Catching Fire Bab 3



Bab 3

BAU amis darah.. tercium dari napas Presiden Snow. Apa yang dia lakukan? pikirku. Meminumnya? Aku membayangkan Presiden Snow menyesap darah dari cangkir teh. Mencelupkan kue ke dalamnya dan meneteskan cairan merah ketika mengangkat kuenya.
Di luar jendela, mesin mobil dihidupkan, lalu menghilang dalam kejauhan. Mobil itu lenyap begitu saja, tanpa diperhatikan siapapun, sama seperti kedatangannya. Kamar ini seakan berputar perlahan dan dalam hati aku bertanya apakah aku bakalan pingsan. Aku menunduk dan memegangi meja dengan satu tangan. Tanganku yang satu lagi memegang kue kering indah berbentuk bunga bakung buatan Peeta, yang kini sudah remuk jadi remahan dalam genggamanku. Aku tidak tahu aku sudah meremas kue itu, tapi kurasa aku harus berpegangan pada sesuatu ketika duniaku menikung tak terkendali.
Kunjungan dari Presiden Snow. Distrik-distrik di ambang pemberontakan. Ancaman maut langsung kepada Gale, juga pada yang lainnya. Nasib semua orang yang kusayangi ada di ujung tanduk. Kecuali aku mengembalikan keadaan dalam tur ini. Menentramkan kegelisahan massa dan pikiran sang presiden.Dan bagaimana caranya? Dengan membuktikan seantero negri bahwa aku mencintai Peeta Mellark tanpa ada keraguan sedikitpun.
Aku tak bisa melakukannya, pikirku. Aku tak sebagus itu. Peeta yang bagus, yang disukai orang banyak. Dia bisa membuat orang percaya apapun. Aku yang biasanya tutup mulut, duduk dan membiarkan Peeta bicara sebanyak mungkin. Tapi bukan Peeta yang harus membuktikan cintanya. Aku.
Kudengar langkah kaki ibuku yang ringan dan cepat diruang depan. Dia tidak boleh tau, pikirku. Tidak boleh tau sama sekali tentang hal ini. Kuulurkan kedua tanganku keatas nampan dan cepat-cepat menyeka sisa-sisa kue kering dari telapak tangan dan jemariku. Kuteguk teh dengan tangan gemetar.
"Apakah semuanya baik-baik saja, Katniss?" tanya ibuku.
"Baik. Kita tak pernah melihatnya di TV, tapi Presiden selalu mengunjungi para pemenang sebelum tur untuk memberikan salam keberuntungan," kataku ceria.
Wajah ibuku langsung dibanjiri kelegaan. "Oh, tadinya kupikir ada masalah."
"Tidak, sama sekali tidak," jawabku. "Masalah akan dimulai ketika tim persiapanku melihat alisku tumbuh lebat."
Ibuku tertawa dan kupikir aku tak bisa mundur lagi setelah mengurusi keluargaku sejak aku berusia sebelas tahun. Bagaimana aku akan selalu harus melindunginya.
"Bagaimana kalau aku siapkan mandimu?" tanya ibuku.
"Menyenangkan sekali," kataku, aku bisa melihat betapa ibuku senang mendengar jawabanku.
Sejak aku pulang aku berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan ibuku. Dalam waktu yang kuhabiskan di arena membuatku sadar bahwa aku harus berhenti menghukumnya atas sesuatu yang tidak bisa diatasinya, terutama depresi yang dialami ibuku setelah kematian ayahku. Kadang-kadang ada kejadian yang menimpa seseorang dan mereka tidak siap menghadapinya. Seperti aku, contohnya. Sekarang ini.
Selain itu, ada satu hal menggembirakan yang dilakukan ibuku ketika aku pulang ke distrik. Setelah keluarga dan teman-tenan menyambut kepulanganku dan Peeta di stasiun kereta api, sejumlah reporter diijinkan mengajukan beberapa pertanyaan. Ada seorang reporter yang menanyakan pada ibuku apa pendapatnya tentang pacar baruku, dan ibuku menjawab, meskipun Peeta merupakan cowok ideal, aku masih belum cukup umur untuk punya pacar. Ibuku mengakhiri perkataannya dengan menatap tajam Peeta.
Terdengar tawa membahana dan komentar-komentar dari wartawan seperti, "Ada yang bakal kena masalah," lalu Peeta melepaskan tangannya dan menjauh dariku.
Kami tak lama berjauhan, tapi hal itu memberi kami alasan untuk lebih menjaga jarak daripada ketika kami berada di Capitol. Dan mungkin itu bisa dijadikan penyebab jarangnya aku terlihat bersama Peeta sejak kamera berhenti menyoroti kami.
Aku naik ke lantai atas menuju kamar mandi, disana bak mandi air hangat sudah menunggu. Ibuku juga menambahkan sekantong bunga kering yang mengharumkan udara. Aku melepaskan pakaian dan masuk ke air yang terasa lembut—ibuku juga menuangkan semacam minyak entah apa ke dalam air—lalu berusaha mencerna segalanya. Pertanyaan pertama adalah siapa yang harus kuberitahu, jika aku tak bisa menyembunyikan semua ini.
Pertanyaan pertama adalah siapa yang akan kuberitahu jika aku tidak bisa menyembunyikan semua ini. Terang saja bukan ibuku atau Prim, mereka hanya akan kuatir setengah mati. Bukan Gale. Lagipula apa yang bisa dilakukannya dengan informasi ini? Jika Gale sebatang kara, aku mungkin membujuknya untuk lari. Dia pasti bisa bertahan hidup di hutan. Tapi dia tak sendirian dan dia takkan pernah meninggalkan keluarganya. Atau meninggalkanku.
Saat aku pulang nanti aku akan memberitahunya bahwa acara hari minggu kami sudah jadi kenangan masa lalu, tapi aku tak bisa memikirkannya sekarang. Aku hanya bisa memikirkan tindakan yang harus kuambil sesegera mungkin. Selain itu, Gale sudah sangat marah dan frustasi pada Capitol sampai kadang-kadang kupikir dia sedang merancang pemberontakannya sendiri. Tidak, aku tak bisa memberitahu siapapun yang kutinggalkan di Distrik 12.
Masih ada tiga orang yang bisa kuberitahu tentang rahasia ini, dimulai dari Cinna, penata gayaku. Tapi aku menduga Cinna pasti sudah berada dalam bahaya dan aku tak mau menariknya lebih jauh kedalam masalah. Masih ada Peeta, yang jadi partnerku dalam muslihat ini, tapi bagaimana aku memulai percakapan dengannya?
Hei, Peeta, ingat waktu kubilang padamu bahwa aku pura-pura jatuh cinta padamu? Nah, sekarang aku benar-benar butuh kau untuk melupakan semua itu dan beraktinglah lebih mencintaiku atau Presiden akan membunuh Gale.
Aku tak bisa melakukannya. Lagipula Peeta akan tetap berakting dengan baik meskipun dia tak tau apa yang dipertaruhkan disini. Sisanya tinggal Haymitch. Haymitch yang pemabuk, pemarah dan banyak tingkah, yang baru saja kusiram dengan sebaskom air dingin. Sebagai mentorku dalam Hunger Games sudah tugasnya untuk menjaga keselamatanku. Aku hanya berharap dia masih sanggup menangani tugas itu.
Aku merendam seluruh tubuhku ke dalam air, membiarkan air meredam suara-suara di sekitarku. Aku berharap bak mandi ini bisa membesar agar aku bisa berenang, seperti yang biasa kulakukan di hutan pada hari minggu di musim panas bersama ayahku. Hari-hari itu terasa istimewa.
Aku tak ingat kapan aku belajar berenang, aku masih sangat muda ketika ayahku mengajariku berenang. Aku hanya ingat menyelam, bersalto dan mengayuhkan kaki. Sambil mengapung telentang, aku memandangi langit biru. Ayahku mengambil burung air yang bersarang di sekitar danau. Aku memunguti telur-telur di rerumputan dan kami menggali tanah di tepian air untuk mencabut akar katniss, tanaman yang jadi asal kata namaku. Pada malam hari, ketika kami tiba di rumah, ibuku berpura-pura tak mengenaliku karena aku sangat bersih. Kemudian dia akan masak makan malam yang luar biasa nikmat, menunya bebek panggang dan katniss bakar yang diberi kuah daging.
Aku tak pernah mengajak Gale ke danau. Aku bisa saja mengajaknya ke sana. Tapi itu adalah tempat yang tak ingin kubagi dengan siapapun. Sehabis Hunger Games, beberapa kali aku pergi ke danau itu. Berenang di danau masih menyenangkan, tapi sering kali aku merasa tertekan disana. Danau tetap tak berubah sementara aku hampir tak bisa dikenali lagi.
Bahkan di dalam air aku bisa mendengar suara ribut. Suara klakson mobil, teriakan-teriakan sambutan, pintu-pintu yang dibanting menutup. Itu artinya rombonganku sudah datang. Aku baru saja mengelap tubuhku dengan handuk dan memakai jubah mandi sebelum tim persiapanku menyerbu masuk ke kamar mandi. Dalam urusan dengan tubuhku, tak ada lagi rahasia di antara kami, tiga orang ini dan aku.
"Katniss, alismu" Venia langsung memekik, bahkan dalam keadaan murampun, aku masih bisa menahan tawa mendengarnya. Rambutnya yang berwarna biru muda ditata sehingga membentuk ujung-ujung lancip dikepalanya dan tato-tato keemasan yang tadinya ada diatas alisnya sudah melingkar di bawah matanya.
Octavia muncul dan menepuk punggung Venia menenangkannya, tubuhnya yang gemuk terlihat makin gemuk disamping Venia yang kurus. "Sudah, sudah. Kau bisa memperbaikinya dalam sekejap. Api apa yang bisa kulakukan terhadap kukukuku ini?" Dia menarik tanganku lalu menekannya di antara kedua tangannya yang berwarna hijau kacang polong. Tapi kali ini kulitnya lebih tepat berwarna hijau cerah. Perubahan warna ini pasti usahanya untuk mengikuti tren fashion Capitol yang selalu berubah-ubah. "Katniss, harusnya kau menyisakan sedikit kukumu untuk bisa kukerjakan" serunya nyaring.
Memang benar. Aku menggigiti kukuku sampai puntung selama beberapa bulan terakhir. Aku berniat menghentikan kebiasaan buruk ini tapi aku tak menemukan alasan bagus untuk melakukannya.
"Maaf," gumamku. Aku tak sungguh-sungguh memikirkan dampaknya pada tim persiapanku.
Flavius mengangkat beberapa helai rambutku yang basah dan kusut. Dia menggeleng tak suka, membuat rambut ikalnya yang berwarna oranye bergoyang-goyang. "Apa ada yang menyentuh ini sejak terakhir kalinya kau bertemu kami?" tanyanya tegas. "Ingat, kami secara khusus memintamu untuk tak mengutak-atik rambutmu."
"Ya" sahutku, "Maksudku, tak ada seorangpun yang memotongnya. Aku ingat itu." Padahal sebenarnya aku tak ingat. Lebih tepatnya, urusan rambut tak pernah disinggung.
Sejak aku pulang, yang kulakukan terhadap rambutku hanyalah mengepangnya seperti yang dulu sering kulakukan. Ucapanku sepertinya meredakan emosi mereka, lalu mereka menciumku, kemudian mendudukkanku di kursi di dalam kamar tidurku. Dan seperti biasa, mereka sibuk mengoceh tanpa memperhatikan apakah aku mendengarkan atau tidak.
Sementara Venia menumbuhkan kembali alisku dan Octavia memasang kuku palsu lalu Flavius menempelkan cairan lengket ke kepalaku. Aku mendengar segalanya tentang Capitol. Betapa suksesnya Hunger Games, bagaimana semua orang tak sabar menunggu aku dan Peeta berkunjung ke Capitol lagi pada akhir Tur Kemenangan. Setelah itu, tak lama lagi Capitol bakal bersiap-siap untuk Quarter Quell.
"Seru kan?"
"Kau pasti merasa beruntung kan?"
"Pada tahun pertamamu menjadi pemenang, kau akan menjadi mentor di Quarter Quell"
"Oh, ya," kataku bersikap netral. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Pada tahun normal, menjadi mentor merupakan mimpi buruk. Sekarang aku tak bisa berjalan melewati sekolah tanpa bertanya-tanya anak mana yang akan kumentori. Tapi yang menjadikan keadaan lebih buruk, tahun ini adalah Hunger Games yang ke tujuh puluh lima, yang juga berarti Quarter Quell. Quarter Quell ini berlangsung setiap dua puluh lima tahun sekali, menandai perayaan kekalahan distrik-distrik dengan pesta besar-besaran dan supaya lebih seru mereka menambahkan siksaan bagi para peserta. Aku tak pernah menyaksikan satupun secara langsung. Tapi aku ingat di sekolah aku mendengar bahwa Capitol meminta dua kali lipat jumlah peserta dalam Quarter Quell kedua. Para guru tak menceritakan secara mendetail, yang sebenarnya mengherankan, karena pada tahun itulah Haymitch Abernathy dari Distrik 12 menjadi pemenangnya.
"Haymitch sebaiknya bersiap-siap menerima banyak perhatian" pekik Octavia.
Haymitch tak pernah menceritakan pengalaman pribadinya di arena padaku. Tapi Capitol takkan membiarkan Haymitch melupakannya tahun ini. Dalam satu dan lain hal, untung aku dan Peeta bisa menjadi mentor pada Quell ini, karena aku berani taruhan Haymitch bakal teler berat.
Setelah mereka kehabisan bahan omongan tentang Quarter Quell, tim persiapanku masuk ke topik tentang hidup mereka yang konyol. Entah siapa yang berbicara tentang seseorang yang namanya tak pernah kudengar dan sepatu apa yang baru dibeli, lalu Octavia bercerita panjang lebar tentang kesalahannya menyuruh semua tamu yang datang ke pesta ulang tahunnya dengan memakai bulu.
Tidak lama kemudian alisku sudah tampak tebal, rambutku halus dan lembut, kukuku sudah siap diwarnai. Tampaknya mereka sudah diberi perintah untuk hanya menyiapkan kedua tangan dan wajahku, mungkin karena semua bagian tubuhku yang lain akan terbungkus rapat dalam udara yang dingin ini. Flavius kepingin bisa menggunakan lipstik ungu yang jadi kegemarannya di bibirku tapi dia terpaksa menggantinya dengan warna pink ketika mereka mulai mewarnai wajah dan kukuku. Dari palet warna dari Cinna aku bisa melihat bahwa kami akan mengambil tema penampilan ala gadis muda. Bukan seksi.
Baguslah. Aku takkan pernah bisa meyakinkan siapapun bahwa aku berusaha bersikap provokatif. Haymitch sudah menyatakannya dengan sangat jelas ketika dia melatihku untuk wawancara dalam Hunger Games.
Ibuku masuk dengan malu-malu, mengatakan bahwa Cinna menyuruhnya agar memperlihatkan caranya mengepang rambutku pada hari pemungutan pada tim persiapanku. Mereka langsung antusias lalu dengan penuh perhatian melihat ibuku memerinci proses pengepangan rambutku. Melalui cermin, aku bisa melihat wajah mereka yang sungguh-sungguh mengawasi gerakan ibuku dan mereka begitu bersemangat ketika giliran mereka mencoba mengepang rambutku. Sesungguhnya, mereka bertiga bersikap baik dan sangat hormat pada ibuku. Siapa yang tau seperti apa aku jadinya atau seperti apa gaya bicaraku jika aku dibesarkan di Capitol?
Mungkin penyesalan terbesarku juga tentang kostum bulu di pesta ulang tahunku. Setelah rambutku selesai ditata, aku bertemu Cinna yang duduk di lantai bawah, di ruang tamu. Cuma dengan melihatnya, aku langsung merasa penuh harapan. Cinna tampak sama seperti biasa, pakaian sederhana, rambut coklat pendek dan sedikit warna emas di alisnya. Kami berpelukan dan aku hampir menceritakan semua kejadian yang kualami bersama Presiden Snow. Tapi tidak, aku sudah memutuskan untuk memberitahu Haymitch lebih dulu. Akan tetapi begitu mudah berbicara dengan Cinna. Belakangan kami sering ngobrol lewat telepon yang terpasang di rumah ini. Telepon ini jadi semacam lelucon, karena tak ada seorangpun di distrik ini yang kami kenal yang punya telepon. Peeta punya, tapi aku jelas tak mau meneleponnya. Haymitch sudah mencabut teleponnya bertahun-tahun lalu.
Temanku, Madge, putri walikota, punya telepon di rumahnya, tapi jika kami ingin bicara, kami bertemu langsung. Setiap pemenang diharuskan punya satu bakat. Bakatmu adalah kegiatan yang kaulakukan karena kau tak lagi perlu sekolah atau bekerja di bidang industri distrikmu. Bakatmu bisa apa saja. Ternyata Peeta punya bakat, yaitu melukis. Selama bertahun-tahun dia sudah menghias kue dan biskuit di toko roti keluarganya. Sekarang setelah dia kaya raya, dia sanggup membeli cat sungguhan untuk dicoret-coret di kanvas. Aku tak punya bakat, kecuali berburu ilegal dihitung bakat.
Atau mungkin menyanyi, yang demi apapun takkan kulakukan untuk Capitol. Ibuku berusaha membuatku tertarik pada berbagai pilihan bakat dari daftar yang dikirimkan Effie Trinket padanya. Memasak, merangkai bunga, bermain flute. Tak ada satupun yang berhasil, meskipun Prim bisa menguasai ketiganya dengan mudah. Akhirnya Cinna turun tangan dan menawarkan diri membantuku mengembangkan kegemaranku merancang pakaian, yang amat sangat butuh bantuannya untuk dikembangkan dari nol. Tapi aku setuju dengannya karena aku bisa mengobrol dengan Cinna dan dia berjanji untuk mengerjakan semuanya.
Sekarang dia sedang mengatur barang-barang di ruang tamuku: pakaian-pakaian, kain dan buku-buku sketsa dengan desain-desain pakaian yang digambarnya. Kuambil salah satu buku sketsa dan memperhatikan gaun yang seharusnya merupakan rancanganku.
"Kau tau tidak, menurutku aku punya bakat yang menjanjikan," kataku.
"Ganti pakaian sana, dasar makhluk tak berguna," katanya, sambil melempar pakaian ke arahku.
Aku mungkin tak tertarik merancang pakaian tapi aku amat menyukai pakaian-pakaian yang dibuatkan Cinna untukku. Seperti pakaian yang satu ini. Celana panjang hitam longgar yang terbuat dari bahan yang tebal dan hangat. Kemeja putih yang nyaman. Sweter hijau-biru dengan garis abu-abu berbahan wol yang halus. Sepatu bot kulit bertali yang tak membuat kakiku sakit saat dipakai.
"Apakah aku yang merancang pakaianku sendiri?" tanyaku.
"Tidak, kau bercita-cita untuk merancang pakaianmu sendiri dan bisa jadi seperti aku, pahlawan fashion-mu," kata Cinna. Dia menyerahkan setumpuk kartu padaku. "Kau akan membacanya di luar kamera ketika mereka merekam pakaian-pakaian ini. Cobalah terdengar seakan-akan kau peduli"
Tepat pada saat itu, Effie Trinket tiba dengan wig oranye labu untuk mengingatkan semua orang. "Kita harus mengikuti jadwal"
Dia mencium kedua pipiku sambil melambai pada kru kamera, lalu menyuruhku berada di posisi yang seharusnya. Effie adalah satu-satunya alasan yang membuat kami bisa kemanapun tepat waktu selama di Capitol, jadi aku berusaha melaksanakan apa yang dimintanya.
Aku mulai mondar-mandir seperti boneka berjalan, memegangi pakaian-pakaianku dan mengatakan hal-hal konyol seperti "pasti kau suka, kan?"
Tim suara merekamku membaca kartu-kartuku dengan suara riang agar bisa mereka gabungkan dengan gambarnya nanti, lalu aku disuruh keluar ruangan agar mereka bisa merekam rancangan-rancanganku/Cinna tanpa ada gangguan.
Prim pulang sekolah lebih cepat untuk acara ini. Sekarang dia berdiri di dapur, sedang diwawancarai oleh kru. Dia tampak cantik dengan gaun biru langit yang menonjolkan warna matanya, rambut pirangnya diikat ke belakang dengan pita yang senada. Dia berjinjit agak ke depan dengan sepatu bot putihnya yang mengilap seakan dia hendak bersiap kabur, seperti... Buk.
Seakan ada orang yang menghantam dadaku. Aku mundur. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan aku tak melihat Prim—aku melihat Rue, gadis dua belas tahun dari Distrik 11 yang menjadi sekutuku di arena pertarungan. Rue, yang tak kuselamatkan. Yang kubiarkan mati. Aku membayangkan Rue terbaring ditanah dengan tombak menancap di perutnya...
Siapa lagi yang akan gagal kuselamatkan dari pembalasan Capitol? Siapa lagi yang bakal tewas jika aku tak memuaskan keinginan Presiden Snow? Aku sadar Cinna berusaha memakaikan jaket ke tubuhku, jadi aku mengangkat kedua tanganku.
Bahan bulu ini tak pernah kulihat sebelumnya. "Cerpelai," kata Cinna ketika aku membelai bagian jaket berbulu yang berwarna putih itu. Sarung tangan putih. Syal merah cerah. Ada benda berbulu yang menutup telingaku. "Kau membuat penutup telinga jadi tren lagi."
Aku benci penutup telinga, pikirku. Benda itu membuatku sulit mendengar dan sejak satu telingaku sempat tuli di arena, aku makin membenci benda ini. Setelah menang, Capitol memperbaiki telingaku, tapi sampai sekarang aku masih belum terbiasa.
Ibuku bergegas menghampiriku membawa sesuatu yang tertangkup di kedua tangannya. "Untuk keberuntungan," katanya.
Ternyata ibuku memberikan pin yang diberikan Madge sebelum Hunger Games. Pin berbentuk mockingjay yang terbang dalam lingkaran emas. Aku berusaha memberikannya pada Rue tapi dia tak mau menerimanya. Dia bilang pin itu yang jadi alasan dia memutuskan memercayaiku.Cinna memasangnya di ikatan syalku.
Effie Trinket berada di dekatku dan bertepuk tangan. "Mohon perhatiannya Kita akan mengambil gambar pertama di luar, nanti para pemenang akan saling menyambut pada awal perjalanan mereka yang luar biasa ini. Baiklah, Katniss, senyum lebar ya, kau penuh semangat untuk perjalanan ini, kan?"
Effie mendorongku keluar dari pintu.
Selama beberapa saat aku tak bisa melihat dengan jelas karena salju, yang kini sudah turun deras. Lalu aku berhasil melihat Peeta berjalan keluar pintu. Di dalam kepalaku aku bisa mendengar perintah Presiden Snow, "Yakinkan aku." Dan aku tau aku harus melakukannya.
Wajahku menampilkan senyum lebar dan aku mulai berjalan ke arah Peeta. Lalu, seakan aku tak bisa menunggu sedetik lebih lama lagi, aku mulai berlari. Peeta menangkapku dan memutar tubuhku kemudian dia terpeleset—Peeta masih belum menguasai betul kaki palsunya—kamipun terjatuh di salju, tubuhku berada diatas tubuh Peeta dan setelah itulah kami berciuman pertama kali setelah berbulan-bulan.
Ciuman itu penuh bulu, kepingan salju dan lipstik, tapi dibalik semua itu aku bisa merasakan kemantapan yang dibawa Peeta terhadap segalanya. Dan aku tau aku tak sendirian. Seburuk apapun aku menyakitinya, Peeta takkan membuka rahasiaku di depan kamera. Dia takkan menciumku setengah hati. Dia masih menjagaku dengan baik. Sebagaimana yang dilakukannya di arena. Entah bagaimana aku jadi ingin menangis memikirkan semua itu. Tapi kutarik Peeta berdiri, menyelipkan lenganku di lekukan lengannya dan dengan riang kutarik dia berjalan.
Sisa hari itu berlangsung tanpa benar-benar kuperhatikan, mulai dari menuju stasiun KA, melambaikan salam perpisahan pada semua orang, kereta api berangkat pergi, tim lamaku—Peeta dan aku, Effie dan Haymitch, Cinna dan Portia, penata gaya Peeta—menyantap makanan yang tak terlukiskan lezatnya. Lalu aku berganti piama dan jubah yang mewah, duduk di kompartemen megah menunggu yang lain tidur. Aku tau Haymitch akan bangun beberapa jam lagi. Dia tak suka tidur saat gelap.
Ketika kereta terdengar sepi, aku memakai sandal dan mengetuk pintunya beberapa kali sebelum aku mendengar jawaban, menggerutu, seakan-akan dia yakin aku pasti membawa kabar buruk.
"Kau mau apa?" tanya Haymitch, nyaris membuatku semaput dengan bau anggur dari mulutnya.
"Aku harus bicara denganmu," aku berbisik.
"Sekarang?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Ini harus bagus ya."
Dia menunggu, tapi aku yakin setiap kata yang kami ucapkan di kereta api Capitol ini pasti direkam.
"Jadi bagaimana?" bentaknya.
Kereta api mulai direm dan aku berpikir Presiden Snow mengawasiku dan tak senang pada niatku untuk mengaku pada Haymitch dan memutuskan untuk membunuhku sekarang. Tapi ternyata kami hanya berhenti untuk mengisi bahan bakar.
"Kereta api ini pengap ya," kataku.
Kalimat yang aman sebenarnya, tapi aku melihat mata Haymitch menyipit penuh pemahaman. "Aku tau apa yang kauperlukan."
Dia berjalan melewatiku dan dengan cepat melewati lorong kereta menuju pintu. Ketika Haymitch berusaha membukanya, embusan salju menghantam kami. Dia terpeleset terjatuh ke tanah.
Petugas Capitol bergegas membantu, tapi Haymitch melambai sopan mengusirnya saat dia berusaha berdiri. "Hanya ingin udara segar. Sebentar saja."
"Maaf. Dia mabuk," kataku meminta maaf. "Aku akan membantunya."
Aku melompat turun dan berjalan tersandung-sandung melewati rel kereta di belakangnya, salju membasahi sepatuku, ketika dia membimbingku hingga melewati ujung kereta agar tak ada yang bisa mendengar percakapan kami. Lalu dia menoleh memandangku.
"Apa?"
Kuceritakan segalanya pada Haymitch. Tentang kunjungan Presiden, tentang Gale, tentang bagaimana kami semua akan mati kalau aku gagal.
Wajah Haymitch langsung sadar, dia tampak menua dalam sorotan lampu belakang yang berwarna merah. "Kalau begitu, kau tak boleh gagal."
"Kalau kau bisa membantuku melewati perjalanan ini..," aku mulai bicara.
"Tidak Katniss, bukan hanya untuk perjalanan ini," katanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Bahkan jika kau berhasil lolos kali ini, mereka akan kembali beberapa bulan lagi untuk membawa kita semua ke Hunger Games berikutnya. Kau dan Peeta akan jadi mentor sekarang, setiap tahun dan seterusnya. Dan setiap tahun mereka akan menyiarkan kembali hubungan asmara kalian, dan menyiarkan detail kehidupan pribadi kalian ke publik dan kau takkan pernah bisa melakukan apapun selain hidup bersama selamanya dengan anak lelaki itu."
Kata-kata Haymitch menghantamku habis-habisan. Aku takkan pernah punya hidup bersama Gale, bahkan jika aku mau sekalipun. Aku takkan pernah dibiarkan hidup sendirian. Aku harus selamanya mencintai Peeta. Capitol akan memastikannya. Mungkin aku hanya punya waktu beberapa tahun, karena aku baru berusia enam belas tahun, untuk tinggal bersama ibuku dan Prim. Lalu... Kemudian...
"Kau mengerti?" desak Haymitch.
Aku mengangguk. Maksudnya adalah hanya ada satu masa depan, kalau aku ingin menjaga semua orang yang kucintai tetap hidup dan membuat diriku juga tetap hidup. Aku harus menikahi Peeta.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 3"

Posting Komentar