Catching Fire Bab 15



Bab 15

SETELAH menjalani persiapan berkali-kali dengan Flavius, Venia, dan Octavia, seharusnya ini jadi rutinitas lama untuk bertahan hidup. Tapi aku tidak mengira akan menghadapi cobaan emosional yang menantiku. Pada satu saat selama persiapan, masing-masing dari mereka menangis paling tidak dua kali, dan Octavia merengek sepanjang pagi. Ternyata mereka sungguh-sungguh merasa dekat denganku, dan memikirkan aku kembali ke arena membuat pertahanan mereka runtuh.
Gabungkan itu dengan fakta bahwa jika mereka kehilangan aku, mereka akan kehilangan tiket masuk ke segala macam kegiatan sosial besar, terutama pernikahanku, dan semua itu menjadi tak tertahankan. Membayangkan diriku harus kuat demi orang lain tak pernah terlintas di benak mereka, aku yang akhirnya berada dalam posisi untuk menghibur mereka. Karena akulah orang yang sedang digiring ke pembantaian, keadaan ini entah bagaimana membuatku kesal.
Namun menarik mengingat apa yang dikatakan Peeta tentang pelayan di kereta api yang tampak tidak senang melihat para pemenang harus bertarung lagi. Tentang orang-orang di Capitol yang tidak menyukainya. Aku masih berpikir semua itu akan termaafkan ketika gong dibunyikan, tapi mengetahui apa yang dirasakan mereka yang di Capitol terhadap kami seakan-akan menyibakkan suatu tabir rahasia. Mereka jelas tidak punya masalah menonton anak-anak di bunuh setiap tahun. Tapi mungkin mereka tahu terlalu banyak, terutama mereka yang sudah jadi selebriti bertahun-tahun, untuk melupakan bahwa kami manusia. Kali seperti melihat sahabat-sahabatmu mati. Lebih seperti Hunger Games bagi kami di distrik-distrik.
Pada saat Cinna muncul, aku sudah jengkel dan capek menghibur tim persiapan, terutama karena air mata mereka yang tanpa henti itu mengingatkanku pada mereka yang pasti meneteskan air mata juga di rumah. Berdiri di sini dengan pakaian tipis serta kulit dan jantung yang berdenyut nyeri, aku tahu aku tak sanggup lagi menanggung satu tatapan penyesalan. Jadi ketika dia berjalan masuk melalui pintu, aku langsung membentaknya, "Aku bersumpah jika kau menangis, aku akan membunuhmu di sini sekarang juga."
Cinna cuma tersenyum. "Pagi yang basah?"
"Kau bisa memerasku hingga kering," jawabku.
Cinna merangkul bahuku dan mengajakku makan siang. "Jangan kuatir. Aku selalu menyalurkan perasaan-perasaanku ke dalam pekerjaanku. Dengan begitu, aku tidak menyakiti orang lain kecuali diriku sendiri."
"Aku tidak bisa melewati semua itu lagi," aku memperingatkannya.
"Aku tahu. Aku akan bicara dengan mereka," ujar Cinna.
Makan siang membuatku sedikit lebih baik. Ayam kampung dengan agar-agar warna-warni, dan sayuran sungguhan dalam ukuran mini yang berenang dalam mentega, dan kentang yang diremukkan dengan daun peterseli. Untuk pencuci mulut kami mencelupkan potongan-potongan buah dalam mangkuk berisi cokelat leleh, dan Cinna harus memesan mangkuk kedua karena aku mulai memakan cokelat itu dengan sendok.
"Jadi apa yang kita pakai untuk upacara pembukaan?" Akhirnya aku bertanya setelah menghabiskan mangkuk kedua sampai tandas. "Lampu di kepala atau api?"
Aku tahu naik kereta kuda nanti pasti mengharuskan aku dan Peeta memakai pakaian yang berhubungan dengan batu bara.
"Sesuatu yang di antaranya," kata Cinna.
Saat tiba waktunya untuk memakai kostum untuk upacara pembukaan, tim persiapanku datang tapi Cinna menyuruh mereka pergi, mengatakan bahwa mereka sudah melakukan pekerjaan yang spektakuler pada pagi hari, dan tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka pergi untuk memulihkan diri dari kesedihan, dengan penuh syukur mereka meninggalkanku ke tangan Cinna. Dia menata rambutku lebih dulu, dengan gaya kepang yang diajarkan ibuku padanya, lalu dia melanjutkan dengan make up.
Tahun lalu dia menggunakan sedikit riasan di wajahku agar para penonton bisa mengenaliku ketika aku sampai di arena. Tapi sekarang wajahku nyaris kelihatan aneh karena campuran warna yang dramatis dan bayangan-bayangan gelap. Alis yang mencuat tinggi, tulang pipi yang tajam, mata yang menyala, bibir yang ungu tua. Kostumku tampak sederhana awalnya, baju terusan pas badan berwarna hitam yang membungkusku dari leher hingga kaki.
Cinna memasang separuh mahkota di kepalaku, bentuknya serupa dengan mahkota yang kuperoleh sebagai pemenang, tapi yang ini terbuat dari logam hitam berat, bukan emas. Lalu dia menyesuaikan cahaya di kamar agar mirip cahaya senja dan menekan tombol di dalam kain di pergelangan tanganku. Aku menunduk, terpesona, ketika semua perpaduan ini perlahan-lahan tampak hidup, pertama-tama muncul cahaya emas yang lembut lalu secara bertahap berubah menjadi batu bara yang membara berwarna oranye-merah.
Aku melihat diriku seakan terbungkus dalam batu bara yang menyala—bukan, aku sendiri yang membara langsung dari perapian. Warna-warna itu timbul-tenggelam, bergerak dan bercampur, sebagaimana seharusnya batu bara.
"Bagaimana kau bisa membuat ini?" tanyaku terkagum-kagum.
"Aku dan Portia berjam-jam memandangi api," jawab Cinna. "Sekarang coba lihat dirimu sendiri."
Dia membawaku ke cermin agar aku bisa menyerap seluruh efek itu. Aku tidak melihat anak perempuan, atau bahkan seorang wanita, tapi sosok yang bukan dari bumi ini yang mungkin berasal dari gunung berapi yang memakan banyak nyawa dalam Quarter Quell yang dimenangkan Haymitch. Mahkota hitam, yang kini tampak merah menyala, memancarkan bayangan-bayangan anrh di wajahku yang dirias secara dramatis. Katniss, gadis yang terbakar, sudah meninggalkan api yang berkedip-kedip, gaun-gaun penuh riasan, dan rok yang lembut temaram. Dia sama mematikannya dengan api itu sendiri.
"Kupikir... persis seperti inilah yang kubutuhkan untuk menghadapi yang lain," jawabku.
"Ya, menurutku masa-masamu memakai lipstik dan pita pink sudah berakhir," kata Cinna. Dia menyentuh tombol di pergelangan tanganku lagi, memadamkan cahayaku. "Jangan kita habiskan bateraimu sekarang. Kali ini saat kau berada di kereta kuda, jangan ada lambaian, jangan ada senyum. Aku mau kau memandang lurus ke depan, seakan seluruh penonton tidak kauanggap ada."
"Akhirnya, sesuatu yang pandai kulakukan," kataku.
Cinna masih harus melakukan beberapa hal, jadi aku memutuskan untuk berjalan menuju Pusat Tata Ulang, yang menjadi tempat pertemuan besar bagi para peserta dan kereta kuda mereka sebelum upacara pembukaan. Aku berharap menemukan Peeta dan Haymitch, tapi mereka belum datang.
Tidak seperti tahun lalu, ketika semua peserta bisa dibilang menempel pada kereta mereka, pertemuan kali ini seperti ajang ramah-tamah. Para pemenang, baik peserta-peserta tahun ini dan mentor mereka, berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, sedang mengobrol. Tentu saja, mereka saling mengenal dan aku tidak mengenal siapa pun di sini, sementara aku bukan jenis orang yang berkeliling lalu memperkenalkan diriku sendiri. Jadi aku membelai leher salah satu ekor kudaku dan berusaha tidak tampil terlalu kentara. Tapi tidak berhasil.
Suara kertakan permen itu menghantam telingaku bahkan sebelum aku tahu dia ada di sampingku, dan ketika aku menoleh, mata hijau laut Finnick Odair yang terkenal itu hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku. Dia memasukkan gula-gula lagi ke mulutnya dan bersandar di kudaku.
"Halo, Katniss," sapanya, seakan kami sudah saling mengenal selama bertahuntahun, padahal kenyataannya kami tak pernah bertemu
"Halo, Finnick," balasku, sama santainya, meskipun aku merasa tidak nyaman dengan kedekatannya, terutama karena terlalu banyak kulitnya yang terbuka di dekatku.
"Mau gula?" tanyanya, mengulurkan tangan yang berisi tumpukan gula batu. "Seharusnya ini untuk kuda, tapi siapa yang peduli? Mereka punya waktu bertahun-tahun untuk memakan gula, sementara kau dan aku... yah, jika kita melihat sesuatu yang manis, lebih baik kita segera mengambilnya."
Finnick Odair bisa dibilang legenda hidup di Panem. Sejak dia memenangkan Hunger Games yang ke-65 ketika umurnya baru empat belas tahun, dan dia termasuk salah satu pemenang termuda. Berasal dari Distrik 4, dia termasuk peserta Karier, jadi kemungkinan dia menang memang besar, tapi apa yang tidak bisa diberikan pelatihnya adalah ketampanannya yang luar biasa. Jangkung, atletis, dengan kulit keemasan dan rambut cokelat kemerahan serta mata yang menakjubkan.
Sementara peserta-peserta lain pada tahun itu harus mengalami banyak kesulitan untuk mendapatkan sedikit gandum atau korek api sebagai hadiah, Finnick tak pernah kekurangan apa pun, tidak perlu makanan, obat-obatan, atau senjata. Setelah seminggu para pesaingnya baru sadar bahwa Finnick seharusnya jadi sasaran yang mesti dibunuh, tapi semua sudah terlambat. Dia petarung hebat dengan tombak dan pisau yang ditemukannya di Cornucopia.
Ketika dia menerima parasut perak dengan trisula—yang mungkin merupakan hadiah termahal yang pernah kulihat di arena—semuanya pun berakhir. Industri Distrik 4 adalah perikanan. Dia berada di kapal laut sepanjang hidupnya. Trisula merupakan senjata alami dan mematikan di tangannya. Dia bisa membuat jaring dari tanaman rambat yang ditemukannya, lalu dia menggunakannya untuk menjerat lawan-lawannya agar bisa ditombakinya dengan trisula, dan dalam hitungan hari mahkota kemenangan pun jadi miliknya.
Karena kemudaannya, tak ada yang bisa benar-benar menyentuhnya pada satu-dua tahun pertama. Tapi sejak dia berumur enam belas tahun, dia menghabiskan waktunya di Hunger Games dengan dikejar-kejar oleh mereka yang cinta setengah mati padanya. Tidak ada seorang pun yang lama disukainya. Dia bisa mendapat empat atau lima kekasih dalam sekali kunjungan tahunan. Tua atau muda, cantik atau jelek, kaya atau sangat kaya, dia akan menemani mereka dan menerima hadiah-hadiah mewah dari mereka, tapi dia tak pernah menetap, dan setelah dia pergi dia tak pernah kembali lagi.
Aku tidak bisa bilang bahwa Finnick salah satu manusia paling memesona dan menawan di planet ini. Tapi sejujurnya aku bisa bilang bahwa dia tak pernah menarik di mataku. Mungkin dia terlalu cantik, atau mungkin dia terlalu mudah didapat, atau mungkin sesungguhnya terlalu mudah kehilangan dirinya.
"Tidak, terima kasih," kataku menolak gula itu. "Tapi kapan-kapan aku kepingin meminjam pakaianmu."
Dia memakai jaring emas yang tersimpul di selangkangannya jadi secara teknis dia tidak bisa dibilang telanjang, tapi kurang-lebih begitulah keadaannya. Aku yakin penata gayanya berpikir lebih banyak kulit Finnick yang dilihat penonton, lebih baik.
"Kau benar-benar membuatku takut dengan kostum itu. Apa yang terjadi dengan gaun-gaun gadis kecil yang cantik?" tanyanya. Dia menjilat bibirnya sedikit.
Mungkin ini yang membuat banyak orang tergila-gila padanya. Tapi yang terpikir olehku adalah si tua Cray, yang meneteskan air liur melihat gadis-gadis muda yang malang dan kelaparan.
"Sudah tidak muat lagi," sahutku.
Jamari Finnick menelusuri kerah pakaianku. "Sayang sekali urusan Quell ini ya. Kau bisa bercinta seperti bandit di Capitol. Perhiasan, uang, apa pun yang kauinginkan."
"Aku tidak suka perhiasan, dan aku punya uang lebih daripada yang kubutuhkan. Lagi pula, kemana kauhabiskan uangmu Finnick?" tanyaku.
"Oh, sudah bertahun-tahun aku tidak berurusan dengan hal sepele seperti uang," kata Finnick.
"Lalu bagaimana mereka membayar untuk kenikmatan yang kauberikan karena telah menemani mereka?" tanyaku.
"Dengan rahasia," katanya perlahan. Dia menggelengkan kepalanya sehingga bibirnya nyaris menyentuh bibirku. "Bagaimana denganmu, gadis yang terbakar? Kau punya rahasia yang layak untuk mendapat waktuku?"
Karena alasan tolol, wajahku bersemu merah, tapi aku memaksa diriku agar tetap tegar. "Tidak ada, aku seperti buku yang terbuka," aku balas berbisik. "Semua orang sepertinya sudah tahu rahasiaku bahkan sebelum aku mengetahuinya."
Dia tersenyum. "Sayangnya, itu memang benar." Matanya melirik ke samping. "Peeta datang. Maaf kau harus menunda pernikahanmu. Aku tahu kau pasti merasa hancur." Dia melemparkan sebutir gula batu lagi ke mulutnya lalu berjalan pergi.
Peeta berdiri di sampingku, memakai pakaian yang sama denganku. "Apa yang diinginkan Finnick Odair?" tanyanya.
Aku menoleh dan mendekatkan bibirku ke bibir Peeta lalu mengerjap-ngerjapkan mata meniru Finnick.
"Dia menawariku gula dan ingin tahu semua rahasiaku," kataku dengan suara merayu yang terbaik.
Peeta tertawa. "Uh, yang benar."
"Benar," kataku. "Akan kuceritakan lebih banyak setelah buluku berhenti merinding."
"Menurutmu apakah kita akan seperti ini jika hanya salah satu dari kita yang menang?" tanya Peeta, sambil menoleh ke sana kemari memandangi pemenangpemenang lain. "Jadi bagian dari kumpulan aneh."
"Tentu saja. Terutama kau," kataku.
"Oh. Dan kenapa terutama aku?" tanyanya sambil tersenyum.
"Karena kau punya kelemahan terhadap hal-hal yang indah sementara aku tidak," kataku dengan nada arogan. "Mereka akan membujukmu menjalani gaya hidup Capitol dan kau akan terseret hilang sepenuhnya."
"Punya mata yang menyukai keindahan tidak sama dengan kelemahan," kata Peeta menjelaskan. "Kecuali mungkin bila berkaitan denganmu."
Musik mulai berkumandang dan aku melihat pintu-pintu besar membuka untuk kereta pertama, terdengar jeritan dan teriakan penonton.
"Mari?" Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik kereta.
Aku naik dan menariknya naik setelahku.
"Jangan bergerak," kataku, dan meluruskan letak mahkotanya. "Kau sudah melihat pakaianmu bisa dinyalakan kan? Kita akan tampil hebat lagi."
"Tentu saja. Tapi Portia bilang kita harus berada di atas segalanya. Tidak ada lambaian atau apa pun," kata Peeta. "Ngomong-ngomong, di mana mereka?"
"Aku tidak tahu." Aku memandangi iringan kereta. "Mungkin lebih baik kita mulai dan menyalakan sendiri."
Kami melakukannya, dan kami mulai menyala, aku bisa melihat orang-orang menunjuk kami sambil bicara, dan aku tahu sekali lagi, kami akan jadi pembicaraan di upacara pembukaan. Kami hampir tiba di pinth. Aku melongokkan kepalaku mencari-cari, tapi baik Portia maupun Cinna, yang selalu mendampingi kami sampai detik terakhir tahun lalu, tidak tampak batang hidungnya.
"Apakah kita harus berpegangan tangan tahun ini?" tanya Peeta.
"Kurasa mereka menyerahkannya kepada kita," kata Peeta.
Aku memandang mata biru itu dan tidak ada riasan dramatis macam apa pun yang bisa membuatnya tampak mematikan dan aku ingat bagaimana setahun lalu, aku siap membunuhnya. Saat itu aku yakin dia bakal membunuhku. Sekarang semuanya terbalik. Aku bertekad menjaganya tetap hidup, meskipun tahu bahwa harga yang harus dibayar adalah nyawaku sendiri, tapi bagian dari diriku yang tidak seberani kelihatannya lega bahwa yang di sampingku saat ini adalah Peeta, bukan Haymitch. Kedua tangan kami langsung saling menggenggam tanpa banyak tanya lagi. Tentu saja kami akan masuk sebagai pasangan.
Suara penonton jadi membahana hingga pekikan serempak ketika kami muncul menuju cahaya senja yang mulai memudar, tapi kami berdua tak bereaksi. Aku hanya memusatkan pandanganku di titik kejauhan dan pura-pura tidak menyadari kehadiran penonton, tidak ada histeria. Aku tidak bisa menahan diri untuk melihat sekilas penampilan kami di layar-layar raksasa di sepanjang jalan yang kami lewati, dan penampilan kami tidak hanya indah, kami juga gelap dan kuat. Tidak, lebih dari itu. Kami adalah pasangan bernasib malang dari Distrik 12, yang menderita begitu banyak dan tidak bisa banyak menikmati hasil kemenangan kami, tidak mencari dukungan penggemar, menyambut mereka tanpa senyum atau menangkap ciuman-ciuman mereka. Kami tidak memaafkan.
Dan aku menyukainya. Akhirnya aku bisa jadi diriku sendiri.
Ketika kami berbelok di Bundaran Kota, aku bisa melihat beberapa penata gaya berusaha mencuri gagasan Cinna dan Portia dengan memancarkan cahaya dari peserta-peserta mereka. Pakaian yang bertaburan lampu listrik dari Distrik 3, di sana mereka menghasilkan peralatan elektronik, yang masih masuk akal. Tapi apa yang dilakukan oleh penjaga-penjaga ternak dari Distrik 10, yang memakai kostum sapi, dengan ikat pinggang berapi? Memanggang diri mereka sendiri? Menyedihkan.
Sebaliknya, aku dan Peeta sangat memesona dengan kostum batu bara kami yang bergerak-gerak apinya sehingga sebagian besar peserta memandangi kami tanpa berkedip. Terutama pasangan dari Distrik 6, yang dikenal sebagai pecandu morfin, tampaknya tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari kami, bahkan ketika Presiden Snow mulai bicara dari balkonnya, menyambut kedatangan kami di Quell. Lagu kebangsaan dimainkan, dan kami berputar sekali lagi untuk terakhir kalinya mengelilingi bundaran. Apakah aku salah lihat? Atau memang benar tatapan Presiden juga terpusat padaku?
Aku dan Peeta menunggu sampai pintu-pintu Pusat Latihan tertutup sempurna dan barulah kami bisa bersikap santai. Cinna dan Portia ada di sana, senang melihat penampilan kami, dan Haymitch juga tampil tahun ini, hanya saja dia tidak berada di kereta kuda kami, dia bersama peserta-peserta dari Distrik 11. Aku melihatnya mengangguk ke arah kaki lalu mereka mengikutinya untuk menyambut kami.
Aku langsung mengenali Chaff karena selama bertahun-tahun kulihat dia dan Haymitch saling mengulurkan botol minuman keras di televisi. Dia berkulit gelap, tingginya sekitar 180 sentimeter, dan salah satu lengannya buntung larena putus ketika dia memenangkan Hunger Games tiga puluh tahun lalu. Aku yakin mereka menawarinya tangan palsu sebagai pengganti, seperti yang mereka lakukan pada Peeta ketika mereka mengamputasi kaki Peeta, tapi kurasa dia tidak mau.
Peserta wanita dari Distrik 11, Seeder, penampilannya seperti penduduk Seam, dengan kulit berwarna zaitun dan rambut hitam lurus dengan garis-garis perak di sana-sini. Hanya mata cokelat keemasannya yang menandakannya dari distrik lain. Usianya pasti sekitar enam puluh tahun, tapi dia masih kelihatan kuat, tidak ada tanda-tanda dia melarikan diri ke minuman keras atau morfin atau zat kimia lain sebagai cara melarikan diri selama bertahun-tahun belakangan ini.
Sebelum ada salah satu dari kami yang sempat bicara, Seeder memelukku. Entah bagaimana aku tahu ini pasti ada kaitannya dengan Rue dan Thresh. Sebelum mereka sempat menahan diri, aku berbisik, "Keluarga-keluarga mereka?"
"Mereka hidup," katanya pelan sebelum melepaskanku.
Chaff merangkulku dengan tangannya yang tidak buntung lalu menciumku di mulut. Aku terlonjak, kaget, sementara dia dan Haymitch terbahak-bahak. Hanya itu waktu yang kami miliki sebelum para pelayan Capitol dengan tegas mengarahkan kami ke eskalator. Aku punya firasat mereka tidak nyaman dengan persahabatan antara para pemenang, yang tampaknya tidak peduli perasaan mereka.
Ketika aku berjalan menuju elevator, tanganku masih berpegangan dengan tangan Peeta, ada seseorang yang mengendap-endap di sampingku. Gadis itu melepaskan ikat kepalanya yang berupa ranting-ranting berdaun lalu melemparnya ke belakang tanpa menoleh ke belakang ke mana jatuhnya. Dia menang karena dengan meyakinkan dia menampilkan sosok yang lemah dan tak berdaya sehingga tidak ada yang memburunya. Dia mengacak-acak rambutnya yang spiky dan memutar bola mata cokelatnya.
"Kostumku jelek ya? Penata gayaku adalah idiot terbesar di Capitol. Peserta-peserta dari distrik kami sudah jadi pohon selama empat puluh tahun dalam asuhannya. Seandainya aku mendapat Cinna. Kau tampak fantastis."
Obrolan cewek. Aku paling tidak pandai urusan ini. Pendapat tentang pakaian, rambut, riasa. Jadi aku berbohong. "Yeah, dia membantuku merancang pakaian-pakaian hasil rancanganku. Kau harus lihat apa yang bisa dia lakukan dengan beludru."
Beludru. Satu-satunya jenis kain yang terpikir olehku.
"Sudah kulihat. Dalam turmu. Gaun tanpa talu yang kaupakai di Distrik Dua? Berwarna biru tua dengan berlian-berlian? Gaun itu indah sekali sampai-sampai aku ingin mengulurkan tangan ke layar televisi dan menariknya dari punggungmu," kata Johanna.
Aku yakin kau pasti kepingin, pikirku. Sekalian kaurenggut juga kulitku.
Sementara kami menunggu elevator, Johanna membuka risleting pohonnya. Membiarkannya jatuh ke lantai, lalu menendangnya dengan jijik. Kecuali sandal kayu yang dipakainya, tidak ada sehelai benang pun di tubuh Johanna. "Ini lebih baik."
Kami akhirnya berada dalam satu elevator yang sama dengannya, dan selama perjalanan ke lantai tujuh dia mengobrol dengan Peeta tentang lukisan-lukisannya sementara cahaya dari pakaian Peeta yang masih berkilau terpantul di dada Johanna yang telanjang. Ketika dia keluar, dia mengabaikan Peeta, tapi aku tahu dia sedang menyeringai. Kulepaskan pegangan tanganku dari Peeta ketika pintu elevator menutup sehabis Chaff dan Seeder keluar, meninggalkan kami berdua saja, lalu Peeta mulai tertawa.
"Apa?" tanyaku, ketika kami melangkah keluar ke lantai kami.
"Ini karenamu, Katniss. Kau tidak melihatnya?" tanya Peeta.
"Aku kenapa?" tanyaku.
"Kenapa mereka bertingkah seperti ini. Finnick dengan gula batunya dan Chaff menciummu serta Johanna telanjang bulat." Peeta berusaha lebih serius, tapi tidak berhasil. "Mereka mempermainkanmu karena kau sangat... kau tahulah."
"Tidak, aku tidak tahu," kataku. Dan aku sama sekali tidak tahu apa maksud Peeta.
"Seperti ketika kau tidak mau meliatku telanjang di arena meskipun aku sudah nyaris mati. Kau sangat... suci," katanya.
"Aku tidak begitu" kataku. "Selama setahun ini aku bisa dibilang menelanjangimu tiap kali kita disorot kamera"
"Yeah, tapi... maksudku, bagi Capitol, kau suci," katanya, jelas ingin meredakan emosiku. "Bagiku, kau sempurna. Mereka hanya menggodamu."
"Tidak, mereka menertawakanku, dan kau juga" kataku.
"Tidak." Peeta menggeleng, sambil mengulum senyum.
Aku sedang serius mempertimbangkan siapa yang kali ini seharusnya keluar dari Hunger Games hidup-hidup ketika pintu elevator lain terbuka.
Haymitch dan Effie bergabung dengan kami, tampak gembira karena sesuatu. Laku wajah Haymitch mengeras. Apa yang aku lakukan sekarang? Aku nyaris bertanya begitu, tapi aku melihat dia memandang ke belakangku, ke arah pintu masuk ruang makan.
Effie berkedip ke arah yang sama, lalu berkata riang, "Sepertinya mereka memberi kalian pasangan serasi tahun ini."
Aku menoleh dan melihat gadis Avox yang melayaniku tahun lalu sampai Hunger Games dimulai. Kupikirkan betapa menyenangkannya punya teman di sini. Kuperhatikan pria muda di sampingnya, Avox yang lain, juga berambut merah. Pasti itu maksud Effie dengan pasangan serasi.
Lalu bulu kudukku meremang. Karena aku juga mengenal pria itu. Bukan dari Capitol tapi dari tahun-tahun obrolan santai di Hob, bergurau dengan sup Greasy Sae, dua hari terakhir ketika melihatnya terbaring tak sadarkan diri di alun-alun sementara Gale nyaris mati kehabisan darah.
Avox baru kami adalah Darius.
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 15"

Posting Komentar