Catching Fire Bab 21



Bab 21

TUSUKAN-TUSUKAN kecil terasa membakar setiap kali titik-titik kabut menyentuh kulitku.
"Lari" Aku berteriak pada yang lain. "Lari"
Finnick seketika terbangun, bangkit untuk melawan musuh. Tapi ketika dia melihat lapisan kabut, dia langsung mengangkat Mags yang masih tidur lalu membopongnya di punggung dan segera kabur. Peeta berdiri tapi gerakannya tidak gesit. Aku menarik lengannya dan mulai mendorong Peeta melewati hutan mengejar Finnick.
"Ada apa? Ada apa?" tanyanya tampak bingung.
"Ada semacam kabut. Gas beracun. Cepat, Peeta" desakku.
Aku bisa melihat sekeras apa pun Peeta mengingkarinya efek dari medan gaya tadi siang membuat kondisinya buruk. Gerakannya lambat, jauh lebih lambat dibanding biasanya. Dan sulur-sulur di tanah yang membuat gerakanku tidak seimbang, membuat Peeta tersangkut terus-menerus di sana.
Aku menoleh ke belakang memandangi lapisan kabut yang melebar membentuk garis lurus ke segala penjuru. Ada dorongan buruk dalam hatiku untuk lari, meninggalkan Peeta dan menyelamatkan diriku sendiri. Mudah bagiku untuk berlari secepatnya, mungkin memanjat pohon sehingga aku bisa berada di atas batas kabut, yang mungkin setinggi lima belas meter. Aku ingat ketika aku melarikan diri sewaktu mutan-mutan itu muncul di Hunger Games terakhir. Aku kabur dan baru teringat pada Peeta ketika aku sudah berada di Cornucopia. Tapi kali ini, aku memerangkap ketakutanku, mengenyahkannya, dan tetap berada di sampingnya.
Kali ini keselamatanku bukanlah tujuannya. Keselamatan Peeta-lah tujuan utamanya. Aku memikirkan mata-mata yang tertuju pada layar-layar televisi di distrik-distrik, melihat apakah aku akan lari, seperti yang diharapkan Capitol, atau tetap bertahan.
Kugenggam jemarinya erat-erat dan berkata, "Lihat kakiku. Ikuti jejak kakiku."
Ternyata membantu. Kami sepertinya bergerak lebih cepat, tapi tak cukup waktu bagi kami untuk beristirahat, dan kabut itu seolah-olah membayangi tumit kami. Titik-titik kabut berjatuhan dari uap kabut. Rasanya membakar, tapi bukan seperti api. Rasa panasnya berkurang tapi rasa sakitnya meningkat ketika bahan-bahan kimia tersebut mengenai kulit kami, menempel di sana, dan melesak masuk melalui lapisan kulit. Baju terusan kami sama sekali tidak membantu. Perlindungan yang diberikan pakaian ini tingkatnya sama kalau kami mengenakan tisu sebagai pakaian.
Finnick, yang awalnya melompat cepat, berhenti melangkah ketika dia sadar bahwa kami mengalami masalah. Tapi kabut ini bukan sesuatu yang bisa dilawan, hanya bisa dihindari. Dia berteriak memberi semangat, berusaha menggiring kami bergerak, dan suaranya berperan sebagai penuntun jalan. Kaki palsu Peeta tersangkut tumbuhan menjalar dan dia terjerembap jatuh sebelum aku sempat menangkap tubuhnya. Ketika aku membantunya bangkit, aku menyadari adanya sesuatu yang lebih menyeramkan dibanding kulit yang melepuh, lebih buruk dibanding luka bakar.
Sisi kiri wajah Peeta terkulai, seakan seluruh otot di sana sudah tak berfungsi. Kelopak matanya menutup, nyaris menutupi matanya. Mulutnya bengkok dalam sudut aneh yang merosot ke tanah.
"Peeta..." Aku mulai berseru. Dan saat itulah aku mulai merasakan lenganku kejang-kejang.
Apa pun bahan kimia yang ada dalam kabut itu tidak hanya menghasilkan luka bakar—tapi menjadikan jaringan saraf kami sebagai sasarannya. Rasa takut yang tak pernah kurasakan menjalariku dan aku menarik Peeta agar bergerak maju, tapi hanya berhasil membuatnya terjatuh lagi. Pada saat aku berhasil menariknya berdiri, kedua lenganku kejang-kejang tanpa bisa dikendalikan. Kabut sudah bergerak menyelubungi kami, pusat kabut itu kurang dari satu meter jaraknya sekarang. Ada yang salah dengan kaki Peeta; dia berusaha berjalan tapi gerakannya kejang-kejang seperti boneka wayang.
Aku merasakan Peeta tiba-tiba bergerak maju dan menyadari bahwa Finnick kembali menolong kami dan menarik Peeta bersamanya. Bahuku, yang sepertinya masih di bawah kendaliku, kujepitkan di bawah lengan Peeta dan berusaha sebisa mungkin mengikuti langkah cepat Finnick. Jarak antara kami dan kabut sekitar sepuluh meter ketika Finnick berhenti.
"Ini tidak bagus. Aku harus menggendongnya. Kau bisa menggendong Mags?" dia bertanya padaku.
"Ya," sahutku mantap, meskipun dalam hati aku cemas. Berat badan Mags mungkin tidak lebih dari 45 kilogram, tapi tubuhku sendiri tidak terlalu besar. Aku yakin aku pernah mengangkat beban yang lebih berat. Seandainya saja lenganku tidak gemetaran terus. Aku berjongkok dan Mags naik ke punggungku, seperti yang dia lakukan pada Finnck. Perlahan-lahan aku berdiri, dengan pijakan yang mantap, aku bisa membopongnya. Finnick sekarang mengangkut Peeta di punggunya dan kami bergerak maju, dengan Finnick membuka jalan di antara sulur-sulur, sementara aku mengikuti jejaknya.
Kabut datang, tanpa suara dalam gerakan mantap dan datar, kecuali cakar-cakarnya yang menggapai kami. Meskipun secara naluriah aku ingin berlari menjauh dari kabut itu, aku sadar bahwa Finnick bergerak menuruni bukit secara diagonal. Dia berusaha menjaga jarak dari gas beracun itu sambil menggiring kami menuju air yang mengelilingi Cornucopua. 'Ya, air,' pikirku ketika tetesan zat asam itu masuk lebih dalam ke tubuhku. Sekarang aku bersyukur tidak membunuh Finnick, karena bagaimana aku bisa mengeluarkan Peeta dalam keadaan hidup dari tempat ini?
Aku bersyukur bisa punya seseorang di pihakku, meskipun cuma sementara. Bukan salah Mags ketika aku mulai terjatuh. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyusahkan, tapi kenyataannya dia terlalu berat. Terutama sekarang ketika kaki kananku sepertinya mulai kaku. Dua kali pertama aku jatuh ke tanah, aku masih berhasil berdiri, tapi ketiga kalinya aku jatuh, kakiku tidak lagi mau bekerja sama. Ketika aku berusaha bangkit, kakiku menyerah dan Mags berguling ke tanah di depanku. Kedua tangan dan kakiku bergerak-gerak, berusaha menggunakan sulur-sulur dan dahan-dahan pohon agar bisa berdiri.
Finnick kembali ke sisiku, Peeta berpegangan padanya.
"Tak bisa lagi," kataku. "Kau bisa membawa mereka berdua? Pergilah, aku akan menyusul."
Aku sendiri meragukan permintaanku, tapi aku mengucapkannya dengan sepenuh keyakinan yang kumiliki. Aku bisa melihat mata Finnick, hijau dalam pantulan sinar bulan. Aku bisa melihat matanya sejelas pada siang hari. Matanya nyaris seperti mata kucing, dengan kilau yang memantul aneh. Mungkin matanya berkilau karena air mata.
"Tidak," katanya. "Aku tidak bisa menggendong mereka berdua. Dua tanganku tidak berfungsi."
Benar. Kedua lengannya gemetaran tak bisa dikendalikan. Kedua tangannya kosong tidak memegang apa-apa. Dari tiga trisula yang dimilikinya, hanya satu yang tersisa, dan itu pun dipegang oleh Peeta. "Maaf, mags. Aku tidak bisa melakukannya."
Yang terjadi selanjutnya sangat cepat, sangat bodoh, aku bahkan tidak bisa bergerak untuk menghentikannya.
Mags berdiri cepat, mencium bibir Finnick, lalu berjalan terpincang-pincang ke dalam kabut. Seketika, tubuhnya ditelan kabut yang meliuk-liuk liar lalu dia jatuh menggelempar di tanah.
Aku ingin menjerit, tapi leherku seperti terbakar. Aku melangkah sia-sia ke arahnya ketika aku mendengar dentuman meriam, dan aku tahu jantung Mags telah berhenti, dia sudah tewas.
"Finnick?" Aku memanggilnya dengan suara serak, tapi dia sudah tidak melihat kejadian itu, dan terus melangkah menjauhi kabut. Sambil menyeret kakiku yang mati rasa, aku terhuyung-huyung mengejar Finnick, tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Waktu dan ruang kehilangan artinya ketika kabut itu seakan-akan menguasai otakku, menggerecoki pikiran-pikiranku, membuat segalanya tampak tidak nyata. Naluri hewani yang tertanam jauh dalam diriku untuk bertahan hidup membuatku tetap mengejar Finnick dan Peeta dengan susah payah, memaksaku terus bergerak, walaupun aku mungkin sudah mati. Bagian-bagian dari diriku sudah mati, atau jelas sekarat. Dan Mags sudah tewas. Ini sesuatu yang kuketahui, atau mungkin kupikir kuketahui, karena semua ini tidak masuk akal sama sekali.
Sinar bulan menyinari rambut Finnick yang berwarna merah tua, rentetan rasa sakit yang menyengat menghantamku, kakiku sudah sekaku kayu. Aku mengikuti Finnick sampai dia terjatuh di tanah, Peeta masih berada di atasnya. Aku sepertinya tidak sanggup menghentikan gerakan majuku dan hanya mendorong diriku ke dapan sampai aku tersandung tubuh Peeta dan Finnick yang tertelungkup di tanah, menambah jumlah tumpukan manusia yang sudah jatuh di sana.
'Inilah saat, dimana, dan bagaimana kami semua akan mati,' pikirku.
Tapi pemikiran itu terasa abstrak dan jauh tidak berbahaya daripada penderitaan yang kini mendera tubuhku. Aku mendengar Finnick mengerang dan berhasil menarik tubuhku dari yang lain. Sekarang aku bisa melihat lapisan kabut, yang berwarna seputih mutiara. Mungkin mataku yang salah lihat, atau gara-gara sinar bulan, tapi kabut itu sepertinya berubah bentuk. Ya, kabut itu menjadi tebal, seakan menempel di jendela kaca dan dipaksa untuk memadat. Aku makin menyipitkan mataku dan menyadari bahwa tidak ada jari-jari yang menyembul dari kabut tersebut.
Kelihatannya kabut itu berhenti bergerak. Seperti kengerian-kengerian lain yang kusaksikan di arena, kengerian yang satu ini juga tiba di akhir teritorinya. Entah itu atau para Juri Pertarungan yang memutuskan untuk belum membunuh kami sekarang.
"Sudah berhenti," aku berusaha bicara, tapi hanya suara parau tak jelas yang keluar dari mulutku. "Sudah berhenti," kataku sekali lagi dan suaraku pasti lebih jelas kali ini, karena Peeta dan Finnick menoleh memandang kabut.
Kabut itu mulai bergerak naik sekarang, seakan perlahan-lahan disedot ke angkasa. Kami memperhatikannya sampai semua kabut itu tersedot habis dan tak ada satu gumpalan asap pun yang tersisa.
Peeta berguling turun dari atas tubuh Finnick, yang kemudian menelentangkan tubuhnya. Kami berbaring di tanah, kejang-kejang, pikiran dan tubuh kami terkena racun. Setelah beberapa menit berlalu, samar-samar Peeta menunjuk ke atas.
"Mon-het."
Aku mendongak dan melihat sepasang binatang yang seperti monyet. Aku tak pernah melihat monyet hidup sebelumnya—tak pernah ada binatang seperti itu di hutan kami. Tapi aku pasti pernah melihat gambarnya, atau di salah satu Hunger Games, karena ketika aku melihat binatang-binatang itu, kata yang sama terbesit dalam benakku. Kurasa monyet-monyet yang ini punya bulu oranye, meskipun sulit kulihat dengan jelas, dan ukuran tubuhnya setengah dari ukuran manusia dewasa. Aku menganggap kehadiran monyet-monyet ini adalah pertanda baik.
Tentu mereka takkan bergelantungan di sini kalau udaranya mematikan. Untuk sementara waktu, kami diam-diam saling mengawasi satu sama lain, manusia dan monyet. Kemudian Peeta berusaha berlutut dan merangkak menuruni bukit. Kami semua merangkak, karena saat ini berjalan sama sulitnya dengan terbang; kami merangkak sampai sulur-sulur berubah menjadi pasir pantai dan air hangat yang mengelilingi Cornucopia menciprati wajah kami. Aku terlonjak mundur seakanakan aku sudah menyentuh api yang membara.
'Menabur garam di luka.' Untuk pertama kalinya aku memahami ungkapan itu, karena garam di air laut membuat rasa sakit di luka-lukaku jadi tak tertahankan hingga aku nyaris pingsan. Tapi ada sensasi lain, sensasi rasa sakit yang ditarik ke luar. Aku melakukan eksperimen dengan ragu-ragu mencelupkan tanganku ke air.
Rasanya tersiksa memang, tapi kemudian berkurang sakitnya. Dan melalui air yang biru, aku bisa melihat cairan berwarna putih susu bergerak seperti lintah keluar dari luka-luka di kulitku. Ketika cairan putih itu hilang, rasa sakit juga ikut pergi menyertainya. Aku membuka ikat pinggangku dan melepaskan baju terusanku, yang kini compang-camping berlubang. Sepatu dan pakaian dalamku anehnya tidak rusak sama sekali. Perlahan-lahan, satu demi satu bagian tubuhku kucelupkan ke dalam air untuk mengeluarkan racun dari luka-lukaku.
Peeta sepertinya melakukan hal yang sama. Tapi Finnick langsung menarik diri ketika menyentuh air untuk pertama kalinya lalu berbaring telungkup, entah tidak mau atau tidak sanggup bergerak.
Akhirnya, setelah aku berhasil lolos dari bagian yang buruk, kubuka mataku di bawah air, kuhirup airnya ke dalam hidung lalu kuhembuskan kuat-kuat keluar, bahkan aku sekalian berkumur-kumur untuk membasuh kerongkonganku, setelah itu tubuhku bisa kugerakkan untuk membantu Finnick. Kakiku sudah tidak lagi mati rasa, tapi kedua lenganku masih kejang-kejang. Aku tidak bisa menyeret Finnick ke air, dan mungkin rasa sakit akan membunuhnya. Jadi aku mengambil air dengan kedua telapak tanganku yang gemetar dan menuangkannya ke tangan Finnick.
Karena dia tidak berada di dalam air, racun itu keluar sama seperti caranya masuk, dalam kepulan kabut yang kuhindari sejauh mungkin. Peeta sudah pulih dan segera membantuku. Dia memotong baju terusan Finnick. Entah dimana Peeta menemukan dua kulit kerang yang berfungsi lebih baik dibanding tangan kami. Kami memusatkan perhatian untuk membasahi kedua lengan Finnick terlebih dulu, karena bagian itu yang paling parah, bahkan dia sepertinya tidak menyadari begitu banyak asap putih keluar dari sana. Dia cuma berbaring di pasir, matanya tertutup, dan sesekali mengerang.
Aku memandang ke sekeliling, makin menyadari betapa berbahayanya posisi kami saat ini. Memang, sekarang malam hari, tapi bulan memberikan cahaya yang terlalu terang hingga kami tak bisa bersembunyi. Kami beruntung tidak ada seorang pun yang menyerang kami. Kami bisa melihat jika mereka datang dari Cornucopia, tapi jika empat kawanan Karier menyerang bersama-sama, mereka bisa mengalahkan kami. Jika mereka tidak bisa melihat keberadaan kami, erangan Finnick akan memberitahukan pada mereka di mana kami berada.
"Kita harus memasukkannya ke dalam air," bisikku.
Tapi kami tidak bisa mencelupkannya ke air dengan kepala lebih dulu dalam kondisinya sekarang ini.
Peeta mengedikkan kepalanya ke kaki Finnick. Masing-masing menarik sebelah kakinya, memutar tubuhnya 180 derajat, lalu mulai menyeretnya menuju air laut. Perlahan tapi pasti. Pergelangan kakinya. Menunggu beberapa menit. Sampai ke betisnya. Menunggu. Lututnya. Awan-awan putih melingkar keluar dari kulitnya dan Finnick mengerang.
Kami terus mengeluarkan racun dari tubuhnya, sedikit demi sedikit. Aku menyadari bahwa semakin lama aku duduk di air, aku merasa semakin baik. Tidak hanya kulitku, tapi otak dan kontrol ototku jadi lebih baik. Aku bisa melihat wajah Peeta mulai kembali normal, kelopak matanya terbuka, mulutnya juga tidak mengernyit kesakitan.
Pelan-pelan Finnick mulai segar. Matanya terbuka, fokus pada kami, dan menyadari bahwa dia telah ditolong oleh aku dan Peeta. Aku memangku kepala Finnick dan membiarkan tubuhnya mulai dari leher ke bawah berada di air selama sekitar sepuluh menit. Aku dan Peeta tersenyum ketika Finnick mengangkat kedua tangannya di atas air.
"Tinggal kepalamu, Finnick. Itu bagian terburuk, tapi kau akan merasa lebih baik sesudahnya, kalau kau sanggup menahan sakitnya," kata Peeta, kami membantunya diduk dan membiarkan Finnick memegangi tangan kami, saat dia membersihkan mata, hidung, dan mulutnya. Tenggorokannya masih terlalu sakit untuk bicara.
"Aku akan mencoba mengambil air dari pohon," kataku.
Jari-jariku mencari di ikat pinggangku dan menemukan alat sadap itu masih tergantung di sulur yang terikat di sana.
"Biar aku membuat lubang terlebih dulu," kata Peeta. "Kau temani dia. Kau kan penyembuhnya."
'Ini lelucon,' pikirku.
Tapi aku tidak mau mengucapkannya keras-keras karena Finnick sudah sibuk dengan masalahnya sendiri. Dia yang paling parah terkena kabut, meskipun aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin karena tubuhnya yang paling besar atau mungkin karena dia yang mengeluarkan tenaga paling banyak. Dan, tentu saja, ada Mags. Aku masih tidak memahami apa yang terjadi di sana.
Kenapa Finnick sengaja meninggalkannya dan memilih untuk menggendong Peeta. Kenpa Mags tidak mempertanyakan keputusan itu, malahan juga berlari menyambut kematiannya tanpa ragu sedikit pun. Wajah Finnick yang muram dan cekung menyatakan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya padanya.
Aku berusaha menguatkan diri. Kuambil pin mockingjay-ku dari baju terusanku yang sudah rusak dan kusematkan di bagian tali bahu. Ikat pinggang pelampung itu pasti tahan cairan asam karena tidak rusak sama sekali. Aku bisa berenang, tapi Brutus menghadang anak panahku dengan ini, jadi aku memakainya lagi, siapa tahu benda ini memang bisa jadi pelindung.
Kulapaskan ikatan rambutku dan kusisir rambutku dengan jari-jariku, banyak rambutku yang rontok karena tetestetes kabut tadi merusaknya. Lalu aku mengepang rambutku yang masih tersisa. Peeta menemukan pohon yang bagus sekitar sepuluh meter dari jalan sempit menuju pantai. Kami nyaris tidak bisa melihatnya, tapi suara pisaunya yang mencungkil kayu terdengar jelas. Aku penasaran ke mana jarum yang kami miliki. Mags pasti menjatuhkannya atau membawanya ikut masuk ke kabut. Apa pun yang terjadi, jarum itu sudah hilang.
Aku sudah bergerak lebih jauh ke laut dangkal, mengambang telentang dan terngkurap bergantian. Kalau air laut menyembuhkan aku dan Peeta, Finnick tampak mengalami transformasi total. Dia mulai bergerak perlahan, hanya mencoba gerakan persendiannya, dan lambat laun mulai berenang. Tapi gayanya tidak seperti gayaku berenang dengan gerakan yang berirama dan kecepatan tetap.
Ini seperti melihat binatang laut yang aneh hidup kembali. Dia menyelam lalu naik ke permukaan, menyemburkan air dari mulutnya, berguling di air dalam gelakan mengulir seperti skrup yang membuatku pusing hanya dengan melihatnya. Kemudian, setelah dia berada di bawah air begitu lama sampai aku yakin dia tenggelan, kepala Finnick muncul tepat di sebelahku hingga aku terperanjat.
"Jangan lakukan itu," kataku.
"Apa? Naik atau di bawah air?" tanyanya.
"Dua-duanya. Apa pun. Berendam saja di air dan jangan bertingkah macammacam," kataku. "Atau kalau kau sudah sehat, lebih baik kita membantu Peeta."
Dalam jarak yang singkat ketika kami melintasi tepi pantai menuju hutan, aku menyadari adanya perubahan itu. Mungkin karena terbiasa bertahun-tahun berburu, atau mungkin telinga buatanku bekerja lebih baik daripada yang diduga semua orang. Tapi aku merasakan sekumpulan mahkluk hidup berada di atas kami. Mereka tidak perlu bicara atau menjerit. Suara napas mahkluk yang sedemikian banyak sudah cukup.
Kusentuh lengan Finnick dan dia mengikuti tatapanku ke atas. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa muncul diam-diam seperti ini. Mungkin juga tidak. Kami disibukkan dengan kegiatan memulihkan tubuh kami. Pada saat itulah mereka berkumpul. Bukan cuma lima atau sepuluh ekor monyet tapi segerombolan monyet bergelantungan di dahan-dahan pohon di hutan. Sepasang monyet yang kami lihat di hutan setelah kami lolos dari kabut terasa seperti panitia penyambutan. Gerombolan ini terasa tidak menyenangkan.
Kusiapkan panahku dengan dua anak panah sekaligus dan Finnick menyesuaikan letak trisula ditangannya.
"Peeta," kataku setengah mungkin. "Aku perlu bantuanmu."
"Oke, sebentar ya. Kurasa aku hampir berhasil," katanya, masih sibuk mencungkili pohon. "Ya, ini dia. Kau punya alat sadapnya?"
"Punya. Tapi kami menemukan sesuatu yang sebaiknya perlu kaulihat," aku terus bicara dengan berusaha tetap tenang dan terjaga. "Coba jalan pelan ke arah kami, supaya kau tidak mengagetkannya."
Entah kenapa, aku tidak mau dia memperhatikan keberadaan monyet-monyet itu, atau melirik ke arah mereka. Mahkluk-mahkluk ini menganggap kontak mata saja sebagai serangan.
Peeta menoleh ke arah kami, masih terengah-engah sehabis melubangi pohon. Nada suaraku begitu aneh sehingga Peeta tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
"Oke," katanya santai.
Dia mulai bergerak melewati hutan, meskipun berusaha sepelan mungkin, tetap saja sulit bagi Peeta melakukannya bahkan sejak dulu ketika dia memiliki dua kaki yang sempurna. Tapi tidak masalah, dia bergerak dan monyet-monyet itu tetap di posisi yang sama. Jarak Peeta sekitar lima meter dari pantai ketika dia merasakan keberadaan mereka. Tatapannya hanya berlangsung sedetik, tapi gerakannya seakan memicu bom. Monyet-monyet itu langsung menjerit dan mengamuk, bulu-bulu oranye itu segera menyerbu dan mengeroyok Peeta.
Aku tak pernah melihat binatang bergerak secepat itu. Mereka meluncur turun dari sulur-sulur seakan sulur-sulur tersebut sudah diminyaki. Melompat dari satu pohon ke pohon lain dalam gerakan yang tak terbayangkan. Mereka memamerkan taring, tampak gusar, cakar-cakar keluar seakan pisau lipat. Aku mungkin tidak terlalu mengerti monyet, tapi pada dasarnya binatang tidak bertingkah seperti ini.
"Mutt" aku berseru ketika aku dan Finnick sampai di hutan.
Aku tahu setiap anak panah harus mengenai sasaran, dan memang tembakanku selalu jitu. Dalam cahaya temaram, aku menghabisi seekor demi seekor monyet, menjadikan mata, jantung dan leher mereka sebagai sasaran, agar setiap tembakan panahku bisa membunuhnya. Tapi anak panahku tak bakal cukup jika tidak dibantu Finnick yang menyulap binatang-binatang itu seperti ikan dan melemparkannya ke samping, Peeta menyabetkan pisaunya. Aku merasakan cakar-cakar mereka di kakiku, di punggungku, sebelum seseorang membunuh monyet penyerang itu.
Udara terasa sesak dengan tanaman yang terinjak-injak, amis darah, dan bau busuk monyet-monyet itu. Aku, Peeta, dan Finnick menempatkan diri seperti segitiga, hanya beberapa meter jauhnya, berpunggungan. Jantungku mencelos ketika jemariku memegang anak panah terakhir. Lalu aku ingat Peeta juga punya sekantong anak panah. Dan dia tidak menggunakannya, dia melawan mereka dengan pisaunya. Aku sudah mengeluarkan pisauku, tapi monyet-monyet ini bergerak lebih cepat, mereka bisa melompat menyerang lalu kabur begitu cepat sebelum kami sempat bereaksi.
"Peeta" aku berteriak. "Panahmu"
Peeta melihat keadaanku yang berbahaya dan sedang melepaskan kantong berisi anak panah ketika hal itu terjadi. Seekor monyet menerjang dari pohon menghantam dadanya. Aku tidak punya anak panah, dan tidak bisa memanahnya. Aku bisa mendengar trisula Finnick mengenai sasarannya dan aku tahu senjatanya juga sedang sibuk. Tangan Peeta yang memegang pisau tidak bisa digunakan untuk melawan ketika dia sedang berusaha melepaskan kantong panah.
Aku melempar pisauku ke arah mutt yang menerjang itu tapi binatang tersebut bersalto, menghindari mata pisauku, lalu melanjutkan terjangannya. Tanpa senjata, dan tanpa perlindungan, aku melakukan satu-satunya hal yang terpikir olehku.
Aku berlari ke arah Peeta, hendak menjatuhkannya ke tanah, melindungi tubuh Peeta dengan tubuhku, walaupun aku tahu aku takkan keburu melakukannya.
Tapi wanita itu bisa. Seakan-akan dia muncul dari udara begitu saja. Entah dari mana dia sebelumnya, tapi saat ini dia berada di depan Peeta. Berdarah-darah, mulutnya yang terbuka menjerit dalam lengkingan tinggi, matanya membelalak begitu besar sehingga seperti lubang hitam.
Pecandu morfin yang sinting dari Distrik 6 merentangkan kedua tangannya yang kurus seakan ingin memeluk monyet tersebut, dan binatang buas itu pun menancapkan taringnya ke dada wanita itu.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 21"

Posting Komentar