Bab 8
"JANGAN" aku
menjerit lalu berlari maju.
Sudah terlambat
mencegah tangan yang memegang cambuk itu untuk berhenti bergerak turun, dan
secara naluriah aku tahu aku tak punya kekuatan untuk menghalanginya. Tapi aku
malahan melemparkan diriku tepat di antara cambuk dan Gale. Aku merentangkan
kedua lenganku untuk melindungi sebanyak mungkin tubuh Gale yang sudah
kepayahan, jadi tak ada apa pun yang bisa kupakai untuk menangkis cambukan. Aku
menerima cambukan dengan kekuatan penuh itu di sisi kiri wajahku.
Rasa sakit seketika
membutakanku. Kilatan-kilatan cahaya melintas di hadapanku dan aku langsung
berlutut. Satu tanganku memegang wajah sementara 1 tangan lain menahan berat
tubuhku supaya aku tak jatuh terguling. Aku bisa merasakan air mata yang hendak
mendesak keluar, bengkak karena luka itu membuat mataku tertutup. Batu-batuan
di bawahku basah karena darah Gale, udara terasa berat dengan bau amis darah.
"Hentikan. Kau
bisa membunuhnya" pekikku.
Aku sempat melihat
sekilas wajah penyerangku. Wajah yang keras dengan garisgaris yang dalam, dan
mulut yang keji. Rambut kelabunya dipangkas sampai hampir botak, matanya begitu
hitam seolah hanya ada pupil mata saja disana, hidung yang lurus dan panjang
tampak memerah karena udara yang dingin menggigil. Tanganku otomatis bergerak
ke punggung, mencari panah, tapi tentu saja senjataku tersimpan aman di hutan.
Aku menggertakkan gigi bersiap menghadapi cambukan berikutnya.
"Tunggu"
terdengar suara lantang.
Haymitch muncul dan
tersandung Penjaga Perdamaian yang terbaring di tanah. Ternyata Darius. Benjolan
besar berwarna ungu menonjol di sela-sela rambut merahnya di dekat dahinya. Dia
pingsan tapi masih bernapas. Apa yang terjadi? Apakah dia berusaha menolong
Gale sebelum aku tiba?
Haymitch tak
memedulikan Darius dan menarikku berdiri dengan kasar. Tangan Haymitch
mengangkat daguku. "Minggu depan dia ada pemotretan untuk menjadi model
gaun pengantin. Apa yang harus kukatakan pada penata gayanya?"
Aku melihat binar di
mata pria bercambuk itu, menunjukkan bahwa dia mengenaliku. Terbungkus pakaian
tebal di udara dingin, wajahku bebas riasan, kepang rambutku diselipkan di
balik jaket, tak mudah mengenaliku sebagai pemenang Hunger Games terakhir.
Apalagi dengan setengah wajahku yang bengkak ini. Tapi Haymitch sudah muncul
bertahun-tahun di TV, dan dia jenis orang yang sulit dilupakan.
Pria itu menyautkan
cambuk dipinggangnya. "Dia menyela hukuman yang dijatuhkan pada penjahat
yang sudah mengaku salah."
Segalannya tentang pria
ini, suaranya yang penuh kuasa, aksennya yang aneh, menyiratkan ancaman yang
asing dan berbahaya. Darimana asal pria ini? Distrik 11? 3? Langsung dari
Capitol?
"Aku tak peduli
jika dia meledakkan Gedung Pengadilan. Lihat pipinya. Kaupikir pipi semacam ini
siap untuk kamera dalam seminggu?" bentak Haymitch.
Suara pria itu masih
terdengar dingin, tapi aku bisa merasakan sedikit keraguan. "Itu bukan
masalahku."
"Bukan? Sebentar
lagi ini akan jadi masalahmu, sobat. Telepon pertamaku saat aku di rumah nanti
adalah ke Capitol," kata Haymitch. "Aku mau mencaritahu siapa yang
memberimu hak untuk merusak wajah cantik pemenang kita ini"
"Lelaki ini
berburu tanpa izin. Lagipula apa urusannya dengan dia?" tanya pria itu.
"Lelaki ini
sepupunya." Peeta menggamit lenganku sekarang, tapi genggamannya lembut.
"Dan gadis ini tunanganku. Jadi kalau kau mau menghukumnya, kau harus melewati
kami berdua."
Mungkin kamilah
orangnya. Tiga orang di distrik yang bisa berdiri melawan seperti ini. Meskipun
aku yakin semua ini cuma sementara. Bakal ada hukuman. Tapi saat ini, yang
kupikirkan adalah menjaga Gale tetap hidup. Pemimpin Penjaga Perdamaian yang
baru, menoleh ke belakang melihat pasukannya. Lega rasanya ketika aku melihat
wajah-wajah yang familier, teman-teman lamaku di Hob. Dari ekspresi wajah
mereka terlihat bahwa mereka tak menyukai kejadian yang mereka saksikan ini.
Seorang wanita bernama
Purnia yang biasa makan di Greasy Sae melangkah maju dengan kaku, "Saya
yakin, untuk pelanggaran pertama, jumlah cambukan sudah ditetapkan dalam jumlah
tertentu. Kecuali hukumannya adalah hukuman mati, yang akan dilaksanakan oleh
regu tembak."
"Apakah itu
protokol standar disini?" tanya Pemimpin Penjaga Perdamaian.
"Ya, Sir,"
jawab Purnia dan beberapa orang mengangguk setuju. Aku yakin tak ada seorangpun
yang tau, karena di Hob aturan protokol standar untuk orang yang datang membawa
kalkun liar adalah semua orang menawar untuk memperoleh daging pahanya.
"Baiklah. Bawa
pergi sepupumu dari sini, Nak. Dan jika dia sadar nanti, ingatkan dia jika lain
kali dia berburu di tanah milik Capitol, aku sendiri yang akan memilih anggota
regu tembaknya." Pemimpin Penjaga Perdamaian itu menyeka cambuknya dengan
tangan, mencipratkan jejak darahnya pada kami. Kemudian dia menggulungnya
dengan cepat dan rapi lalu berlalu pergi.
Sebagian besar Penjaga
Perdamaian lain berbaris kaku di belakangnya. Sekelompok lain mengangkat tubuh
Darius dengan memegangi kaki dan tangannya. Aku sempat menangkap tatapan Purnia
dan mulutku membentuk ucapan "Terima kasih" tanpa suara sebelum dia
pergi. Dia tak menjawab, tapi aku yakin dia memahaminya.
"Gale." Aku
berbalik, kedua tanganku berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu
pergelangan tangannya.Ada orang yang mengulurkan pisau dan Peeta memotong tali
itu. Gale langsung terjatuh ke tanah.
"Lebih baik kita
segera membawanya ke ibumu," kata Haymitch.
Tidak ada usungan, tapi
wanita di toko pakaian menjual papan penutup tokonya pada kami. "Tapi
kalian jangan bilang darimana mendapatkannya," katanya, dan segera
mengemas sisa barang-barangnya dengan cepat.
Pada saat kami
membaringkan Gale tengkurap di papan, hanya sedikit orang yang tersisa untuk
mengangkutnya pulang. Haymitch, Peeta dan beberapa penambang yang bekerja
bersama Gale mengangkatnya.
Leevy, gadis yang
tinggal beberapa rumah jauhnya dari tambang di Seam, menggandeng lenganku.
Ibuku menyelamatkan nyawa adik lelakinya tahun lalu ketika kena campak.
"Kau perlu bantuan untuk pulang?" Mata kelabunya tampak takut tapi
penuh tekad.
"Tidak, tapi
bisakah kau mencari Hazelle? Lalu memintanya ke rumahku?" tanyaku.
"Yeah," kata
Leevy, memutar langkahnya.
"Leevy"
panggilku. "Jangan biarkan dia membawa anak-anaknya."
"Tidak. Aku yang
akan menemani mereka," jawabnya.
"Terima
kasih." Aku mengambil jaket Gale dan bergegas menyusul yang lain.
"Taruh salju di
sana," perintah Haymitch sambil menoleh ke belakang.
Aku mengambil segenggam
salju dan menekankannya di pipiku, membuat lukaku sedikit mati rasa. Air mata
mengalir deras dari mata kiriku sekarang, dan dalam cahaya temaram ini yang
bisa kulakukan hanyalah mengikuti sepatu bot orang yang berada di depanku.
Sembari kami berjalan
aku mendengar Bristel dan Thom, dua orang rekan kerja Gale, menceritakan
kejadian yang terjadi. Gale pasti pergi ke rumah Cray, seperti yang sudah biasa
dilakukannya, karena dia tau bayaran Cray bagus untuk membeli kalkun liar. Tapi
disana, dia malah bertemu dengan Pemimpin Penjaga Perdamaian yang baru, pria
yang mereka dengar bernama Romulus Thread. Tak seorangpun yang tau apa yang
terjadi pada Cray. Dia masih membeli minuman keras di Hob pagi ini, dan masih
jadi pemimpin distrik, tapi sekarang tak seorangpun bisa menemukannya.
Thread langsung
menangkap Gale, dan tentu saja karena Gale berdiri disana sambil memegang
kalkun mati, nyaris tak ada yang bisa dikatakan Gale untuk membela dirinya.
Kabar tentang Gale yang berada dalam kondisi genting menyebar cepat. Dia dibawa
ke alun-alun, dipaksa untuk mengaku bersalah atas kejahatannya dan hukuman
cambuk untuknya dilaksanakan saat itu juga.
Pada saat aku tiba, dia
sudah dicambuk tak kurang dari 40 kali. Pada cambukan ke tiga puluh, Gale
pingsan.
"Untungnya dia
hanya membawa kalkun," kata Bristel. "Kalau dia membawa buruan yang
biasanya, akibatnya mungkin bisa lebih buruk."
"Gale memberitau
Thread bahwa dia menemukan kalkun itu berjalan di sekitar Seam. Dia bilang
kalkun itu berhasil melewati pagar dan dia menusuknya dengan batang kayu. Tetap
saja dianggap kejahatan. Tapi jika mereka tau dia berada di hutan dengan
senjata, mereka pasti sudah membunuhnya," kata Thom.
"Bagaimana dengan
Darius?" tanya Peeta.
"Setelah sekitar
dua puluh kali cambukan, Darius menyela dan mengatakan bahwa hukumannya sudah
cukup. Hanya saja dia tak melakukannya dengan cerdas dan resmi, seperti yang
dilakukan Purnia. Dia menarik lengan Thread dan Thread memukul kepalanya dengan
gagang cambuk. nasibnya memang tak bagus," kata Bristel.
"Kedengarannya
nasib kita semua tak bagus," kata Haymitch.
Salju mulai turun,
tebal dan basah, membuat jarak pandang jadi makin sulit. Aku tertatih-tatih
berjalan pulang dibelakang yang lain, lebih menggunakan pendengaranku daripada
mata untuk membimbingku. Ibuku, yang tak diragukan lagi sudah menungguku
setelah seharian aku menghilang tanpa kabar, langsung mengambil alih situasi.
"Pemimpin
baru," kata Haymitch, ibuku mengangguk sopan seakan tak ada lagi penjelasan
yang diperlukan.
Aku terpesona, seperti
yang kurasakan, ketika aku mengawasinya berubah dari wanita yang berteriak
memanggilku untuk membunuh laba-laba menjadi wanita yang kebal rasa takut. Ketika
ada orang sakit atau sekarat yang dibawa kepadanya... pada saat seperti inilah
kupikir ibuku mengenal siapa dirinya. Dalam sekejap, meja dapur yang panjang
sudah dibersihkan, kain steril berwarna putih dibentangkan di atasnya dan Gale
dibaringkan disana.
Ibuku menuang air dari
ceret ke baskom sembari memerintahkan Prim mengambil obat-obatan dari lemari
obat. Rempah-rempah kering dan larutan obat dalam alkohol serta beberapa botol
obat yang dibeli di toko. Aku mengamati sepasang tangan ibuku, dengan jemari
yang panjang dan lancip, bergerak sigap meramu obat, menambahkan beberapa tetes
itu ke dalam baskom. Merendam kain dalam cairan panas itu sementara dia memerintahkan
Prim untuk menyiapkan larutan kedua.
Ibuku melirik
memandangku. "Matamu luka?"
"Tidak, cuma
bengkak dan tertutup," kataku.
"Tambahkan salju
lagi," ibuku memberi perintah. Tapi aku jelas bukanlah prioritas utamanya.
"Bisakah Mom
menyelamatkannya?" aku bertanya pada ibuku.
Dia tak menjawab saat
dia memeras kain itu dan mengangin-anginkannya agar tak terlalu panas.
"Jangan
kuatir," kata Haymitch. "Dulu banyak orang dicambuk sebelum Cray. Ibumulah
yang merawat mereka."
Aku tak ingat kapan
masa Penjaga Perdamaian sebelum Cray, masa ketika ada Pemimpin Penjaga
Perdamaian yang suka main cambuk. Tapi ibuku pasti seumuranku waktu itu dan
masih bekerja di toko obat dengan orangtuanya. Bahkan pada usia semuda itu,
ibuku sudah memiliki tangan seorang penyembuh.
Dengan amat sangat
lembut, dia mulai membersihkan daging punggung Gale yang terkoyak. Aku merasa
mual, tak berguna, sisa-sisa salju menetes dari sarung tanganku membentuk
genangan di lantai. Peeta mendudukkanku di kursi dan memegangi kain yang baru
diisi salju di pipiku.
Haymitch menyuruh
Bristel dan Thom untuk pulang, dan kulihat dia memberikan sejumlah koin ke
tangan mereka sebelum mereka pergi. "Entah bagaimana nasib anggota
timmu," katanya.
Mereka mengangguk dan
menerima uang dari Haymitch.
Hazelle tiba,
terengah-engah dan pipinya merah, ada salju di rambutnya. Tanpa bicara, dia
duduk di kursi bundar di sebelah meja, memegangi tangan Gale, dan menciumnya.
Ibuku bahkan tak menyambut kedatangannya. Dia masuk ke dalam zona spesial yang
hanya ada dirinya dan pasien di dalamnya dan kadang-kadang bersama Prim. Kami
semua hanya bisa menunggu.
Bahkan dengan tangan
yang terlatih, butuh waktu lama untuk membersihkan luka-luka, menyusun kulit
yang bisa diselamatkan, mengoleskan salep dan perban tipis. Ketika darahnya
sudah dibersihkan, aku bisa melihat dimana tiap cambukan itu mendarat dan
merasakannya bergema pada luka di wajahku. Kukalikan rasa sakit yang kurasakan sekali,
dua kali, empat kali, delapan kali, dan berharap Gale tetap dalam keadaan tak
sadarkan diri. Ketika perban terakhir dipasang, terdengar erangan dari
bibirnya.
Hazelle membelai rambut
Gale dan berbisik di telinganya sementara ibuku dan Prim mencari-cari obat
penghilang rasa sakit di tempat persediaan obat mereka yang terbatas. Obat-obatan
semacam itu sulit didapat, mahal. Ibuku selalu menyimpan obat yang paling kuat
untuk rasa sakit yang terburuk, tapi seperti apa rasa sakit yang terburuk?
Ibuku berusaha menyimpan obat-obatnya buat mereka yang sesungguhnya berada
diambang kematian, untuk memudahkan jalan mereka pergi meninggalkan dunia.
Karena Gale sudah
siuman, mereka memutuskan untuk mencekokkan ramuan rempah lewat mulutnya.
"Itu tak
cukup," kataku.
Mereka memandangku.
"Aku tau seperti
apa rasanya. Ramuan tadi bahkan tak bisa menghilangkan sakit kepala."
"Kita akan
mencampurnya dengan sirup tidur, Katniss dan dia akan bisa mengatasinya.
Rempah-rempah ini tujuannya lebih untuk radangnya..," ibuku berusaha
menjelaskan dengan tenang.
"Berikan saja obat
itu padanya" aku berteriak pada ibuku. "Berikan padanya. Memangnya
siapa yang bisa memutuskan seberapa besar rasa sakit yang bisa ditahannya?"
Gale mulai bergerak
bangun mendengar suaraku, berusaha mengulurkan tangannya padaku. Gerakan itu
membuat darah segar membasahi perbannya. Terdengar suara tersiksa dari
mulutnya.
"Bawa dia
keluar," kata ibuku.
Haymitch dan Peeta bisa
dibilang menggendongku keluar dari ruangan sementara aku mencaci maki ibuku.
Mereka membaringkanku dengan paksa di ranjang yang terdapat di salah satu kamar
tamu sampai aku berhenti meronta-ronta.
Sementara aku terbaring
disana, menangis terisak-isak, air mata mendesak keluar dari celah mataku, aku
mendengar Peeta berbisik pada Haymitch tentang Presiden Snow, tentang
pemberontakan di Distrik 8.
"Dia mau kita
semua melarikan diri," kata Peeta, tapi jika Haymitch punya pendapat
tentang hal ini, dia tak mengatakannya.
Setelah beberapa saat,
ibuku masuk dan mengobati wajahku. Lalu dia menggenggam tanganku, membelai
lenganku, sementara Haymitch menceritakan pada ibuku apa yang terjadi pada
Gale.
"Jadi sekarang
dimulai lagi?" tanya ibuku. "Seperti sebelumnya?"
"Kelihatannya
begitu," jawab Haymitch. "Siapa yang menyangka kita bisa sedih melihat
Cray tua itu pergi?"
Cray bisa saja tak
disukai karena seragamnya, tapi kebiasaannya yang gemar membujuk wanita muda
kelaparan ke ranjangnya demi uang, yang membuatnya jadi sasaran kemuakan
orang-orang di distrik. Di masa-masa buruk, gadis-gadis yang amat kelaparan
akan menunggu di pintunya pada saat malam tiba, bersaing demi kesempatan
memperoleh beberapa keping uang dengan menjual tubuh untuk memberi makan
keluarga mereka. Kalau saja umurku lebih tua ketika ayahku meninggal, aku bisa
saja di antara gadis-gadis itu. Tapi aku malahan belajar berburu.
Aku tidak tau persis
apa maksud ibuku dengan dimulai lagi, tapi aku terlalu marah dan sakit untuk
bertanya. Tapi, pemahaman tentang masa yang buruk kembali terekam dalam otakku,
karena ketika bel pintu berdering, aku langsung duduk tegak di ranjangku. Siapa
yang datang pada jam selarut ini. Hanya ada satu jawaban. Para Penjaga
Perdamaian.
"Mereka tidak
boleh menangkapnya," kataku.
"Mungkin kau yang
ingin mereka tangkap," Haymitch mengingatkanku.
"Atau kau," jawabku.
"Ini bukan
rumahku," Haymitch menjelaskan. "Tapi aku akan membuka
pintunya."
"Jangan, biar aku
saja," kata ibuku dengan tenang.
Namun kami semua
mengikutinya menuju ruang depan untuk menjawab panggilan bel yang bertubi-tubi.
Ketika pintu terbuka, tak ada sepasukan Penjaga Perdamaian disana, tapi hanya
ada satu orang yang terbungkus salju. Madge. Dia mengulurkan kotak kardus kecil
yang lembab.
"Gunakan ini untuk
temanmu," katanya.
Kubuka penutup kotak,
isinya enam botol kecil.
"Itu punya ibuku.
Dia bilang aku boleh mengambilnya. Tolong, kaupakai saja ya."
Madge berlari pulang
menembus badai sebelum kami bisa menghentikannya.
"Gadis gila,"
gumam Haymitch ketika kami mengikuti ibuku ke dapur.
Aku benar, ramuan apapun
yang diberikan ibuku sebelumnya pada Gale tidaklah cukup. Gigi Gale
bergemeretak dan kulitnya berkeringat. Ibuku mengisi jarum suntik dengan
sebotol cairan bening tadi dan menyuntikkannya ke lengan Gale. Nyaris seketika,
wajahnya mulai tampak rileks.
"Benda apa
itu?" tanya Peeta.
"Ini dari Capitol.
Namanya morfin," jawab ibuku.
"Aku tidak tahu
Madge kenal Gale," ujar Peeta.
"Kami biasa
menjual stroberi padanya," jawabku nyaris marah. Tapi apa sebenarnya yang
membuatku marah? Tentu bukan karena dia membawakan obat.
"Dia pasti sangat
suka stroberi ya," kata Haymitch.
Itulah yang melukai
hatiku. Kesan bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Gale dan Madge. Dan aku tak
menyukainya.
"Madge
temanku," akhirnya cuma itu yang bisa kukatakan.
Sekarang setelah Gale hilang
kesadaran karena obat penghilang sakit, semua orang tampak lega. Prim menyuruh
kami semua makan daging rebus. Kami menawari Hazelle menginap di salah 1 kamar,
tapi dia harus pulang menemani anak-anaknya yang lain. Haymitch dan Peeta juga
ingin tinggal, tapi ibuku menyuruh mereka pulang dan tidur. Ibuku tau tak ada
gunanya mencoba menyuruhku tidur dan dia memilih meninggalkanku untuk menjaga
Gale sementara dia dan Prim beristirahat.
Aku duduk di bangku
Hazelle. Dan menggenggam tangan Gale. Setelah beberapa saat, jemariku
menjelajahi wajahnya. Aku menyentuh bagian-bagian wajahnya yang tak pernah
kusentuh sebelumnya karena tak ada alasan untuk itu. Akhirnya sampai ke
bibirnya. Bibir yang lembut dan penuh, sedikit koyak.
Apakah semua orang
tampak lebih muda ketika tidur? Karena saat ini dia bisa jadi anak lelaki yang
berpapasan denganku beberapa tahun lalu, anak lelaki yang menuduhku mencuri
dari perangkapnya. Kami pasangan yang sempurna—anak yatim, ketakutan, tapi
sama-sama bertekad kuat untuk menjaga keluarga kami tetap hidup. Kami sama-sama
putus asa, tapi tak pernah lagi merasa sendirian setelah hari itu, karena kami
telah menemukan satu sama lain. Kupikirkan lagi ratusan momen kebersamaan kami
di hutan, memancing di sore hari yang malas, hari ketika aku mengajarinya
berenang, waktu ketika kakiku terkilir dan dia membopongku pulang. Saling
bergantung, saling menjaga, memaksa satu sama lain untuk berani.
Untuk pertama kalinya,
aku membalikkan posisi kami dalam benakku. Kubayangkan aku melihat Gale mengajukan
diri menggantikan Rory pada hari pemilihan dan dia harus direnggut pergi dari
hidupku secara paksa, menjadi kekasih seorang gadis yang tak kukenal agar bisa
bertahan hidup, lalu pulang ke distrik bersamanya. Tinggal bertetangga
dengannya. Berjanji untuk menikahinya.
Kebencian yang
kurasakan untuknya, untuk gadis hantu itu, untuk segalanya, terasa sangat nyata
dan langsung membuat tenggorokanku tersekat. Gale milikku. Aku miliknya.
Gagasan lain di luar itu sama sekali tak masuk akal. Kenapa aku harus melihatnya
dicambuk hingga nyaris tewas agar bisa melihat semua ini?
Karena aku egois. Aku
pengecut. Aku adalah tipe gadis yang ketika dibutuhkan malah bakalan lari
menyelamatkan diri dan meninggalkan semua orang yang tak bisa mengikutinya
untuk menderita dan mati. Inilah gadis yang ditemui Gale di hutan hari ini. Tidak
heran kalau aku memenangkan Hunger Games. Tidak ada orang yang berperikemanusiaan
yang bisa menang.
Kau menyelamatkan
Peeta, pikirku lemah.
Tapi sekarang aku juga
mempertanyakannya. Aku tau hidupku yang baik dan nyaman saat pulang ke Distrik
12 bakal tak bisa kujalani dengan nikmat jika aku membiarkan Peeta mati. Kusandarkan
kepalaku diujung meja, merasa jijik pada diriku sendiri. Berharap aku mati di
arena pertarungan waktu itu. Berharap Seneca Crane sudah meledakkanku
berkeping-keping seperti yang dikatakan Presiden Snow jika dia bisa
melakukannya ketika melihatku mengulurkan buah-buah berry.
Aku sadar jawaban
tentang siapa diriku sebenarnya ada ditangan buah beracun itu. Jika aku
mengulurkannya untuk menyelamatkan Peeta karena aku tau aku akan jadi orang
buangan jika aku kembali tanpa dirinya, maka aku jadi orang yang tercela. Jika
aku mengulurkannya karena aku mencintai Peeta, aku masih saja dicap egois,
meskipun bisa dimaafkan. Jika aku mengulurkannya untuk melawan Capitol, aku
jadi orang yang berharga. Masalahnya, aku tak tau pasti apa yang kupikirkan
pada saat itu.
Mungkinkah orang-orang
di distrik-distrik itu benar? Bahwa apa yang kulakukan itu merupakan tindakan
pemberontakan, bahkan jika aku melakukannya tanpa sadar? Karena, jauh di lubuk
hatiku, aku pasti tau rencanaku untuk melarikan diri tidaklah cukup untuk bisa
menjaga diriku, keluargaku, atau teman-temanku agar tetap hidup. Bahkan jika
aku bisa melakukannya sekalipun. Semua itu takkan mengubah apapun. Semua itu
takkan mencegah orang-orang disiksa seperti yang dialami Gale hari ini.
Hidup di Distrik 12
tidak jauh berbeda dari hidup di arena pertarungan. Pada satu titik, kau harus
berhenti berlari dan berbalik untuk berhadapan dengan siapapun yang
menginginkan kematianmu. Yang sulit adalah menemukan keberanian untuk melakukannya.
Namun, ternyata tak sulit bagi Gale. Dia pemberontak sejak lahir. Akulah orang
yang membuat rencana pelarian.
"Maafkan
aku," aku berbisik. Aku mendekat maju dan menciumnya.
Bulu mata Gale bergetar
dan dia memandangku dengan tatapan yang masih mabuk obat bius. "Hei,
Catnip."
"Hei, Gale,"
jawabku.
"Kupikir kau sudah
pergi sekarang," katanya.
Pilihan-pilihanku
sederhana. Aku bisa mati seperti binatang buruan di hutan atau aku bisa mati
disini di samping Gale. "Aku takkan pergi ke mana pun. Aku akan berada
disini dan menimbulkan segala macam masalah."
"Aku juga,"
jawab Gale. Dia berhasil tersenyum sedikit sebelum obat-obatan menariknya
kembali ke alam lain.
Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 8"
Posting Komentar