Bab 11
AKU otomatis berdiri
dan bergegas bersembunyi di pepohonan. Kututup mulutku dengan sarung tangan
untuk menyebar uap putih napasku karena udara yang dingin. Adrenalin mengalir
dalam diriku, menghapus semua kekuatiran hari itu dari benakku ketika aku
memusatkan perhatian pada ancaman yang ada di hadapanku. Apa yang terjadi? Apakah
Thread menyalakan listrik di pagar untuk tambahan kemanan? Atau apakah entah
bagaimana dia tahu aku kabur dari jaringnya hari ini? Apakah dia bertekad untuk
membiarkanku terjebak di luar Distrik 12 sampai dia bisa menangkap dan
menahanku? Menyeretku ke alun-alun lalu dipenjara di benteng atau dicambuk atau
digantung?
Tenang, aku
memerintahkan diriku sendiri. Ini bukan pertama kalinya aku terjebak di luar
pagar bertegangan listrik. Aku pernah mengalaminya beberapa kali selama beberapa
tahun terakhir, tapi Gale selalu bersamaku. Kami berdua tinggal mencari pohon
yang nyaman untuk dipanjat sampai listrik mati, yang pada akhirnya pasti dimatikan.
Kalau aku terlambat pulang, Prim biasa pergi ke Padang Rumput untuk memeriksa
apakah pagar dialiri listrik, agar ibuku tidak kuatir.
Tapi hari ini
keluargaku tak membayangkan aku ada di hutan. Aku bahkan sudah mengambil
beberapa langkah untuk menutupi tindakanku. Jadi kalau aku tidak pulang, mereka
pasti bakal kuatir. Dan bagian dari diriku yang juga kuatir karena aku tidak
yakin apakah semua ini cuma kebetulan, listrik dinyalakan pada hari ketika aku
ke hutan. Kupikir tak ada seorang pun yang tahu aku menyelinap di bawah pagar,
tapi siapa tahu? Selalu ada orang yang melaporkan bahwa Gale menjadi mata-mata.
Orang yang melaporkan bahwa Gale menciumku di tempat itu.
Namun, itu terjadi
ketika hari masih terang dan sebelum aku lebih berhati-hati terhadap tingkah
lakuku. Apakah ada kamera-kamera pengawas? Aku bertanyatanya tentang ini
sebelumnya. Hari sudah gelap ketika aku meringkuk dan wajahku terbungkus
scraft. Tapi daftar tersangka yang kemungkinan besar menerobos ke hutan mungkin
sangat pendek.
Mataku mengawasi
pepohonan, melewati pagar, memandangi Padang Rumput. Aku hanya bisa melihat
salju basah yang berkilau di sana-sini tertimpa cahaya dari jendela-jendela di
ujung Seam. Tidak tampak tanda-tanda keberadaan Penjaga Perdamaian, tidak ada
tanda-tanda bahwa aku sedang diburu. Entah Thread tahu atau tidak aku
meninggalkan distrik hari ini, aku sadar tujuan tindakanku selanjutnya tetap
sama: kembali ke balik pagar tanpa terlihat dan berpura-pura seolah-olah aku
tak pernah pergi.
Bila pagar atau kawat
berduri yang ada di atas pagar itu tersentuh, artinya si penyentuh akan
langsung tersetrum. Kupikir aku tidak bisa bersembunyi di bawah pagar tanpa
ketahuan, lagi pula tanah dalam keadaan keras membeku. Aku hanya punya satu
pilihan. Entah bagaimana aku harus melakukannya.
Aku mulai berjalan
menyusuri barisan pepohonan, mencari pohon yang dahannya cukup tinggi dan
panjang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Setelah berjalan sekitar satu
mil, aku menemuka pohon maple tua yang sepertinya bisa kupakai. Tetapi dahannya
terlalu lebar dan es yang licin menutupi dahan-dahan yang rendah. Aku memanjat
pohon yang ada di dekatnya dan melompat ke pohon maple, nyaris kehilangan
keseimbangan ketika memegang kulit kayu yang licin. Tapi aku berhasil
berpegangan dan perlahan-lahan merayap di atas dahan pohon yang menggantung di
atas kawat berduri.
Ketika aku memandang ke
bawah, aku ingat kenapa aku dan Gale selalu menunggu di hutan bukannya mencoba
melewati pagar itu. Berada cukup tinggi agar tidak terpanggang hidup-hidup
artinya berada sekitar tujuh meter tingginya. Kuperkirakan dahanku sekarang
tingginya delapan meter. Berbahaya jatuh dari ketinggian ini, bahkan untuk
orang yang sudah terlatih bertahun-tahun di pepohonan. Tapi pilihan apa yang
kumiliki? Aku bisa mencari dahan pohon yang lain, tapi sudah hampir gelap total
sekarang.
Salju yang jatuh akan
menghalangi cahaya bulan. Paling tidak, di sini, aku bisa melihat tumpukan
salju yang bisa jadi alas jatuhku. Bahkan jika aku bisa menemukan dahan lain,
dan aku tidak yakin bisa menemukannya, siapa tahu ke mana aku akan jatuh? Aku
menggantung tas berburuku yang sudah kosong di sekitar leher dan perlahan-lahan
menurunkan diriku sampai aku cuma berpegangan dengan kedua tanganku. Lalu aku melepaskan
pegangan jemariku.
Aku merasakan sensasi
jatuh, lalu aku menghantam tanah dengan sentakan yang telak di tulang
belakangku. Sedetik kemudian, bokongku menghantam tanah. Aku berbaring di atas
salju, berusaha memikirkan kerusakan apa yang terjadi. Tanpa berdiri, aku tahu
aku terluka karena aku merasakan sakit di tumit kiri dan tulang ekorku. Kuharap
cuma memar, tapi ketika aku memaksa diri berdiri, kurasa ada bagian yang patah.
Tapi aku masih bisa berjalan, jadi aku terus bergerak, berusaha menyembunyikan
kakiku yang pincang sebaik mungkin.
Prim dan ibuku tidak
boleh tahu aku berada di hutan. Aku harus memikirkan semacam alibi, yang paling
tidak masuk akal sekalipun. Beberapa toko di alun-alun masih buka, jadi aku
masuk ke salah satu roko dan membeli kain putih untuk perban. Lagi pula
persediaan kami sudah menipis. Di toko lain, aku membeli sekantong permen untuk
Prim. Kumasukkan sebutir permen ke mulutku, merasakan peppermint meleleh di
lidahku, dan aku baru sadar bahwa ini makanan pertama yang kumakan hari ini.
Aku tadinya berniat mencari makanan di danau, tapi setelah melihat kondisi
Twill dan Bonnie, rasanya salah mengambil sesuap makanan dari mereka.
Pada saat aku tiba di
rumah, tumit kiriku sudah tidak sanggup menahan berat badanku. Kuputuskan untuk
memberitahu ibuku bahwa aku berusaha menambal atap bocor di rumah lama kami dan
terpeleset. Untuk makanan yang hilang, aku tidak perlu menyebutkan dengan jelas
siapa saja yang kuberi makanan. Aku menyeret tubuhku ke depan pintu, siap untuk
roboh di depan perapian. Tapi malahan aku menemukan kejutan lain.
Dua Penjaga Perdamaian,
seorang Pria dan wanita, berdiri di ambang pintu dapur kami. Si wanita tetap
tenang, tapi aku melihat sepercik keterkejutan di wajah si pria. Mereka tidak
menyangka aku bakal datang. Mereka tahu aku berada di hutan dan seharusnya aku
terperangkap di luar sekarang.
"Halo,"
sapaku dengan suara netral.
Ibuku muncul di
belakang mereka, tapi tetap menjaga jarak.
"Itu dia, tepat
waktunya untuk makan malam," kata ibuku agak terlalu ceria. Aku sudah
terlambat untuk makan malam.
Aku berpikir ingin
melepaskan sepatu botku seperti yang biasa kulakukan tapi aku tidak yakin aku
bisa melakukannya tanpa membuka luka-lukaku. Aku Cuma membuka tudung kepalaku
dan mengguncang-guncang salju dari rambutku.
"Bisa
kubantu?" aku bertanya pada para Penjaga Perdamaian.
"Kepala Penjaga
Perdamaian Thread mengirim kami dengan pesan untukmu," kata si wanita.
"Mereka sudah
menunggu berjam-jam," imbuh ibuku.
Mereka menungguku tidak
kembali. Menegaskan bahwa aku tersetrum di pagar atau terperangkap di hutan,
jadi mereka bisa membawa keluargaku untuk diinterogasi.
"Pasti pesan yang
sangat penting," kataku.
"Boleh kami tanya
di mana Anda berada hari ini, Miss Everdeen?" tanya si wanita.
"Lebih mudah
menanyakan ke mana aku tidak berada," tanyaku dengan gaya kelelahan.
Aku berjalan menuju
dapur, memaksa kakiku berjalan normal meskipun setiap langkah terasa
menyakitkan. Aku berjalan melewati antara dua Penjaga Perdamaian itu dan tiba
di meja dengan selamat. Aku menaruh tasku dan memandang Prim, yang berdiri kaku
di dekat perapian. Haymitch dan Peeta juga ada di sana, duduk di kursi goyang
sambil bermain catur. Apakah mereka juga ke sini karena kebetulan atau
"diundang" oleh para Penjaga Perdamaian? Apa pun alasannya, aku
senang melihat mereka.
"Jadi ke mana saja
kau?" tanya Haymitch dengan nada bosan.
"Yah, aku belum
sempat bicara dengan Pak Kambing untuk membuat kambing Prim bunting, karena ada
yang memberi informasi gawur tentang lokasi tempat tinggalnya," kataku
pada Prim dengan penuh simpati.
"Tidak,"
sahut Prim. "Aku sudah memberitahumu di mana tempatnya."
"Kaubilang dia
tinggal di samping pintu barat tambang," kataku.
"Pintu masuk
timur," kata Prim mengoreksiku.
"Kaubilang barat,
karena setelah itu aku bertanya, 'Di sebelah tumpukan sisa tambang?' dan kau
bilang, 'Yeah'." kataku.
"Tumpukan sisa
tambang di sebelah pintu timur," kata Prim dengan sabar.
"Bukan. Kapan kaubilang
begitu?" tanyaku.
"Tadi malam,"
Haymitch ikutan bicara.
"Aku yakin
timur," tambah Peeta. Dia memandang Haymitch lalu tertawa.
Aku mendelik pada Peeta
dan berusaha tampak menyesal. "Maaf, tapi itu yang sering kukatakan. Kau
tidak dengar saat orang bicara padamu."
"Aku berani
taruhan orang-orang bilang padamu kau tidak mendengarnya lagi," kata
Haymitch.
"Diam,
Haymitch," kataku, jelas menunjukkan bahwa dia benar.
Haymitch dan Peeta
tertawa terbahak-bahak sementara Prim hanya tersenyum.
"Baik. Biar orang
lain yang mengatur bagaimana cara membuntingi kambing tolol itu," kataku,
dan membuatku tertawa makin geli. Dan kupikir, Inilah sebabnya mereka bisa
sampai sejauh ini. Haymitch dan Peeta. Tak ada yang bisa menggagalkan mereka.
Aku memandang dua
Penjaga Perdamaian itu. Yang pria tersenyum, tapi yang wanita masih tidak
yakin.
"Apa isi tasmu?'
tanya si wanita ketus.
Aku tahu dia berharap
aku membawa binatang buruang atau tumbuhan liar. Sesuatu yang jelas akan
membuatku bersalah. Kutumpahkan semua isi tasku ke atas meja. "Lihat saja
sendiri."
"Oh,
baguslah," kata ibuku ketika melihat kain perban. "Persediaan kita
tinggal sedikit."
Peeta menghampiri meja
dan membuka kantong permen. "Oh, peppermint," katanya, lalu
memasukkan permen itu ke mulut.
"Ini punyaku."
Kuulurkan tangan berusaha merebut kantong itu. Dia melemparkannya ke Haymitch
yang memasukkan segenggam permen ke mulutnya sebelum menyerahkan kantong
permennya pada Prim yang sedang tertawa geli.
"Kalian semua
tidak layak mendapat permen" kataku.
"Apa, karena kami
benar?" Peeta memelukku.
Aku memekik kecil
kesakitan ketika tulang ekorku menolak kena sentuhan. Aku berusaha membuat
pekikanku seperti suara tidak senang, tapi aku bisa melihat di mata Peeta bahwa
dia tahu aku terluka. "Oke, Prim bilang barat aku samar-samar juga dengar
barat. Dan kita semua idiot. Bagaimana?"
"Lebih baik,"
jawabku, dan aku menerima ciumannya. Lalu aku memandang dua orang Penjaga
Perdamaian itu seakan mendadak teringat bahwa mereka ada di sana. "Kalian
punya pesan untukku?"
"Dari Kepala
Penjaga Perdamaian Thread," jawab si wanita. "Dia ingin kau tahu bahwa
pagar yang mengelilingi Distrik Dua Belas sekarang sudah dialiri listrik selama
dua puluh empat jam sehari."
"Bukannya sudah
sejak dulu ya?" tanyaku, sedikit terlalu lugu.
"Beliau pikir kau
mungkin tertarik memberi informasi ini pada sepupumu," kata si wanita.
"Terima kasih. Aku
akan memberitahunya. Aku yakin kita semua bisa tidur lebih nyenyak setelah
keamanan sudah membereskan penyelewengan itu." Aku tahu aku keterlaluan,
tapi komentar itu memberiku kepuasan.
Rahang wanita itu
menegang. Semua ini tidak seperti yang direncanakannya, tapi dia tidak mendapat
perintah lain. Dia mengangguk lalu pergi, si lelaki mengikuti di belakangnya.
Ketika ibuku mengunci pintu sehabis mereka pergi, aku langsung terpuruk di
meja.
"Ada apa?"
tanya Peeta, memegangiku agar tidak jatuh.
"Oh, kaki kiriku
terbentur. Tumitnya. Dan tulang ekorku juga mengalami hari yang buruk."
Peeta membantuku berjalan ke arah kursi goyang dan mendudukkanku di bantalan
kursi.
Ibuku melepaakan sepatu
botku. "Apa yang terjadi?"
"Aku terpeleset
dan jatuh," jawabku. Empat pasang mata memandangku tak percaya. "Di
atas es."
Tapi kami tahu bahwa
rumah ini pasti sudah di sadap dan tidak aman bicara secara terbuka di sini.
Bukan di sini, dan bukan sekarang saatnya. Setelah melepaskan kaus kakiku,
jemari ibuku mulai merabai tulang di tumit kaki kiriku lalu aku mengernyit
kesakitan.
"Kemungkinan ada
yang patah," kata ibuku. Kemudian dia memeriksa kakiku yang satu lagi.
"Yang ini tampaknya tidak apa-apa."
Dia juga mengatakan
bahwa tulang ekorku memar parah.
Prim diperintahkan
mengambil piama dan jubah tidurku. Setelah selesai berganti pakaian, ibuku
membuatkan kompres es untuk tumit kiriku lalu mengikatkannya di atas bantalan
kaki. Aku makan tiga mangkuk daging rebus dan setengah bongkah roti sementara
yang lain makan di meja makan. Aku memandang api, memikirkan Bonnir dan Twill,
berharap salju yang deras dan basah kini sudah menghapus jejak kakiku.
Prim datang dan duduk
di lantai di sampingku, menyandarkan kepalanya di lututku. Kami mengisap permen
peppermint sementara tanganku merapikan rambut pirangnya yang halus ke belakang
telinga.
"Bagaimana
sekolahmu?" tanyaku.
"Baik. Kami
belajar tentang hasil sampingan batu bara," jawabnya. Kami memandangi api
selama beberapa saat. "Apakah kau akan mencoba gaun pengantinmu?"
"Malam ini tidak.
Mungkin besok," kataku.
"Tunggu sampai aku
di rumah, oke?" kata Prim.
"Tentu." Jika
mereka tidak menangkapku lebih dulu.
Ibuku memberiku teh
chamomile yang dibubuhi sirup tidur dan mataku langsung berat. Ibuku membungkus
kakiku yang luka, dan Peeta dengan sukarela membawaku ke tempat tidur. Awalnya
aku bersandar di bahunya, tapi langkahku goyah sehingga Peeta langsung
mengangkatku dan menggendongku ke atas. Dia menyelimutiku dan mengucapkan
selamat malam tapi aku sempat memegang tangannya dan menahannya agar tidak
pergi.
Efek samping dari sirup
tidur adalah obat ini membuat orang tidak lagi menahan diri, seperti habis
minum-minuman keras, dan aku tahu aku harus mengendalikan lidahku. Tapi aku
tidak mau dia pergi. Sesungguhnya, aku ingin dia naik ke ranjang di sampingku,
berada di sini ketika mimpi buruk menghantam lagi malam ini. Entah karena
alasan yang tak dapat kupahami, aku tahu aku tidak boleh memintanya melakukan
itu.
"Jangan pergi
dulu. Tunggu aku tidur," kataku.
Peeta duduk di samping
ranjang, menghangatkan tanganku dalam tangkupan kedua tangannya. "Aku
hampir mengira kau berubah pikiran hari ini. Ketika kau terlambat makan
malam."
Pikiranku agak berkabut
tapi aku bisa menerka maksudnya. Dengan urusan pagar dan aku terlambat pulang
dan Penjaga Perdamaian menungguku, dia pikir aku sudah lari dari distrik,
mungkin bersama Gale.
"Tidak, aku sudah
bilang padamu," kataku. Kutarik tangannya ke atas dan kusandarkan pipiku
di punggung tangan Peeta. Aku bisa menghirup aroma kayu manis dan dill dari
roti yang pasti dia panggang hari ini. Aku ingin memberitahunya tentang Twill
dan Bonnie serta pemberontakan yang terjadi, juga fantasi tentang Distrik 13,
tapi keadaan tidak aman dan aku bisa merasakan diriku perlahan-lahan hanyut ke
dalam tidur, jadi aku hanya bisa mengucapkan satu kalimat. "Tetaplah
bersamaku."
Ketika sirup tidur
membuatku nyaris pulas, aku mendengarnya berbisik di telingaku, tapi aku tidak
bisa benar-benar mendengarnya.
Ibuku membiarkanku
tidur sampai tengah hari, lalu membangunkanku untuk memeriksa keadaan tumitku.
Aku diperintahkan untuk istirahat seminggu di ranjang dan aku tidak protes
karena aku merasa buruk. Bukan hanya tumit dan tulang ekorku. Seluruh tubuhku
sakit karena kecapekan. Jadi aku membiarkan ibuku jadi dokterku dan menyuapiku
sarapan di ranjang tiap hari dan menambahkan selimut untuk menyelimutiku. Aku
cuma berbaring di ranjang, memandang langit musim dingin di luar jendela,
memikirkan bagaimana semua ini akan berakhir.
Aku banyak memikirkan
Bonnie dan Twill, serta tumpukan gaun pengantin putih di bawah, juga memikirkan
apakah Thread berhasil mengetahui bagaimana caraku masuk lagi ke distrik dan
menangkapku. Lucu sebenarnya, karena dia bisa saja langsung menangkapku
berdasarkan tindakan-tindakan kriminalku di masa lalu, tapi mungkin dia harus
punya bukti-bukti yang tak terbantahkan jika ingin menangkapku, karena sekarang
aku pemenang. Aku juga bertanya-tanya apakah Presiden Snow menjalin kontak
dengan Thread.
Menurutku kecil
kemungkinan Presiden Snow bahkan menyadari kehadiran Cray dulu yang jadi
kepala, tapi sekarang setelah aku jadi masalah nasional, apakah dia memberi instruksi
pada Thread tentang apa yang harus dilakukannya? Atau apakah Thread bertindak
sendiri? Apa pun alasannya, aku yakin mereka berdua sepakat untuk memenjarakanku
di dalam distrik dengan pagar itu. Bahkan jika aku bisa memikirkan cara untuk
meloloskan diri—mungkin dengan tali memanjat pohon maple itu lalu turun—tidak
mungkin aku bisa kabur membawa keluarga dan sahabat-sahabatku sekarang. Lagi
pula, aku sudah memberitahu Gale bahwa aku akan tinggal dan berjuang.
Selama beberapa hari
berikutnya, aku terlonjak setiap kali mendengar ketukan di pintu. Namun tak ada
satu pun Penjaga Perdamaian yang datang dan menangkapku, sehingga aku akhirnya
bisa mulai rileks. Secara sambil lalu Peeta memberitahuku bahwa listrik di
beberapa bagian pagar karena para petugas mengamankan bagian-bagian di bawah
pagar yang ada di atas tanah. Thread pasti berpikir entah bagaimana aku bisa
menyusup dari bawah pagar, bahkan dengan aliran listrik mematikan di atasnya.
Kegiatan ini memberikan sedikit kebebasan bagi penduduk karena para Penjaga
Perdamaian sibuk melakukan kegiatan lain selain menyiksa penduduk.
Peeta datang setiap
hari membawakanku roti keju dan mulai membantuku mengerjakan buku keluarga. Ini
adalah kebiasaan lama, membuat buku dari perkamen dan kulit. Beberapa ahli
herbal dari silsilah keturunan ibuku yang memulainya bertahun-tahun lalu. Buku
ini terdiri atas halaman demi halaman gambar tumbuhan lengkap deskripsi
kegunaan medisnya. Ayahku menambahkan bagian berisi tumbuh-tumbuhan yang bisa
di makan, dan itu jadi buku panduanku untuk bertahan hidup setelah ayahku
tiada.
Sudah lama aku ingin
mencatatkan pengetahuanku di dalam buku itu. Berbagai hal yang kupelajari dari
pengalaman atau dari Gale, serta informasi yang kuperoleh ketika aku dilatih
untuk Hunger Games. Aku tidak melakukannya karena aku tidak pandai menggambar
padahal penting sekali gambar-gambar itu dibuat dengan detail setepatnya.
Bagian ini jadi urusan Peeta. Dia sudah mengenali sebagian tumbuhannya, yang
lain berupa sampel tanaman kering, dan lainnya harus kudeskripsikan padanya.
Dia membuat sketsa di kertas coretan sampai aku puas dengan hasilnya, lalu aku
membiarkannya menggambar ulang di buku. Setelah itu, dengan hati-hati aku
menuliskan segala yang kuketahui tentang tumbuhan tersebut.
Ini adalah pekerjaan
yang tenang dan menguras konsentrasi sehingga membuatku melupakan berbagai
masalahku. Aku senang mengamati kedua tangan Peeta ketika dia bekerja,
menghasilkan satu gambar yang muncul dari kertas kosong dengan goresan-goresan
tinta, menambahkan sentuhan-sentuhan warna di buku kami yang sebelumnya
berwarna hitam dan kekuningan. Ada ekspresi khusus di wajahnya ketika dia
berkonsentrasi. Wajahnya yang biasa santai digantikan ekspresi yang lebih
tegang dan berjarak seolah seluruh dunia terkunci rapat dalam dirinya.
Sesekali aku melihatnya
seperti ini: di arena, atau ketika dia bicara di depan umum, atau ketika dia
mendorong senjata Penjaga Perdamaian dariku di Distrik 11. Aku tidak tahu
bagaimana mengartikan ekspresi itu. Aku juga tidak bisa melepaskan pandanganku
dari bulu matanya, yang biasanya tidak kuperhatikan karena warnanya yang
pirang. Tapi dari jarak sedekat ini, dengan cahaya menerobos masuk dari jendela,
bulu matanya berwarna keemasan dan sekian lama aku berpikir bagaimana cara bulu
mata itu tidak membelit ketika dia berkedip.
Suatu sore Peeta
berhenti membuat bayangan pada bunga yang mekar lalu mendadak mendongak
sampai-sampai aku kaget, seolah aku tertangkap basah sedang memata-matainya,
yang mungkin anehnya itulah yang sedang kulakukan.
Tapi Peeta hanya
berkata, "Kau tahu, kurasa ini pertama kalinya kita melakukan kegiatan
normal bersama."
"Yeah," aku
sependapat. Seluruh hubungan kami dinodai oleh Hunger Games. Normal tidak
pernah jadi bagian dari hubunganku dan Peeta. "Menyenangkan juga ya."
Setiap sore Peeta menggendongku
ke bawah agar bisa berganti pemandangan dan aku membuat semua orang terkesima
dengan menyalakan televisi. Biasanya kami hanya menonton televisi karena
diharuskan, karena campuran propaganda dan pamer kekuasaan Capitol—termasuk potongan-potongan
gambar selama 74 tahun Hunger Games—semuanya tampak menjijikkan. Burung
mockingjay yang jadi dasar harapan Bonnie dan Twill. Aku tahu mungkin ini
konyol, tapi jika memang benar, aku ingin menghilangkannya. Dan menghapus
gagasan bahwa ada Distrik 13 yang berjuang dari benakku selamanya.
Pertama kali aku
melihat di berita tayangan tentang Masa Kegelapan. Aku melihat sisa-sisa Gedung
Pengadilan yang masih mengepulkan asap di Distrik 13 dan melihat sekilas sayap
mockingjay hitam-putih di ujung kanan atas layar televisi. Tapi itu tidak
membuktikan apa-apa. Itu hanya rekaman lama yang diceritakan dengan kisah lama.
Namun, beberapa hari
kemudian, ada yang menarik perhatianku. Penyiar membacakan berita tentang
kurangnya bahan baku grafit memengaruhi produksi yang dihasilkan di Distrik 3.
Berita kemudian berpindah ke tayangan langsung seorang reporter wanita yang
memakai pakaian pelindung, berdiri di reruntuhan Gedung Pengadilan di Distrik
13. Dengan memakai masker, dia melaporkan bahwa sayangnya penelitian hari ini
menyatakan bahwa tambang-tambang di Distrik 13 masih terlalu beracun untuk
didekati. Berita terakhir. Tapi sebelum mereka kembali menayangkan wajah
penyiar, aku melihat sayap burung mockingjay yang sama.
Reporter itu ternyata
cuma ditempelkan ke tayangan lama. Dia bahkan tidak berada di Distrik 13. Dan
aku pun jadi bertanya, apa yang ada di Distrik 13?
®LoveReads
Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 11"
Posting Komentar