Catching Fire Bab 11



Bab 11

AKU otomatis berdiri dan bergegas bersembunyi di pepohonan. Kututup mulutku dengan sarung tangan untuk menyebar uap putih napasku karena udara yang dingin. Adrenalin mengalir dalam diriku, menghapus semua kekuatiran hari itu dari benakku ketika aku memusatkan perhatian pada ancaman yang ada di hadapanku. Apa yang terjadi? Apakah Thread menyalakan listrik di pagar untuk tambahan kemanan? Atau apakah entah bagaimana dia tahu aku kabur dari jaringnya hari ini? Apakah dia bertekad untuk membiarkanku terjebak di luar Distrik 12 sampai dia bisa menangkap dan menahanku? Menyeretku ke alun-alun lalu dipenjara di benteng atau dicambuk atau digantung?
Tenang, aku memerintahkan diriku sendiri. Ini bukan pertama kalinya aku terjebak di luar pagar bertegangan listrik. Aku pernah mengalaminya beberapa kali selama beberapa tahun terakhir, tapi Gale selalu bersamaku. Kami berdua tinggal mencari pohon yang nyaman untuk dipanjat sampai listrik mati, yang pada akhirnya pasti dimatikan. Kalau aku terlambat pulang, Prim biasa pergi ke Padang Rumput untuk memeriksa apakah pagar dialiri listrik, agar ibuku tidak kuatir.
Tapi hari ini keluargaku tak membayangkan aku ada di hutan. Aku bahkan sudah mengambil beberapa langkah untuk menutupi tindakanku. Jadi kalau aku tidak pulang, mereka pasti bakal kuatir. Dan bagian dari diriku yang juga kuatir karena aku tidak yakin apakah semua ini cuma kebetulan, listrik dinyalakan pada hari ketika aku ke hutan. Kupikir tak ada seorang pun yang tahu aku menyelinap di bawah pagar, tapi siapa tahu? Selalu ada orang yang melaporkan bahwa Gale menjadi mata-mata. Orang yang melaporkan bahwa Gale menciumku di tempat itu.
Namun, itu terjadi ketika hari masih terang dan sebelum aku lebih berhati-hati terhadap tingkah lakuku. Apakah ada kamera-kamera pengawas? Aku bertanyatanya tentang ini sebelumnya. Hari sudah gelap ketika aku meringkuk dan wajahku terbungkus scraft. Tapi daftar tersangka yang kemungkinan besar menerobos ke hutan mungkin sangat pendek.
Mataku mengawasi pepohonan, melewati pagar, memandangi Padang Rumput. Aku hanya bisa melihat salju basah yang berkilau di sana-sini tertimpa cahaya dari jendela-jendela di ujung Seam. Tidak tampak tanda-tanda keberadaan Penjaga Perdamaian, tidak ada tanda-tanda bahwa aku sedang diburu. Entah Thread tahu atau tidak aku meninggalkan distrik hari ini, aku sadar tujuan tindakanku selanjutnya tetap sama: kembali ke balik pagar tanpa terlihat dan berpura-pura seolah-olah aku tak pernah pergi.
Bila pagar atau kawat berduri yang ada di atas pagar itu tersentuh, artinya si penyentuh akan langsung tersetrum. Kupikir aku tidak bisa bersembunyi di bawah pagar tanpa ketahuan, lagi pula tanah dalam keadaan keras membeku. Aku hanya punya satu pilihan. Entah bagaimana aku harus melakukannya.
Aku mulai berjalan menyusuri barisan pepohonan, mencari pohon yang dahannya cukup tinggi dan panjang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Setelah berjalan sekitar satu mil, aku menemuka pohon maple tua yang sepertinya bisa kupakai. Tetapi dahannya terlalu lebar dan es yang licin menutupi dahan-dahan yang rendah. Aku memanjat pohon yang ada di dekatnya dan melompat ke pohon maple, nyaris kehilangan keseimbangan ketika memegang kulit kayu yang licin. Tapi aku berhasil berpegangan dan perlahan-lahan merayap di atas dahan pohon yang menggantung di atas kawat berduri.
Ketika aku memandang ke bawah, aku ingat kenapa aku dan Gale selalu menunggu di hutan bukannya mencoba melewati pagar itu. Berada cukup tinggi agar tidak terpanggang hidup-hidup artinya berada sekitar tujuh meter tingginya. Kuperkirakan dahanku sekarang tingginya delapan meter. Berbahaya jatuh dari ketinggian ini, bahkan untuk orang yang sudah terlatih bertahun-tahun di pepohonan. Tapi pilihan apa yang kumiliki? Aku bisa mencari dahan pohon yang lain, tapi sudah hampir gelap total sekarang.
Salju yang jatuh akan menghalangi cahaya bulan. Paling tidak, di sini, aku bisa melihat tumpukan salju yang bisa jadi alas jatuhku. Bahkan jika aku bisa menemukan dahan lain, dan aku tidak yakin bisa menemukannya, siapa tahu ke mana aku akan jatuh? Aku menggantung tas berburuku yang sudah kosong di sekitar leher dan perlahan-lahan menurunkan diriku sampai aku cuma berpegangan dengan kedua tanganku. Lalu aku melepaskan pegangan jemariku.
Aku merasakan sensasi jatuh, lalu aku menghantam tanah dengan sentakan yang telak di tulang belakangku. Sedetik kemudian, bokongku menghantam tanah. Aku berbaring di atas salju, berusaha memikirkan kerusakan apa yang terjadi. Tanpa berdiri, aku tahu aku terluka karena aku merasakan sakit di tumit kiri dan tulang ekorku. Kuharap cuma memar, tapi ketika aku memaksa diri berdiri, kurasa ada bagian yang patah. Tapi aku masih bisa berjalan, jadi aku terus bergerak, berusaha menyembunyikan kakiku yang pincang sebaik mungkin.
Prim dan ibuku tidak boleh tahu aku berada di hutan. Aku harus memikirkan semacam alibi, yang paling tidak masuk akal sekalipun. Beberapa toko di alun-alun masih buka, jadi aku masuk ke salah satu roko dan membeli kain putih untuk perban. Lagi pula persediaan kami sudah menipis. Di toko lain, aku membeli sekantong permen untuk Prim. Kumasukkan sebutir permen ke mulutku, merasakan peppermint meleleh di lidahku, dan aku baru sadar bahwa ini makanan pertama yang kumakan hari ini. Aku tadinya berniat mencari makanan di danau, tapi setelah melihat kondisi Twill dan Bonnie, rasanya salah mengambil sesuap makanan dari mereka.
Pada saat aku tiba di rumah, tumit kiriku sudah tidak sanggup menahan berat badanku. Kuputuskan untuk memberitahu ibuku bahwa aku berusaha menambal atap bocor di rumah lama kami dan terpeleset. Untuk makanan yang hilang, aku tidak perlu menyebutkan dengan jelas siapa saja yang kuberi makanan. Aku menyeret tubuhku ke depan pintu, siap untuk roboh di depan perapian. Tapi malahan aku menemukan kejutan lain.
Dua Penjaga Perdamaian, seorang Pria dan wanita, berdiri di ambang pintu dapur kami. Si wanita tetap tenang, tapi aku melihat sepercik keterkejutan di wajah si pria. Mereka tidak menyangka aku bakal datang. Mereka tahu aku berada di hutan dan seharusnya aku terperangkap di luar sekarang.
"Halo," sapaku dengan suara netral.
Ibuku muncul di belakang mereka, tapi tetap menjaga jarak.
"Itu dia, tepat waktunya untuk makan malam," kata ibuku agak terlalu ceria. Aku sudah terlambat untuk makan malam.
Aku berpikir ingin melepaskan sepatu botku seperti yang biasa kulakukan tapi aku tidak yakin aku bisa melakukannya tanpa membuka luka-lukaku. Aku Cuma membuka tudung kepalaku dan mengguncang-guncang salju dari rambutku.
"Bisa kubantu?" aku bertanya pada para Penjaga Perdamaian.
"Kepala Penjaga Perdamaian Thread mengirim kami dengan pesan untukmu," kata si wanita.
"Mereka sudah menunggu berjam-jam," imbuh ibuku.
Mereka menungguku tidak kembali. Menegaskan bahwa aku tersetrum di pagar atau terperangkap di hutan, jadi mereka bisa membawa keluargaku untuk diinterogasi.
"Pasti pesan yang sangat penting," kataku.
"Boleh kami tanya di mana Anda berada hari ini, Miss Everdeen?" tanya si wanita.
"Lebih mudah menanyakan ke mana aku tidak berada," tanyaku dengan gaya kelelahan.
Aku berjalan menuju dapur, memaksa kakiku berjalan normal meskipun setiap langkah terasa menyakitkan. Aku berjalan melewati antara dua Penjaga Perdamaian itu dan tiba di meja dengan selamat. Aku menaruh tasku dan memandang Prim, yang berdiri kaku di dekat perapian. Haymitch dan Peeta juga ada di sana, duduk di kursi goyang sambil bermain catur. Apakah mereka juga ke sini karena kebetulan atau "diundang" oleh para Penjaga Perdamaian? Apa pun alasannya, aku senang melihat mereka.
"Jadi ke mana saja kau?" tanya Haymitch dengan nada bosan.
"Yah, aku belum sempat bicara dengan Pak Kambing untuk membuat kambing Prim bunting, karena ada yang memberi informasi gawur tentang lokasi tempat tinggalnya," kataku pada Prim dengan penuh simpati.
"Tidak," sahut Prim. "Aku sudah memberitahumu di mana tempatnya."
"Kaubilang dia tinggal di samping pintu barat tambang," kataku.
"Pintu masuk timur," kata Prim mengoreksiku.
"Kaubilang barat, karena setelah itu aku bertanya, 'Di sebelah tumpukan sisa tambang?' dan kau bilang, 'Yeah'." kataku.
"Tumpukan sisa tambang di sebelah pintu timur," kata Prim dengan sabar.
"Bukan. Kapan kaubilang begitu?" tanyaku.
"Tadi malam," Haymitch ikutan bicara.
"Aku yakin timur," tambah Peeta. Dia memandang Haymitch lalu tertawa.
Aku mendelik pada Peeta dan berusaha tampak menyesal. "Maaf, tapi itu yang sering kukatakan. Kau tidak dengar saat orang bicara padamu."
"Aku berani taruhan orang-orang bilang padamu kau tidak mendengarnya lagi," kata Haymitch.
"Diam, Haymitch," kataku, jelas menunjukkan bahwa dia benar.
Haymitch dan Peeta tertawa terbahak-bahak sementara Prim hanya tersenyum.
"Baik. Biar orang lain yang mengatur bagaimana cara membuntingi kambing tolol itu," kataku, dan membuatku tertawa makin geli. Dan kupikir, Inilah sebabnya mereka bisa sampai sejauh ini. Haymitch dan Peeta. Tak ada yang bisa menggagalkan mereka.
Aku memandang dua Penjaga Perdamaian itu. Yang pria tersenyum, tapi yang wanita masih tidak yakin.
"Apa isi tasmu?' tanya si wanita ketus.
Aku tahu dia berharap aku membawa binatang buruang atau tumbuhan liar. Sesuatu yang jelas akan membuatku bersalah. Kutumpahkan semua isi tasku ke atas meja. "Lihat saja sendiri."
"Oh, baguslah," kata ibuku ketika melihat kain perban. "Persediaan kita tinggal sedikit."
Peeta menghampiri meja dan membuka kantong permen. "Oh, peppermint," katanya, lalu memasukkan permen itu ke mulut.
"Ini punyaku." Kuulurkan tangan berusaha merebut kantong itu. Dia melemparkannya ke Haymitch yang memasukkan segenggam permen ke mulutnya sebelum menyerahkan kantong permennya pada Prim yang sedang tertawa geli.
"Kalian semua tidak layak mendapat permen" kataku.
"Apa, karena kami benar?" Peeta memelukku.
Aku memekik kecil kesakitan ketika tulang ekorku menolak kena sentuhan. Aku berusaha membuat pekikanku seperti suara tidak senang, tapi aku bisa melihat di mata Peeta bahwa dia tahu aku terluka. "Oke, Prim bilang barat aku samar-samar juga dengar barat. Dan kita semua idiot. Bagaimana?"
"Lebih baik," jawabku, dan aku menerima ciumannya. Lalu aku memandang dua orang Penjaga Perdamaian itu seakan mendadak teringat bahwa mereka ada di sana. "Kalian punya pesan untukku?"
"Dari Kepala Penjaga Perdamaian Thread," jawab si wanita. "Dia ingin kau tahu bahwa pagar yang mengelilingi Distrik Dua Belas sekarang sudah dialiri listrik selama dua puluh empat jam sehari."
"Bukannya sudah sejak dulu ya?" tanyaku, sedikit terlalu lugu.
"Beliau pikir kau mungkin tertarik memberi informasi ini pada sepupumu," kata si wanita.
"Terima kasih. Aku akan memberitahunya. Aku yakin kita semua bisa tidur lebih nyenyak setelah keamanan sudah membereskan penyelewengan itu." Aku tahu aku keterlaluan, tapi komentar itu memberiku kepuasan.
Rahang wanita itu menegang. Semua ini tidak seperti yang direncanakannya, tapi dia tidak mendapat perintah lain. Dia mengangguk lalu pergi, si lelaki mengikuti di belakangnya. Ketika ibuku mengunci pintu sehabis mereka pergi, aku langsung terpuruk di meja.
"Ada apa?" tanya Peeta, memegangiku agar tidak jatuh.
"Oh, kaki kiriku terbentur. Tumitnya. Dan tulang ekorku juga mengalami hari yang buruk." Peeta membantuku berjalan ke arah kursi goyang dan mendudukkanku di bantalan kursi.
Ibuku melepaakan sepatu botku. "Apa yang terjadi?"
"Aku terpeleset dan jatuh," jawabku. Empat pasang mata memandangku tak percaya. "Di atas es."
Tapi kami tahu bahwa rumah ini pasti sudah di sadap dan tidak aman bicara secara terbuka di sini. Bukan di sini, dan bukan sekarang saatnya. Setelah melepaskan kaus kakiku, jemari ibuku mulai merabai tulang di tumit kaki kiriku lalu aku mengernyit kesakitan.
"Kemungkinan ada yang patah," kata ibuku. Kemudian dia memeriksa kakiku yang satu lagi. "Yang ini tampaknya tidak apa-apa."
Dia juga mengatakan bahwa tulang ekorku memar parah.
Prim diperintahkan mengambil piama dan jubah tidurku. Setelah selesai berganti pakaian, ibuku membuatkan kompres es untuk tumit kiriku lalu mengikatkannya di atas bantalan kaki. Aku makan tiga mangkuk daging rebus dan setengah bongkah roti sementara yang lain makan di meja makan. Aku memandang api, memikirkan Bonnir dan Twill, berharap salju yang deras dan basah kini sudah menghapus jejak kakiku.
Prim datang dan duduk di lantai di sampingku, menyandarkan kepalanya di lututku. Kami mengisap permen peppermint sementara tanganku merapikan rambut pirangnya yang halus ke belakang telinga.
"Bagaimana sekolahmu?" tanyaku.
"Baik. Kami belajar tentang hasil sampingan batu bara," jawabnya. Kami memandangi api selama beberapa saat. "Apakah kau akan mencoba gaun pengantinmu?"
"Malam ini tidak. Mungkin besok," kataku.
"Tunggu sampai aku di rumah, oke?" kata Prim.
"Tentu." Jika mereka tidak menangkapku lebih dulu.
Ibuku memberiku teh chamomile yang dibubuhi sirup tidur dan mataku langsung berat. Ibuku membungkus kakiku yang luka, dan Peeta dengan sukarela membawaku ke tempat tidur. Awalnya aku bersandar di bahunya, tapi langkahku goyah sehingga Peeta langsung mengangkatku dan menggendongku ke atas. Dia menyelimutiku dan mengucapkan selamat malam tapi aku sempat memegang tangannya dan menahannya agar tidak pergi.
Efek samping dari sirup tidur adalah obat ini membuat orang tidak lagi menahan diri, seperti habis minum-minuman keras, dan aku tahu aku harus mengendalikan lidahku. Tapi aku tidak mau dia pergi. Sesungguhnya, aku ingin dia naik ke ranjang di sampingku, berada di sini ketika mimpi buruk menghantam lagi malam ini. Entah karena alasan yang tak dapat kupahami, aku tahu aku tidak boleh memintanya melakukan itu.
"Jangan pergi dulu. Tunggu aku tidur," kataku.
Peeta duduk di samping ranjang, menghangatkan tanganku dalam tangkupan kedua tangannya. "Aku hampir mengira kau berubah pikiran hari ini. Ketika kau terlambat makan malam."
Pikiranku agak berkabut tapi aku bisa menerka maksudnya. Dengan urusan pagar dan aku terlambat pulang dan Penjaga Perdamaian menungguku, dia pikir aku sudah lari dari distrik, mungkin bersama Gale.
"Tidak, aku sudah bilang padamu," kataku. Kutarik tangannya ke atas dan kusandarkan pipiku di punggung tangan Peeta. Aku bisa menghirup aroma kayu manis dan dill dari roti yang pasti dia panggang hari ini. Aku ingin memberitahunya tentang Twill dan Bonnie serta pemberontakan yang terjadi, juga fantasi tentang Distrik 13, tapi keadaan tidak aman dan aku bisa merasakan diriku perlahan-lahan hanyut ke dalam tidur, jadi aku hanya bisa mengucapkan satu kalimat. "Tetaplah bersamaku."
Ketika sirup tidur membuatku nyaris pulas, aku mendengarnya berbisik di telingaku, tapi aku tidak bisa benar-benar mendengarnya.
Ibuku membiarkanku tidur sampai tengah hari, lalu membangunkanku untuk memeriksa keadaan tumitku. Aku diperintahkan untuk istirahat seminggu di ranjang dan aku tidak protes karena aku merasa buruk. Bukan hanya tumit dan tulang ekorku. Seluruh tubuhku sakit karena kecapekan. Jadi aku membiarkan ibuku jadi dokterku dan menyuapiku sarapan di ranjang tiap hari dan menambahkan selimut untuk menyelimutiku. Aku cuma berbaring di ranjang, memandang langit musim dingin di luar jendela, memikirkan bagaimana semua ini akan berakhir.
Aku banyak memikirkan Bonnie dan Twill, serta tumpukan gaun pengantin putih di bawah, juga memikirkan apakah Thread berhasil mengetahui bagaimana caraku masuk lagi ke distrik dan menangkapku. Lucu sebenarnya, karena dia bisa saja langsung menangkapku berdasarkan tindakan-tindakan kriminalku di masa lalu, tapi mungkin dia harus punya bukti-bukti yang tak terbantahkan jika ingin menangkapku, karena sekarang aku pemenang. Aku juga bertanya-tanya apakah Presiden Snow menjalin kontak dengan Thread.
Menurutku kecil kemungkinan Presiden Snow bahkan menyadari kehadiran Cray dulu yang jadi kepala, tapi sekarang setelah aku jadi masalah nasional, apakah dia memberi instruksi pada Thread tentang apa yang harus dilakukannya? Atau apakah Thread bertindak sendiri? Apa pun alasannya, aku yakin mereka berdua sepakat untuk memenjarakanku di dalam distrik dengan pagar itu. Bahkan jika aku bisa memikirkan cara untuk meloloskan diri—mungkin dengan tali memanjat pohon maple itu lalu turun—tidak mungkin aku bisa kabur membawa keluarga dan sahabat-sahabatku sekarang. Lagi pula, aku sudah memberitahu Gale bahwa aku akan tinggal dan berjuang.
Selama beberapa hari berikutnya, aku terlonjak setiap kali mendengar ketukan di pintu. Namun tak ada satu pun Penjaga Perdamaian yang datang dan menangkapku, sehingga aku akhirnya bisa mulai rileks. Secara sambil lalu Peeta memberitahuku bahwa listrik di beberapa bagian pagar karena para petugas mengamankan bagian-bagian di bawah pagar yang ada di atas tanah. Thread pasti berpikir entah bagaimana aku bisa menyusup dari bawah pagar, bahkan dengan aliran listrik mematikan di atasnya. Kegiatan ini memberikan sedikit kebebasan bagi penduduk karena para Penjaga Perdamaian sibuk melakukan kegiatan lain selain menyiksa penduduk.
Peeta datang setiap hari membawakanku roti keju dan mulai membantuku mengerjakan buku keluarga. Ini adalah kebiasaan lama, membuat buku dari perkamen dan kulit. Beberapa ahli herbal dari silsilah keturunan ibuku yang memulainya bertahun-tahun lalu. Buku ini terdiri atas halaman demi halaman gambar tumbuhan lengkap deskripsi kegunaan medisnya. Ayahku menambahkan bagian berisi tumbuh-tumbuhan yang bisa di makan, dan itu jadi buku panduanku untuk bertahan hidup setelah ayahku tiada.
Sudah lama aku ingin mencatatkan pengetahuanku di dalam buku itu. Berbagai hal yang kupelajari dari pengalaman atau dari Gale, serta informasi yang kuperoleh ketika aku dilatih untuk Hunger Games. Aku tidak melakukannya karena aku tidak pandai menggambar padahal penting sekali gambar-gambar itu dibuat dengan detail setepatnya. Bagian ini jadi urusan Peeta. Dia sudah mengenali sebagian tumbuhannya, yang lain berupa sampel tanaman kering, dan lainnya harus kudeskripsikan padanya. Dia membuat sketsa di kertas coretan sampai aku puas dengan hasilnya, lalu aku membiarkannya menggambar ulang di buku. Setelah itu, dengan hati-hati aku menuliskan segala yang kuketahui tentang tumbuhan tersebut.
Ini adalah pekerjaan yang tenang dan menguras konsentrasi sehingga membuatku melupakan berbagai masalahku. Aku senang mengamati kedua tangan Peeta ketika dia bekerja, menghasilkan satu gambar yang muncul dari kertas kosong dengan goresan-goresan tinta, menambahkan sentuhan-sentuhan warna di buku kami yang sebelumnya berwarna hitam dan kekuningan. Ada ekspresi khusus di wajahnya ketika dia berkonsentrasi. Wajahnya yang biasa santai digantikan ekspresi yang lebih tegang dan berjarak seolah seluruh dunia terkunci rapat dalam dirinya.
Sesekali aku melihatnya seperti ini: di arena, atau ketika dia bicara di depan umum, atau ketika dia mendorong senjata Penjaga Perdamaian dariku di Distrik 11. Aku tidak tahu bagaimana mengartikan ekspresi itu. Aku juga tidak bisa melepaskan pandanganku dari bulu matanya, yang biasanya tidak kuperhatikan karena warnanya yang pirang. Tapi dari jarak sedekat ini, dengan cahaya menerobos masuk dari jendela, bulu matanya berwarna keemasan dan sekian lama aku berpikir bagaimana cara bulu mata itu tidak membelit ketika dia berkedip.
Suatu sore Peeta berhenti membuat bayangan pada bunga yang mekar lalu mendadak mendongak sampai-sampai aku kaget, seolah aku tertangkap basah sedang memata-matainya, yang mungkin anehnya itulah yang sedang kulakukan.
Tapi Peeta hanya berkata, "Kau tahu, kurasa ini pertama kalinya kita melakukan kegiatan normal bersama."
"Yeah," aku sependapat. Seluruh hubungan kami dinodai oleh Hunger Games. Normal tidak pernah jadi bagian dari hubunganku dan Peeta. "Menyenangkan juga ya."
Setiap sore Peeta menggendongku ke bawah agar bisa berganti pemandangan dan aku membuat semua orang terkesima dengan menyalakan televisi. Biasanya kami hanya menonton televisi karena diharuskan, karena campuran propaganda dan pamer kekuasaan Capitol—termasuk potongan-potongan gambar selama 74 tahun Hunger Games—semuanya tampak menjijikkan. Burung mockingjay yang jadi dasar harapan Bonnie dan Twill. Aku tahu mungkin ini konyol, tapi jika memang benar, aku ingin menghilangkannya. Dan menghapus gagasan bahwa ada Distrik 13 yang berjuang dari benakku selamanya.
Pertama kali aku melihat di berita tayangan tentang Masa Kegelapan. Aku melihat sisa-sisa Gedung Pengadilan yang masih mengepulkan asap di Distrik 13 dan melihat sekilas sayap mockingjay hitam-putih di ujung kanan atas layar televisi. Tapi itu tidak membuktikan apa-apa. Itu hanya rekaman lama yang diceritakan dengan kisah lama.
Namun, beberapa hari kemudian, ada yang menarik perhatianku. Penyiar membacakan berita tentang kurangnya bahan baku grafit memengaruhi produksi yang dihasilkan di Distrik 3. Berita kemudian berpindah ke tayangan langsung seorang reporter wanita yang memakai pakaian pelindung, berdiri di reruntuhan Gedung Pengadilan di Distrik 13. Dengan memakai masker, dia melaporkan bahwa sayangnya penelitian hari ini menyatakan bahwa tambang-tambang di Distrik 13 masih terlalu beracun untuk didekati. Berita terakhir. Tapi sebelum mereka kembali menayangkan wajah penyiar, aku melihat sayap burung mockingjay yang sama.
Reporter itu ternyata cuma ditempelkan ke tayangan lama. Dia bahkan tidak berada di Distrik 13. Dan aku pun jadi bertanya, apa yang ada di Distrik 13?
®LoveReads

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Catching Fire Bab 11"

Posting Komentar