MOCKINGJAY
(Buku terakhir trilogi The Hunger Games)
ABU
BAB 1
AKU menunduk memandang sepatuku,
memperhatikan lapisan tipis debu di atas kulit usang itu. Di sinilah letak
ranjang yang kutiduri bersama adikku, Prim. Di ujung sana ada meja dapur.
Reruntuhan cerobong asap membentuk tumpukan batu gosong, memberikan petunjuk di
mana bagian-bagian lain dari rumah ini. Bagaimana lagi caraku menemukan arah di
antara lautan kelabu ini?
Nyaris tak ada yang tersisa di Distrik 12.
Sebulan lalu, bom-bom Capitol memusnahkan rumah-rumah kumuh milik penambang
batu bara di wilayah Seam, toko-toko di kota, bahkan Gedung Pengadilan.
Satu-satunya tempat yang lolos dari jilatan api adalah Desa Pemenang. Aku tidak
tahu alasannya. Mungkin agar siapa pun yang terpaksa datang kemari untuk urusan
Capitol punya tempat yang layak untuk tinggal. Reporter yang aneh itu. Komite
yang menilai kondisi tambang-tambang batu bara. Pasukan Penjaga Perdamaian yang
memeriksa apakah ada pengungsi yang kembali.
Tapi tak ada seorang pun yang kembali kecuali
aku. Dan ini pun hanya kunjungan singkat. Para pejabat di Distrik 13 menentang
kepulanganku. Mereka menganggapnya sebagai perjalanan yang mahal dan tak ada
gunanya, mengingat paling tidak ada dua belas pesawat ringan yang
berputar-putar di atas untuk melindungiku padahal tidak ada manfaat intelijen
yang bisa diperoleh. Namun, aku harus melihatnya sendiri. Saking pentingnya
kepulanganku ini sampai aku menjadikannya syarat agar aku mau bekerja sama
mengikuti rencana-rencana mereka.
Akhirnya. Plutarch Heavensbee, kepala Jur i
Pertarungan yang telah mengorganisir para pemberontak di Capitol, menyerah.
“Biarkan dia pergi. Lebih baik menghabiskan waktu satu hari daripada satu bulan
lagi. Mungkin tur ke Dua Belas memang diperlukan untuk meyakinkannya bahwa kita
berada di pihak yang sama.”
Pihak yang sama. Rasa sakit menghantam
pelipis kiriku dan aku menekankan tanganku di sana. Tepat di bagian Johanna
Mason menghantamku dengan gulungan kawat. Berbagai kenangan berkelebat ketika
aku berusaha memilah apa yang benar dan apa yang tidak benar. Rentetan kejadian
macam apa yang membawaku hingga berdiri di reruntuhan kotaku? Ini sulit karena
efek gegar otak yang kualami belum pulih total dan pikiran-pikiranku sering
kali tumpang tindih tak beraturan. Selain itu, obat-obatan yang mereka gunakan
untuk mengendalikan rasa sakit dan perasaanku kadang-kadang membuatku melihat
hal-hal aneh. Sepertinya begitu. Aku masih belum sepenuhnya yakin bahwa aku
berhalusinasi pada malam ketika lantai rumah sakitku berubah menjadi karpet
yang penuh dengan ular-ular yang menggeliat.
Aku menggunakan teknik yang disarankan salah
satu dokterku. Aku memulai dengan hal-hal paling sederhana yang aku tahu pasti
kebenarannya, lalu melanjutkannya ke hal-hal yang lebih rumit. Daftar itu mulai
bergelundungan dalam kepalaku…
Namaku Katniss Everdeen. Umurku tujuh belas
tahun. Rumahku di Distrik 12. Aku ikut Hunger Games. Aku melarikan diri.
Capitol membenciku. Peeta dijadikan tawanan. Dia dianggap sudah tewas.
Kemungkinan besar dia tewas. Mungkin yang terbaik baginya jika dia tewas…
“Katniss. Kau mau aku turun?” Suara sahabat
baikku, Gale, terdengar melalui headset yang harus kupakai atas desakan para
pemberontak. Dia berada di pesawat ringan, mengawasiku dengan saksama, siap
menyambarku dari atas jika ada sesuatu yang salah. Aku sadar bahwa aku sedang
berjongkok sekarang, kedua sikuku kutumpukan di paha, kepalaku di antara kedua
tanganku. Aku pasti tampak berada di ambang kegilaanku. Ini tidak boleh
kulakukan. Apalagi saat mereka akhirnya mengurangi dosis obatku.
Aku berdiri tegak dan melambaikan tangan
menolak tawarannya. “Tidak perlu, aku baik-baik saja.” Untuk menegaskan
pernyataanku, aku mulai bergerak menjauhi rumah lamaku dan berjalan ke kota.
Gale meminta agar dia juga diturunkan di Distrik 12 bersamaku, tapi dia tidak
memaksakan niatnya ketika aku menolak ditemani. Dia paham aku tidak mau
ditemani siapa pun hari ini. Bahkan tidak juga Gale. Ada beberapa perjalanan
yang harus kulalui sendiri.
Musim panas ini terasa menyengat dan
kerontang. Bahkan tak ada hujan yang turun mengguyur tumpukan abu yang tersisa
akibat serangan bom. Mereka berpindah ke sana kemari, mengikuti langkah kakiku.
Tidak ada embusan angin yang membuat abu itu berantakan. Aku harus memandangi
apa yang seingatku dulu adalah jalanan, karena ketika aku pertama kali mendarat
di Padang Rumput, aku tidak berhati-hati dan menginjak batu. Hanya saja itu
bukan batu sungguhan—tapi tengkorak manusia. Tengkorak itu menggelinding hingga
bagian wajahnya menghadap ke atas, dan sekian lama aku tidak bisa berhenti
memandangi giginya, bertanya-tanya gigi siapa itu, berpikir apakah gigiku akan
tampak seperti itu dalam kondisi yang serupa.
Aku tetap berada di jalan yang biasa kulalui,
tapi ternyata itu pilihan yang buruk, karena jalan penuh dengan mayat-mayat
orang yang berusaha melarikan diri. Ada mayat yang terbakar hangus seluruhnya.
Tapi yang lain, mungkin terbungkus asap, berhasil lolos dari kobaran api
terburuk dan sekarang terbaring membusuk dalam berbagai tahap pembusukan, jadi
bangkai yang dimakan binatang-binatang pemakan bangkai, diselimuti lalat. Aku
membunuhmu, pikirku ketika aku melewati tumpukan mayat. Dan kau. Dan kau.
Karena aku memang membunuh mereka. Karena
memang panahku yang menyasar celah di medan gaya yang mengelilingi arena, yang
menghasilkan badai api ini sebagai balasannya. Semua itu mengantar seantero
Panem dalam kecaubalauan.
Kata-kata Presiden Snow berdentam dalam
kepalaku, “Katniss Everdeen gadis yang terbakar, kau sudah mencetuskan api,
yang jika dibiarkan tanpa pengawasan, percikan itu bisa jadi kebakaran hebat
yang menghancurkan Panem.” Ternyata dia tidak melebih-lebihkan atau berusaha
membuatku takut. Mungkin dia dengan tulus berusaha meminta bantuanku. Tapi aku
sudah menggerakkan sesuatu yang tak sanggup kukendalikan.
Terbakar. Masih terbakar, pikirku mati rasa.
Api di tambang batu bara meletupkan asap hitam di kejauhan. Namun tak ada
seorang pun yang tersisa untuk peduli. Lebih dari sembilan puluh persen
penduduk distrik ini tewas. Sisa penduduk yang jumlahnya sekitar delapan ratus
orang jadi pengungsi di Distrik 13—yang menurut pendapatku sama saja jadi
gelandangan selamanya.
Aku tahu seharusnya aku tidak berpikir
seperti itu; aku tahu aku seharusnya bersyukur karena kami telah diterima di
sana. Sakit, terluka, kelaparan, dan dengan tangan kosong. Namun, aku tidak
bisa menghindari kenyataan bahwa Distrik 13 berperan penting dalam kehancuran
Distrik 12. Kenyataan ini tidak membuat kesalahanku terampuni—masih banyak
kesalahan yang bisa ditimpakan padaku. Tapi tanpa itu semua, aku takkan jadi
bagian dari rencana yang lebih besar untuk menggulingkan Capitol atau menjadi
alat yang diperlukan untuk melakukannya.
Para penduduk Distrik 12 tidak memiliki
gerakan pemberontak yang terorganisir. Sama sekali tidak punya suara dalam hal
ini. Mereka hanya bernasib malang memilikiku. Namun sejumlah orang yang selamat
merasa beruntung karena akhirnya bisa terbebas dari Distrik 12. Bisa lepas dari
kelaparan dan penindasan tanpa akhir, tambang-tambang yang berbahaya, siksaan
dari Pemimpin Penjaga perdamaian kami yang terakhir, Romulus Thread. Memiliki
rumah baru dianggap sebagai keajaiban karena belum lama kami tahu bahwa Distrik
13 masih ada.
Orang yang paling berjasa atas nyawa mereka
yang berhasil diselamatkan adalah Gale, mes kipun dia dengan jelas menolak
menerima pujian. Tepa t ketika Quarter Quell berakhir—tidak lama setelah aku
ditarik dari arena—listrik di Distrik 12 dipadamkan, layar televisi hitam
legam, dan Seam terasa amat sunyi, ora ng-orang bisa mendengar detak jantung
orang lain. Tak ada seorang pun yang melakukan sesuatu dalam rang ka protes
atau merayakan kejadian di arena. Namun d alam lima belas menit, langit
dipenuhi pesawat ringan d an bom-bom jatuh bak hujan dari sana.
Gale-lah orang yang teringat pada Padang
Rumput, salah satu dari sedikit tempat yang tidak disesaki rumah-rumah kayu tua
yang berlapiskan debu batu bara. Dia menggiring mereka yang bisa membawanya ke
arah tersebut, termasuk ibuku dan Prim. Dia membentuk tim untuk merobohkan
pagar—yang saat itu hanya berupa penghalang rantai logam yang tak berbahaya
tanpa adanya arus listrik—dan memimpin orang-orang memasuki hutan. Dia membawa
mereka ke satu-satunya tempat yang terpikir olehnya, danau yang ditunjukkan
ayahku padaku ketika aku masih kecil. Dan dari sana mereka memandang api di
kejauhan melahap segala yang mereka kenal di dunia ini.
Saat subuh tiba, pesawat-pesawat pengebom itu
sudah lama menghilang, api-api mulai padam, rombongan terakhir orang-orang yang
kebingungan berkumpul di hutan. Ibuku dan Prim mendirikan posko pengobatan
darurat untuk mengobati mereka yang terluka dan berusaha mengobati mereka
dengan apa pun yang bisa mereka pungut dari hutan. Gale memiliki dua pasang
busur beserta anak panah, satu pisau berburu, satu jala ikan, dan lebih dari
delapan ratus orang yang ketakutan untuk diberi makan. Dengan bantuan mereka
yang tubuhnya masih kuat, mereka berhasil bertahan selama tiga hari.
Dan
pada saat itulah pesawat ringan muncul tanpa terduga untuk mengevakuasi mereka
dari Distrik 13, di sana ada cukup banyak tempat tinggal bersih, pakaian, dan
makanan tiga kali sehari. Kekurangan dari tempat tinggal di sana adalah
letaknya yang ada di bawah tanah, pakaian yang seragam, dan makanan yang nyaris
tanpa rasa, tapi bagi pengungsi dari Distrik 12 hal ini cuma masalah-masalah
sepele. Mereka selamat. Mereka diurusi dengan baik. Mereka hidup dan diterima
dengan tangan terbuka.
Antusiasme ini dianggap sebagai kebaikan.
Tapi seorang pria bernama Dalton, pengungsi dari Distrik 10 yang berhasil tiba
di Distrik 13 dengan berjalan kaki beberapa tahun lalu membocorkan motif mereka
yang sesungguhnya padaku. “Mereka butuh kalian. Butuh aku. Mereka membutuhkan
kita semua. Dulu, ada semacam wabah cacar yang menewaskan banyak dari mereka
dan menyisakan yang selamat dalam kondisi mandul. Mereka memandang kita sebagai
stok pembiakan baru.”
Di
Distrik 10, Dalton bekerja di salah satu peternakan sapi, tugasnya adalah
mempertahankan keanekaragaman genetik kawanan sapi dengan penanaman embrio sapi
yang sudah lama dibekukan. Kemungkinan besar dia benar tentang 13, karena di
sana sepertinya nyaris tidak ada anak-anak berkeliaran. Lalu memangnya kenapa?
Kami tidak dikurung di kandang, kami dilatih untuk bekerja, anak-anak dididik
di sekolah. Mereka yang berusia di atas empat belas tahun jadi tamtama di
militer dan disapa dengan hormat dengan panggilan, “Prajurit.” Semua pengungsi
otomatis menjadi warga Distrik 13.
Namun, tetap saja aku membenci mereka. Tapi
belakangan ini aku membenci hampir semua orang. Terutama membenci diriku
sendiri.
®LoveReads
Permukaan tanah yang kupijak terasa makin
keras, dan di bawah lapisan tebal abu, aku merasakan jalanan batu di alun-alun.
Di sekelilingku ada onggokan puing-puing yang dulu tempat toko-toko berada.
Reruntuhan gedung yang hangus menggantikan tempat yang dulunya Gedung
Pengadilan. Aku berjalan menuju tempat yang kukira-kira sebagai toko roti milik
keluarga Peeta. Nyaris tak ada yang tersisa kecuali bongkahan oven yang
meleleh. Orangtua Peeta, kedua kakak lelakinya—tak ada yang berhasil lolos ke
Distrik 13. Hanya kurang dari dua belas orang yang tinggal di wilayah
permukiman bagus di Distrik 12 yang berhasil lolos dari kobaran api. Peeta tak
punya tujuan lagi untuk pulang. Kecuali aku…
Aku menjauh dari toko roti dan menabrak
sesuatu, kehilangan keseimbanganku, lalu jatuh terduduk di atas logam yang
panas karena sinar matahari. Sejenak aku bingung melihat benda apa ini, lalu
aku teringat perubahan terbaru yang dibawa Thread untuk menghias alun-alun.
Tempat hukuman, tiang cambuk, dan ini, sisa-sisa tiang gantungan. Tidak bagus.
Ini sama sekali tidak bagus. Benakku langsung dibanjiri kilasan-kilasan yang
menyiksaku saat aku bangun maupun tidur. Peeta yang disiksa—ditenggelamkan,
dibakar, disayat, disetrum, dipenggal, dipukul—ketika Capitol berusaha mengorek
informasi tentang pemberontakan yang tak diketahuinya. Kupejamkan mataku
rapat-rapat dan berusaha menjangkau Peeta melintasi ratusan kilometer,
mengirimkan pikiran-pikiranku ke benaknya, agar dia tahu bahwa dia tidak
sendirian. Tapi kenyataannya Peeta sendirian. Dan aku tidak bisa membantunya.
Aku berlari. Menjauh dari alun-alun dan
menuju satu-satunya tempat yang tidak dihancurkan api. Aku melewati reruntuhan
rumah wali kota, tempat sahabatku Madge tinggal. Tidak ada kabar tentang dia
dan keluarganya. Apakah mereka dievakuasi ke Capitol karena kedudukan ayahnya,
atau tewas dilalap api? Abu beterbangan di sekelilingku, dan aku mengangkat
ujung kemejaku menutupi mulutku. Aku tidak perlu bertanya-tanya abu apa yang
kuhirup ini, tapi pertanyaan abu siapa ini yang membuatku tercekat.
Rumput hangus terbakar dan salju berwarna
kelabu juga jatuh di sini, tapi dua belas rumah bagus di Desa Pemenang sama
sekali tak tersentuh. Aku menerjang masuk ke rumah yang jadi tempat tinggalku
selama setahun terakhir, lalu kubanting pintu hingga tertutup, dan bersnadar di
pintu. Tempat ini seakan tak tersentuh. Bersih. Sunyi hingga ngerinya
memekakkan. Kenapa aku kembali ke 12? Bagaimana kunjungan ini bisa membantuku
menjawab pertanyaan yang menghantuiku?
“Apa yang akan kulakukan?” Aku berbisik pada
dinding-dinding rumah ini. Karena aku sungguh tidak tahu.
Orang-orang terus berbicara padaku, bicara,
bicara, bicara tanpa henti. Plutarch Heavensbee. Asistennya yang penuh
perhitungan, Fulvia Cardew. Pemimpin-pemimpin yang tidak jelas posisinya di
distrik. Para pejabat militer. Tapi bukan Alma Coin, presiden Distrik 13, yang
hanya mengamatiku. Usia wanita itu sekitar lima puluhan, dengan rambut beruban
yang tergerai rapi di bahunya. Entah bagaimana aku terpesona memandang rambutnya,
karena rambutnya tampak seragam, tanpa cela, mulus, bahkan tidak pecah-pecah
ujungnya. Matanya berwarna kelabu, tapi tidak seperti mata penduduk di Seam.
Matanya amat pucat, seakan semua warna tersedot keluar dari mata itu. Warnanya
seperti lumpur salju yang kauharap akan segera meleleh.
Yang mereka inginkan adalah aku
sungguh-sungguh mengambil peran yang mereka rancang untukku. Simbol revolusi.
Sang Mockingjay.
Tidak
cukup bagi mereka dengan apa yang kulakukan di masa lalu, menentang Capitol dalam
Hunger Games, memberikan titik awal perlawanan. Sekarang aku harus jadi
pemimpin yang sesungguhnya, wajah, suara, perwujudan revolusi. Orang yang di
mata distrik-distrik—yang sebagian besar sudah melakukan perang terbuka
terhadap Capitol—dapat diandalkan untuk mengobarkan jalan menuju kemenangan.
Aku tidak perlu melakukannya sendirian. Mereka punya tim lengkap untuk
mendandaniku, mengatur pakaianku, menuliskan pidatoku, merancang
penampilanku—seakan hal itu tidak terdengar mengerikan saking tidak asingnya di
telingaku—dan yang harus kulakukan adalah memainkan peranku.
Kadang-kadang aku mendengarkan mereka dan
kadang-kadang aku hanya memandangi rambut Coin yang sempurna sisirannya dan
berpikir apakah itu wig. Pada akhirnya aku meninggalkan ruangan karena kepalaku
mulai sakit atau sudah waktunya makan atau jika aku tidak segera keluar dari
ruang bawah tanah ini aku mungkin bakal menjerit. Aku tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Aku hanya berdiri lalu berjalan keluar.
Kemarin siang, ketika pintu menutup di
belakangku, aku mendengar Coin berkata, “Sudah kubilang kita seharusnya
menyelamatkan anak lelaki itu lebih dulu.” Maksudnya pasti Peeta. Aku setuju
sepenuhnya. Dia akan jadi corong suara yang amat baik.
Dan siapa yang mereka selamatkan lebih dulu
dari arena? Aku, yang tidak mau bekerja sama, Beetee, si penemu yang sudah tua
dari Distrik 3, yang jarang kutemui karena dia ditarik ke bagian pengembangan
senjata saat sudah bisa duduk tegak. Bisa dibilang, mereka mendorong ranjang
rumah sakitnya ke wilayah rahasia dan sekarang Beetee hanya sesekali muncul
untuk makan. Dia sangat pintar dan sangat mau membantu perjuangan, tapi dia
bukan tipe orang yang bisa mengobarkan api. Lalu ada Finnick Odair, simbol seks
dari distrik nelayan, yang menjaga Peeta tetap hidup di arena saat aku tidak
sanggup melakukannya. Mereka juga mau mengubah Finnick menjadi pemimpin
perjuangan, tapi saat ini mereka harus bisa membuatnya bisa sadar lebih dari
lima menit. Bahkan saat Finnick sadar, kau harus mengulang ucapanmu tiga kali
agar bisa masuk otaknya.
Para
dokter bilang itu karena sentruman listrik yang diterimanya di arena, tapi aku
tahu masalahnya jauh lebih rumit daripada itu. Aku tahu Finnick tidak bisa
memusatkan perhatian pada apa pun di 13 karena dia berusaha keras melihat apa
yang terjadi di Capitol terhadap Annie, gadis gila dari distriknya,
satu-satunya orang di muka bumi ini yang dicintai Finnick.
Meskipun ada beberapa hal yang tidak kusukai,
tetapi aku harus memaafkan Finnick atas perannya dalam konspirasi yang
mendaratkan aku ke tempat ini. Paling tidak, dia tahu apa yang kualami. Dan
butuh energi yang amat banyak untuk marah pada seseorang yang menangis
terus-menerus.
Aku bergerak menuruni tangga dengan kaki
pemburuku, enggan menciptakan suara. Kuambil beberapa kenang-kenangan: foto
pernikahan orangtuaku, pita rambut biru untuk Prim, buku keluarga tentang
tanaman obat dan tanaman yang bisa dimakan. Buku itu terbuka pada halaman yang
bergambar bunga-bunga kuning dan aku buru-buru menutupnya karena Peeta-lah yang
menggambar dan mewarnai bunga itu.
Apa yang akan kulakukan?
Apakah ada gunanya melakukan sesuatu? Ibuku,
adik perempuanku, dan keluarga Gale akhirnya aman. Dan sisa penduduk 12, kalau
tidak mati, yang artinya tak bisa tertolong lagi, terlindung di 13. Sisanya
tinggal para pemberontak di distrik-distrik. Tentu saja, aku benci Capitol,
tapi aku tidak percaya bahwa dengan menjadi Mockingjay akan memberi manfaat
bagi mereka yang berusaha menggulingkannya.
Bagaimana
aku bisa membantu distrik-distrik itu saat setiap kali aku melakukan sesuatu,
hasilnya selalu penderitaan dan ada orang yang tewas? Lelaki tua di Distrik 11
ditembak karena bersiul. Tindakan keras di 12 terjadi setelah aku ikut campur
ketika Gale dicambuk. Penata gayaku, Cinna, diseret dalam keadaan tak sadarkan
diri dan berdarah-darah, dari Ruang Peluncuran sebelum Hunger Games.
Sumber-sumber Plutarch yakin Cinna tewas dalam interogasi. Cinna yang brilian,
penuh teka-teki dan menyenangkan, tewas karena aku. Kusingkirkan pikiran itu
jauh-jauh karena terlalu menyakitkan rasanya memikirkan itu tanpa aku
kehilangan peganganku yang rapuh terhadap seluruh situasi ini.
Apa yang akan kulakukan?
Menjadi Mockingjay… mungkinkah ada kebaikan
yang bisa mengimbangi kerusakan yang terjadi? Siapa yang bisa kupercaya untuk
menjawab pertanyaan itu? Jelas bukan orang dari Distrik 13 itu. Aku bersumpah,
sekarang setelah keluargaku dan Gale tidak lagi dalam bahaya, aku bisa
melarikan diri. Kecuali satu urusan yang belum selesai, Peeta. Jika aku yakin
dia sudah tewas, aku bisa menghilang ke hutan dan tak pernah kembali lagi. Tapi
sebelum itu terjadi, aku terperangkap.
Aku berputar balik ketika mendengar suara
desisan. Di ambang pintu dapur, dengan punggung melengkung, kuping menegang,
berdiri kucing jantan paling jelek sedunia. “Buttercup,” kataku. Ribuan orang
mati, tapi kucing ini selamat dan tampak makan dengan baik. Makan apa? Dia
selalu bisa keluar-masuk rumah melalui jendela yang selalu kami buka di dapur.
Dia pasti makan tikus ladang. Aku tidak mau memikirkan kemungkinan makanan yang
lain.
Aku berjongkok dan mengulurkan tangan,
“Kemari, boy.” Sepertinya dia tidak mau. Dia marah karena ditinggal. Selain
itu, aku tidak menawarinya makanan, dan kemampuanku untuk membawakan daging
sisa selalu jadi sifat utamaku yang bisa diterimanya. Selama beberapa saat,
ketika kami biasa bertemu di rumah lama karena kami sama-sama tidak menyukai
rumah lama ini, kami sepertinya punya sedikit ikatan. Masa itu jelas sudah
berlalu. Dia mengedipkan mata kuningnya beberapa kali, tanda tidak senang.
“Mau bertemu Prim?” tanyaku. Nama Prim
menarik perhatiannya. Selain namanya sendiri, Prim adalah satu-satunya kata
yang berarti untuknya. Dia mengeong pelan dan menghampiriku. Kuangkat dia,
kubelai bulunya, lalu pergi ke lemari untuk mengambil tas berburuku, lalu
kejejalkan kucing itu ke dalam tas. Tak ada cara lain bagiku untuk membawanya
ke pesawat ringan, dan kucing itu berarti segalanya bagi adikku. Kambingnya. Lady,
binatang yang memiliki manfaat nyata, sayangnya tidak memperlihatkan batang
hidungnya.
Melalui headset, aku mendengar suara Gale
yang mengatakan bahwa kami harus kembali. Tapi tas berburuku mengingatkanku ada
satu benda lagi yang kuinginkan. Kusampirkan tas ke punggung kursi dan bergegas
naik ke kamar tidurku. Di dalam lemari tergantung jaket berburu milik ayahku.
Sebelum Quell, aku membawanya kemari dari rumah lamaku, kupikir keberadaan
jaket ini bisa memberi kenyamanan untuk ibuku dan adikku kalau aku tewas.
Untunglah, kalau tidak jaket ini sudah jadi abu sekarang.
Kulit yang lembut ini terasa menenangkan dan
sejenak aku merasa tenang mengingat jam-jam yang kuhabiskan memakai jaket ini.
Lalu, tanpa bisa dijelaskan, kedua telapak tanganku mulai berkeringat. Sensasi
aneh merayapi tengkukku. Kepalaku menoleh cepat ke belakang dan melihat kamar
ini kosong. Rapi. Segalanya ada di tempat yang seharusnya. Tak ada suara yang
membuatku harus waspada. Lalu apa?
Hidungku mengernyit. Bau itu. Palsu dan
memuakkan. Sejumput benda berwarna putih mengintip keluar dari vas yang bersisi
bunga-bunga kering di atas meja riasku. Aku berjalan hati-hati mendekatinya. Di
sana, tersamar keberadaannya karena bunga-bunga lain yang tak pernah layu,
bunga mawar putih yang masih segar. Sempurna. Hingga ke duri dan kelopaknya
yang keperakan.
Dan aku langsung tahu siapa yang mengirimnya
untukku.
Presiden Snow.
Ketika isi perutmu mulai naik karena mencium
bau busuknya, aku segera mundur dan menjauh. Sudah berapa lama bunga itu berada
di sini? Sehari? Sejam? Para pemberontak melakukan pemeriksaan keamanan di Desa
Pemenang sebelum aku diizinkan untuk datang kemari, memeriksa apakah ada bom,
alat penyadap, apa pun yang tidak wajar. Tapi bunga mawar mungkin tidak penting
bagi mereka. Hanya bagiku.
Di bawah, aku merenggut tas berburuku dari
kursi, tas itu terpental-pental ke lantai sampai aku ingat bahwa tas itu ada
isinya. Di halaman, dengan panik aku memanggil pesawat ringan sementara
Buttercup meronta-ronta. Kusikut dia, tapi malah hanya membuatnya makin marah.
Pesawat ringan muncul dan tangga dilempar turun. Aku menaiki tangga dan arus
listrik membekukanku sementara aku diangkat menuju pesawat.
Gale membantuku turun dari tangga. “Kau
baik-baik saja?”
“Yeah,” kataku, menyeka keringat dari wajahku
dengan ujung lengan bajuku.
Dia meninggalkan bunga mawar untukku! Aku
ingin berteriak begitu, tapi aku yakin ini bukan informasi yang ingin kubagi
dengan seseorang seperti Plutarch. Pertama, karena itu akan membuatku terdengar
sinting. Seolah-olah aku cuma membayangkannya, dan itu amat mungkin terjadi,
atau aku cuma bersikap berlebihan, yang hanya akan membuatku diseret masuk ke
alam mimpi dengan obat tidur sementara aku berusaha keras untuk bisa lepas dari
itu semua. Tak ada seorang pun yang sepenuhnya mengerti—bahwa itu bukan sekadar
bunga, bukan sekadar bunga milik Presiden Snow, tapi janji balas dendam—karena
tak ada orang lain yang duduk di ruang belajar bersamanya ketika dia
mengancamku sebelum Tur Kemenangan.
Bunga mawar putih, seputih salju, yang diletakkan
di meja riasku adalah pesan pribadi untukku. Menyatakan adanya urusan yang
belum selesai. Membisikkan kata-kata, Aku bisa menemukanmu, Aku bisa
menjangkaumu. Mungkin aku sedang mengawasimu sekarang.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Mockingjay Bab 1"
Posting Komentar