Catching Fire Bab 25



Bab 25

KETIKA terbangun, aku merasakan kebahagiaan singkat yang nikmat bahwa entah bagaimana aku terkoneksi dengan Peeta. Tentu saja, kebahagiaan sama sekali tak masuk akal pada saat ini, mengingat keadaan kami sekarang. Aku bakal mati dalam satu hari. Dan itu skenario terbaiknya, jika aku bisa menyingkirkan semua peserta lain, termasuk diriku, dan menjadikan Peeta sebagai pemenang di Quarter Quell. Namun, sensasi perasaaan itu tak terduga dan manis sehingga aku terus mempertahankannya meskipun hanya untuk sesaat sebelum pasir yang kasar, matahari yang panas, dan kulitku yang gatal menarikku kembali ke kenyataan.
Semua orang sudah bangun dan aku memperhatikan parasut yang turun di pantai. Aku bergabung bersama mereka untuk menerima kiriman roti lagi. Ini roti yang sama seperti yang kami terima malam sebelumnya. Dua puluh empat roti dari Distrik 3. Sepertinya secara keseluruhan kami punya 33 roti. Masing-masing mengambil lima, delapan sisanya di simpan. Tak ada yang mengatakannya, tapi delapan bisa dibagi sama rata setelah ada satu lagi yang tewas. Entah bagaimana, setelah hari terang, bergurau tentang siapa yang masih ada untuk makan roti yang tersisa terasa tidak lucu lagi.
Berapa lama lagi kami bisa mempertahankan persekutuan ini? Kurasa tak ada seorang pun yang mengira jumlah peserta akan menurun dengan cepat. Bagaimana jika aku salah tentang peserta-peserta lain yang berusaha melindungi Peeta? Apakah semua itu hanya kebetulan atau strategi untuk memenangkan kepercayaan kami sehingga kami jadi mangsa yang mudah, atau aku sama sekali tidak memahami apa yang terjadi di sini? Tunggu, tidak ada atau di sini. Aku tidak memahami apa yang terjadi. Dan kalau aku tidak paham, sudah waktunya bagiku dan Peeta untuk pergi dari sini.
Aku duduk di sebelah Peeta di pasir sambil makan roti. Entah apa sebabnya, sulit bagiku untuk memandangnya. Mungkin karena segala ciuman tadi malam, walaupun bagi kami ciuman bukanlah hal baru lagi. Mungkin karena kami menyadari betapa singkatnya waktu yang tersisa. Dan kami memiliki tujuan yang berbeda tentang siapa yang harus lolos dari Hunger Games ini.
Setelah kami makan, kugenggam tangan Peeta dan kutarik dia ke air. "Ayo. Akan kuajari kau caranya berenang."
Aku perlu menariknya menjauh dari yang lain agar bisa membicarakan cara meloloskan diri. Usaha ini akan berbahaya, karena setelah mereka tahu kami ingin memisahkan diri, kami pasti langsung jadi sasaran.
Kalau aku sungguh-sungguh ingin mengajarinya berenang, aku pasti akan menyuruh Peeta melepaskan ikat pinggangnya karena benda itu membuatnya tetap mengambang, tapi sudah tidak ada pengaruhnya lagi sekarang. Jadi aku hanya mengajarinya gerakan-gerakan dasar dan membiarkannya berlatih berenang mondar-mandir di air yang setinggi pinggang.
Mulanya, kulihat Johanna mengawasi kami dengan saksama, tapi akhirnya dia pun bosan dan pergi tidur. Finnick menganyam jala baru dari sulur-sulur yang ada dan Beetee bermain dengan kawatnya. Aku tahu saatnya sudah tiba.
Sementara Peeta berenang, aku menemukan sesuatu. Sisa-sisa koreng di kulitku mulai terkelupas. Perlahan-lahan aku menggosokkan pasir di lenganku, aku membersihkan kerak yang tersisa, memperlihatkan kulit yang segar dan baru di baliknya. Aku menghentikan latihan Peeta, sambil pura-pura menunjukkan padanya cara menghilangkan koreng yang gatal di kulitnya, kami saling menggosokkan pasir ke tubuh satu sama lain, aku segera menyinggung rencana pelarian kami.
"Dengar, tinggal kita berdelapan. Kurasa sudah saatnya kita pergi," bisikku pelan, meskipun aku tidak yakin peserta-peserta lain bisa mendengarku.
Peeta mengangguk, aku bisa melihatnya mempertimbangkan ajakanku. Dia sedang menimbang-nimbang apakah keuntungan berpihak pada kami.
"Begini saja," katanya. "Kita tetap bersama sampai Brutus dan Enobaria tewas. Kurasa Beetee sedang berusaha membuat perangkap untuk mereka sekarang. Lalu, aku janji, kita akan pergi setelah itu."
Aku tidak sepenuhnya yakin. Tapi jika kami pergi sekarang, akan ada dua kelompok musuh yang mengejar kami. Mungkin tiga, karena siapa yang tahu apa rencana Chaff? Ditambah lagi dengan jam-jam yang harus kami hadapi. Kemudian masih ada Beetee yang harus kupikirkan. Johanna hanya membawanya untukku, dan jika kami pergi dia pasti akan membunuhnya. Lalu aku ingat. Aku tidak bisa melindungi Beetee juga. Hanya ada satu pemenang dan orang itu harus Peeta. Aku harus menerima ini. Aku harus membuat keputusan-keputusan berdasarkan keselamatan Peeta semata.
"Baiklah," kataku. "Kita akan tinggal sampai kawanan Karier mati. Tapi Cuma sampai di situ." Aku menoleh dan melambai pada Finnick. "Hei, Finnick, kemari. Kami sudah menemukan cara untuk membuatmu tampan lagi"
Kami bertiga mengelupasi koreng dari tubuh kami, membantu yang lain dengan menggosok punggung, dan keluar dari air dengan kulit merah muda seperti warna langit. Kami mengoleskan salep sekali lagi karena kulit kami sepertinya terlalu rapuh di bawah cahaya matahari, tapi salep ini membuat kulit kami yang mulus jadi kelihatan jelek dan akan jadi kamuflase yang bagus di hutan.
Beetee memanggil kami mendekat, ternyata selama berjam-jam memainkan kawat itu, dia akhirnya punya rencana. "Kupikir kita semua sependapat bahwa tugas kita selanjutnya adalah membunuh Brutus dan Enobaria," katanya dengan nada lembut.
"Aku tidak yakin mereka akan menyerang kita secara terbuka lagi, apalagi setelah mereka kalah jumlah sekarang. Kita bisa melacak keberadaan mereka, tapi itu pekerjaan yang melelahkan dan berbahaya."
"Apakah menurutmu mereka sudah tahu tentang jam?" tanyaku.
"Jika belum tahu, mereka pasti akan mengetahuinya tak lama lagi. Mungkin tidak spesifik seperti yang kita ketahui. Tapi mereka pasti tahu serangan-serangan dan sifatnya berulang secara berkala. Juga, fakta bahwa pertarungan terakhir kita dipotong oleh Juri Pertarungan takkan lepas dari perhatian mereka. Kita tahu bahwa itu upaya untuk membuat kita kehilangan arah, tapi mereka pasti bertanyatanya alasan para Juri melakukannya, dan ini juga bisa membuat mereka menyadari arena ini adalah jam," kata Beetee. "Jadi kupikir taruhan terbaik kita adalah membuat perangkap kita sendiri."
"Tunggu, kubangunkan Johanna dulu," kata Finnick. "Dia bisa gila kalau dia pikir dia sudah melewatkan sesuatu yang penting."
"Tidak juga," kataku, karena bisa dibilang dia selalu gila, tapi aku tidak menghentikan Finnick, karena aku sendiri bisa marah kalau tidak dilibatkan dalam rencana pada tahap ini.
Ketika akhirnya Johanna bergabung dengan kami, Beetee menyuruh kami mundur agar dia punya cukup ruang untuk bekerja di pasir. Dengan cepat dia membuat lingkaran dan membaginya menjadi dua belas bagian di dalamnya. Dia menggambar arena, tidak seperti buatan Peeta yang digambar secara teliti, tapi garis-garis kasar yang dibuat oleh seorang pria yang pikirannya penuh dengan berbagai hal yang jauh lebih kompleks.
"Jika kalian Brutus dan Enobaria, setelah mengetahui apa yang kau ketahui tentang hutan ini, di mana kau akan merasa paling aman?" tanya Beetee. Tidak ada nada menggurui dalam suaranya, namun aku langsung teringat pada seorang guru sekolah yang mengajari muridnya agar memahami pelajaran yang diberikannya. Mungkin karena perbedaan usia, atau karena Beetee mungkin sejuta kali lebih pintar.
"Di tempat kita sekarang. Di pantai," kata Peeta. "Ini tempat paling aman."
"Lalu kenapa mereka tidak ada di pantai?" tanya Beetee.
"Karena kita ada di sini," kata Johanna tidak sabar.
"Betul sekali. Kita ada di sini, menguasai pantai. Sekarang kau akan pergi ke mana?" tanya Beetee.
Aku memikirkan hutan maut, pantai yang kami kuasai. "Aku akan bersembunyi di tepi hutan. Agar aku bisa melarikan diri jika datang serangan. Dan agar bisa memata-matai kita."
"Juga untuk makan malam," kata Finnick. "Hutan penuh binatang dan tanaman aneh. Tapi dengan memperhatikan kita, aku tahu makanan dari laut aman untuk disantap."
Beetee tersenyum kepada kami seakan kecerdasan kami melebihi pikirannya. "Ya, bagus. Kau ternyata mengerti. Usulku begini: serangan pada jam dua belas. Apa yang terjadi tepat pada tengah hari dan tengah malam?"
"Kilat menyambar pohon," kataku.
"Ya. Jadi usulku setelah kilat menyambar pada tengah hari, tapi sebelum tengah malam, kita memasang kawatku pada pohon itu hingga ke air laut, yang tentu saja bisa mengalirkan arus listrik. Saat kilat menyambar pohon, listrik akan mengalir turun di sepanjang kabel dan tidak hanya sampai ke air tapi juga ke pantai di sekitarnya, yang masih dalam keadaan lembap setelah ombak jam sepuluh. Semua orang yang berada di permukaan itu akan tersetrum," kata Beetee.
Ada jeda lama ketika kami mencerna rencana Beetee. Bagiku rencana ini terdengar terlalu mengawang-awang, bahkan tidak mungkin bisa terjadi. Tapi apa alasannya?
Aku sudah memasang ribuan jerat. Bukankah ini hanya jerat yang lebih besar dengan komponen yang lebih ilmiah? Bisakah rencana ini berhasil? Bagaiamana kami bisa mempertanyakan rencana ini? Kami peserta-peserta yang dilatih untuk menangkap ikan, menebang kayu, dan menambang baru bara. Apa yang kami tahu tentang mengambil listrik dari langit?
Peeta yang langsung mempertanyakannya. "Apakah kawat itu bakalan bisa mengalirkan listrik sebesar itu, Beetee? Kawat itu kelihatan rapuh, sepertinya bisa terbakar habis begitu saja."
"Oh, memang. Tapi sebelumnya arus listrik sudah mengalir melewatinya. Kawat ini akan jadi semacam sumbu. Tapi bedanya listrik yang akan berjalan melewatinya," kata Beetee.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Johanna, jelas tidak merasa yakin.
"Karena aku yang menemukannya," kata Beetee, seolah-olah tampak agak terkejut. "Ini bukan kawat dalam arti biasa. Atau kilat dalam arti kilat biasa atau pohon dalam arti pohon yang sesungguhnya. Kau tahu tentang pohon lebih banyak daripada kami semua kan, Johanna? Seharusnya pohon itu sudah hancur sekarang, ya kan?"
"Ya," jawabnya dengan muka masam.
"Jangan kuatirkan kawatnya—benda ini akan berfungsi seperti yang kukatakan," kata Beetee meyakinkam kami.
"Dan di mana kita berada saat semua ini terjadi?" tanya Finnick.
"Jauh di dalam hutan agar tetap aman," sahut Beetee.
"Kawanan Karier juga akan selamat, kecuali mereka berada di dekat air," kataku.
"Betul," kata Beetee.
"Tapi semua makanan laut akan langsung matang," kata Peeta.
"Mungkin lebih dari sekedar matang," kata Beetee. "Kemungkinan besar kita akan menghilangkan sumber makanan lain yang bisa di makan, benar kan, Katniss?"
"Ya. Kacang dan tikus," kataku. "Dan kita punya sponsor."
"Kalau begitu, tak ada masalah lagi," kata Beetee. "Tapi karena kita semua bersekutu dan dalam hal ini membutuhkan seluruh usaha kita, keputusan untuk melakukannya atau tidak tergantung kalian semua."
Kami memang seperti anak sekolahan. Kami sama sekali tidak bisa membantah teorinya lebih dari sekedar pertanyaan-pertanyaan anak SD. Bahkan banyak dari pertanyaan itu tidak ada kaitannya dengan rencana yang sebenarnya. Aku memandang wajah-wajah bingung yang lain.
"Kenapa tidak?" tanyaku. "Kalau rencana ini gagal, tak ada ruginya. Kalau rencana ini berhasil, ada kemungkinan kita bisa membunuh mereka. Dan jika gagal kita cuma membunuh makanan laut. Brutus dan Enobaria juga kehilangan sumber makanan mereka."
"Menurutku kita coba saja," kata Peeta. "Katniss benar."
Finnick memandang Johanna dan mengangkat kedua alisnya. Dia akan melakukannya walaupun tanpa Johanna.
"Baiklah," akhirnya Johanna berkata. "Ini lebih baik daripada harus memburu mereka di hutan. Dan aku tidak yakin mereka bisa mengetahui rencana kita, karena kita sendiri saja nyaris tidak bisa memahaminya."
Beetee ingin memeriksa pohon yang kena sambaran kilat sebelum dia harus memasang kawat di sana. Melihat posisi matahari, saat ini sekitar jam sembilan pagi. Lagi pula, kami memang harus segera meninggalkan pantai. Jadi kami membongkar kemah, berjalan ke pantai yang berbatasan dengan wilayah petir, dan berjalan masuk ke hutan. Beetee masih terlalu lemah untuk berjalan mendaki bukit, jadi Finnick dan Peeta bergantian menggendongnya.
Kubiarkan Johanna yang memimpin jalan karena jalanan menanjak menuju pohon, dan kupikir dia takkan membuat kami tersesat. Selain itu, aku bisa berbuat lebih banyak dengan anakanak panahku daripada dia dengan dua kapaknya, jadi aku pilihan terbaik untuk berjalan paling belakang.
Udara yang panas dan lembap membuatku sesak. Kondisi udara sudah seperti ini sejak Pertarungan dimulai. Aku berharap Haymitch berhenti mengirimi kami roti dari Distrik 3 dan memberi kami lebih banyak roti dari Distrik 4, karena keringatku sudah mengalir berember ember selama dua hari ini, meskipun kami makan ikan, tubuhku menginginkan asupan garam. Es juga ide yang bagus. Atau segelas air minum dingin. Aku bersyukur ada cairan yang bisa diminum dari pohon-pohon, tapi suhunya sama dengan suhu air laut, udara, dan suhu tubuhku dan pesertapeserta lain. Kami berada dalam satu kukusan yang besar dan hangat.
Ketika kami sudah mendekati pohon, Finnick menyarankan agar aku jalan paling depan.
"Katniss bisa mendengar medan gaya," dia menjelaskan pada Beetee dan Johanna.
"Mendengar" tanya Beetee.
"Hanya dengan telinga hasil operasi Capitol," kataku.
Tebak siapa yang tak tertipu dengan cerita itu? Beetee. Karena dia pasti ingat bahwa dia sudah menunjukkan padaku bagaimana cara melihat medan gaya, dan barangkali karena tidak mungkin ada orang yang bisa mendengar medan gaya. Tapi entah karena alasan apa, dia tidak mempertanyakan pengakuanku.
"Kalau begitu, silahkan Katniss yang jalan dulu," katanya, lalu diam sejenak untuk mengelap uap dari kacamatanya. "Medan gaya bukanlah mainan."
Pohon yang tersambar kilat menjulang tinggi di atas pohon-pohon lainnya. Aku mengambil segenggam kacang dan membuat semua orang menunggu sementara aku bergerak menaiki lereng perlahan-lahan, sambil melemparkan kacang ke depanku. Tapi aku langsung bisa melihat medan gaya, bahkan sebelum kacang mengenainya, karena jaraknya hanya sekitar lima belas meter. Mataku memperhatikan pemandangan hijau di depanku dan langsung menangkap getaran berbentuk segi empat jauh tinggi di sebelah kananku. Kulempar kacang ke depanku dan terdengar desisan yang memastikan dugaanku.
"Tetaplah berada di pohon kilat," kataku pada yang lain.
Kami membagi tugas, Finnick menjaga Beetee sementara dia memeriksa pohon, Johanna menyadap air, Peeta mengumpulkan kacang, dan aku berburu di dekat sini. Tikus-tikus pohon sepertinya tidak takut pada manusia, jadi aku bisa memanah tiga ekor dengan mudah. Bunyi ombak jam sepuluh mengingatkanku bahwa aku harus kembali, dan aku segera kembali ke tempat yang lain berada lalu menguliti hasil buruanku. Kemudian aku membuat garis di tanah sekitar semeter lebih jaraknya dari medan gaya sebagai pengingat agar menjauh dari sana. Aku dan Peeta kemudian duduk untuk memanggang kacang dan membakar potongan-potongan daging tikus.
Beetee masih berada di dekat pohon, melakukan entah apa yang dilakukannya, sambil mengukur dan semacamnya. Pada suatu ketika dia melepaskan sekerat kulit kayu, lalu melemparnya ke medan gaya. Kayu itu terpental ke tanah, berkilau. Tidak lama kemudian kayu itu kembali ke warna aslinya.
"Hm, itu menjelaskan banyak hal," kata Beetee.
Aku memandang Peeta dan terpaksa menggigit bibirku agar tidak tertawa karena pernyataannya tidak menjelaskan apa pun pada semua orang kecuali Beetee sendiri. Pada saat itu kami mendengar bunyi klik dari wilayah yang berbatasan dengan wilayah kami. Itu artinya kam sebelas. Bunyi itu terdengar jauh lebih keras di hutan daripada di pantai tadi malam. Kami mendengarkan penuh saksama.
"Itu bukan mesin," kata Beetee memastikan.
"Kurasa serangga," kataku. "Mungkin kumbang."
"Serangga penjepit," imbuh Finnick.
Bunyi-bunyi itu bertambah keras, seakan suara kami yang berbicara pelan membuat mereka tahu bahwa ada daging hidup yang berada tidak jauh jaraknya dari tempat mereka. Aku berani taruhan, mahkluk apa pun yang membuat bunyibunyian itu pasti bisa menghabisi kami hingga tinggal tulang dalam hitungan detik.
"Kita memang harus pergi dari sini," kata Johanna. "Kurang dari satu jam lagi kilat di mulai."
Tapi kami tidak pergi terlalu jauh. Hanya berlindung di pohon di wilayah hujan darah. Kami seperti sedang berpiknik. Kami berjongkok di tanah, makan makanan hutan kami, menunggu kilat menyambar pohon sebagai tanda tengah hari. Aku menuruti permintaan Beetee dengan memanjat hingga ke puncak pohon ketika bunyi klik perlahan-lahan mulai menghilang. Ketika kilat menyambar, apa yang kulihat tampak memukau, bahkan dalam jarak sejauh ini, bahkan dalam sorotan matahari yang terang.
Kilat menyelubungi pohon di kejauhan itu, membuatnya berkilau dengan sinar putih-biru yang panas dan menyebabkan udara di sekitarnya berderak dengan tegangan listrik. Aku turun dari pohon dan melaporkan temuan-temuanku pada Beetee, yang sepertinya kelihatan puas, walaupun penjelasanku tidak terdengar terlalu ilmiah.
Kami mengambil jalan memutar menuju pantai jam sepuluh. Pasirnya halus dan lembap, tersapu bersih oleh ombak yang baru lewat. Beetee memberi kami libur sepanjang siang sementata dia mengutak-atik kawatnya. Karena itu adalah senjatanya dan kami harus bergantung pada pengetahuan Beetee sepenuhnya, ada perasaan seperti disuruh pulang lebih awal dari sekolah.
Awalnya kami bergantian tidur siang di tepi hutan yang rimbun, tapi pada sore hari semua orang terbangun dan gelisah. Karena ini kemungkinan hari terakhir kami menyantap makanan laut, kami memutuskan untuk mengadakan semacam pesta.
Di bawah bimbingan Finnick kami menombak ikan dan mengumpulkan kerang, bahkan menyelam untuk mengambil tiram. Aku paling suka menyelam mengambil tiram, tapi bukan karena aku doyan makan tiram. Aku hanya pernah makan sekali di Capitol, dan tidak pernah menyukai lendirnya. Tapi berada di bawah air terasa indah, seperti berada di dunia lain. Airnya sangat jernih, dan rombongan ikan berwarna cerah serta tumbuham laut yang aneh menghiasi bagian bawah sini.
Johanna berjaga-jaga sementara aku, Finnick, dan Peeta membersihkan dan menaruh makanan laut itu.
Peeta baru saja membuka tiram ketika aku mendengarnya tertawa. "Hei, lihat ini" Dia mengangkat mutiara yang berkilau, sempurna, seukuran kacang polong. "Tahu tidak, jika kau memberi tekanan yang cukup pada batu bara, batu bara akan berubah menjadi mutiara," katanya dengan nada polos kepada Finnick.
"Tidak, tidak benar," kata Finnick mengabaikannya.
Tapi aku tertawa terbahak-bahak, teringat betapa Effie Trinkett yang polos dan tidak tahu-menahu memberi pengumuman semacam itu tentang distrik kami di Capitol tahun lalu, sebelum semua orang mengenal kami. Bahwa kami adalah batu bara yang ditekan hingga menjadi mutiara oleh eksistensi kami yang berat. Keindahan yang muncul dari rasa sakit.
Peeta mencuci mutiara itu di air lalu menyerahkannya padaku. "Untukmu."
Kutaruh mutiara itu di telapak tangan dan mengamati permukaannya yang berwarna-warni di bawah cahaya matahari. Ya, aku akan menyimpannya. Selama sisa hidupku yang tinggal beberapa jam ini aku akan menyimpannya tidak jauh dariku. Hadiah terakhir dari Peeta. Satu-satunya hadiah yang bisa benar-benar kuterima. Mungkin ini bisa memberiku kekuatan pada saat-saat terakhir.
"Terima kasih," kataku, sambil mengepalkan tangan menggenggam mutiara itu.
Dengan tenang aku memandang mata biru orang yang kini menjadi musuh besarku, orang yang bertekad menjagaku tetap hidup walau harus mengorbankan nyawanya sendiri. Dan aku berjanji pada diriku bahwa aku akan mengalahkan rencananya.
Tawa menghilang dari mata biru itu, dan sepeasang mata Peeta memandangku sama tegangnya, seakan-akan mata itu bisa membaca pikiranku. "Bandul itu tidak berhasil, ya?" tanya Peeta, meskipun Finnick ada di sana.
Meskipun semua bisa mendengarnya. "Katniss?"
"Berhasil," jawabku.
"Tapi tidak seperti yang kuinginkan," katanya, sambil mengalihkan tatapannya. Setelah itu, Peeta hanya memandangi tiram.
Tepat ketika kami hendak makan, parasut turun membawa dua makanan tambahan. Satu wadah berisi saus merah pedas dan roti lagi dari Distrik 3. Tentu saja, Finnick yang langsung menghitungnya. "Dua puluh empat lagi," katanya.
Tiga puluh dua roti. Jadi kami masing-masing mengambil lima roti, menyisakan tujuh roti, yang takkan bisa kami bagi rata. Roti itu hanya pas untuk satu orang. Daging ikan yang asin, kerang yang lezat berair. Bahkan tiram juga terasa nikmat, yang rasanya jauh lebih baik berkat saus yang dikirimkan. Kami makan daging dengan lahap sampai tidak sanggup makan lagi, meskipun masih banyak makanan yang tersisa. Makanan itu tidak bisa disimpan, jadi kami membuang sisanya ke laut agar kawanan Karier tidak bisa mengambilnya setelah kami pergi. Kami tak ada yang peduli pada kerang-kerang itu. Ombak akan membasuhnya pergi.
Tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Aku dan Peeta duduk di tepi laut, berpegangan tangan, tanpa ada seorang pun yang bicara. Dia mengucapkan pidatonya tadi malam tapi tidak mengubah pikiranku, dan tak ada yang bisa kukatakan yang juga bisa mengubah pendiriannya. Waktu untuk memberi hadiah sebagai bujukan sudah berakhir.
Tapi aku masih punya mutiara, tersimpan aman dengan alat sadap dan obat yang teringkat di pinggangku. Kuharap mutiara ini bisa kembali ke Distrik 12. Tentu ibuku dan Prim tahu mereka akan mengembalikannya kepada Peeta sebelum mereka mengubur jenazahku.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 25"

Posting Komentar