Catching Fire Bab 20



Bab 20

"PEETA" Aku menjerit. Kuguncang-guncang tubuh Peeta lebih keras, bahkan kutampar wajahnya, tapi sia-sia. Jantungnya sudah berhenti. Yang kutampar hanyalah kekosongan. "Peeta"
Finnick menyandarkan Mags di pohon lalu mendorongku menjauh dari Peeta. "Aku saja." Jari-jarinya menyentuh titik-titik di leher Peeta, meraba tulang-tulang di rusuk dan tulang belakangnya. Kemudian dia mencubit hidung Peeta hingga tertutup.
"Jangan" Aku berteriak, melompat ke arah Finnick, yang pasti ingin memastikan Peeta tewas, dan memusnahkan harapan hidup pada dirinya. Tangan Finnick terangkat dan memukulku sangat keras, telak di dada sehingga aku terjajar mundur menabrak pohon terdekat.
Sesaat aku tak sanggup bergerak, karena kesakitan, dan berusaha bernapas normal kembali, lalu aku melihat Finnick memencet hidung Peeta lagi. Dari tempat dudukku, aku mengeluarkan anak panah, bersiap-siap menembaknya ketika aku tertegun melihat Finnick mencium Peeta. Dan ini sangat aneh, bahkan untuk ukuran Finnick, sehingga tanganku tidak bergerak. Tidak, dia tidak menciumnya. Dia menyumbat hidung Peeta tapi membuka mulutnya dan dia meniupkan udara ke paru-paru Peeta. Aku bisa melihatnya, aku bisa melihat dada Peeta perlahan-lahan naik dan turun.
Kemudian Finnick membuka risleting baju terusan Peeta dengan telapak tangannya. Sekarang, setelah kekagetanku hilang aku mengerti apa yang berusaha dilakukan Finnick. Sesekali dalam waktu tak terduga, aku pernah melihat ibuku mencoba melakukan tindakan yang serupa, tapi tidak sering. Kalau jantungmu berhenti di Distrik 12, kecil kemungkinan bagimu untuk dibawa ke ibuku oleh keluargamu. Pasien-pasien langganan ibuku korban luka bakar atau terluka atau sakit. Atau tentu saja, kelaparan.
Tapi dunia Finnick berbeda. Apa pun yang dilakukannya, pernah dia lakukan sebelumnya. Ada ritme dan metode yang teratur. Dan perlahan-lahan ujung anak panahku turun ke tanah ketika aku berdiri untuk melihat, dalam hati mati-matian berharap usahanya berhasil. Menit-menit yang menyiksa berlalu ketika harapanku makin lama makin pudar. Ketika aku berpikir bahwa sudah terlambat, bahwa Peeta sudah meninggal, pergi, tak bisa kusentuh lagi selamanya, dia terbatuk kecil dan Finncik duduk.
Kutinggalkan senjataku di tanah ketika aku lari menghambur ke arahnya. "Peeta?" panggilku lembut. Kusingkirkan helai rambut pirang basah di dahinya, dan kurasakan denyutan memantul di jemariku yang menyentuh lehernya.
Bulu mata Peeta bergetar dan matanya terbuka memandangku. "Hati-hati," katanya lemah. "Ada medan gaya di depan."
Aku tertawa, tapi ada air mata mengalir di pipiku.
"Pasti jauh lebih kuat dibanding yang ada di atap Pusat Latihan," katanya. "Aku baik-baik saja kok. Cuma sedikit terguncang."
"Kau sempat mati. Jantungmu berhenti" kataku cepat, sebelum benar-benar mempertimbangkan apakah memberitahunya ini ide yang bagus. Kututup mulutku dengan tangan karena aku mulai mengeluarkan suara tercekik yang biasanya terjadi jika aku menangis terisak-isak.
"Yah, sepertinya jantungku bekerja sekarang," katanya. "Tidak apa-apa, Katniss."
Aku mengangguk tapi isakanku tidak berhenti.
"Katniss?" Sekarang Peeta yang menguatirkanku, dan masih ditambah dengan pertanyaan apakah aku jadi gila.
"Tidak apa-apa. Ini cuma hormonnya," kata Finnick. "Karena bayi."
Aku mendongak dan memandangnya, dia masih duduk berlutut tapi sedikit terengah-engah karena jalan mendaki, panasnya udara, dan usahanya membangkitkan Peeta dari kematian.
"Tidak. Ini bukan..." Aku hendak bicara, tapi terpotong oleh isakan yang lebih histeris, yang sepertinya hanya menegaskan perkataan Finnick tentang bayiku. Dia memandang mataku dan melotot dari balik air mataku.
Aku tahu, ini bodoh karena segala usahanya membuatku jengkel. Yang kuinginkan cuma menjaga Peeta tetap hidup, dan aku tidak bisa melakukannya sementara Finnick bisa. Hingga yang bisa kulakukan adalah merasa bersyukur akan kehadirannya. Memang aku bersyukur.
Tapi aku juga marah karena itu berarti aku takkan pernah berhenti berhutang pada Finnick Odair. Selamanya. Jadi bagaimana aku bisa membunuhnya ketika dia tidur? Aku mengira akan melihat ekspresi sombong atau sarkastik di wajahnya, tapi anehnya dia tampak heran. Finnick memandangku dan Peeta bergantian, seakan berusaha mencari jawaban, lalu dia menggeleng seakan ingin menjernihkan pikirannya.
"Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya pada Peeta. "Kau bisa bergerak?"
"Tidak, dia harus istirahat," kataku. Ingus tidak berhenti mengalir dari hidungku dan aku tidak punya kain sama sekali untuk membersihkannya. Mags merobek lumut yang tergantung dari dahan pohon dan memberikannya padaku. Keadaanku terlalu kacau untuk mempertanyakannya. Aku membuang ingusku keras-keras dan menyeka air mata dari wajahku. Lumut ini enak juga. Mudah menyerap dan yang mengejutkan terasa lembut.
Kuperhatikan kilasan emas di dada Peeta. Kuulurkan tanganku dan kuambil liontin yang tergantung di kalungnya. Mockingjay-ku tergravir di sana.
"Ini tanda matamu?" tanyaku.
"Ya. Kau keberatan aku menggunakan mockingjay-mu? Aku ingin tanda mata kita sama," katanya.
"Tidak, tentu saja aku tidak keberatan." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Peeta muncul di arena memakai mockingjay adalah berkah dan kutukan. Pada satu sisi, mockingjay-nya bisa memberikan dorongan bagi para pemberontak di distrik-distrik. Sebaliknya, sulit membayangkan Presiden Snow akan mengabaikannya, sehingga membuat tugasku menjaga Peeta tetap hidup jadi makin sulit.
"Jadi kau ingin kita berkemah di sini?" tanya Finnick.
"Kurasa itu bukan pilihan," jawab Peeta. "Kita tidak bisa berdiam di sini. Tanpa ada air. Tidak ada perlindungan. Sungguh, aku merasa baik-baik saja. Kalau bisa, kita jalan pelan-pelan saja."
"Pelan-pelan lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali," Finnick membantu Peeta berdiri sementara aku menguatkan diri.
Sejak aku bangun tadi pagi, aku sudah melihat Cinna dipukuli habis-habisan, mendarat di arena berbeda, dan melihat Peeta mati. Tapi aku lega Finnick terus memainkan kartu kehamilan itu, karena dari sudut pandang penonton, aku tidak mengatasi keadaan dengan baik.
Aku memeriksa senjata-senjataku, yang kutahu dalam kondisi sempurna, tapi tetap kulakukan karena membuatku seolah-olah lebih punya kendali. "Aku yang akan memimpin jalan," kataku mengumumkan.
Peeta hendak protes tapi Finnick memotongnya.
"Jangan, biar dia yang melakukannya." Dia mengernyitkan dahinya memandangku. "Kau tahu medan gaya itu ada di sana, kan? Tepat pada detik terakhir? Kau hendak memberi peringatan."
Aku mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku ragu. Membongkar rahasia bahwa aku mengetahui bagaimana cara mengenali medan gaya dari Beetee dan Wiress bisa berbahaya. Aku tidak tahu apakah para Juri Pertarungan mencatat ketika dua orang itu menunjukkannya padaku.
Bagaimanapun, aku memiliki informasi yang sangat berharga. Dan jika mereka tahu bahwa aku tahu, mereka mungkin melakukan sesuatu untuk mengubah medan gaya sehingga aku tidak bisa melihat penyimpangan pada medan gaya tersebut.
Jadi aku berbohong. "Aku tidak tahu. Seolah-olah aku bisa mendengarnya. Dengar."
Kami semua terdiam. Hanya ada suara serangga, burung, angin yang berhembus di dedaunan.
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Peeta.
"Ya," aku berkeras, "ini sama seperti ketika pagar di Distrik Dua Belas dialiri listrik, hanya saja medan gaya ini lebih pelan."
Semua orang mendengarkan lagi dengan saksama. Aku juga melakukannya, meskipun tak ada bunyi apa-apa yang bisa di dengar.
"Tuh" kataku. "Kau bisa dengar, tidak? Bunyinya dari tempat Peeta tersengat medan gaya."
"Aku juga tidak mendengarnya," kata Finnick. "Tapi kalau kau bisa mendengarnya, silakan, kau jalan di depan."
Kuputuskan untuk meneruskan permainan ini.
"Aneh," kataku. Aku menelengkan kepalaku ke kanan-kiri seolah-olah aku kebingungan. "Aku hanya bisa mendengarnya dengan telinga kiriku."
"Telinga yang dioperasi dokter-dokter itu" tanya Peeta.
"Ya," kataku, sambil mengangkat bahu. "Mungkin mereka melakukan pekerjaan mereka lebih baik daripada yang mereka kira. Kau tahu, kadang-kadang, aku bisa mendengar hal-hal aneh dari telinga ini. Benda-benda yang tak terpikir olehmu bisa bersuara. Seperti kepakan sayap serangga. Atau salju yang jatuh ke tanah."
Sempurna. Sekarang semua perhatian akan tertuju pada dokter yang mengoperasi telingaku yang tuli setelah Hunger Games tahun lalu, dan mereka harus menjelaskan kenapa telingaku sekarang setajam kelelawar.
"Kau," kata Mags, mendorongku maju, agar aku bisa memimpin jalan. Karena kami bergerak pelan, Mags lebih memilih berjalan dengan bantuan tongkat yang dibuatkan Finnick dari cabang pohon. Dia juga membuatkan tongkat untuk Peeta, yang sebenarnya bagus, karena meskipun Peeta banyak protes, kupikir yang sesungguhnya diinginkan Peeta adalah berbaring, Finnick berjalan paling belakang, jadi paling tidak ada yang menjaga kami.
Aku berjalan dengan medan gaya di sebelah kiriku, karena di telinga itulah seharusnya aku memiliki pendengaran super. Tapi karena aku cuma mengarang cerita, aku memotong banyak kacang-kacangan yang bergantungan seperti buah anggur dari pohon terdekat dan melemparnya ke depan sembari berjalan. Ini bagus, karena aku merasa kehilangan beberapa celah yang menunjukkan keberadaan medan gaya.
Setiap kali kacang menghantam medan gaya, ada kepulan asap sebelum kacang itu mendarat, menghitam pecah kulitnya, jatuh di dekat kakiku. Setelah beberapa menit aku menyadari ada bunyi mengunyah di belakangku dan kulihat Mags sedang mengupas kulit kacang dan memasukkan isinya ke dalam mulutnya yang penuh kacang.
"Mags" pekikku. "Ayo muntahkan. Kacang itu bisa saja beracun."
Dia menggumamkan sesuatu dan tidak memedulikanku, lalu menjilat bibirnya dengan wajah senang. Aku memandang Finnick agar dia membantuku tapi dia cuma tertawa.
"Kurasa kita tunggu dan lihat saja," katanya.
Aku berjalan ke depan, penasaran tentang Finnick yang menyelamatkan si tua Mags, tapi membiarkannya makan kacang aneh. Peserta yang sudah mendapat persetujuan dari Haymitch. Orang yang membangkitkan Peeta dari kematian.
Kenapa dia tidak membiarkan Peeta mati saja? Dia pasti takkan disalahkan. Aku bahkan tidak terpikir sama sekali bahwa dia bisa menghidupkan Peeta. Kenapa dia ingin menyelamatkan Peeta? Dan kenapa dia bertekad bergabung denganku?
Bersedia membunuhku juga, jika akhirnya harus seperti itu. Tapi membiarkan aku jadi orang yang memilih apakah aku ingin bertarung dengannya atau tidak. Aku terus berjalan, sembari melemparkan kacang-kacangku, yang kadang-kadang tersangkut di medan gaya, berusaha mencari jalan di sebelah kiri agar kami bisa melewati medan gaya, menjauh dari Cornucopia, dan berharap bisa menemukan air.
Tapi setelah lewat satu jam, aku sadar usaha ini sia-sia. Kami tidak membuat kemajuan ke arah kiri. Nyatanya, medan gaya seakan menggiring kami menyusuri jalan berkelok. Aku berhenti dan memandang Mags yang sudah kelelahan, keringat di wajah Peeta.
"Kita istirahat dulu," kataku. "Aku perlu melihat dari atas sekali lagi."
Pohon yang kupilih sepertinya menjulang lebih tinggi dibanding pohon-pohon lainnya. Aku berhasil memanjat naik melewati dahan-dahannya yang berbelit, berusaha tetap sedekat mungkin di batang pohon. Aku tidak tahu apakah cabang-cabang pohon yang licin ini bisa mudah patah atau tidak. Tapi aku terus memanjat tanpa mempertimbangkan akal sehat karena ada sesuatu yang harus kulihat. Ketika aku berpegangan pada dahan pohon yang tidak lebih lebar daripada pohon muda, terayun-ayun ke depan dan belakang dalam embusan angin yang lembap, kecurigaanku pun terbukti.
Ada alasan kenapa kami tidak bisa berbelok ke kiri, dan takkan pernah bisa. Dari sudut pandang yang tinggi dan berbahaya ini, untuk pertama kalinya aku bisa melihat bentuk arena ini. Lingkaran sempurna. Dengan roda yang sempurna di bagian tengahnya. Langit di atas bundaran hutan dibubuhi warna pink. Dan kurasa aku bisa melihat segi empat-segi empat bergelombang.
Celah di pelindung, demikian Wiress dan Beetee menyebutnya, karena celah itu mengungkapkan apa yang harusnya disembunyikan dan karena itu nenjadi kelemahannya. Hanya untuk memastikan agar aku yakin seratus persen, kutembakkan panah ke ruang kosong di atas pohon. Ada semburan cahaya, kilasan langit biru yang sesungguhnya, lalu anak panahku terlempar kembali ke hutan.
Aku menuruni pohon dan memberitahukan kabar buruk ini pada yang lain. "Medan gaya ini memerangkap kita dalam lingkaran. Sesungguhnya, seperti berada dalam kubah. Aku tidak tahu setinggi apa medan gaya di atas. Di sana ada Cornucopia, laut, lalu hutan di sekelilingnya. Sama persis. Sangat simetris. Dan tidak terlalu besar," kataku.
"Kau melihat ada air?" tanya Finnick.
"Hanya air laut tempat kita memulai Games ini," kataku.
"Pasti ada sumber air lain," kata Peeta sambil mengerutkan kening. "Atau kita semua tewas dalam hitungan hari."
"Daun-daunan ini lebat. Mungkin ada kolam atau mata air entah di mana," kataku tidak yakin. Secara naluriah aku merasa Capitol mungkin ingin segera menghabisi Hunger Games yang tidak populer ini sesegera mungkin. Plutarch Heavensbee mungkin sudah diberi perintah untuk membunuh kami. "Bagaimanapun, tidak ada gunanya berusaha mencari tahu apa yang ada di ujung bukit ini, karena jawabannya adalah tidak ada."
"Pasti ada air yang bisa diminum antara medan gaya dan roda itu," Peeta berkeras. Kami tahu apa artinya ini. Kembali ke bawah menuju kawanan Karier dan pertumpahan darah. Dengan Mags yang nyaris tidak bisa berjalan lagi dan Peeta yang terlalu lemah untuk bertarung.
Kami memutuskan untuk bergerak turun beberapa ratus meter lalu lanjut berkeliling. Mungkin kami bisa menemukan air pada tingkat itu. Aku tetap memimpin jalan, sesekali melemparkan kacang ke sebelah kiriku tapi kami sudah berada jauh di luar medan gaya sekarang. Matahari menyorot terik pada kami, membuat udara sepanas uap, dan membuat mata kami sering terkecoh.
Pada tengah hari, jelas Peeta dan Mags tidak lagi bisa meneruskan perjalanan. Finnick memilih tempat berkemah sekitar sepuluh meter di bawah medan gaya, mengatakan bahwa kami bisa menggunakan medan gaya sebagai senjata dengan melemparkan musuh-musuh kami ke sana jika diserang. Kemudian dia dan Mags mengumpulkan mengumpulkan bilah-bilah rumput yang tumbuh setinggi satu meter dan mulai menganyamnya menjadi tikar. Karena Mags sepertinya tidak sakit sehabis makan kacang, Peeta mengambil banyak kacang dan memanggangnya dengan melemparkan kacang-kacang itu ke medan gaya. Secara teratur dia mengupas kulitnya, dan mengumpulkan isinya di atas daun.
Aku berjaga, gelisah, panas, dan resah dengan segala emosi yang kualami hari ini. Haus. Aku sangat haus. Akhirnya aku tidak tahan lagi.
"Finnick, kau berjaga dan aku akan mencari air lagi," kataku.
Tak ada seorang pun yang senang dengan gagasan bahwa aku akan pergi sendirian, tapi ancaman dehidrasi membayangi kami terus.
"Jangan kuatir, aku takkan pergi jauh," aku berjanji pada Peeta.
"Aku juga akan pergi," katanya.
"Tidak, aku juga akan berburu kalau bisa," kataku padanya. Aku tidak menambahkan, "Dan kau tidak boleh ikut karena kau terlalu berisik." Tapi dia memahami maksud tersiratku. Dia akan membuat takut binatang buruan dan membahayakanku dengan langkahnya yang berat. "Aku takkan lama."
Aku bergerak sembunyi-sembunyi di antara pepohonan, gembira karena tanah ini memberiku keleluasaan untuk berjalan tanpa suara. Aku turun dengan arah diagonal, tapi aku tidak menemukan apa pun kecuali tumbuh-tumbuhan hijau yang lebat.
Bunyi tembakan meriam membuat langkahku terhenti. Pertumpahan darah di Cornucopia pasti sudah berakhir. Data peserta yang jadi korban sekarang sudah tersedia. Aku mendengarkan bunyi tembakan, yang masing-masing mewakili satu peserta yang tewas. Delapan. Tidak sebanyak tahun lalu. Tapi kali ini seakan lebih banyak karena aku mengetahui hampir semua nama peserta.
Tiba-tiba aku merasa lemah, lalu aku bersandar di pohon untuk beristirahat, aku merasa udara panas ini menarik kelembapan dari tubuhku seperti spons. Aku sudah sulit menelan dan kelelahan mulai merayapiku. Aku mencoba mengelus-elus perutku, berharap ada wanita hamil yang bersimpati dan mau menjadi sponsorku agar Haymirtch bisa segera mengirim air. Aku masih belum beruntung. Lalu aku pun terduduk di tanah.
Dalam diam, aku mulai memperhatikan binatang-binatang, burung-burung aneh dengan bulu-bulu yang indah, kadal-kadal pohon dengan lidah biru yang berkedipkedip, dan terkadang kadal itu tampak seperti persilangan antara tikus dan tupai yang menempel di cabang-cabang pohon di dekat batangnya. Aku memanah seekor untuk bisa melihat lebih dekat.
Binatang ini memang jelek, binatang jenis pengerat dengan bulu abu-abu burik dan dua gigi jelek yang menonjol keluar dari bibir bawahnya. Ketika aku menguliti dan mengeluarkan isi perutnya, aku memperhatikan sesuatu. Moncong binatang ini basah. Seperti binatang yang baru minum dari sungai. Aku girang, lalu segera ke pohon yang jadi sarangnya dan bergerak melingkar perlahan-lahan. Pasti sumber air mahkluk ini tidaklah jauh.
Tidak apa-apa. Aku tidak menemukan apa pun. Bahkan setetes embun pun tidak. Akhirnya, karena aku tahu Peeta akan menguatirkanku, aku kembali ke kemah, dalam kondisi makin panas dan lebih frustasi dibanding sebelumnya.
Saat aku tiba, aku melihat yang lain berhasil menata tempat itu. Mags dan Finnick membuat semacam gubuk dari tikar rumput, yang bisa membuka di satu sisi tapi tiga sisi lainnya menjadi dinding, lengkap dengan lantai dan atap. Mags juga menganyam beberapa mangkuk yang sudah diisi Peeta dengan kacang panggang.
Wajah mereka memandangku penuh harap, tapi aku menggeleng.
"Tidak. Tidak ada air. Tapi aku tahu ada air di luar sana. Dia tahu di mana ada air," kataku, sambil mengangkat binatang pengerat yang sudah kukuliti tadi agar mereka bisa melihatnya. "Dia baru saja minum waktu aku panah dia dari pohon, tapi aku tidak bisa menemukan sumber airnya. Aku berani sumpah, aku sudah menyisir setiap jengkal tanah dalam radius tiga puluh meter."
"Bisa kita makan, tidak?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Tapi dagingnya tidak berbeda dari daging tupai. Tapi dia harus dimasak dulu..." Aku tidak yakin ketika kupikir bagaimana memulai api tanpa bantuan apa pun. Bahkan jika aku berhasil, aku harus memikirkan asapnya. Posisi kami berdekatan di arena ini, dan tak ada kemungkinan untuk bisa menyembunyikan asapnya.
Peeta punya ide lain. Dia mengambil sepotong daging binatang itu, menusukkannya ke ujung kayu tajam, dan melemparkannya ke medan gaya. Terdengar desisan tajam lalu kayu itu terlontar balik. Bagian luar daging itu hangus tapi bagian dalamnya matang. Kami bertepuk tangan untuk Peeta, tapi buru-buru berhenti, teringat pada keberadaan kami.
Matahari yang putih terbenam di langit merah jambu ketika kami berkumpul di dalam gubuk. Aku masih sangsi terhadap kacangnya, tapi Finnick bilang Mags mengenalinya dari Hunger Games sebelumnya. Aku tidak menghabiskan waktu di pos tanaman-tanaman yang bisa dimakan dalam latihan karena tidak ada gunanya bagiku tahun lalu. Sekarang aku berharap pernah belajar di pos itu. Karena aku yakin banyak sekali tanaman-tanaman asing di sekelilingku. Dan aku mungkin bisa menebak dengan lebih baik ke mana arah yang kutuju. Mags sepertinya baik-baik saja, dan dia sudah makan kacang itu selama berjam-jam. Jadi aku mengambil sebutir kacang lalu memakannya.
Kacang ini memiliki rasa agak manis, yang mengingatkanku pada kastanye. Kuputuskan bahwa kacang ini oke. Daging binatang itu keras dan berbau seperti daging hampir busuk tapi banyak airnya. Sesungguhnya, makanan ini lumayan untuk disantap pada malam pertama di arena. Seandainya kami punya minuman untuk menelannya.
Finnick mengajukan banyak pertanyaan tentang binatang pengerat ini, yang kami putuskan untuk kami namai tikus pohon. Seberapa tinggi dia di pohon, seberapa lama aku mengawasinya sebelum aku memanah, dan apa yang kulakukan? Aku tidak ingat melakukan apa pun. Mungkin mengendus-endus mencari serangga atau semacam itulah.
Aku ketakutan pada malam hari. Paling tidak rumput yang dianyam rapat memberikan perlindungan dari mahkluk entah apa yang melintasi tanah di hutan setelah malam tiba. Tapi tidak lama sebelum matahari tenggelam di bawah cakrawala, bulan pucat terbit, membuat kami bisa melihat keadaan sekeliling.
Obrolan kami terhenti ketika kami tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Kami berjajar di mulut gubuk dan Peeta menyelipkan tangannya ke dalam tanganku. Langit menjadi terang ketika lambang Capitol muncul seakan melayang di angkasa. Ketika aku mendengar lantunan lagu kebangsaan aku berpikir, 'Pasti akan lebih sulit buat Finnick dan Mags.' Tapi ternyata juga sulit buatku melihat wajah delapan pemenang yang tewas diproyeksikan di angkasa.
Pria dari Distrik 5, yang dibunuh Finnick dengan trisulanya, adalah wajah yang pertama kali muncul. Itu berarti semua peserta mulai dari Distrik 1 sampai 4 masih hidup—empat kawanan karier, Beetee dan Wiress, serta tentu saja Mags dan Finnick. Pria dari Distrik 5 diikuti oleh pria pecandu morfin dari 6, Cecelia dan Woof dari 8, dua peserta dari 9, wanita dari Distrik 10, dan Seeder dari 11.
Lambang Capitol muncul lagi diiringi alunan musik penutup, lalu langit pun kembali gelap kecuali sinar bulan yang meneranginya.
Tak ada seorang pun yang bicara. Aku tidak bisa berpura-pura mengenal mereka dengan baik. Tapi aku memikirkan tiga anak yang berpegangan pada Cecelia ketika mereka menariknya pergi. Kebaikan Seeder padaku dalam pertemuan kami. Bahkan membayangkan si pecandu morfin dengan wajah teler yang melukis kedua pipiku dengan bunga-bunga kuning membuat hatiku perih. Semuanya tewas.
Semuanya tiada.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami duduk di sini jika tidak ada parasut perak yang meluncur turun di antara sela-sela dedaunan dan mendarat di depan kami. Tak ada seorang pun yang bergerak mengambilnya.
"Menurutmu ini untuk siapa?" tanyaku akhirnya.
"Tidak tahu," kata Finnick. "Kenapa tidak buat Peeta saja, karena dia sempat mati hari ini."
Peeta melepaskan ikatannya dan meluruskan sutra parasut itu. Di atasnya terdapat benda logam kecil yang tak kuketahui untuk apa kegunaannya.
"Apa itu?" tanyaku.
Tak ada yang tahu. Kami mengedarkan benda itu, bergantian memeriksanya. Pipa logam yang agak meruncing di satu ujungnya. Di ujung satu lagi, tepinya melengkung ke bawah. Samar-samar benda ini tidak asing. Benda ini seperti onderdil yang jatuh dari sepeda, besi gantungan korden, atau entahlah, bisa apa saja.
Peeta menutup satu ujungnya untuk melihat apakah benda ini bisa mengeluarkan suara. Ternyata tidak. Finnick memasukkan kekingkingnya, mencobanya apakah benda itu adalah senjata. Tidak ada gunanya.
"Apakah bisa dipakai untuk menangkap ikan, Mags?" tanyaku.
Mags, yang bisa menangkap, menggelengkan kepalanya dan menggerutu.
Aku mengambilnya dan menggelindingkannya ke depan-belakang di atas telapak tanganku. Karena kami sekutu, Haymitch pasti akan bekerja sama dengan mentormentor Distrik 4. Dia berhak memilih hadiah apa yang akan dikirim. Artinya hadiah ini berharga. Bahkan bisa menyelamatkan jiwa. Aku memikirkan lagi kejadian tahun lalu, saat aku amat menginginkan air, tapi dia tidak mau mengirimkannya karena dia tahu aku bisa menemukannya jika aku berusaha.
Hadiah-hadiah Haymitch, atau tidak adanya hadiah, mengandung pesan-pesan untukku. Aku nyaris bisa mendengarnya mengomeliku, Gunakan otakmu jika kau punya otak. Apa ini? Kuseka keringat dari mataku dan memegangi hadiah itu di bawah sinar bulan. Aku menggerak-gerakannya ke sana kemari, memandangnya dari berbagai sudut berberda, menutupinya lalu membukanya. Tujuan hidupku sekarang adalah menyingkap rahasia benda ini. Akhirnya, karena frustasi, kutusukkan salah satu ujungnya ke tanah.
"Aku menyerah. Mungkin kalau kita bergabung bersama Beetee dan Wiress, mereka bisa tahu kegunaan benda ini."
Aku meregangkan tubuh, menyandarkan pipiku yang panas di tikar rumput, memandangi benda itu dengan perasaan kesal. Peeta memijat bagian yang tegang di bawah bahuku dan aku jadi sedikit lebih tenang. Aku penasaran kenapa suhu tempat ini tidak turun juga padahal matahari sudah terbenam. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi di rumah.
Prim. Ibuku. Gale. Madge. Kupikirkan mereka sedang menontonku dari rumah. Paling tidak aku berharap mereka ada di rumah. Tidak diamankan oleh Thread. Dihukum seperti Cinna. Seperti Darius. Dihukum gara-gara aku. Semua orang dihukum karena aku.
Hatiku mulai nyeri memikirkan mereka, distrikku, hutanku. Hutan yang bagus dengan pohon-pohon yang kokoh, banyak makanan, binatang buruan yang tidak menakutkan. Sungai yang mengalir deras. Angin sejuk. Tidak, angin dingin berembus di distrik untuk mengenyahkan panas ini. Aku membayangkan ada angin seperti itu dalam benakku, membiarkan angin itu membekukan pipiku dan jemariku, dan seketika, benda logam yang setengah terkubur di tanah itu punya nama.
"Alat sadap" aku berseru, langsung duduk tegak.
"Apa?" tanya Finnick.
Dengan susah payah aku menarik benda itu dari tanah dan membersihkannya. Kututup ujung runcingnya, dan kuperhatikan bagian yang melengkung ke bawah. Ya, aku pernah melihat benda ini. Pada hari yang dingin dan berangin dulu, ketika aku di hutan bersama ayahku. Benda ini dimasukkan ke lubang yang di bor di batang pohon maple. Ada jalur agar getah bisa mengalir ke ember kami. Sirup maple bisa membuat roti kami jadi lebih nikmat. Setelah ayahku meninggal, aku tidak tahu apa yang terjadi pada alat-alat sadap yang dimilikinya. Mungkin tersembunyi di dalam hutan entah di mana dan tak pernah ditemukan lagi.
"Ini alat sadap. Fungsinya seperti keran. Kaupasang di pohon lalu getahnya keluar." Aku memandang batang-batang pohon hijau di sekitarku. "Yah, harus jenis pohon yang tepat."
"Getah?" tanya Finnick. Mereka tidak memiliki jenis pohon semacam itu di laut.
"Untuk membuat sirup," kata Peeta. "Tapi pasti ada sesuatu di dalam pohon-pohon ini."
Kami berempat langsung berdiri. Rasa haus kami. Tiadanya mata air. Gigi depan tikus pohon yang tajam dan moncong yang basah. Pasti hanya ada satu hal yang amat bekerja di dalam pohon-pohon ini. Finncik hendak memaku alat sadap ini ke batang pohon raksasa dengan batu, tapi aku menghentikannya.
"Tunggu. Kau bisa merusaknya. Kita perlu membuat lubang di pohon lebih dulu," kataku.
Tapi tidak ada alat untuk pembuat lubang, jadi Mags memberikan jarumnya dan Peeta menancapkannya langsung ke pohon, membuat jarum itu tertanam sekitar lima sentimeter di sana. Dia dan Finnick bergantian membuat lubang dengan jarum dan pisau hingga muat untuk alat sadap itu. Aku memasukkannya dengan hati-hati dan kami pun menunggu penuh harap. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Lalu setetes air mengalir turun dari tepiannya yang melengkung dan mendarat di telapak tangan Mags. Dia menjilat air itu dan mengulurkan tangannya lagi, menunggu lebih banyak air yang jatuh.
Dengan memutar dan menyesuaikan posisi alat sadap, akhirnya kami bisa memperoleh air yang mengalir lancar. Kami bergantian membuka mulut di bawah keran, membasahi lidah kami yang sudah kering. Mags membawang keranjang buatannya, dan anyaman rumputnya sangat rapat sehingga bisa menampung air. Kami mengisi keranjang dan mengedarkannya, meminumnya banyak-banyak, lalu, kami bermewah-mewah mencuci muka kami agar bersih. Seperti segalanya yang ada di sini, airnya juga hangat, tapi kami tidak bisa sok pilih-pilih di sini.
Setelah tidak lagi didera rasa haus, kami baru menyadari betapa lelahnya kami dan bersiap-siap untuk tidur. Tahun lalu, aku selalu berusaha menyiapkan tasku seandainya harus cepat melarikan diri pada tengah malam. Tahun ini, tidak ada ransel yang harus disiapkan. Hanya ada senjata-senjataku, yang takkan kulepaskan dari genggaman. Lalu aku teringat pada alat sadap itu dan kucabut dari batang pohon. Kucabut sulur yang kuat dari daun-daunnya, kumasukkan sulur itu ke bagian tengahnya yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu ke bagian tengahnya yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu di ikat pinggangku.
Finnick menawarkan diri untuk berjaga pertama kali dan aku membiarkannya, karena aku tahu pilihannya aku atau dia sampai Peeta selesai beristirahat. Aku berbaring di sebelah Peeta di lantai gubuk, kukatakan pada Finnick untuk membangunkanku kalau dia lelah nanti. Tapi aku malah tidur selama beberapa jam dan terbangun karena mendengar bunyi bel.
Bong Bong. Bunyinya tidak seperti bel yang berbunyi di Gedung Pengadilan pada Malam Tahun Baru tapi mirip seperti itu sehingga bisa kukenali bunyinya. Peeta dan Mags tidur nyenyak selama bel berbunyi, tapi Finnick memperlihatkan wajah waspada seperti aku. Bel pun berhenti berdentang.
"Kuhitung ada dua belas," katanya.
Aku mengangguk. Dua belas. Apa artinya? Satu bel untuk masing-masing distrik? Mungkin. Tapi kenapa? "Pasti berarti sesuatu, menurutmu bagaimana?"
"Tidak tahu," katanya.
Kami menunggu instruksi lebih lanjut, mungkin pesan dari Claudius Templesmith. Mungkin undangan ke pesta. Satu-satunya hal yang terjadi muncul di kejauhan. Petir menyambar pohon yang menjulang dan badai pun di mulai. Kurasa ini tanda-tanda hujan bakal turun, sumber air bagi mereka yang tidak memiliki mentor secerdas Haymitch.
"Tidurlah, Finnick. Lagi pula, sekarang sudah giliran jagaku."
Finnick tampak enggan, tapi tak ada seorang pun yang tahan bangun selamanya. Dia berbaring di dekat mulut gubuk, satu tangannya memegang trisula, lalu dia pun tidur gelisah.
Aku duduk dengan anak panah yang siap ditembakkan, mengawasi hutan, yang tampak seram dengan warna pucat dan hijau di bawah sinar bulan. Setelah kurang lebih satu jam, kilat pun berhenti. Aku bisa mendengar hujan di kejauhan mulai turun, menimpa daun-daun beberapa ratus meter jauhnya dari sini.
Suara meriam membuatku terkejut, meskipun tidak membuat rekan-rekanku terbangun dari tidur mereka. Tidak ada gunanya membangunkan mereka untuk ini. Satu lagi pemenang tewas. Aku bahkan tidak membiarkan diriku berpikir siapa korban kali ini.
Hujan yang tak tahu di mana rimbanya itu mendadak berhenti, sama mendadaknya seperti badai di arena tahun lalu. Tidak lama setelah hujan berhenti, aku melihat kabut bergerak masuk perlahan dari arah yang baru dikenai hujan. 'Hanya reaksi. Hujan yang sejuk pada tanah yang panas,' pikirku.
Kabut itu terus mendekat dengan kecepatan tetap. Bergerak maju bersulur seperti jari-jari, seakan kabut itu menarik sisi di belakangnya. Ketika aku mengawasinya, aku merasa bulu kudukku mulai berdiri. Ada yang salah dengan kabut ini. Gerakan di barisab depannya terlalu seragam untuk menjadi kabut alami.
Dan jika ini tidak alami...
Bau amis yang memuakkan mulai menyerbu indra penciumanku dan aku langsung memanggil yang lain, meneriakkan mereka untuk segera bangun. Dalam beberapa detik waktu yang dibutuhkan untuk mereka bangun, aku mulai melepuh.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 20"

Posting Komentar