Bab 25
KETIKA terbangun, aku
merasakan kebahagiaan singkat yang nikmat bahwa entah bagaimana aku terkoneksi
dengan Peeta. Tentu saja, kebahagiaan sama sekali tak masuk akal pada saat ini,
mengingat keadaan kami sekarang. Aku bakal mati dalam satu hari. Dan itu
skenario terbaiknya, jika aku bisa menyingkirkan semua peserta lain, termasuk
diriku, dan menjadikan Peeta sebagai pemenang di Quarter Quell. Namun, sensasi
perasaaan itu tak terduga dan manis sehingga aku terus mempertahankannya
meskipun hanya untuk sesaat sebelum pasir yang kasar, matahari yang panas, dan
kulitku yang gatal menarikku kembali ke kenyataan.
Semua orang sudah
bangun dan aku memperhatikan parasut yang turun di pantai. Aku bergabung
bersama mereka untuk menerima kiriman roti lagi. Ini roti yang sama seperti
yang kami terima malam sebelumnya. Dua puluh empat roti dari Distrik 3.
Sepertinya secara keseluruhan kami punya 33 roti. Masing-masing mengambil lima,
delapan sisanya di simpan. Tak ada yang mengatakannya, tapi delapan bisa dibagi
sama rata setelah ada satu lagi yang tewas. Entah bagaimana, setelah hari
terang, bergurau tentang siapa yang masih ada untuk makan roti yang tersisa
terasa tidak lucu lagi.
Berapa lama lagi kami
bisa mempertahankan persekutuan ini? Kurasa tak ada seorang pun yang mengira
jumlah peserta akan menurun dengan cepat. Bagaimana jika aku salah tentang
peserta-peserta lain yang berusaha melindungi Peeta? Apakah semua itu hanya
kebetulan atau strategi untuk memenangkan kepercayaan kami sehingga kami jadi
mangsa yang mudah, atau aku sama sekali tidak memahami apa yang terjadi di
sini? Tunggu, tidak ada atau di sini. Aku tidak memahami apa yang terjadi. Dan
kalau aku tidak paham, sudah waktunya bagiku dan Peeta untuk pergi dari sini.
Aku duduk di sebelah
Peeta di pasir sambil makan roti. Entah apa sebabnya, sulit bagiku untuk
memandangnya. Mungkin karena segala ciuman tadi malam, walaupun bagi kami
ciuman bukanlah hal baru lagi. Mungkin karena kami menyadari betapa singkatnya
waktu yang tersisa. Dan kami memiliki tujuan yang berbeda tentang siapa yang
harus lolos dari Hunger Games ini.
Setelah kami makan,
kugenggam tangan Peeta dan kutarik dia ke air. "Ayo. Akan kuajari kau
caranya berenang."
Aku perlu menariknya
menjauh dari yang lain agar bisa membicarakan cara meloloskan diri. Usaha ini
akan berbahaya, karena setelah mereka tahu kami ingin memisahkan diri, kami
pasti langsung jadi sasaran.
Kalau aku
sungguh-sungguh ingin mengajarinya berenang, aku pasti akan menyuruh Peeta
melepaskan ikat pinggangnya karena benda itu membuatnya tetap mengambang, tapi
sudah tidak ada pengaruhnya lagi sekarang. Jadi aku hanya mengajarinya
gerakan-gerakan dasar dan membiarkannya berlatih berenang mondar-mandir di air yang
setinggi pinggang.
Mulanya, kulihat
Johanna mengawasi kami dengan saksama, tapi akhirnya dia pun bosan dan pergi
tidur. Finnick menganyam jala baru dari sulur-sulur yang ada dan Beetee bermain
dengan kawatnya. Aku tahu saatnya sudah tiba.
Sementara Peeta
berenang, aku menemukan sesuatu. Sisa-sisa koreng di kulitku mulai terkelupas.
Perlahan-lahan aku menggosokkan pasir di lenganku, aku membersihkan kerak yang
tersisa, memperlihatkan kulit yang segar dan baru di baliknya. Aku menghentikan
latihan Peeta, sambil pura-pura menunjukkan padanya cara menghilangkan koreng
yang gatal di kulitnya, kami saling menggosokkan pasir ke tubuh satu sama lain,
aku segera menyinggung rencana pelarian kami.
"Dengar, tinggal
kita berdelapan. Kurasa sudah saatnya kita pergi," bisikku pelan, meskipun
aku tidak yakin peserta-peserta lain bisa mendengarku.
Peeta mengangguk, aku
bisa melihatnya mempertimbangkan ajakanku. Dia sedang menimbang-nimbang apakah
keuntungan berpihak pada kami.
"Begini
saja," katanya. "Kita tetap bersama sampai Brutus dan Enobaria tewas.
Kurasa Beetee sedang berusaha membuat perangkap untuk mereka sekarang. Lalu, aku
janji, kita akan pergi setelah itu."
Aku tidak sepenuhnya
yakin. Tapi jika kami pergi sekarang, akan ada dua kelompok musuh yang mengejar
kami. Mungkin tiga, karena siapa yang tahu apa rencana Chaff? Ditambah lagi
dengan jam-jam yang harus kami hadapi. Kemudian masih ada Beetee yang harus
kupikirkan. Johanna hanya membawanya untukku, dan jika kami pergi dia pasti
akan membunuhnya. Lalu aku ingat. Aku tidak bisa melindungi Beetee juga. Hanya
ada satu pemenang dan orang itu harus Peeta. Aku harus menerima ini. Aku harus
membuat keputusan-keputusan berdasarkan keselamatan Peeta semata.
"Baiklah,"
kataku. "Kita akan tinggal sampai kawanan Karier mati. Tapi Cuma sampai di
situ." Aku menoleh dan melambai pada Finnick. "Hei, Finnick, kemari. Kami
sudah menemukan cara untuk membuatmu tampan lagi"
Kami bertiga
mengelupasi koreng dari tubuh kami, membantu yang lain dengan menggosok
punggung, dan keluar dari air dengan kulit merah muda seperti warna langit.
Kami mengoleskan salep sekali lagi karena kulit kami sepertinya terlalu rapuh
di bawah cahaya matahari, tapi salep ini membuat kulit kami yang mulus jadi
kelihatan jelek dan akan jadi kamuflase yang bagus di hutan.
Beetee memanggil kami
mendekat, ternyata selama berjam-jam memainkan kawat itu, dia akhirnya punya
rencana. "Kupikir kita semua sependapat bahwa tugas kita selanjutnya
adalah membunuh Brutus dan Enobaria," katanya dengan nada lembut.
"Aku tidak yakin
mereka akan menyerang kita secara terbuka lagi, apalagi setelah mereka kalah
jumlah sekarang. Kita bisa melacak keberadaan mereka, tapi itu pekerjaan yang
melelahkan dan berbahaya."
"Apakah menurutmu
mereka sudah tahu tentang jam?" tanyaku.
"Jika belum tahu,
mereka pasti akan mengetahuinya tak lama lagi. Mungkin tidak spesifik seperti
yang kita ketahui. Tapi mereka pasti tahu serangan-serangan dan sifatnya
berulang secara berkala. Juga, fakta bahwa pertarungan terakhir kita dipotong
oleh Juri Pertarungan takkan lepas dari perhatian mereka. Kita tahu bahwa itu
upaya untuk membuat kita kehilangan arah, tapi mereka pasti bertanyatanya
alasan para Juri melakukannya, dan ini juga bisa membuat mereka menyadari arena
ini adalah jam," kata Beetee. "Jadi kupikir taruhan terbaik kita adalah
membuat perangkap kita sendiri."
"Tunggu,
kubangunkan Johanna dulu," kata Finnick. "Dia bisa gila kalau dia
pikir dia sudah melewatkan sesuatu yang penting."
"Tidak juga,"
kataku, karena bisa dibilang dia selalu gila, tapi aku tidak menghentikan
Finnick, karena aku sendiri bisa marah kalau tidak dilibatkan dalam rencana
pada tahap ini.
Ketika akhirnya Johanna
bergabung dengan kami, Beetee menyuruh kami mundur agar dia punya cukup ruang
untuk bekerja di pasir. Dengan cepat dia membuat lingkaran dan membaginya
menjadi dua belas bagian di dalamnya. Dia menggambar arena, tidak seperti
buatan Peeta yang digambar secara teliti, tapi garis-garis kasar yang dibuat
oleh seorang pria yang pikirannya penuh dengan berbagai hal yang jauh lebih
kompleks.
"Jika kalian
Brutus dan Enobaria, setelah mengetahui apa yang kau ketahui tentang hutan ini,
di mana kau akan merasa paling aman?" tanya Beetee. Tidak ada nada menggurui
dalam suaranya, namun aku langsung teringat pada seorang guru sekolah yang
mengajari muridnya agar memahami pelajaran yang diberikannya. Mungkin karena
perbedaan usia, atau karena Beetee mungkin sejuta kali lebih pintar.
"Di tempat kita
sekarang. Di pantai," kata Peeta. "Ini tempat paling aman."
"Lalu kenapa
mereka tidak ada di pantai?" tanya Beetee.
"Karena kita ada
di sini," kata Johanna tidak sabar.
"Betul sekali.
Kita ada di sini, menguasai pantai. Sekarang kau akan pergi ke mana?"
tanya Beetee.
Aku memikirkan hutan
maut, pantai yang kami kuasai. "Aku akan bersembunyi di tepi hutan. Agar
aku bisa melarikan diri jika datang serangan. Dan agar bisa memata-matai
kita."
"Juga untuk makan
malam," kata Finnick. "Hutan penuh binatang dan tanaman aneh. Tapi
dengan memperhatikan kita, aku tahu makanan dari laut aman untuk disantap."
Beetee tersenyum kepada
kami seakan kecerdasan kami melebihi pikirannya. "Ya, bagus. Kau ternyata
mengerti. Usulku begini: serangan pada jam dua belas. Apa yang terjadi tepat
pada tengah hari dan tengah malam?"
"Kilat menyambar
pohon," kataku.
"Ya. Jadi usulku
setelah kilat menyambar pada tengah hari, tapi sebelum tengah malam, kita
memasang kawatku pada pohon itu hingga ke air laut, yang tentu saja bisa
mengalirkan arus listrik. Saat kilat menyambar pohon, listrik akan mengalir turun
di sepanjang kabel dan tidak hanya sampai ke air tapi juga ke pantai di sekitarnya,
yang masih dalam keadaan lembap setelah ombak jam sepuluh. Semua orang yang
berada di permukaan itu akan tersetrum," kata Beetee.
Ada jeda lama ketika
kami mencerna rencana Beetee. Bagiku rencana ini terdengar terlalu
mengawang-awang, bahkan tidak mungkin bisa terjadi. Tapi apa alasannya?
Aku sudah memasang
ribuan jerat. Bukankah ini hanya jerat yang lebih besar dengan komponen yang
lebih ilmiah? Bisakah rencana ini berhasil? Bagaiamana kami bisa mempertanyakan
rencana ini? Kami peserta-peserta yang dilatih untuk menangkap ikan, menebang
kayu, dan menambang baru bara. Apa yang kami tahu tentang mengambil listrik
dari langit?
Peeta yang langsung
mempertanyakannya. "Apakah kawat itu bakalan bisa mengalirkan listrik
sebesar itu, Beetee? Kawat itu kelihatan rapuh, sepertinya bisa terbakar habis
begitu saja."
"Oh, memang. Tapi
sebelumnya arus listrik sudah mengalir melewatinya. Kawat ini akan jadi semacam
sumbu. Tapi bedanya listrik yang akan berjalan melewatinya," kata Beetee.
"Bagaimana kau
bisa tahu?" tanya Johanna, jelas tidak merasa yakin.
"Karena aku yang
menemukannya," kata Beetee, seolah-olah tampak agak terkejut. "Ini
bukan kawat dalam arti biasa. Atau kilat dalam arti kilat biasa atau pohon dalam
arti pohon yang sesungguhnya. Kau tahu tentang pohon lebih banyak daripada kami
semua kan, Johanna? Seharusnya pohon itu sudah hancur sekarang, ya kan?"
"Ya,"
jawabnya dengan muka masam.
"Jangan kuatirkan
kawatnya—benda ini akan berfungsi seperti yang kukatakan," kata Beetee
meyakinkam kami.
"Dan di mana kita
berada saat semua ini terjadi?" tanya Finnick.
"Jauh di dalam
hutan agar tetap aman," sahut Beetee.
"Kawanan Karier
juga akan selamat, kecuali mereka berada di dekat air," kataku.
"Betul," kata
Beetee.
"Tapi semua
makanan laut akan langsung matang," kata Peeta.
"Mungkin lebih
dari sekedar matang," kata Beetee. "Kemungkinan besar kita akan menghilangkan
sumber makanan lain yang bisa di makan, benar kan, Katniss?"
"Ya. Kacang dan
tikus," kataku. "Dan kita punya sponsor."
"Kalau begitu, tak
ada masalah lagi," kata Beetee. "Tapi karena kita semua bersekutu dan
dalam hal ini membutuhkan seluruh usaha kita, keputusan untuk melakukannya atau
tidak tergantung kalian semua."
Kami memang seperti
anak sekolahan. Kami sama sekali tidak bisa membantah teorinya lebih dari
sekedar pertanyaan-pertanyaan anak SD. Bahkan banyak dari pertanyaan itu tidak
ada kaitannya dengan rencana yang sebenarnya. Aku memandang wajah-wajah bingung
yang lain.
"Kenapa
tidak?" tanyaku. "Kalau rencana ini gagal, tak ada ruginya. Kalau
rencana ini berhasil, ada kemungkinan kita bisa membunuh mereka. Dan jika gagal
kita cuma membunuh makanan laut. Brutus dan Enobaria juga kehilangan sumber makanan
mereka."
"Menurutku kita
coba saja," kata Peeta. "Katniss benar."
Finnick memandang
Johanna dan mengangkat kedua alisnya. Dia akan melakukannya walaupun tanpa
Johanna.
"Baiklah,"
akhirnya Johanna berkata. "Ini lebih baik daripada harus memburu mereka di
hutan. Dan aku tidak yakin mereka bisa mengetahui rencana kita, karena kita
sendiri saja nyaris tidak bisa memahaminya."
Beetee ingin memeriksa
pohon yang kena sambaran kilat sebelum dia harus memasang kawat di sana.
Melihat posisi matahari, saat ini sekitar jam sembilan pagi. Lagi pula, kami
memang harus segera meninggalkan pantai. Jadi kami membongkar kemah, berjalan
ke pantai yang berbatasan dengan wilayah petir, dan berjalan masuk ke hutan.
Beetee masih terlalu lemah untuk berjalan mendaki bukit, jadi Finnick dan Peeta
bergantian menggendongnya.
Kubiarkan Johanna yang memimpin
jalan karena jalanan menanjak menuju pohon, dan kupikir dia takkan membuat kami
tersesat. Selain itu, aku bisa berbuat lebih banyak dengan anakanak panahku
daripada dia dengan dua kapaknya, jadi aku pilihan terbaik untuk berjalan
paling belakang.
Udara yang panas dan
lembap membuatku sesak. Kondisi udara sudah seperti ini sejak Pertarungan
dimulai. Aku berharap Haymitch berhenti mengirimi kami roti dari Distrik 3 dan
memberi kami lebih banyak roti dari Distrik 4, karena keringatku sudah mengalir
berember ember selama dua hari ini, meskipun kami makan ikan, tubuhku
menginginkan asupan garam. Es juga ide yang bagus. Atau segelas air minum
dingin. Aku bersyukur ada cairan yang bisa diminum dari pohon-pohon, tapi
suhunya sama dengan suhu air laut, udara, dan suhu tubuhku dan pesertapeserta
lain. Kami berada dalam satu kukusan yang besar dan hangat.
Ketika kami sudah
mendekati pohon, Finnick menyarankan agar aku jalan paling depan.
"Katniss bisa
mendengar medan gaya," dia menjelaskan pada Beetee dan Johanna.
"Mendengar"
tanya Beetee.
"Hanya dengan
telinga hasil operasi Capitol," kataku.
Tebak siapa yang tak
tertipu dengan cerita itu? Beetee. Karena dia pasti ingat bahwa dia sudah
menunjukkan padaku bagaimana cara melihat medan gaya, dan barangkali karena
tidak mungkin ada orang yang bisa mendengar medan gaya. Tapi entah karena
alasan apa, dia tidak mempertanyakan pengakuanku.
"Kalau begitu,
silahkan Katniss yang jalan dulu," katanya, lalu diam sejenak untuk mengelap
uap dari kacamatanya. "Medan gaya bukanlah mainan."
Pohon yang tersambar
kilat menjulang tinggi di atas pohon-pohon lainnya. Aku mengambil segenggam
kacang dan membuat semua orang menunggu sementara aku bergerak menaiki lereng
perlahan-lahan, sambil melemparkan kacang ke depanku. Tapi aku langsung bisa
melihat medan gaya, bahkan sebelum kacang mengenainya, karena jaraknya hanya
sekitar lima belas meter. Mataku memperhatikan pemandangan hijau di depanku dan
langsung menangkap getaran berbentuk segi empat jauh tinggi di sebelah kananku.
Kulempar kacang ke depanku dan terdengar desisan yang memastikan dugaanku.
"Tetaplah berada
di pohon kilat," kataku pada yang lain.
Kami membagi tugas,
Finnick menjaga Beetee sementara dia memeriksa pohon, Johanna menyadap air,
Peeta mengumpulkan kacang, dan aku berburu di dekat sini. Tikus-tikus pohon
sepertinya tidak takut pada manusia, jadi aku bisa memanah tiga ekor dengan
mudah. Bunyi ombak jam sepuluh mengingatkanku bahwa aku harus kembali, dan aku
segera kembali ke tempat yang lain berada lalu menguliti hasil buruanku.
Kemudian aku membuat garis di tanah sekitar semeter lebih jaraknya dari medan
gaya sebagai pengingat agar menjauh dari sana. Aku dan Peeta kemudian duduk
untuk memanggang kacang dan membakar potongan-potongan daging tikus.
Beetee masih berada di
dekat pohon, melakukan entah apa yang dilakukannya, sambil mengukur dan
semacamnya. Pada suatu ketika dia melepaskan sekerat kulit kayu, lalu
melemparnya ke medan gaya. Kayu itu terpental ke tanah, berkilau. Tidak lama
kemudian kayu itu kembali ke warna aslinya.
"Hm, itu
menjelaskan banyak hal," kata Beetee.
Aku memandang Peeta dan
terpaksa menggigit bibirku agar tidak tertawa karena pernyataannya tidak menjelaskan
apa pun pada semua orang kecuali Beetee sendiri. Pada saat itu kami mendengar
bunyi klik dari wilayah yang berbatasan dengan wilayah kami. Itu artinya kam
sebelas. Bunyi itu terdengar jauh lebih keras di hutan daripada di pantai tadi
malam. Kami mendengarkan penuh saksama.
"Itu bukan
mesin," kata Beetee memastikan.
"Kurasa serangga,"
kataku. "Mungkin kumbang."
"Serangga
penjepit," imbuh Finnick.
Bunyi-bunyi itu
bertambah keras, seakan suara kami yang berbicara pelan membuat mereka tahu
bahwa ada daging hidup yang berada tidak jauh jaraknya dari tempat mereka. Aku
berani taruhan, mahkluk apa pun yang membuat bunyibunyian itu pasti bisa
menghabisi kami hingga tinggal tulang dalam hitungan detik.
"Kita memang harus
pergi dari sini," kata Johanna. "Kurang dari satu jam lagi kilat di
mulai."
Tapi kami tidak pergi
terlalu jauh. Hanya berlindung di pohon di wilayah hujan darah. Kami seperti
sedang berpiknik. Kami berjongkok di tanah, makan makanan hutan kami, menunggu
kilat menyambar pohon sebagai tanda tengah hari. Aku menuruti permintaan Beetee
dengan memanjat hingga ke puncak pohon ketika bunyi klik perlahan-lahan mulai
menghilang. Ketika kilat menyambar, apa yang kulihat tampak memukau, bahkan
dalam jarak sejauh ini, bahkan dalam sorotan matahari yang terang.
Kilat menyelubungi
pohon di kejauhan itu, membuatnya berkilau dengan sinar putih-biru yang panas
dan menyebabkan udara di sekitarnya berderak dengan tegangan listrik. Aku turun
dari pohon dan melaporkan temuan-temuanku pada Beetee, yang sepertinya
kelihatan puas, walaupun penjelasanku tidak terdengar terlalu ilmiah.
Kami mengambil jalan
memutar menuju pantai jam sepuluh. Pasirnya halus dan lembap, tersapu bersih
oleh ombak yang baru lewat. Beetee memberi kami libur sepanjang siang sementata
dia mengutak-atik kawatnya. Karena itu adalah senjatanya dan kami harus
bergantung pada pengetahuan Beetee sepenuhnya, ada perasaan seperti disuruh
pulang lebih awal dari sekolah.
Awalnya kami bergantian
tidur siang di tepi hutan yang rimbun, tapi pada sore hari semua orang
terbangun dan gelisah. Karena ini kemungkinan hari terakhir kami menyantap
makanan laut, kami memutuskan untuk mengadakan semacam pesta.
Di bawah bimbingan Finnick
kami menombak ikan dan mengumpulkan kerang, bahkan menyelam untuk mengambil
tiram. Aku paling suka menyelam mengambil tiram, tapi bukan karena aku doyan
makan tiram. Aku hanya pernah makan sekali di Capitol, dan tidak pernah
menyukai lendirnya. Tapi berada di bawah air terasa indah, seperti berada di
dunia lain. Airnya sangat jernih, dan rombongan ikan berwarna cerah serta
tumbuham laut yang aneh menghiasi bagian bawah sini.
Johanna berjaga-jaga
sementara aku, Finnick, dan Peeta membersihkan dan menaruh makanan laut itu.
Peeta baru saja membuka
tiram ketika aku mendengarnya tertawa. "Hei, lihat ini" Dia
mengangkat mutiara yang berkilau, sempurna, seukuran kacang polong. "Tahu tidak,
jika kau memberi tekanan yang cukup pada batu bara, batu bara akan berubah
menjadi mutiara," katanya dengan nada polos kepada Finnick.
"Tidak, tidak
benar," kata Finnick mengabaikannya.
Tapi aku tertawa
terbahak-bahak, teringat betapa Effie Trinkett yang polos dan tidak tahu-menahu
memberi pengumuman semacam itu tentang distrik kami di Capitol tahun lalu,
sebelum semua orang mengenal kami. Bahwa kami adalah batu bara yang ditekan
hingga menjadi mutiara oleh eksistensi kami yang berat. Keindahan yang muncul
dari rasa sakit.
Peeta mencuci mutiara
itu di air lalu menyerahkannya padaku. "Untukmu."
Kutaruh mutiara itu di
telapak tangan dan mengamati permukaannya yang berwarna-warni di bawah cahaya
matahari. Ya, aku akan menyimpannya. Selama sisa hidupku yang tinggal beberapa
jam ini aku akan menyimpannya tidak jauh dariku. Hadiah terakhir dari Peeta.
Satu-satunya hadiah yang bisa benar-benar kuterima. Mungkin ini bisa memberiku
kekuatan pada saat-saat terakhir.
"Terima
kasih," kataku, sambil mengepalkan tangan menggenggam mutiara itu.
Dengan tenang aku
memandang mata biru orang yang kini menjadi musuh besarku, orang yang bertekad
menjagaku tetap hidup walau harus mengorbankan nyawanya sendiri. Dan aku
berjanji pada diriku bahwa aku akan mengalahkan rencananya.
Tawa menghilang dari
mata biru itu, dan sepeasang mata Peeta memandangku sama tegangnya, seakan-akan
mata itu bisa membaca pikiranku. "Bandul itu tidak berhasil, ya?"
tanya Peeta, meskipun Finnick ada di sana.
Meskipun semua bisa
mendengarnya. "Katniss?"
"Berhasil,"
jawabku.
"Tapi tidak
seperti yang kuinginkan," katanya, sambil mengalihkan tatapannya. Setelah
itu, Peeta hanya memandangi tiram.
Tepat ketika kami
hendak makan, parasut turun membawa dua makanan tambahan. Satu wadah berisi
saus merah pedas dan roti lagi dari Distrik 3. Tentu saja, Finnick yang
langsung menghitungnya. "Dua puluh empat lagi," katanya.
Tiga puluh dua roti.
Jadi kami masing-masing mengambil lima roti, menyisakan tujuh roti, yang takkan
bisa kami bagi rata. Roti itu hanya pas untuk satu orang. Daging ikan yang
asin, kerang yang lezat berair. Bahkan tiram juga terasa nikmat, yang rasanya
jauh lebih baik berkat saus yang dikirimkan. Kami makan daging dengan lahap
sampai tidak sanggup makan lagi, meskipun masih banyak makanan yang tersisa.
Makanan itu tidak bisa disimpan, jadi kami membuang sisanya ke laut agar
kawanan Karier tidak bisa mengambilnya setelah kami pergi. Kami tak ada yang
peduli pada kerang-kerang itu. Ombak akan membasuhnya pergi.
Tak ada yang bisa kami
lakukan selain menunggu. Aku dan Peeta duduk di tepi laut, berpegangan tangan,
tanpa ada seorang pun yang bicara. Dia mengucapkan pidatonya tadi malam tapi
tidak mengubah pikiranku, dan tak ada yang bisa kukatakan yang juga bisa
mengubah pendiriannya. Waktu untuk memberi hadiah sebagai bujukan sudah
berakhir.
Tapi aku masih punya
mutiara, tersimpan aman dengan alat sadap dan obat yang teringkat di
pinggangku. Kuharap mutiara ini bisa kembali ke Distrik 12. Tentu ibuku dan
Prim tahu mereka akan mengembalikannya kepada Peeta sebelum mereka mengubur
jenazahku.
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 25"
Posting Komentar