tapi kurasa tidak. Nama mereka terdaftar di sini. Aku sudah mulai gelisah ketika kulihat ibuku muncul. Aku mencari ke belakang dan cuma melihat lautan manusia yang tak kukenal.
  “Di mana Prim?” tanyaku.
  “Bukannya dia ada di sini?” jawabnya. “Dia harusnya sudah turun kemari dari rumah sakit. Dia pergi sepuluh menit sebelum aku pergi. Di mana dia? Ke mana dia pergi?”
  Kupejamkan mataku rapat-rapat selama beberapa saat, mengikuti jejaknya sebagaimana aku melacak binatang buruan. Melihatnya bereaksi mendengar sirene, bergegas membantu pasien, mengangguk ketika mereka mengarahkannya untuk turun ke bunker, lalu dia ragu-ragu di tangga. Sejenak tampak bingung. Tapi kenapa?
  Mataku langsung terbuka. “Kucing! Dia mencarinya!”
  “Oh, tidak,” kata ibuku.
  Kami sama-sama tahu bahwa aku benar. Kami bergerak mendorong arus manusia yang masuk, berusaha keluar dari bunker, jauh di depan, aku bisa melihat mereka bersiap-siap menutup pintu logam yang tebal. Perlahan-lahan memutar roda besi pada setiap sisi ke dalam. Entah bagaimana aku tahu sekalinya pintu itu tertutup, tak ada apa pun di dunia ini yang bisa meyakinkan para tentara ini untuk membukanya. Mungkin bahkan itu di luar kendali mereka. Tanpa pandang bulu aku segera mendorong orang-orang untuk minggir sambil aku berteriak pada para tentara itu untuk menunggu. Ruang antara pintu itu menyempit hingga semeter, tiga puluh sentimeter, hingga tinggal beberapa inci yang tersisa ketika aku menyelipkan tanganku di celah pintu.
  “Buka pintu! Biarkan aku keluar!” teriakku.
  Kekuatiran terlukis di wajah para tentara ketika mereka memutar roda pintu agar makin membuka. Tak cukup celah untuk aku lewat, tapi cukup untuk mencegah jemariku remuk. Aku mengambil kesempatan untuk menyelipkan bahuku di celah pintu. “Prim!” aku berteriak ke arah tangga. Ibuku memohon pada para penjaga ketika aku berusaha menyelipkan tubuhku keluar. “Prim!”
  Lalu aku mendengarnya. Bunyi samar langkah-langkah kaki di tangga. “Kami datang!” aku mendengar suara adikku.
  “Tahan pintunya!” Suara Gale.
  “Mereka datang!” aku memberitahu pada penjaga dan mereka membuka pintu hingga celahnya berjarak semeter. Tapi aku tak berani bergerak—takut mereka akan mengunci kami di luar—sampai Prim muncul, kedua pipinya merah karena habis berlari, memeluk Buttercup. Kutarik dia masuk dan Gale ikut di belakangnya, memutar tas besar menyamping agar bisa masuk ke bunker. Pintu-pintu menutup dengan bunyi keras dan mantap.
  “Apa yang kaupikirkan?” Kuguncang-guncang tubuh Prim dengan marah lalu kupeluk dia, membuat Buttercup terjepit di antara kami.
  Prim sudah siap memberi penjelasan. “Aku tak bisa meninggalkannya, Katniss. Tidak untuk kedua kalinya. Kau harus melihatnya mondar-mandir di kamar dan melolong. Dia kembali untuk melindungi kita.”
  “Oke. Oke.” Kuambil napas beberapa kali untuk menenangkan diri, melangkah mundur, dan kuangkat Buttercup dengan menjepit tengkuknya. “Seharusnya kau kutenggelamkan saat aku punya kesempatan.” Kedua telinganya merapat dan dia mengeluarkan cakarnya. Aku mendesis padanya sebelum Buttercup mendesis padaku, yang sepertinya membuat dia sedikit kesal, karena dia menganggap desisan adalah cara pribadinya untuk menghinaku. Sebagai balasannya, dia mengeong pasrah sehingga membuat adikku langsung membelanya.
  “Oh, Katniss, jangan menggodanya,” kata Prim, dan mengambil Buttercup kembali ke pelukannya. “Dia sudah terlalu gelisah.”
  Pemikiran bahwa aku sudah melukai perasaan kucing kecil yang kasar malah membuatku terpancing menggodanya. Tapi Prim tampak sungguh-sungguh mencemaskannya. Aku membayangkan bulu Buttercup jadi bahan sepasang sarung tangan, bayangan yang membantuku menghadapi kucing itu selama bertahun-tahun. “Oke, maaf. Tempat kita di bawah huruf E besar di dinding. Lebih baik kita menaruhnya sebelum dia gelisah lagi,” Prim bergegas lagi dan aku berhadapan dengan Gale. Dia memegangi kotak persediaan medis dari dapur kami di 12. Tempat terakhir kami ngobrol, berciuman, berjauhan, entahlah. Tas berburuku tersampir di bahunya.
  “Jika Peeta benar, tempat ini tak punya kesempatan melawan,” katanya.
  Peeta. Darah seperti tetesan air hujan di jendela. Seperti lumpur basah di sepatu bot.
  “Terima kasih untuk… segalanya.” Aku mengambil barang kami. “Apa yang kaulakukan di kamar kami?”
  “Hanya memeriksa ulang,” katanya. “Kami ada di Empat-Puluh-Tujuh jika kau membutuhkanku.”
  Hampir semua orang kembali ke tempat mereka ketika pintu ditutup, jadi aku menyeberang menuju rumah baru kami dengan paling tidak lima ratus pasang mata mengawasiku. Aku berusaha tampil ekstratenang untuk menggantikan kepanikanku menyeruduk orang banyak tadi. Seolah-olah ketenanga nku bisa menipu banyak orang. Cuma sampai di situ sa ja kemampuanku menjadi panutan. Oh, lagi pula siapa yang peduli? Mereka juga sudah menganggapku sinting . Seorang pria, yang seingatku kudorong sampai jatuh ke lantai, menoleh bertatapan dengan mataku sambil m engelus sikunya dengan kesal. Aku nyaris mendesis padanya.
  Prim menaruh Buttercup di ranjang bawah, terbungkus selimut hingga hanya wajahnya yang kelihatan. Dia suka diperlakukan seperti ini saat ada petir, satu-satunya hal yang membuatnya takut. Ibuku menaruh kotaknya dengan hati-hati di tempat penyimpanan. Aku berjongkok, dengan punggung menempel pada dinding, melihat apa yang berhasil diselamatkan Gale dari tas berburuku. Buku tanaman, jaket berburuku, foto pernikahan orangtuaku, dan barang-barang pribadi dari laciku. Pin mockingjay-ku sekarang hidup di pakaian Cinna, tapi ada bandul emas dan parasut perak dengan alat sadap dan mutiara Peeta. Aku menggelungkan mutiara ke tepian parasut, menaruhnya ke pojok di dalam tas berburuku, seakan mutiara itu adalah hidup Peeta dan tak ada seorang pun yang bisa merenggut nyawanya selama aku bisa menjaganya.
  Bunyi sirene yang samar itu terputus mendadak. Suara Coin terdengar melalui sistem audio distrik, berterima kasih pada kami semua atas kegiatan evakuasi yang patut dicontoh. Dia menekankan bahwa ini bukan latihan, karena Peeta Mellark, pemenang dari Distrik 12 mungkin sudah menyatakan di televisi bahwa akan ada serangan di 13 malam ini.
  Pada saat itulah bom pertama menghantam kami. Benturan yang awalnya dirasakan diikuti ledakan yang bergaung di bagian dalam tubuhku, mengguncang isi perutku, ke sumsum tulangku, dan akar-akar gigiku. Kami semua bakal mati, pikirku. Aku langsung mendongak, mengira bakal melihat retakan besar di langit-langit, dan batu-batu besar berjatuhan menimpa kami, tapi bunker ini hanya bergetar sedikit. Lampu padam dan aku merasa kehilangan orientasi karena kegelapan total. Suara-suara manusia yang tak berbicara—pekikan-pekikan spontan, napas-napas memburu, rengekan bayi, satu tawa yang terdengar sedikit gila—bergelora dalam udara yang berat. Kemudian terdengar dengungan generator, cahaya lampu remang-remang menggantikan cahaya benderang yang biasanya ada di 13. Suasananya mirip dengan rumah-rumah kami di 12, ketika lilin-lilin dan api memberikan cahaya temaram pada malam musim dingin.
  Aku mendekati Prim dalam cahaya remang ini, menangkupkan tanganku di kakinya, dan menarik tubuhku ke atasnya. Suaranya tetap tenang ketika dia membujuk Buttercup. “Tidak apa-apa, Sayang, tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja di sini.”
  Ibuku memeluk kami berdua. Aku membiarkan diriku jadi anak-anak lagi selama sesaat dan menyandarkan kepalaku di bahu ibuku. “Ini tidak seperti bom di Delapan,” kataku.
  “Mungkin rudal bunker,” kata Prim, menjaga suaranya tetap tenang demi kucingnya. “Kami mempelajarinya pada saat orientasi warga baru. Rudal-rudal itu dirancang menembus ke dalam tanah sebelum meledak. Karena tak ada gunanya mengebom permukaan Tiga Belas.”
  “Nuklir?” tanyaku, dan rasa dingin menjalar di sekujur tubuhku.
  “Belum tentu,” kata Prim. “Ada bom yang memang kekuatannya besar. Tapi… kurasa bisa jadi juga nuklir.”
  Kegelapan ini membuatku sulit melihat pintu-pintu logam berat di ujung bunker. Apakah pintu itu bisa melindungi kami dari serangan nuklir? Bahkan jika pintu itu seratus persen efektif tahan terhadap radiasi, yang kemungkinan besar tidak bisa, apakah kami bisa meninggalkan tempat ini? Memikirkan bahwa aku harus menghabiskan sisa hidupku di ruang batu ini membuatku ngeri. Aku ingin berlari menerjang pintu dan menuntut dibebaskan menuju apa pun yang ada di atas sana. Tapi tak ada gunanya. Mereka takkan pernah mengizinkanku keluar, dan aku mungkin bisa memulai kekalapan yang membuat manusia saling menginjak.
  “Kita amat jauh di dalam tanah, aku yakin kita aman,” kata ibuku menghiburku. Apakah dia memikirkan ayahku meledak berkeping-keping di dalam tambang? “Waktunya mepet sekali tadi. Untunglah Peeta memiliki alat yang diperlukan untuk memberi peringatan pada kita.”
  Alat yang diperlukan. Istilah umum yang entah bagaimana memberikan segala yang diperlukannya untuk membunyikan alarm. Pengetahuan, kesempatan, keberanian. Dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Sepertinya dalam benak Peeta ada semacam pertarungan, yang mendesaknya untuk menyampaikan pesan itu. Kenapa? Bakat terbesarnya adalah memanipulasi kata-kata. Apakah kesulitannya timbul karena dia disiksa? Atau yang lain lagi? Dia jadi gila, misalnya?
  Suara Coin, yang terdengar lebih muram, terdengar di dalam bunker, volume suaranya berkeredap dengan cahaya lampu. “Ternyata informasi dari Peeta Mellark benar dan kita berutang amat besar padanya. Alat-alat sensor menunjukkan rudal pertama bukanlah nuklir, tapi bom yang sangat kuat. Kita masih menanti bom selanjutnya. Selama serangan terjadi, semua penduduk harus tinggal di area mereka kecuali mendapat perintah lain.”
  Seorang tentara memberitahu ibuku bahwa dia diperlukan di pos P3K. Dia tampak enggan meninggalkan kami meskipun kami hanya berjarak tiga puluh meter jauhnya.
  “Kami akan baik-baik saja, sungguh,” kataku padanya. “Memangnya ada yang bisa melewati dia?” Aku menunjuk Buttercup, yang memberikan desisan setengah hati, sehingga kami semua bisa sedikit tertawa. Bahkan aku pun merasa kasihan padanya. Setelah ibuku pergi, aku menyarankan pada adikku, “Kenapa kau tidak naik saja ke ranjang dengannya, Prim?”
  “Aku tahu ini konyol… tapi aku takut ranjangnya jatuh menimpa kita saat serangan,” katanya.
  Jika ranjangnya roboh, seluruh bunker ini pasti akan ambruk menimpa kami, tapi kuputuskan logika semacam ini takkan membantunya. Sebagai gantinya, aku membersihkan kotak penyimpanan dan membuat tempat tidur untuk Buttercup. Lalu aku memasang matras di depannya agar bisa kubagi menjadi tempat tidur berdua dengan adikku.
  Kami mendapat kesempatan untuk menggunakan kamar mandi dan menyikat gigi secara bergiliran dalam kelompok-kelompok kecil, tapi kegiatan mandi dibatalkan untuk hari ini. Aku bergelung dengan Prim di matras, memakai selimut dobel karena gua ini memancarkan rasa dingin yang lembab. Buttercup, tetap tampak menderita meskipun Prim terus-menerus memperhatikannya, bergerak-gerak di kotaknya dan mengembuskan napas kucingnya di wajahku.
  Walaupun kondisinya tidak menyenangkan, aku senang punya waktu bersama adikku. Kesibukanku sejak aku tiba di sini—tidak, sejak Hunger Games pertama sebenarnya—membuatku kurang memperhatikannya. Aku tidak menjaganya sebagaimana yang harusnya kulakukan, seperti yang dulu kulakukan. Selain itu, Gale-lah yang memeriksa kompartemen kami, bukan aku. Dan itu sesuatu yang harus kutebus.
  Aku sadar bahwa aku tak pernah bertanya padanya tentang bagaimana dia mengatasi shock yang ditimbulkan karena datang kemari. “Apakah kau menyukai Tiga Belas, Prim?” tanyaku.
  “Sekarang?” tanyanya. Kami berdua tertawa. “Kadang-kadang aku sangat rindu rumah. Tapi lalu aku ingat tak ada yang tersisa di sana yang bisa kurindukan. Aku merasa lebih aman di sini. Kami tidak harus menguatirkanmu. Yah, yang pasti tidak dengan kekuatiran yang sama.” Prim terdiam sejenak, lalu senyum terlintas di bibirnya. “Kurasa mereka akan melatihku menjadi dokter.”
  Itu pertama kali aku mendengarnya. “Ya, tentu saja. Mereka bodoh jika tidak melakukannya.”
  “Mereka sudah mengawasiku ketika aku membantu di rumah sakit. Aku sudah mengambil kursus-kursus medis. Cuma hal-hal pemula. Aku sudah tahu banyak sejak di rumah. Tapi, tetap saja masih banyak yang harus dipelajari,” kata Prim.
  “Bagus sekali,” kataku. Prim jadi dokter. Dia bahkan tak bisa memimpikannya di 12. Sesuatu yang kecil dan tenang, seperti korek api yang tersulut, menyalakan cahaya dalam diriku. Inilah jenis masa depan yang bisa dihasilkan dari pemberontakan.
  “Bagaimana denganmu, Katniss? Bagaimana kau menghadapinya?” Ujung jari Prim bergerak mengelus bagian di antara kedua mata Buttercup. “Dan jangan bilang kau baik-baik saja.”
  Memang benar. Apa pun kebalikan dari baik-baik saja, di situlah kondisiku sekarang. Jadi aku bercerita padanya tentang Peeta, keadaannya yang memburuk di layar televisi, dan bagaimana mereka pasti membunuhnya saat ini. Buttercup harus bisa sendirian saat ini karena Prim mengalihkan perhatian sepenuhnya padaku. Dia menarikku mendekat, jemarinya menyisir rambut di belakang telingaku. Aku berhenti bicara karena sesungguhnya tak ada lagi yang bisa kubicarakan dan ada rasa sakit yang menusuk di tempat jantungku berada. Mungkin aku mengalami serangan jantung, tapi aku tak merasa patut menyebutnya.
  “Katniss, kurasa Presiden Snow takkan membunuh Peeta,” katanya. Tentu saja, dia mengatakan hal ini; dia pikir apa yang dikatakannya akan membuatku tenang. Tapi kalimat selanjutnya dari Prim mengejutkanku. “Jika dia membunuhnya, dia tak punya lagi orang yang kauinginkan. Dia takkan punya cara untuk menyakitimu.”
  Mendadak, aku teringat pada gadis lain, seseorang yang sudah melihat segala kekejian yang ditawarkan Capitol. Johanna Mason, peserta dari Distrik 7 di arena terakhir. Aku berusaha mencegahnya masuk ke hutan, di sana ada burung-burung jabberjay yang bisa meniru suara orang-orang yang kita sayangi dalam keadaan tersiksa, tapi dia menepis peringatanku dan berkata, “Mereka tak bisa menyakitiku. Aku tidak seperti kalian. Tak ada seorang pun yang tersisa yang kucintai.”
  Saat itulah aku tahu Prim benar, Snow tak bisa menghabisi Peeta, terutama sekarang. Ketika Mockingjay menimbulkan banyak malapetaka. Dia sudah membunuh Cinna. Menghancurkan rumahku. Keluargaku, Gale, bahkan Haymitch tak terjangkau olehnya. Peeta satu-satunya yang dia miliki.
  “Jadi menurutmu apa yang akan mereka lakukan terhadapnya?” tanyaku.
  Prim terdengar seperti orang yang berusia seribu tahun ketika dia bicara.
  “Apa pun yang diperlukan untuk menghancurkanmu.”
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 10"

Posting Komentar