Bab 3
BAU amis darah..
tercium dari napas Presiden Snow. Apa yang dia lakukan? pikirku. Meminumnya?
Aku membayangkan Presiden Snow menyesap darah dari cangkir teh. Mencelupkan kue
ke dalamnya dan meneteskan cairan merah ketika mengangkat kuenya.
Di luar jendela, mesin
mobil dihidupkan, lalu menghilang dalam kejauhan. Mobil itu lenyap begitu saja,
tanpa diperhatikan siapapun, sama seperti kedatangannya. Kamar ini seakan
berputar perlahan dan dalam hati aku bertanya apakah aku bakalan pingsan. Aku
menunduk dan memegangi meja dengan satu tangan. Tanganku yang satu lagi
memegang kue kering indah berbentuk bunga bakung buatan Peeta, yang kini sudah
remuk jadi remahan dalam genggamanku. Aku tidak tahu aku sudah meremas kue itu,
tapi kurasa aku harus berpegangan pada sesuatu ketika duniaku menikung tak
terkendali.
Kunjungan dari Presiden
Snow. Distrik-distrik di ambang pemberontakan. Ancaman maut langsung kepada
Gale, juga pada yang lainnya. Nasib semua orang yang kusayangi ada di ujung tanduk.
Kecuali aku mengembalikan keadaan dalam tur ini. Menentramkan kegelisahan massa
dan pikiran sang presiden.Dan bagaimana caranya? Dengan membuktikan seantero
negri bahwa aku mencintai Peeta Mellark tanpa ada keraguan sedikitpun.
Aku tak bisa melakukannya,
pikirku. Aku tak sebagus itu. Peeta yang bagus, yang disukai orang banyak. Dia
bisa membuat orang percaya apapun. Aku yang biasanya tutup mulut, duduk dan
membiarkan Peeta bicara sebanyak mungkin. Tapi bukan Peeta yang harus
membuktikan cintanya. Aku.
Kudengar langkah kaki
ibuku yang ringan dan cepat diruang depan. Dia tidak boleh tau, pikirku. Tidak
boleh tau sama sekali tentang hal ini. Kuulurkan kedua tanganku keatas nampan
dan cepat-cepat menyeka sisa-sisa kue kering dari telapak tangan dan jemariku.
Kuteguk teh dengan tangan gemetar.
"Apakah semuanya
baik-baik saja, Katniss?" tanya ibuku.
"Baik. Kita tak
pernah melihatnya di TV, tapi Presiden selalu mengunjungi para pemenang sebelum
tur untuk memberikan salam keberuntungan," kataku ceria.
Wajah ibuku langsung
dibanjiri kelegaan. "Oh, tadinya kupikir ada masalah."
"Tidak, sama
sekali tidak," jawabku. "Masalah akan dimulai ketika tim persiapanku
melihat alisku tumbuh lebat."
Ibuku tertawa dan
kupikir aku tak bisa mundur lagi setelah mengurusi keluargaku sejak aku berusia
sebelas tahun. Bagaimana aku akan selalu harus melindunginya.
"Bagaimana kalau
aku siapkan mandimu?" tanya ibuku.
"Menyenangkan
sekali," kataku, aku bisa melihat betapa ibuku senang mendengar jawabanku.
Sejak aku pulang aku
berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan ibuku. Dalam waktu yang
kuhabiskan di arena membuatku sadar bahwa aku harus berhenti menghukumnya atas
sesuatu yang tidak bisa diatasinya, terutama depresi yang dialami ibuku setelah
kematian ayahku. Kadang-kadang ada kejadian yang menimpa seseorang dan mereka
tidak siap menghadapinya. Seperti aku, contohnya. Sekarang ini.
Selain itu, ada satu
hal menggembirakan yang dilakukan ibuku ketika aku pulang ke distrik. Setelah
keluarga dan teman-tenan menyambut kepulanganku dan Peeta di stasiun kereta
api, sejumlah reporter diijinkan mengajukan beberapa pertanyaan. Ada seorang
reporter yang menanyakan pada ibuku apa pendapatnya tentang pacar baruku, dan
ibuku menjawab, meskipun Peeta merupakan cowok ideal, aku masih belum cukup
umur untuk punya pacar. Ibuku mengakhiri perkataannya dengan menatap tajam
Peeta.
Terdengar tawa membahana
dan komentar-komentar dari wartawan seperti, "Ada yang bakal kena masalah,"
lalu Peeta melepaskan tangannya dan menjauh dariku.
Kami tak lama berjauhan,
tapi hal itu memberi kami alasan untuk lebih menjaga jarak daripada ketika kami
berada di Capitol. Dan mungkin itu bisa dijadikan penyebab jarangnya aku
terlihat bersama Peeta sejak kamera berhenti menyoroti kami.
Aku naik ke lantai atas
menuju kamar mandi, disana bak mandi air hangat sudah menunggu. Ibuku juga
menambahkan sekantong bunga kering yang mengharumkan udara. Aku melepaskan
pakaian dan masuk ke air yang terasa lembut—ibuku juga menuangkan semacam
minyak entah apa ke dalam air—lalu berusaha mencerna segalanya. Pertanyaan
pertama adalah siapa yang harus kuberitahu, jika aku tak bisa menyembunyikan
semua ini.
Pertanyaan pertama
adalah siapa yang akan kuberitahu jika aku tidak bisa menyembunyikan semua ini.
Terang saja bukan ibuku atau Prim, mereka hanya akan kuatir setengah mati.
Bukan Gale. Lagipula apa yang bisa dilakukannya dengan informasi ini? Jika Gale
sebatang kara, aku mungkin membujuknya untuk lari. Dia pasti bisa bertahan
hidup di hutan. Tapi dia tak sendirian dan dia takkan pernah meninggalkan
keluarganya. Atau meninggalkanku.
Saat aku pulang nanti aku
akan memberitahunya bahwa acara hari minggu kami sudah jadi kenangan masa lalu,
tapi aku tak bisa memikirkannya sekarang. Aku hanya bisa memikirkan tindakan
yang harus kuambil sesegera mungkin. Selain itu, Gale sudah sangat marah dan
frustasi pada Capitol sampai kadang-kadang kupikir dia sedang merancang
pemberontakannya sendiri. Tidak, aku tak bisa memberitahu siapapun yang
kutinggalkan di Distrik 12.
Masih ada tiga orang
yang bisa kuberitahu tentang rahasia ini, dimulai dari Cinna, penata gayaku.
Tapi aku menduga Cinna pasti sudah berada dalam bahaya dan aku tak mau
menariknya lebih jauh kedalam masalah. Masih ada Peeta, yang jadi partnerku
dalam muslihat ini, tapi bagaimana aku memulai percakapan dengannya?
Hei, Peeta, ingat waktu
kubilang padamu bahwa aku pura-pura jatuh cinta padamu? Nah, sekarang aku
benar-benar butuh kau untuk melupakan semua itu dan beraktinglah lebih
mencintaiku atau Presiden akan membunuh Gale.
Aku tak bisa
melakukannya. Lagipula Peeta akan tetap berakting dengan baik meskipun dia tak
tau apa yang dipertaruhkan disini. Sisanya tinggal Haymitch. Haymitch yang pemabuk,
pemarah dan banyak tingkah, yang baru saja kusiram dengan sebaskom air dingin.
Sebagai mentorku dalam Hunger Games sudah tugasnya untuk menjaga keselamatanku.
Aku hanya berharap dia masih sanggup menangani tugas itu.
Aku merendam seluruh
tubuhku ke dalam air, membiarkan air meredam suara-suara di sekitarku. Aku
berharap bak mandi ini bisa membesar agar aku bisa berenang, seperti yang biasa
kulakukan di hutan pada hari minggu di musim panas bersama ayahku. Hari-hari
itu terasa istimewa.
Aku tak ingat kapan aku
belajar berenang, aku masih sangat muda ketika ayahku mengajariku berenang. Aku
hanya ingat menyelam, bersalto dan mengayuhkan kaki. Sambil mengapung
telentang, aku memandangi langit biru. Ayahku mengambil burung air yang
bersarang di sekitar danau. Aku memunguti telur-telur di rerumputan dan kami
menggali tanah di tepian air untuk mencabut akar katniss, tanaman yang jadi
asal kata namaku. Pada malam hari, ketika kami tiba di rumah, ibuku
berpura-pura tak mengenaliku karena aku sangat bersih. Kemudian dia akan masak
makan malam yang luar biasa nikmat, menunya bebek panggang dan katniss bakar yang
diberi kuah daging.
Aku tak pernah mengajak
Gale ke danau. Aku bisa saja mengajaknya ke sana. Tapi itu adalah tempat yang
tak ingin kubagi dengan siapapun. Sehabis Hunger Games, beberapa kali aku pergi
ke danau itu. Berenang di danau masih menyenangkan, tapi sering kali aku merasa
tertekan disana. Danau tetap tak berubah sementara aku hampir tak bisa dikenali
lagi.
Bahkan di dalam air aku
bisa mendengar suara ribut. Suara klakson mobil, teriakan-teriakan sambutan,
pintu-pintu yang dibanting menutup. Itu artinya rombonganku sudah datang. Aku
baru saja mengelap tubuhku dengan handuk dan memakai jubah mandi sebelum tim
persiapanku menyerbu masuk ke kamar mandi. Dalam urusan dengan tubuhku, tak ada
lagi rahasia di antara kami, tiga orang ini dan aku.
"Katniss,
alismu" Venia langsung memekik, bahkan dalam keadaan murampun, aku masih
bisa menahan tawa mendengarnya. Rambutnya yang berwarna biru muda ditata
sehingga membentuk ujung-ujung lancip dikepalanya dan tato-tato keemasan yang
tadinya ada diatas alisnya sudah melingkar di bawah matanya.
Octavia muncul dan
menepuk punggung Venia menenangkannya, tubuhnya yang gemuk terlihat makin gemuk
disamping Venia yang kurus. "Sudah, sudah. Kau bisa memperbaikinya dalam
sekejap. Api apa yang bisa kulakukan terhadap kukukuku ini?" Dia menarik
tanganku lalu menekannya di antara kedua tangannya yang berwarna hijau kacang
polong. Tapi kali ini kulitnya lebih tepat berwarna hijau cerah. Perubahan
warna ini pasti usahanya untuk mengikuti tren fashion Capitol yang selalu berubah-ubah.
"Katniss, harusnya kau menyisakan sedikit kukumu untuk bisa
kukerjakan" serunya nyaring.
Memang benar. Aku
menggigiti kukuku sampai puntung selama beberapa bulan terakhir. Aku berniat
menghentikan kebiasaan buruk ini tapi aku tak menemukan alasan bagus untuk
melakukannya.
"Maaf,"
gumamku. Aku tak sungguh-sungguh memikirkan dampaknya pada tim persiapanku.
Flavius mengangkat
beberapa helai rambutku yang basah dan kusut. Dia menggeleng tak suka, membuat
rambut ikalnya yang berwarna oranye bergoyang-goyang. "Apa ada yang
menyentuh ini sejak terakhir kalinya kau bertemu kami?" tanyanya tegas.
"Ingat, kami secara khusus memintamu untuk tak mengutak-atik rambutmu."
"Ya" sahutku,
"Maksudku, tak ada seorangpun yang memotongnya. Aku ingat itu." Padahal
sebenarnya aku tak ingat. Lebih tepatnya, urusan rambut tak pernah disinggung.
Sejak aku pulang, yang
kulakukan terhadap rambutku hanyalah mengepangnya seperti yang dulu sering
kulakukan. Ucapanku sepertinya meredakan emosi mereka, lalu mereka menciumku,
kemudian mendudukkanku di kursi di dalam kamar tidurku. Dan seperti biasa,
mereka sibuk mengoceh tanpa memperhatikan apakah aku mendengarkan atau tidak.
Sementara Venia
menumbuhkan kembali alisku dan Octavia memasang kuku palsu lalu Flavius
menempelkan cairan lengket ke kepalaku. Aku mendengar segalanya tentang Capitol.
Betapa suksesnya Hunger Games, bagaimana semua orang tak sabar menunggu aku dan
Peeta berkunjung ke Capitol lagi pada akhir Tur Kemenangan. Setelah itu, tak
lama lagi Capitol bakal bersiap-siap untuk Quarter Quell.
"Seru kan?"
"Kau pasti merasa
beruntung kan?"
"Pada tahun
pertamamu menjadi pemenang, kau akan menjadi mentor di Quarter Quell"
"Oh, ya,"
kataku bersikap netral. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Pada tahun normal,
menjadi mentor merupakan mimpi buruk. Sekarang aku tak bisa berjalan melewati
sekolah tanpa bertanya-tanya anak mana yang akan kumentori. Tapi yang menjadikan
keadaan lebih buruk, tahun ini adalah Hunger Games yang ke tujuh puluh lima,
yang juga berarti Quarter Quell. Quarter Quell ini berlangsung setiap dua puluh
lima tahun sekali, menandai perayaan kekalahan distrik-distrik dengan pesta
besar-besaran dan supaya lebih seru mereka menambahkan siksaan bagi para peserta.
Aku tak pernah menyaksikan satupun secara langsung. Tapi aku ingat di sekolah
aku mendengar bahwa Capitol meminta dua kali lipat jumlah peserta dalam Quarter
Quell kedua. Para guru tak menceritakan secara mendetail, yang sebenarnya
mengherankan, karena pada tahun itulah Haymitch Abernathy dari Distrik 12
menjadi pemenangnya.
"Haymitch
sebaiknya bersiap-siap menerima banyak perhatian" pekik Octavia.
Haymitch tak pernah
menceritakan pengalaman pribadinya di arena padaku. Tapi Capitol takkan
membiarkan Haymitch melupakannya tahun ini. Dalam satu dan lain hal, untung aku
dan Peeta bisa menjadi mentor pada Quell ini, karena aku berani taruhan
Haymitch bakal teler berat.
Setelah mereka
kehabisan bahan omongan tentang Quarter Quell, tim persiapanku masuk ke topik
tentang hidup mereka yang konyol. Entah siapa yang berbicara tentang seseorang
yang namanya tak pernah kudengar dan sepatu apa yang baru dibeli, lalu Octavia
bercerita panjang lebar tentang kesalahannya menyuruh semua tamu yang datang ke
pesta ulang tahunnya dengan memakai bulu.
Tidak lama kemudian
alisku sudah tampak tebal, rambutku halus dan lembut, kukuku sudah siap
diwarnai. Tampaknya mereka sudah diberi perintah untuk hanya menyiapkan kedua
tangan dan wajahku, mungkin karena semua bagian tubuhku yang lain akan
terbungkus rapat dalam udara yang dingin ini. Flavius kepingin bisa menggunakan
lipstik ungu yang jadi kegemarannya di bibirku tapi dia terpaksa menggantinya
dengan warna pink ketika mereka mulai mewarnai wajah dan kukuku. Dari palet
warna dari Cinna aku bisa melihat bahwa kami akan mengambil tema penampilan ala
gadis muda. Bukan seksi.
Baguslah. Aku takkan pernah
bisa meyakinkan siapapun bahwa aku berusaha bersikap provokatif. Haymitch sudah
menyatakannya dengan sangat jelas ketika dia melatihku untuk wawancara dalam
Hunger Games.
Ibuku masuk dengan
malu-malu, mengatakan bahwa Cinna menyuruhnya agar memperlihatkan caranya
mengepang rambutku pada hari pemungutan pada tim persiapanku. Mereka langsung
antusias lalu dengan penuh perhatian melihat ibuku memerinci proses pengepangan
rambutku. Melalui cermin, aku bisa melihat wajah mereka yang sungguh-sungguh
mengawasi gerakan ibuku dan mereka begitu bersemangat ketika giliran mereka
mencoba mengepang rambutku. Sesungguhnya, mereka bertiga bersikap baik dan
sangat hormat pada ibuku. Siapa yang tau seperti apa aku jadinya atau seperti
apa gaya bicaraku jika aku dibesarkan di Capitol?
Mungkin penyesalan
terbesarku juga tentang kostum bulu di pesta ulang tahunku. Setelah rambutku
selesai ditata, aku bertemu Cinna yang duduk di lantai bawah, di ruang tamu.
Cuma dengan melihatnya, aku langsung merasa penuh harapan. Cinna tampak sama
seperti biasa, pakaian sederhana, rambut coklat pendek dan sedikit warna emas
di alisnya. Kami berpelukan dan aku hampir menceritakan semua kejadian yang
kualami bersama Presiden Snow. Tapi tidak, aku sudah memutuskan untuk
memberitahu Haymitch lebih dulu. Akan tetapi begitu mudah berbicara dengan
Cinna. Belakangan kami sering ngobrol lewat telepon yang terpasang di rumah
ini. Telepon ini jadi semacam lelucon, karena tak ada seorangpun di distrik ini
yang kami kenal yang punya telepon. Peeta punya, tapi aku jelas tak mau meneleponnya.
Haymitch sudah mencabut teleponnya bertahun-tahun lalu.
Temanku, Madge, putri
walikota, punya telepon di rumahnya, tapi jika kami ingin bicara, kami bertemu
langsung. Setiap pemenang diharuskan punya satu bakat. Bakatmu adalah kegiatan
yang kaulakukan karena kau tak lagi perlu sekolah atau bekerja di bidang
industri distrikmu. Bakatmu bisa apa saja. Ternyata Peeta punya bakat, yaitu
melukis. Selama bertahun-tahun dia sudah menghias kue dan biskuit di toko roti
keluarganya. Sekarang setelah dia kaya raya, dia sanggup membeli cat sungguhan
untuk dicoret-coret di kanvas. Aku tak punya bakat, kecuali berburu ilegal
dihitung bakat.
Atau mungkin menyanyi,
yang demi apapun takkan kulakukan untuk Capitol. Ibuku berusaha membuatku
tertarik pada berbagai pilihan bakat dari daftar yang dikirimkan Effie Trinket
padanya. Memasak, merangkai bunga, bermain flute. Tak ada satupun yang
berhasil, meskipun Prim bisa menguasai ketiganya dengan mudah. Akhirnya Cinna
turun tangan dan menawarkan diri membantuku mengembangkan kegemaranku merancang
pakaian, yang amat sangat butuh bantuannya untuk dikembangkan dari nol. Tapi
aku setuju dengannya karena aku bisa mengobrol dengan Cinna dan dia berjanji
untuk mengerjakan semuanya.
Sekarang dia sedang
mengatur barang-barang di ruang tamuku: pakaian-pakaian, kain dan buku-buku
sketsa dengan desain-desain pakaian yang digambarnya. Kuambil salah satu buku
sketsa dan memperhatikan gaun yang seharusnya merupakan rancanganku.
"Kau tau tidak,
menurutku aku punya bakat yang menjanjikan," kataku.
"Ganti pakaian
sana, dasar makhluk tak berguna," katanya, sambil melempar pakaian ke
arahku.
Aku mungkin tak
tertarik merancang pakaian tapi aku amat menyukai pakaian-pakaian yang
dibuatkan Cinna untukku. Seperti pakaian yang satu ini. Celana panjang hitam
longgar yang terbuat dari bahan yang tebal dan hangat. Kemeja putih yang
nyaman. Sweter hijau-biru dengan garis abu-abu berbahan wol yang halus. Sepatu
bot kulit bertali yang tak membuat kakiku sakit saat dipakai.
"Apakah aku yang
merancang pakaianku sendiri?" tanyaku.
"Tidak, kau
bercita-cita untuk merancang pakaianmu sendiri dan bisa jadi seperti aku,
pahlawan fashion-mu," kata Cinna. Dia menyerahkan setumpuk kartu padaku. "Kau
akan membacanya di luar kamera ketika mereka merekam pakaian-pakaian ini.
Cobalah terdengar seakan-akan kau peduli"
Tepat pada saat itu,
Effie Trinket tiba dengan wig oranye labu untuk mengingatkan semua orang.
"Kita harus mengikuti jadwal"
Dia mencium kedua
pipiku sambil melambai pada kru kamera, lalu menyuruhku berada di posisi yang
seharusnya. Effie adalah satu-satunya alasan yang membuat kami bisa kemanapun
tepat waktu selama di Capitol, jadi aku berusaha melaksanakan apa yang
dimintanya.
Aku mulai mondar-mandir
seperti boneka berjalan, memegangi pakaian-pakaianku dan mengatakan hal-hal
konyol seperti "pasti kau suka, kan?"
Tim suara merekamku
membaca kartu-kartuku dengan suara riang agar bisa mereka gabungkan dengan gambarnya
nanti, lalu aku disuruh keluar ruangan agar mereka bisa merekam
rancangan-rancanganku/Cinna tanpa ada gangguan.
Prim pulang sekolah
lebih cepat untuk acara ini. Sekarang dia berdiri di dapur, sedang diwawancarai
oleh kru. Dia tampak cantik dengan gaun biru langit yang menonjolkan warna
matanya, rambut pirangnya diikat ke belakang dengan pita yang senada. Dia
berjinjit agak ke depan dengan sepatu bot putihnya yang mengilap seakan dia
hendak bersiap kabur, seperti... Buk.
Seakan ada orang yang
menghantam dadaku. Aku mundur. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan aku tak
melihat Prim—aku melihat Rue, gadis dua belas tahun dari Distrik 11 yang
menjadi sekutuku di arena pertarungan. Rue, yang tak kuselamatkan. Yang
kubiarkan mati. Aku membayangkan Rue terbaring ditanah dengan tombak menancap
di perutnya...
Siapa lagi yang akan
gagal kuselamatkan dari pembalasan Capitol? Siapa lagi yang bakal tewas jika
aku tak memuaskan keinginan Presiden Snow? Aku sadar Cinna berusaha memakaikan
jaket ke tubuhku, jadi aku mengangkat kedua tanganku.
Bahan bulu ini tak
pernah kulihat sebelumnya. "Cerpelai," kata Cinna ketika aku membelai
bagian jaket berbulu yang berwarna putih itu. Sarung tangan putih. Syal merah
cerah. Ada benda berbulu yang menutup telingaku. "Kau membuat penutup telinga
jadi tren lagi."
Aku benci penutup
telinga, pikirku. Benda itu membuatku sulit mendengar dan sejak satu telingaku
sempat tuli di arena, aku makin membenci benda ini. Setelah menang, Capitol
memperbaiki telingaku, tapi sampai sekarang aku masih belum terbiasa.
Ibuku bergegas
menghampiriku membawa sesuatu yang tertangkup di kedua tangannya. "Untuk
keberuntungan," katanya.
Ternyata ibuku
memberikan pin yang diberikan Madge sebelum Hunger Games. Pin berbentuk
mockingjay yang terbang dalam lingkaran emas. Aku berusaha memberikannya pada
Rue tapi dia tak mau menerimanya. Dia bilang pin itu yang jadi alasan dia
memutuskan memercayaiku.Cinna memasangnya di ikatan syalku.
Effie Trinket berada di
dekatku dan bertepuk tangan. "Mohon perhatiannya Kita akan mengambil
gambar pertama di luar, nanti para pemenang akan saling menyambut pada awal
perjalanan mereka yang luar biasa ini. Baiklah, Katniss, senyum lebar ya, kau
penuh semangat untuk perjalanan ini, kan?"
Effie mendorongku
keluar dari pintu.
Selama beberapa saat
aku tak bisa melihat dengan jelas karena salju, yang kini sudah turun deras.
Lalu aku berhasil melihat Peeta berjalan keluar pintu. Di dalam kepalaku aku
bisa mendengar perintah Presiden Snow, "Yakinkan aku." Dan aku tau
aku harus melakukannya.
Wajahku menampilkan
senyum lebar dan aku mulai berjalan ke arah Peeta. Lalu, seakan aku tak bisa
menunggu sedetik lebih lama lagi, aku mulai berlari. Peeta menangkapku dan
memutar tubuhku kemudian dia terpeleset—Peeta masih belum menguasai betul kaki
palsunya—kamipun terjatuh di salju, tubuhku berada diatas tubuh Peeta dan
setelah itulah kami berciuman pertama kali setelah berbulan-bulan.
Ciuman itu penuh bulu,
kepingan salju dan lipstik, tapi dibalik semua itu aku bisa merasakan kemantapan
yang dibawa Peeta terhadap segalanya. Dan aku tau aku tak sendirian. Seburuk
apapun aku menyakitinya, Peeta takkan membuka rahasiaku di depan kamera. Dia
takkan menciumku setengah hati. Dia masih menjagaku dengan baik. Sebagaimana yang
dilakukannya di arena. Entah bagaimana aku jadi ingin menangis memikirkan semua
itu. Tapi kutarik Peeta berdiri, menyelipkan lenganku di lekukan lengannya dan
dengan riang kutarik dia berjalan.
Sisa hari itu
berlangsung tanpa benar-benar kuperhatikan, mulai dari menuju stasiun KA,
melambaikan salam perpisahan pada semua orang, kereta api berangkat pergi, tim
lamaku—Peeta dan aku, Effie dan Haymitch, Cinna dan Portia, penata gaya
Peeta—menyantap makanan yang tak terlukiskan lezatnya. Lalu aku berganti piama
dan jubah yang mewah, duduk di kompartemen megah menunggu yang lain tidur. Aku
tau Haymitch akan bangun beberapa jam lagi. Dia tak suka tidur saat gelap.
Ketika kereta terdengar
sepi, aku memakai sandal dan mengetuk pintunya beberapa kali sebelum aku
mendengar jawaban, menggerutu, seakan-akan dia yakin aku pasti membawa kabar
buruk.
"Kau mau
apa?" tanya Haymitch, nyaris membuatku semaput dengan bau anggur dari
mulutnya.
"Aku harus bicara
denganmu," aku berbisik.
"Sekarang?"
tanyanya.
Aku mengangguk.
"Ini harus bagus ya."
Dia menunggu, tapi aku
yakin setiap kata yang kami ucapkan di kereta api Capitol ini pasti direkam.
"Jadi
bagaimana?" bentaknya.
Kereta api mulai direm
dan aku berpikir Presiden Snow mengawasiku dan tak senang pada niatku untuk
mengaku pada Haymitch dan memutuskan untuk membunuhku sekarang. Tapi ternyata
kami hanya berhenti untuk mengisi bahan bakar.
"Kereta api ini
pengap ya," kataku.
Kalimat yang aman
sebenarnya, tapi aku melihat mata Haymitch menyipit penuh pemahaman. "Aku
tau apa yang kauperlukan."
Dia berjalan melewatiku
dan dengan cepat melewati lorong kereta menuju pintu. Ketika Haymitch berusaha
membukanya, embusan salju menghantam kami. Dia terpeleset terjatuh ke tanah.
Petugas Capitol
bergegas membantu, tapi Haymitch melambai sopan mengusirnya saat dia berusaha
berdiri. "Hanya ingin udara segar. Sebentar saja."
"Maaf. Dia
mabuk," kataku meminta maaf. "Aku akan membantunya."
Aku melompat turun dan
berjalan tersandung-sandung melewati rel kereta di belakangnya, salju membasahi
sepatuku, ketika dia membimbingku hingga melewati ujung kereta agar tak ada
yang bisa mendengar percakapan kami. Lalu dia menoleh memandangku.
"Apa?"
Kuceritakan segalanya
pada Haymitch. Tentang kunjungan Presiden, tentang Gale, tentang bagaimana kami
semua akan mati kalau aku gagal.
Wajah Haymitch langsung
sadar, dia tampak menua dalam sorotan lampu belakang yang berwarna merah.
"Kalau begitu, kau tak boleh gagal."
"Kalau kau bisa
membantuku melewati perjalanan ini..," aku mulai bicara.
"Tidak Katniss,
bukan hanya untuk perjalanan ini," katanya.
"Apa
maksudmu?" tanyaku.
"Bahkan jika kau
berhasil lolos kali ini, mereka akan kembali beberapa bulan lagi untuk membawa
kita semua ke Hunger Games berikutnya. Kau dan Peeta akan jadi mentor sekarang,
setiap tahun dan seterusnya. Dan setiap tahun mereka akan menyiarkan kembali
hubungan asmara kalian, dan menyiarkan detail kehidupan pribadi kalian ke
publik dan kau takkan pernah bisa melakukan apapun selain hidup bersama
selamanya dengan anak lelaki itu."
Kata-kata Haymitch
menghantamku habis-habisan. Aku takkan pernah punya hidup bersama Gale, bahkan
jika aku mau sekalipun. Aku takkan pernah dibiarkan hidup sendirian. Aku harus
selamanya mencintai Peeta. Capitol akan memastikannya. Mungkin aku hanya punya
waktu beberapa tahun, karena aku baru berusia enam belas tahun, untuk tinggal bersama
ibuku dan Prim. Lalu... Kemudian...
"Kau
mengerti?" desak Haymitch.
Aku mengangguk.
Maksudnya adalah hanya ada satu masa depan, kalau aku ingin menjaga semua orang
yang kucintai tetap hidup dan membuat diriku juga tetap hidup. Aku harus
menikahi Peeta.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 3"
Posting Komentar