Catching Fire Bab 9



Bab 9

ADA yang mengguncang-guncang bahuku lalu aku duduk. Aku tertidur dengan wajah tertelungkup diatas meja. Kain taplak putih meninggalkan garis tidur di pipiku yang tidak luka. Pipiku yang satu lagi, yang terkena cambukan Thread berdenyut sakit. Gale belum siuman, tapi jemarinya masih bertautan dengan jemariku. Aku mencium aroma roti segar lalu menoleh dengan leher kaku dan melihat Peeta sedang menunduk memandangku dengan ekspresi wajah sedih. Aku merasa dia sudah mengawasi kami selama beberapa waktu.
"Naiklah ke tempat tidur, Katniss. Aku akan menjaganya sekarang," kata Peeta.
"Peeta. Tentang omonganku kemarin, tentang melarikan diri..," aku hendak menjelaskan.
"Aku tahu," sahutnya. "Tak perlu dijelaskan."
Aku melihat sebongkah roti di meja dapur dalam sorotan cahaya pagi bersalju yang pucat. Bayangan biru tampak di bawah matanya. Aku penasaran apakah Peeta sempat tidur. Jika ya, pasti tidak lama. Aku berpikir tentang kesediaannya pergi denganku kemarin, keberaniannya untuk melangkah ke sampingku membela Gale, kerelaannya untuk menyerahkan nasibnya ke tanganku sementara aku nyaris tak memberinya apa-apa. Apapun yang kulakukan, aku menyakiti seseorang.
"Peeta..."
"Tidur sajalah, oke?" katanya.
Aku meraba-raba jalanku menaiki tangga, merangkak ke bawah selimut dan jatuh tertidur seketika. Entah kapan Clove, gadis dari Distrik 2, masuk ke dalam mimpiku. Dia mengejarku, menindihku ke tanah dan mengeluarkan pisau untuk mengiris wajahku. Irisannya dalam di pipiku, sampai lukanya menganga lebar.
Lalu Clove mulai bertransformasi, wajahnya memanjang membentuk moncong, bulu berwarna gelap menyembul dari kulitnya, kuku-kuku jarinya tumbuh menjadi cakar-cakar panjang, tapi matanya tak berubah. Dia menjadi mutan, versi serigala yang diciptakan Capitol dan meneror kami pada hari terakhir di arena. Sambil menengadah, dia melolong mengerikan yang langsung disambut lolongan mutan-mutan di dekatnya. Clove mulai menghirup darah yang mengalir dari lukaku, setiap kali dia menjilatnya aku merasakan gelombang rasa sakit yang baru di wajahku.
Aku memekik tertahan dan mendadak bangun, berkeringat dan menggigil pada saat yang sama. Seraya memegangi luka di pipiku, aku mengingatkan diriku bahwa bukan Clove tapi Thread yang melukaiku. Aku berharap Peeta ada disini memelukku, sampai aku ingat bahwa aku tak boleh lagi berharap seperti itu. Aku sudah memilih Gale dan pemberontakan, dan masa depan bersama Peeta adalah rancangan Capitol, bukan rencanaku.
Pembengkakan di sekitar mataku sudah mulai kempis dan aku bisa membuka mataku sedikit. Kudorong tirai ke samping dan melihat salju turun makin hebat hingga menjadi badai salju. Hanya ada warna putih sepanjang mata melihat dan lolongan angin yang mirip lolongan para mutan. Badai ini mungkin cukup untuk menjauhkan serigala-serigala sungguhan, yang dikenal dengan nama Penjaga Perdamaian, agar tak mengetuk pintuku.
Beberapa hari berpikir. Membuat rencana. Bersama Gale, Peeta dan Haymitch yang semuanya berada disini. Badai salju ini merupakan berkah. Tapi sebelum aku turun dan menghadapi kehidupan yang baru ini, aku meluangkan waktu agar otakku bisa memahami arti semua ini. Kurang dari satu hari, aku siap menembus hutan liar bersama orang-orang yang kucintai dalam pertengahan musim dingin, dengan kemungkinan Capitol memburu kami. Itu merupakan spekulasi yang berbahaya.Tapi kini aku melakukan sesuatu yang lebih beresiko. Melawan Capitol menjamin pembalasan kilat dari mereka.
Aku harus menerima kenyataan bahwa aku bisa ditangkap kapan saja. Bakal ada penyiksaan. Mutilasi. Peluru yang ditembakkan ke otakku di alun-alun kota jika aku cukup beruntung bisa mati secepat itu. Capitol tak pernah kehabisan cara kreatif untuk membunuh orang. Aku membayangkan semua hal ini dan aku ketakutan, tapi jujur saja: Mereka juga sudah menghantui benakku sekian lamanya. Aku menjadi peserta Hunger Games. Diancam oleh Presiden. Kena cambukan diwajah. Aku sudah menjadi sasaran.
Sekarang bagian yang lebih berat. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa keluarga dan teman-temanku mungkin mengalami nasib yang sama ini. Prim. Aku hanya perlu memikirkan Prim dan semua tekadku tercerai-berai. Sudah tugasku untuk melindunginya. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku, dan napasku sangat cepat sehingga semua oksigenku habis dan aku mulai tercekik kehabisan udara. Aku tak bisa membiarkan Capitol menyakiti Prim.
Lalu aku tersadar. Mereka sudah melakukannya. Mereka sudah membunuh ayahku di tambang bobol itu. Mereka diam saja ketika Prim kelaparan hampir mati. Mereka telah memilihnya sebagai peserta, lalu membuatnya menonton aku bertarung sampai mati di Hunger Games. Dia sudah disakiti lebih daripada yang kualami ketika aku berusia 12 tahun. Dan semua yang kami alami itu tak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam hidup Rue.
Kudorong selimut jauh-jauh dan kuhirup udara dingin yang berembus masuk lewat sela-sela jendela. Prim.. Rue.. bukankah demi mereka aku harus berusaha berjuang? Karena tak ada seorangpun yang berhak memperlakukan mereka seperti yang telah mereka terima selama ini?
Ya. Inilah yang harus kuingat ketika rasa takut mengancam untuk menenggelamkanku. Apa yang hendak kulakukan, apapun yang terpaksa dialami oleh kami semua, adalah demi mereka. Sudah terlambat menolong Rue, tapi mungkin belum terlambat bagi 5 wajah mungil yang mendongak memandangku dari alun-alun Distrik 11. Belum terlambat bagi Rory, Vick dan Posy. Belum terlambat bagi Prim.
Gale benar. Jika orang-orang memiliki keberanian, ini bisa jadi kesempatan. Dia juga benar, karena aku yang memulainya, aku bisa melakukan banyak hal. Meskipun aku tak tau apa persisnya yang bisa kulakukan. Tapi memutuskan untuk tidak melarikan diri adalah langkah pertama yang penting.
Aku mandi, dan pagi ini otakku memikirkan bagaimana cara mereka mengorganisir pemberontakan di Distrik 8. Begitu jelas dan banyak orang-orang yang tampak menentang Capitol. Apakah pemberontakan itu direncanakan, atau hanya meledak begitu saja akibat kebencian dan kemarahan yang terpendam bertahun-tahun? Bagaimana caranya agar kami bisa melakukan hal semacam itu disini? Apakah penduduk Distrik 12 mau bergabung atau mengunci pintu mereka?
Kemarin alun-alun senyap seketika setelah pencambukkan Gale. Tapi bukankah itu karena kami semua merasa tak berdaya dan tak tau apa yang harus dilakukan? Kami butuh seseorang yang bisa mengarahkan kami dan meyakinkan kami bahwa ini mungkin untuk dilakukan. Dan menurutku orangnya bukanlah aku.
Aku mungkin menjadi katalisator untuk pemberontakan, tapi pemimpin haruslah orang yang punya keyakinan, sementara keyakinanku sendiri masih tipis. Seseorang yang memiliki keberanian tak tergoyahkan, sementara aku masih berusaha keras menemukan keberanianku sendiri. Seseorang yang bisa bicara dengan kata-kata yang jelas dan persuasif, sementara aku mudah sekali kehilangan kata-kata.
Kata-kata. Kalau aku memikirkan kata-kata, yang terlintas dalam benakku adalah Peeta. Bagaimana orang-orang melahap semua ucapannya. Aku yakin, dia bisa menggerakkan massa untuk beraksi, jika dia mau. Dia bisa menemukan hal-hal yang pantas diucapkan. Tapi aku yakin pemikiran ini tak pernah terpikir olehnya.
Dilantai bawah, aku melihat ibuku dan Prim merawat Gale yang masih lemah. Melihat wajah Gale, tampaknya dia sudah tak lagi berada dibawah pengaruh obat. Kukuatkan diriku menghadapi pertengkaran lain tapi kujaga suaraku agar tetap tenang. "Bisakah Mom memberinya suntikan lagi?"
"Akan kulakukan, jika dia membutuhkannya. Kami pikir sebaiknya kami mencoba membalurkannya dengan salju lebih dulu," kata ibuku.
Perban Gale sudah dilepas. Aku nyaris bisa melihat panas menguap dari punggungnya. Ibuku menaruh kain bersih diatas luka menganga itu lalu mengangguk pada Prim.
Prim menghampirinya, mengaduk benda yang serupa dengan semangkuk salju. Tapi ada warna hijau cerah di salju itu. Baluran salju. Dengan hati-hati dia mulai menyendokkan salju itu keatas kain. Aku nyaris bisa mendengar desisan kulit Gale yang tersiksa ketika terkena campuran salju itu. Matanya mengerjap-ngerjap terbuka, bingung, lalu dari mulutnya terdengar desahan lega.
"Untung kita punya salju," kata ibuku.
Kupikirkan seperti apa rasanya jika diobati sehabis dicambuk pada musim panas, dengan suhu udara menyengat dan air sangat suam-suam kuku dari keran. "Apa yang Mom lakukan pada bulan-bulan yang hangat?"
Dahi ibuku berkerut ketika dia mengernyit. "Berusaha menjauhkan lalat-lalat agar tak mendekat."
Perutku langsung bergolak membayangkannya. Ibuku menaruh campuran baluran salju itu ke dalam sapu tangan dan menaruhnya ke luka di pipiku. Rasa sakit hilang dalam sekejap. Dingin yang di hasilkan salju dan apapun campuran herbal yang ditambahkan ibuku ke dalamnya membuat lukaku mati rasa. "Oh. Enak sekali. Kenapa Mom tak menaruh ini pada luka Gale semalam?"
"Lukanya perlu menyusut lebih dulu," kata ibuku.
Aku tak paham benar maksud ibuku, tapi selama obat ini bekerja, siapakah aku ini yang mempertanyakan pengetahuannya? Ibuku tau apa yang dia lakukan. Mendadak aku merasakan sengatan penyesalan mengingat kejadian kemarin, segala kata-kata buruk yang kuteriakkan padanya ketika Peeta dan Haymitch menyeretku keluar dari dapur. "Aku minta maaf. Karena berteriak-teriak seperti kemarin."
"Aku pernah mendengar yang lebih buruk," jawab ibuku. "Kau bisa melihat sejatinya orang itu, ketika orang yang mereka cintai dalam kesakitan."
Orang yang mereka cintai. Kata-kata itu membuat lidahku kelu. Tentu saja aku mencintai Gale. Tapi cinta seperti apa yang dimaksud ibuku? Apa yang kumaksud ketika aku bilang aku mencintai Gale? Aku tak tau.
"Mana Peeta?" tanyaku.
"Dia pulang setelah mendengar kau tidur. Dia tak mau meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong ketika badai," kata ibuku.
"Apakah dia sudah pulang dengan selamat?" tanyaku. Dalam badai salju, orang bisa saja tersesat dan kehilangan arah.
"Kenapa kau tak meneleponnya dan mencari tau?" tanya ibuku.
Aku masuk ke ruang kerja, ruang yang kuhindari sejak pertemuanku dengan Presiden Snow, lalu menghubungi nomor telepon Peeta. Setelah beberapa kali deringan dia menjawab.
"Hei. Aku hanya ingin memastikan kau sudah pulang," kataku.
"Katniss, rumahku cuma berjarak tiga rumah dari rumahmu," jawabnya.
"Aku tau, tapi dengan cuaca seperti ini..," kataku.
"Yah, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakannya." Terdengar jeda yang panjang. "Bagaimana keadaan Gale?"
"Baik. Ibuku dan Prim memberinya baluran salju," jawabku.
"Dan bagaimana wajahmu?" tanya Peeta.
"Sudah dibalur juga," jawabku. "Kau sudah bertemu Haymitch hari ini?"
"Aku sudah melihat keadaannya. Teler berat. Tapi aku sudah menyalakan perapian dan meninggalkan roti di rumahnya," kata Peeta.
"Aku ingin bicara dengan.. kalian berdua." Aku tak berani menambahkan lewat telepon ini, yang pastinya sudah disadap.
"Mungkin harus menunggu sampai cuaca lebih baik," katanya. "Lagi pula, takkan terjadi apa-apa sebelum cuaca reda."
"Ya, takkan terjadi apa-apa," aku menyetujuinya.
®LoveReads
Butuh waktu dua hari sampai badai lewat dengan sendirinya, meninggalkan kami dengan tumpukan salju yang lebih tinggi daripada kepalaku. Masih satu hari lagi sebelum salju dibersihkan dari jalan di Desa Pemenang menuju alun-alun. Pada saat itu aku membantu merawat Gale, membalurkan salju ke pipiku, dan berusaha mengingat segala yang bisa kuingat tentang pemberontakan di Distrik 8, dengan harapan bisa membantu kami.
Bengkak di wajahku sudah berkurang meninggalkan luka yang nyaris sembuh namun gatal dan mata yang lebam. Tapi tetap saja, pada kesempatan pertama aku bisa keluar dari rumah, aku menelpon Peeta untuk mengajaknya ke kota bersamaku.
Kami membangunkan Haymitch dan menyeretnya pergi ke sana. Dia mengeluh, tapi tidak secerewet biasanya. Kami tahu bahwa kami perlu membicarakan apa yang terjadi dan tidak bisa dilakukan di mana pun di tempat serberbahaya di rumah kami di Desa Pemenang. Bahkan, kami menunggu hingga rumah kami sudah jauh tak terlihat sebelum mulai bicara. Aku menghabiskan waktu memperhatikan dinding salju setinggi tiga setengah meter di sisi kanan-kiri jalan yang sudah dibersihkan, dalam hati bertanya-tanya apakah salju itu akan menjatuhi kami.
Akhirnya Haymitch yang memecah kesunyian.
"Jadi kita semua akan pergi ke tempat asing tak dikenal ya?" dia bertanya padaku.
"Tidak," jawabku. "Tidak lagi."
"Sudah menemukan banyak cacat dalam rencana itu ya, sweetheart?" tanyanya. "Ada gagasan baru?"
"Aku ingin memulai pemberontakan," kataku.
Haymitch cuma tertawa. Bahkan bukan jenis tawa jahat, sehingga membuatnya jadi lebih menyebalkan. Ini menunjukkan bahwa dia tak bisa menganggapku serius.
"Aku mau minum. Tapi jangan lupa kabari aku perkembangannya ya," ujar Haymitch.
"Kalau begitu apa rencanamu?" aku membentaknya.
"Rencanaku adalah memastikan segalanya sempurna untuk pernikahanmu," kata Haymitch. "Aku sudah menelpon dan menjadwal ulang foto tanpa memberitahukan terlalu banyak informasi kepada mereka."
"Kau kan tidak punya telepon," kataku.
"Effie sudah menyuruh memperbaikinya," kata Haymitch. "Kau tahu tidak? Dia bertanya apakah aku mau jadi wali yang melepasmu? Kubilang padanya, lebih cepat lebih baik."
"Haymitch." Aku bisa mendengar nada permohonan menyusup dalam suaraku.
"Katniss." Dia meniru nada suaraku. "Takkan berhasil."
Kami diam ketika sekelompok orang membawa sekop berjalan melewati kami menuju Desa Pemenang. Mungkin mereka bisa melakukan sesuatu terhadap dinding salju tiga setengah meter itu. Dan pada saat mereka sudah di luar jangkauan pendengaran, kami sudah berada di dekat alun-alun. Kami berjalan ke sana, dan langsung berhenti berjalan bebarengan.
Takkan terjadi apa-apa selama badai salju. Itu yang aku dan Peeta sepakati bersama. Tapi kami salah besar. Alun-alun sudah berubah toral. Bendera raksasa dengan lambang negara Panem tergantung di atas atap Gedung Pengadilan. Para Penjaga Perdamaian, dengan seragam putih bersih, berbaris di jalanan berbatu yang sudah disapu bersih. Di atap-atap, lebih banyak lagi yang berjaga-jaga dengan senapan mesinnya. Yang paling mengerikan adalah rentetan bangunan baru—tiang cambuk resmi, beberapa benteng pertahanan, dan tiang gantungan—yang didirikan tepat di tengah-tengah alun-alun.
"Thread pekerja yang cepat," kata Haymitch.
Beberapa jalan dari alun-alun, aku bisa melihat api berkobar. Tak ada seorang pun yang mengatakannya. Itu pasti Hob yang dihanguskan. Aku memikirkan Greasy Sae, Ripper, dan semua sahabatku yang mencari nafkah di sana.
"Haymitch menurutmu orang-orang tidak berada di dalam..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku.
"Tidak, mereka lebih pandai daripada itu. Kau juga, jika kau sudah hidup lebih lama," katanya. "Lebih baik aku pergi sekarang dan melihat seberapa banyak alkohol yang bisa disisakan oleh apoteker."
Dia berjalan dengan susah payah dan aku memandang Peeta.
"Buat apa dia mau alkohol?" Lalu aku menyadari jawabannya. "Kita tidak bisa. Dia bisa mati atau paling tidak dia bisa buta. Aku punya persediaan minuman keras di rumah.'
"Aku juga. Mungkin minuman itu bisa menahannya sampai Ripper kembali berdagang," kata Peeta. "Aku harus memeriksa keadaan keluargaku."
"Aku harus bertemu Hazelle." Sekarang aku kuatir. Kupikir dia sudah di ambang pintu rumah ketika salku sudah dibersihkan. Tapi tidak ada tanda keberadaannya.
"Aku temani. Biar nanti aku mampir di toko roti dalam perjalanan pulang," kata Peeta.
"Terima kasih." Mendadak aku sangat takut membayangkan apa yang bakal kutemukan.
Jalan-jalan nyaris kosong, seharusnya ini tidak janggal pada jam sibuk seperti ini jika orang-orang bekerja di tambang, anak-anak di sekolah. Tapi kenyataannya tidak. Aku bisa melihat wajah-wajah mengintip memandang kami di ambang pintu, atau di celah-celah penutup jendela.
Pemberontakan, pikirku. Aku tolol sekali. Ada cacat yang melekat dalam rencana ini. Pemberontakan artinya melanggar hukum, melawan pihak berwenang. Kami sudah melakukan itu seumur hidup kami, atau paling tidak keluarga-keluarga kami melakukannya. Berburu, berjualan di pasar gelap, mengejek Capitol di hutan. Tapi bagi banyak orang di Distrik 12, berjalan ke Hob untuk membeli sesuatu di anggap terlalu berisiko. Dan aku mengharapkan mereka berkumpul di alun-alun dengan batu bara dan obor? Bahkan melihat keberadaan aku dan Peeta saja mampu membuat orang-orang menarik anak-anak mereka menjauh dari jendela dan menutupnya lebih rapat.
Kami menemukan Hazelle di rumahnya, sedang merawat Posy yang sakit keras. Aku mengenali bintik-bintik campak di tubuhnya.
"Aku tidak bisa meninggalkannya," kata Hazelle. "Aku tahu Gale ada di tangan-tangan terbaik."
"Tentu saja," jawabku. "Dia sudah jauh lebih baik. Ibuku bilang dia bisa kembali bekerja di tambang dalam waktu beberapa minggu lagi."
"Mungkin tambang juga baru dibuka lagi pada saat itu," kata Hazelle. "Kabarnya mereka menutup tambang sampai ada pemberitahuan lebih lanjut." Hazelle memandang bak cuci pakaian yang kosong dengan gelisah.
"Kau juga tutup?" tanyaku.
"Tidak secara resmi," sahut Hazelle. "Tapi semua orang takut memakai jasaku sekarang."
"Mungkin karena salju," kata Peeta.
"Tidak. Rory berkeliling pagi ini. Ternyata tidak ada yang punya cucian," ujar Hazelle.
Rory memeluk Hazelle. "Kita akan baik-baik saja."
Kuambil segenggam uang dari kantongku dan menaruhnya di meja. "Ibuku akan mengirimkan obat untuk Posy."
Setelah kami berada di luar, aku menoleh memandang Peeta. "Kau pulang saja. Aku ingin ke Hob."
"Aku ikut denganmu," katanya.
"Tidak. Aku sudah cukup menyeretmu ke dalam masalah," kataku.
"Dan tidak berjalan di Hob... akan membantuku menyelesaikan masalahnya?" Dia tersenyum dan menggandeng tanganku.
Berdua kami berjalan melewati jalan-jalan di Seam sampai kami tiba di bangunan yang terbakar. Mereka bahkan tidak merasa perlu meninggalkan Penjaga Perdamaian untuk menjaganya. Mereka tahu tak ada seorang pun yang bakal mau berusaha menyelamatkannya. Panas dari api melelehkan salju di sekitarnya dan bercak-bercak hitam jatuh ke sepatuku.
"Ini semua debu batu bara, dari hari-hari lampau," kataku. Ada di setiap celah dan retakan. Jatuh ke sela-sela lantai. Hebat juga tempat ini tidak terbakar sejak dulu. "Aku ingin mencari Greasy Sae."
"Jangan hari ini, Katniss. Kurasa kita tidak membantu dengan mendatangi mereka," katanya.
Kami kembali ke alun-alun. Aku membeli kue dari ayah Peeta sementara ayah dan anak itu bicara basa-basi tentang cuaca. Tak ada seorang pun yang menyinggung alat-alat penyiksaan jelek itu yang hanya beberapa meter dari pintu depan rumah mereka. Hal terakhir yang kuingat ketika meninggalkan alun-alun adalah aku sama sekali tidak mengenali satu pun wajah-wajah dari Penjaga Perdamaian.
Seiring hari berlalu, keadaan berubah dari buruk menjadi makin buruk. Tambang tetap ditutup selama dua minggu, dan pada saat itu setengah penduduk di Distrik 12 kelaparan. Jumalah anak-anak yang mendaftar tessera melonjak, tapi sering kali mereka tidak menerima gandum jatah mereka. Mulai timbul kekurangan makanan, bahkan mereka yang punya uang pun pulang dari toko dengan tangan kosong.
Ketika tambang dibuka lagi, gaji dipotong, jam kerja di perpanjang, para penambang terang-terangan dikirim ke wilayah tambang yang berbahaya. Makanan yang ditunggu dengan penuh harap pada Hari Parsel datang namun dipenuhi dengan binatang pengerat. Alat-alat penyiksaan di alun-alun menjadi saksi orang-orang yang diseret ke sana lalu dihukum atas pelanggaran yang sudah lama terlupakan, bahwa apa yang mereka lakukan ilegal.
Gale pulang tampa bicara lagi soal pemberontakan. Tapi aku tidak bisa tidak berpikir bahwa segala yang dilihatnya hanya akan memperkuat tekadnya untuk melawan. Kerja keras di tambang, tubuh-tubuh yang disiksa di alun-alun, kelaparan di wajah-wajah anggota keluarganya. Rory sudah mendaftar untuk tessera, bahkan itu tidak bisa diceritakan Gale, tapi tetap saja semua itu tidak cukup dengan ketiadaan barang dan naiknya harga makanan.
Satu-satunya hal yang mencerahkan adalah aku berhasil memaksa Haymitch untuk membayar Hazelle sebgai pembantu rumah tangganya, hasilnya adalah pendapatan tambahan untuk Hazelle dan peningkatan standar hidup Haymitch. Rasanya aneh berada di rumah Haymitch yang segar dan bersih, dengan makanan yang dihangatkan di atas kompor. Dia nyaris tidak memperhatikannya karena dia sibuk dengan pertarungan lain. Aku dan Peeta berusaha membatasi minumannya dengan apa yang kami miliki, tapi minuman keras kami pun hampir habis, dan terakhir kali kami bertemu Ripper, dia masih belum berjualan.
Aku merasa seperti orang terbuang ketika berjalan di antara jalan-jalan. Kini semua orang menghindariku di depan umum. Tapi aku tak pernah kekurangan orang di rumah. Mereka yang sakit dan terluka ada di dapur rumah kami di hadapan ibuku, yang sudah lama tidak menagih bayaran atas jasanya. Namun persediaan obat-obatan sudah menipis, tidak lama lagi dia hanya bisa merawat pasien-pasiennya dengan salju.
Tentu saja, hutan jadi wilayah terlarang. Pasti. Tak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan Gale tidak menantangnya saat ini. Tapi suatu pagi aku melakukannya. Dan alasannya bukan karena rumahku penuh dengan orang sakit dan sekarat, mereka yang punggungnya berdarah, anak-anak dengan wajah cekung, sepatu bot berbaris, atau kepedihan yang ada di mana-mana yang mendorongku untuk menerobos melewati bagian bawah pagar. Tapi kedatangan sekotak besar gaun pengantin pada suatu malam dengan catatan Effie yang mengatakan bahwa Presiden Snow sendiri yang menyetujui gaun ini.
Pernikahan. Apakah dia sungguh-sungguh berniat melanjutkan acaranya? Dalam otaknya yang sinting, apa yang dia pikir bakal dicapainya? Apakah ini demi orangorang di Capitol? Pernikahan sudah dijanjikan, makan pernikahan akan diadakan. Lalu dia bakal membunuh kami? Sebagai pelajaran bagi distrik-distrik? Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memahaminya. Aku berbaring gelisah di tempat tidur sampai aku tidak tahan lagi. Aku harus pergi dari sini. Paling tidak selama beberapa jam.
Kedua tanganku mengacak-acak isi lemari sampai aku menemukan perlengkapan musim dingun yang iseng-iseng dibuat Cinna dalam Tur Kemenangan. Sepatu bot tahan air, pakaian salju yang membungkus kepalaku hingga kaki, sarung tangan yang bisa mengalirkan panas. Aku menyukai pakaian berburuku yang lama, tapu jalur yang akan kulewati hari ini membutuhkan pakaian yang canggih. Aku berjingkat turun, memasukkan makanan ke dalam tas berburuku, dan menyelinap keluar dari rumah.
Aku berjalan mengendap-endap di sisi jalan dan gang-gang, hingga berhasil tiba di titik lemah pagar distrik yang paling dekat ke rumah Rooba si tukang daging. Karena banyak pekerja melintasi jalan ini dalam perjalanan menuju tambang, salju penuh dengan bekas kaki. Jejak kakiku takkan ketahuan. Dengan adanya peningkatan keamanan, Thread tidak terlalu memperhatikan pagar, namun dia juga membuat orang bertahan di dalam pagar. Meskipun begitu, setelah aku berada di luar pagar, kututupi jejak kakiku sampai pepohonan menutupi jejakku dengan sendirinya.
Fajar baru merekah ketika aku mengambil busur dan anak panah lalu mulai menembus jalan setapak di hutan yang dipenuhi salju. Entah kenapa, aku bertekad pergi ke danau. Mungkin untuk mengucapkan selamat tinggal pada tempat itu, pada ayahku, dan pada saat-saat bahagia yang kami habiskan di sana, karena aku tahu aku mungkin takkan kembali. Mungkin dengan demikian aku bisa bernapas lega lagi. Sebagian dari diriku tidak peduli jika mereka menangkapku, jika saja aku bisa melihatnya sekali lagi.
Perjalanan ini makan waktu dua kali lebih lama daripada biasanya. Pakaian dari Cinna bisa menahan panas tubuhku di dalam pakaian dengan baik, dan aku tiba dengan tubuh basah kuyup berkeringat sementara wajahku mati rasa kena terpaan dingin. Sinar matahari musim dingin yang garang menyinari salju telah mengaburkan pandanganku, dan aku terlalu lelah serta sibuk dengan pikiranku sendiri sehingga tidak memperhatikan tanda-tandanya.
Asap tipis dari cerobong, bekas jejak-jejak kaki, daun-daun pinus yang baru dipangkas. Jarakku hanya beberapa meter dari pintu rumah bersemen itu ketika langkahku terhenti mendadak. Aku berhenti bukan karena asap, jejak kaki, atau bau. Tapi karena bunyi senjata yang dikokang di belakangku.
Pengalaman. Insting. Aku berbalik, sambil menarik anak panah meskipun aku tahu kesempatanku tipis. Aku melihat seragam putih Penjaga Perdamaian, dagu yang lancip, bola mata cokelat muda yang jadi sasaran anak panahku. Tapi senjata orang itu dijatuhkan ke tanah dan seorang wanita tak bersenjata mengulurkan sesuatu padaku dengan tangannya yang memakai sarung tangan.
"Stop" pekiknya.
Aku ragu-ragu, tidak bisa mencerna keadaan yang mendadak berbalik ini. Mungkin mereka mendapat perintah untuk menangkapku hidup-hidup agar mereka bisa menyiksaku agar mau menyebutkan nama-nama siapa saja yang terlibat. Yeah, semoga beruntung, pikirku.
Jemariku sudah siap melepaskan anak panah ketika aku melihat benda yang ada di sarung tangan itu. Roti putih yang tipis dan bundar. Lebih mirip biskuit sebenarnya. Lembek dan menghitam di ujung-ujungnya. Tapi ada gambar yang jelas tertera di bagian tengah roti itu.
Mockingjay-ku.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 9"

Posting Komentar